1

loading...

Wednesday, January 1, 2020

MAKALAH Pancasila Sebagai System Etika Kehidupan,Kerakyatan Ketatanegaraan


 MAKALAH 

Pancasila Sebagai System Etika Kehidupan,Kerakyatan Ketatanegaraan




A.  PENDAHULUAN
Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia yang memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah “Pancasila sebagai suatu sistem etika”. Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan. Inti dan isi Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat (jasmani–rohani), sifat kodrat (individu-makhluk sosial), kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab di dunia. Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan di tinggalkan, karena pancasila wajib diamalkan oleh warga Negara Indonesia. Alasan lain karena  bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan gampang untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku, perkataan, perbuatan, serta hati nurani kita masing-masing.

B.  PEMBAHASAN

1)      Pancasila Sebagai Sistem Etika
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang  bagaimana kita dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah, etika membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebagai ilmu dibagi dua yaitu :
1.      Etika umum, membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Tetapi pada prinsipnya etika umum membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya.
2.      Etika khusus, dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial.
a.       Etika indvidual, membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggung jawabnya terhadap Tuhannya.
b.      Etika sosial, membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut system politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain.
2)      Kedaulatan Rakyat Dalam sila Keempat Pancasila
Kerakyatan artinya rakyat yang berdaulat. Bahwa dalam kehendak untuk berkuasa itu ada di tangan rakyat yang memiliki tanggung jawab atas kedaulatannya sendiri terhadap perkembangan negaranya di masa depan. Kerakyatan adalah inti sari dari demokrasi di Indonesia sebagaimana di amanatkan dalam sila keempat Pancasila. Kerakyatan sebagaimana dimaksud dalam sila keempat tersebut adalah penjelmaan dari seluruh manusia Indonesia yang memiliki sifat-sifat kodrati baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk social.
Namun ada suatu hal yang menjadi ciri khas dari manusia Indonesia itu sendiri, yaitu manusia yang memiliki keluhuran budi untuk lebih mengedepankan dirinya sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia Indonesia itu memiliki kearifan dan jiwa sosial tinggi untuk lebih mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi. Keluhuran budi manusia Indonesia inilah yang membuat para founding father Indonesia sadar bahwa demokrasi di Indonesia lebih cocok ditegakkan atas dasar kekeluargaan dan tolong menolong (gotong royong).
Sejalan dengan itu, Bung Karno dalam pidatonya pada 22 Juli 1958 menyatakan bahwa demokrasi yang disebutkan dalam sila ke-4 itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa Indonesia. Tidak perlu "identik", artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain. Janganlah demokrasi kita itu demokrasi jiplakan dari entah Eropa Barat, entah Amerika, entah negara lain.
Orang yang alam pikirannya masih alam pikiran yang tersangkut dengan dunia Barat, artinya orang yang di dalam alam pikirannya belum berdiri di atas kepribadian Indonesia sendiri, atau belum hendak mengembalikan segala sesuatu itu kepada kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Jikalau kita berfikir seperti demikian itu, maka kita tidak akan dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan rakyat.
Seirama dengan Soekarno, persepsi Hatta tentang demokrasi Barat juga bersifat negatif. Hal ini dikarenakan dalam paham liberalisme yang melahirkan demokrasi barat terdapat sifat individualistik (mementingkan diri sendiri) yang menjadi ciri utamanya.  Individualisme akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menghalangi terwujudnya demokrasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu kedaulatan rakyat di semua aspek kehidupan.
Menurut Bung Hatta, demokrasi Barat harus ditolak sebagai dasar untuk membangun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kerakyatan bagi bangsa Indonesia itu hendaknya disesuaikan dengan tradisi masyarakat Indonesia, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem demokrasi ala Barat yang individualistis dimana pengambilan keputusan didasarkan pada pemungutan suara yang mengandung prinsip menang kalah, bukan semangat bersama.  Terhadap sari pikiran yang sedemikian, maka dapat kita petik, bahwa kerakyatan itu pada hakikatnya merupakan cerminan dari: usaha, landasan kepemilikan, dan tujuan hidup bersama.

3)      Latar Belakang Pancasila Digunakan dalam Konteks Ketatanegaraan RI
Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan suatu asas kerohanian dalam ilmu kenegaraan. Pancasila merupakan sumber nilai dan norma dalam setiap aspek  penyelenggaraan negara maka dari itu semua peraturan perundang-undangan serta penjabarannya berdasarkan nilai-nilai pancasila.
Negara Indonesia merupakan negara demokrasi, yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan. Pancasila dalam kontek ketatanegaraan Republik Indonesia adalah pembagian kekuasaan lembaga lembaga tinggi negara, hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan lainnya diatur dalam undang undang dasar negara. Pembukaan undang- undang dasar 1945 dalam kontek ketatanegaraan, memiliki kedudukan yang sangat penting merupakan asas fundamental dan berada pada hierarkhi tertib hukum tertinggi di Negara Indonesia.
Dalam beberapa tahun ini Imdonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar mengenai sistem ketatanegaraan. Dalam hal perubahan tersebut secara umum dapat kita katakana bahwa perubahan mendasar setelah empat kali amandemen UUN 1945 ialah komposisi dari UUD tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian dimasukkan, diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam pasal-pasal amandemen. Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali amandemen, juga berkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan penjelmaannya ke dalam lembaga-lembaga Negara. Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dilaksanakan sepenuhnya oleh anggota anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya. Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden, serta mengubah Undang-Undang Dasar.

4)      Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
1.      Teori Pembagian Kekuasaan dan Prinsip “ Checks and Balances
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini hanya diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh   rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi Negara yang berada   dibawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian    kekuasaan (distribution of power). Akan tetapi, dalam Undan-Undang dasar hasil perubahan, prinsip kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of  power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga Negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain  berdasarkan prinsip ‘checks and   balaces’.
Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi   majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga Negara  lainnya. Untuk melengkapi pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, disamping lembaga     legislatif dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada   ditangan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua lembaga perwakilan itu adalah sederajad dengan Presiden dan Mahkamah Agung dan Mahkamah        Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip ‘Check and    balances’. Dengan adanya prinsip ‘Check and balances’ ini, maka kekuasaan negara    dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sesebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara Negara ataupun pribadi-pribadi   yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya,
Pasal-pasal yang dapat dianggap mencerminkan perubahan tersebut antara lain adalah perubahan ketentuan pasal 5, terutama ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang secara jelas menentukan bahwa fungsi legislatif ada pada Dewan Perwakilan    Rakyat, sedangkan Presiden adalah kepala eksekutif. Disamping itu, ada pula ketentuan   mengenai kewenangan MPR yang tidak lagi dijadikan tempat kemana presiden harus bertanggungjawab atau menyampaikan pertanggung-jawaban jabatannya. Selain itu, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan untuk melakukan   pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar seperti ditentukan dalam pasal 24 ayat (1) juga mencerminkan dianutnya asas   pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘check and balances’ antara cabang kekuasaan       legislatif  dan  yudikatif. Ketiga ketentuan itu memastikan tafsir berkenaan dengan    terjadinya pergeseran MPR dari  kedudukannya sebagai lembaga tertinggi menjadi     lembaga yang sederajat dengan Presiden berdasarkan pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘check and balances’.
2.      Lembaga Negara Menurut UUD 1945
a.       Format Baru Parlemen Tiga Kamar (MPR, DPR, DPD)
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Semula, Majelis Permusyawaratan Rakyat kita dirancang  untuk diubah menjadi nama ‘genus’ dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama disebut Dewan Perwakilan Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan Daerah.
Namun demikian, setelah perubahan Keempat UUD 1945, terjadi perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara structural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsi perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Kedua bersamaan dengan perubahan yang Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:
a)      menetapkan Undang-Undang Dasar & mengubah Undang-Undang Dasar,
b)      menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
c)      memilih Presiden dan Wakil Presiden,
d)     meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden,
e)      memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR berubah menjadi:
a)      menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
b)      melantik Presiden dan Wakil Presiden,
c)      memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta
d)     menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Ketiga, diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1)  dalam perubahan pertama UUD 1945. Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga   UUD 1945.
2)      Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU    tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan,   sedangkan   yang  memutuskan   adalah   DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
3)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1)  yang   baru menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan      membentuk Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan     bersama.
Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat :
a)      Bersama-sama pemerintah menetapkan undang-undang. (Ps. 20 ayat 2)
b)      Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara dengan UU. (Ps. 23 ayat 3)
c)      Memberikan persetujuan kepada presiden atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain. (Ps. 11 ayat 1)
Hak Dewan Perwakilan Rakyat
a)      Sebagai lembaga yang memegang peran pembuat undang-undang (bersama Presiden), DPR memiliki hak antara lain :
·         Hak Inisiatif (usul)
·         Hak Amandemen (mengubah)
·         Hak Refuse (menolak)
·         Hak Ratifikasi (mengesahkan)
b)      Sebagai Lembaga yang memegang peran pengawasan (control) terhadap aktifitas Lembaga Eksekutif, maka pada dirinya memiliki beberapa hak control yang khusus, yaitu :
a.       Hak mengajukan pertanyaan
b.      Hak Interpelasi
c.       Hak Angket
b.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
  Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001,   hal ini diatur dalam bab baru tersendiri, yaitu Bab VIIA Badan Pemeriksa Keuangan   yang terdiri atas pasal 23E, pasal 23F, dan pasal 23G. Isinyapun lebih lengkap yaitu masing-masing berisi tiga ayat, dua ayat, dan dua ayat sehingga seluruhnya berjumlah tujuh ayat atau 7 butir ketentuan. Pasal 23E menentukan bahwa “(1)   Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara    diadakan satu badan pemeriksa keuangan   yang   bebas   dan   mandiri;   (2)   Hasil   pemeriksaan   keuangan Negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai   kewenangannya; (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang”.  Pasal 23F menetukan   bahwa “(1) anggota badan pemeriksa keuangan dipilih oleh DPR dengan      memperhatikan pertimbangan DPD, dan diresmikan oleh Presiden. (2) Pimpinan      badan pemeriksa keuangan dipilih dari dan oleh  anggota”. Pasal 23G menentukan: “(1) badan pemeriksa keuangan berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi (2) ketentuan lebih lanjut mengenai badan pemeriksa keuangan diatur dengan Undang-Undang”.
c.       Presiden dan Wakil Presiden
Kedudukan Presiden
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 yang dituangkan ke dalam BAB III Pasal 4 Ayat (1) ditetapkan bahwa : “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar “
Wewenang Presiden
Sifat khas “kekuasaan” seperti ini diformulasikan dalam bentuk adagium oleh seorang negarawan besar dari Inggris – Lord Acton yang menyatakan “ The Power tends to corrupt, but the absolute power trends to corrupt absolutely”.
1)      Wewenang Presiden Selaku Kepala Negara
a)      Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (pasal 10)
b)      Presiden dengan persetujuan DPR berwenang menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain (pasal 11 ayat 1)
c)      Presiden dalam membuat perjanjian lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan badan keuangan Negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR (pasal 11 ayat 2)
d)     Presiden menyatakan keadaan berbahaya
e)      Presiden mengangkat duta dan konsul
f)       Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR (pasal 13 ayat 2)
g)      Presiden berhak memberikan :
·         Grasi,yaitu hak yang memberikan penghapusan, pengurangan dan penggantian hukuman.
·         Rehabilitasi, yaitu hak mengembalikan kehormatan seseorang dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14 ayat 1).
·         Amnesty, yaitu hak menghentikan penentuan perkara atas sekelompok orang.
·         Abolisi, yaitu hak menghentikan penuntutan perkara atas seseorang tertentu dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 14 ayat 2)
h)      Presiden member gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang (pasal 15)
i)        Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden; yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
2)      Wewenang Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
1.      Presiden berwenang mengangkat menteri dan memperhatikannya (pasal 17 ayat 2)
2.      Menjalankan undang-undang (pasal 5 ayat 2)
3.      Presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 2)
4.      Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang (pasal 22 ayat 1)
3)      Wewanang Lainnya
1.      Presiden(bersama-sama DPR) menjalankan kekuasaan legislative (pasal 5 ayat 1).
2.      Presiden mengajukan Rencana Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (pasal 23 ayat 2)
Fungsi Wakil Presiden
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang wakil Presiden, ditunjuk oleh pasal 4 ayat (2) bahwa “Dalam melakukan keewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil Presiden”. Disamping ituWakil Presiden berfungsi selaku pengganti Presiden manakala Presiden tetap, seperti bilamana Presiden wafat, berhenti, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
d.      Format Baru Kekuasaan Kehakiman MA dan MK
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif   (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan   kehakiman Negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada   di luar mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang   setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah      Konstitusi  (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak Negara yang   membentuknya di  luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Mahkamah   Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu:(a) melakukan pengujian   atas konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden     dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atauWakil   Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil  pemilihan umum, dan (e)  memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Mengenai Mahkamah Agung, dalam pasal 24 ayat (2), dibedakan antara badan   peradilan dari lingkungan, peradilan. “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam   lingkungan   peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,   lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Oleh sebab itu, badan-badan peradilan dalam keempat lingkungan peradilan   tersebut semuanya berada di bawah Mahkamah Agung, harus dibedakan antara organ Mahkamah dan badan-badan peradilan dengan hakim sebagai pejabat hokum dan   penegak keadilan.

C.  Kesimpulan

Pendukung dari Pancasila sebagai sistem etika adalah Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti yang tercantum di sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam masyarakat maupun bangsa dan negara.

Referensi

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

PSP UGM dan Yayasan TIFA. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke 1. Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila (PSP). Yogyakarta dan Yayasan TIFA Jakarta

Saksono, Ign. Gatut. 2007. Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap Globalisasi dan Syariat Islam). CV Urna Cipta Media Jaya

Syarbaini, Syahrial. 2012. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi. Bogor: Ghalia Indonesia.

No comments:

Post a Comment