FILSAFAT DALAM ISLAM : AYAT –AYAT YANG BERKAITAN DENGAN
FILSAFAT
Makalah Ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Islam
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “ Filsafat Dalam
Islam ” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada
waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi
salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Ilmu serta merupakan
bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bpk salim belapeli selaku dosen mata kuliah Filsafat islam serta
semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar
bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha Esa, sehingga
dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam
upaya evaluasi diri.
Bengkulu,
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II.
PEMBAHASAN..
A. AYAT – AYAT BERKAITAN DENGAN
FILSAFAT DAN AYAT – AYAT\
TENTANG PERINTAH ATAU AKAL
TENTANG PERINTAH ATAU AKAL
B. TEMAH – TEMAH DALAM FILSAFAT
BAB III....
PENUTUP.....
A. KESIMPULAN...
B. SARAN..........
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi
seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang
dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan
mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada
agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap
iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya
untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan.
Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah”
FILSAFAT DALAM ISLAM “ yang nantinya akan membahas tentang ayat –ayat yang
berkaitan dengan filsafat, ayat – ayat tentang perintah atau akal dan tema tema
dalam filsafat islam .
B. rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kami akan
membahas tentang
1.
Bagaimana Ayat – ayat berkaitan dengan filsafat
dan ayat – ayat\ tentang perintah atau akal ?
2.
Bagaimana Temah – temah dalam filsafat ?
iii
BAB I
PEMBAHASAN
FILSAFAT DALAM ISLAM
A.
Ayat – ayat berkaitan dengan filsafat dan ayat –
ayat\ tentang perintah atau akal
·
Qs. Furqan ayat 3 :
Artinya : kemudian
mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan
itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa
untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk
mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak Kuasa mematikan, menghidupkan
dan tidak (pula) membangkitkan.
·
Qs. Faushhilat ayat 5 :
Artnya :
mereka berkata: "Hati Kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang
kamu seru Kami kepadanya dan telinga Kami ada sumbatan dan antara Kami dan kamu
ada dinding, Maka Bekerjalah kamu; Sesungguhnya Kami bekerja (pula)."
·
Qs. Asy syuura ayat 5 :
1
Artinya :
hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan
malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi
orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa Sesungguhnya Allah Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Penyayang.
Qs. As sajadah ayat 4 :
Artinya: Allah lah yang menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang
penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at[1189]. Maka Apakah kamu
tidak memperhatikan?
maksud bersemayam di atas 'Arsy ialah satu
sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan
kesucian-Nya. dan Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat
bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at
yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
Filsafat
Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba
dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan itu. Filsafat Islam selalu berusaha untuk mendamaikan
wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama dan filsafat
2
Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada
saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan dari filsafat
sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada intinya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah
lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam
adalah filsafat agama dan spiritual.
Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan
isu-isu besar filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi
dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemologi pun unik
dan komprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi
bawaan sejak lahir dan almuktasab, ketepatan dan kesalahan, pengetahuan dzanni
dan qath'i. Filsafat Islam juga mengkaji tentang definisi serta klasifikasi
kebaikan dan kebahagian.
·
pada
abad kesepuluh dan kesebelas
Filsuf Islam pada abad kesepuluh dan kesebelas
juga sangat dipengaruhi oleh reintroduksi Aristoteles ke dalam budaya
intelektual mereka. yang diselenggarakan bahwa selama agama itu benar
ditafsirkan yang terdiri dari
area kebenaran tidak berbeda daripada filsafat.Maka dia
memegang filsafat yang mengungkapkan bahwa Islam adalah bentuk tertinggi dari
kehidupan. u mntuk mebela keyakinan
Islam dalam keabadian jiwa individu, meskipun sebagai Aristoteles mengajarkan
kecerdasan adalah salah satu agen di semua orang, intelek potensi unik setiap
orang, diterangi oleh agen kecerdasan, tetap hidup setelah kematian. Sebagai contoh,
ia mengembangkan suatu bentuk teologi natural di mana tugas membuktikan
keberadaan Tuhan adalah mungkin. Meskipun
demikian Averroes tidak berpikir filsafat yang bisa membuktikan semua keyakinan
Islam, seperti yang keabadian individu.
·
secara tradisional
secara
tradisional,akal di kaitkan dengan iman masing-masing
telah dianggap sebagai sumber pembenaran untuk keyakinan agama.. Karena
keduanya konon dapat melayani fungsi yang sama epistemis, itu telah menjadi
masalah kepentingan banyak filsuf dan teolog bagaimana keduanya berhubungan dan
dengan demikian bagaimana agen rasional harus memperlakukan klaim berasal dari
sumber baik.
3
Beberapa
berpendapat bahwa tidak ada konflik antara alasan yang benar dua dipekerjakan
dan iman dipahami dengan baik tidak akan pernah menghasilkan bertentangan atau
bersaing klaim-sedangkan yang lain telah menyatakan bahwa iman dan akal dapat
(atau bahkan harus) berada dalam pertentangan nyata dibanding proposisi
tertentu atau metodologi.
Mereka yang telah mengambil pandangan yang
terakhir tidak setuju, apakah iman atau alasan harus menang ketika keduanya
dalam konflik, misalnya, memprioritaskan iman bahkan ke titik yang menjadi
tidak rasional positif, sedangkan menekankan kewajaran iman seperti rupa bahwa
doktrin keagamaan yang irasionalitas-konflik dengan dirinya sendiri atau dengan
diketahui fakta-adalah sebuah tanda bahwa itu adalah tidak sehat.
B. Temah –Temah Dalam
Filsafat Islam
Ada tiga tema besar yang sangat penting dalam
filsafat Islam yaitu; pertama tentang masalah Tuhan, kedua tentang Alam, dan
yang ketiga tentang Manusia. Menurut Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara ketiga tema
ini penting untuk dikemukakan, dan harus ada ketika kita membahas tentang
tradisi filsafat islam. Menurut beliau, pada zaman post modern ini, telah
terjadi perubahan pandangan dunia secara fundamental yang mencabut akar-akar
tradisi dan akhidah suatu agama.
F. Budi Hardiman dalam bukunya juga
berpendapat sama “perkembangan pemikiran dari natural orented menuju
rasionalitas, menjadikan orientasi manusia dengan alamnya bergeser sangat
tajam. Masyarakat pra-modern bersifat cosmo centris. dalam arti antara
lingkungan batiniyah tak terdapat jarak yang tegas. Alam lahiriah terpantul
dalam alam batiniyah dan sebaliknya, sehingga kita bisa berbicara mengenai
harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos”. akibat dari modernitas yang
“keliru”, sehingga kita tidak dapat lagi membedakan dengan baik pandangan
bijak/arif (Filosof/hukama) yang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi pandangan
dunia skuler. Hal ini dapat merusak sendi-sendi keimanan, tradisi dan tatanan
moral bangsa.
a.Tuhan
4
Tuhan
adalah tema yang sangat penting dalam kajian filsafat Islam hal ini bekaitan
erat dengan hal kenyakinan yang menyangkut penciptaan, atau istilah aristoteles
adalah penggerak yang tak dapat digerakkan. Lain halnya di dunia Barat, banyak
ilmuan dan filusuf yang berusaha menyingkirkan Tuhan, diantaranya Nietzsche. Ia
berpendapat bahwa Tuhan telah mati begitu, juga Karl Marx yang mengatakan bahwa
agama sebagai candu yang dapat meracuni setiap pemeluknya. Oleh karena itu,
para filusuf muslim membuat suatu antisipasi khususnya bagi kaum muslimin
umumnya seluruh manusia yang ingin mendapat kebenaran hakiki, yaitu kebenaran
yang muncul dari suatu Zat yang Maha Benar yaitu Tuhan
. Mereka
memasukkan tema Tuhan dalam suatu pemikirannya dan itu dianggap sangat penting.
Bahkan, Tuhan adalah segalanya bagi para filusuf muslim, denagn pembahasan
Tuhan ini maka akan terlahir pembahasan-pembahasan selain Tuhan (ciptaan-Nya)
termasuk tentang alam dan manusia. Mulla Shadra menyebutkan Tuhan adalah sang
wujud murni sebagai syarat bagi adanya yang lain . Para sainsific modern
mensingkirkan (menyisihkan) Tuhan sebagai objek metafisik, sementara dalam
tradisi intelektual Islam Tuhan adalah objek penilitian yang tertinggi dan
termulia yang bukan hanya akan meyebabkan ilmu tentang-Nya sebuah disiplin ilmu
yang tertinggi tetapi juga yang dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan
tertinggi bagi siapa saja yang mempelajarinya dengan demikian kajian ini dapat
dijadikan sebagai basis moral bagi penelitian ilmiah. Setidaknya konsep
filosofis tentang Tuhan akan mendiskusikan beberapa kajian:.
1. Tuhan sebagai sebab
1. Tuhan sebagai sebab
Pendapat yang mengatakan Tuhan adalah sebagai penyebab
yang pertama (Al-Illat, Al-Ula) pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani
yaitu Aristoteles. Kemudian diadopsi oleh filosuf muslim seperti Al Kindi.
Konsep ini mempersepsikan Tuhan sebagai sebab dari keyakinan bahwa suatu
kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya sendiri, tetapi terjadi karena
sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah yang dikatakan sebab,
sedangkan kejadian itu sendiri disebut dengan akibat atau musabab.
Kejadian selalu mengandaikan perubahan, danm
seperti yang telah kita singgung, setiap
5
perubahan atau kejadian selalu membutuhkan
sebuah Murajjih atau sufficient reason (alasan yang memadai) untuk
pengaktualannya . Ketika Tuhan dikatakan sebagai sebab, maka biasanya disebut
sebab pertama (Aristoteles, kausa prima), yang menunjukkan betapa Ia adalah
sebab paling awal dan paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya.
Sebagai
sebab pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, darimana segala sesuatu yang lain
yakni alam semesta berasal. Kalau setiap kejadian tidak bisa dibayangkan
terjadi, kecuali melalui yang lain maka setiap kejadian berarti membutuhkan
sebuah sebab, tetapi sebab tersebut sebagai “kejadian pada dirinya”, jika pasti
membutuhkan sebab yang lain dan seterusnya. Tetapi betapapun panjangnya
rangkaian sebab ini namun tidak terbayangkan kalau rangkaian ini bersifat
taksalsul (berlangsung tanpa akhir). Oleh karena itu, maka baik para filusuf
Yunani maupun filusuf Muslim sepakat bahwa rangkaian sebab itu harus berhenti
pada sebuah sebab yang tak bersebab (The Uncaused), yang disebut Tuhan.
2. Tuhan
sebagai wujud niscaya (Wajib Al-wujud)
Sebagai filusuf Muslim meyakini bahwa argumen ini tidak
memuaskan seperti halnya Ibnu Husna (W.1037) misalnya Tuhan yang dipersepsikan
sebagai sebab pertama atau penggerak yang tidak bergerak hanya akan menjelaskan
tentang bagaimana peristiwa alam ini terjadi, tetapi tidak secara otomatis
menyatakan bahwa Tuhan adalah sumber atau pencipta alam semesta. Oleh karena itu,
Ibni Sina berusaha keras untuk mengkonsepsikan Tuhan, yang menurutnya lebih
baik, yaitu sebagai wujud yang niscaya .
Tuhan menurut Ibnu
Sina, adalah Wajib Al -Wujud (wujud niscaya) sedangkan selainnya (alam)
dipandang sebagai Mumkin Al-wujud (wujud yang mungkin). Tetapi yang dimaksud
sebagai Wajib Al-wujud disini adalah wujud yang senantiasa ada dengan
sebenarnya, atau dalam istilah Mulyadi Kartanegara wujud yang senantiasa
aktual. Dengan
demikian, Tuhan adalah wujud yang senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan sesuatu apapun untuk mengaktualkannya. Seperti halnya yang
dikemukakan oleh ibn Al-Arabi bahwa Tuhan adalah Wujud dari segala Wujud.
6
Tidak akan ada Maujud (mahluq) kalau tidak ada
Wujud (kholiq). Begitupun sebaliknya. Oleh sebab karena adanya Wujud lah Maujud
itu ada. Tuhan adalah Wujud satu-satu-Nya. Jika pun ada, itu bergantung pada
Wujud itu. Segala sesuatu yang maujud adalah wujud (ada) tetapi bukan wujud.
Antara Wujud dan Maujud ini tidak bisa di pisahkan satu sama lain-Nya.
Dalam penciptaan
materi pertama, Tuhan menciptakan segalasesuatu berpasang-pasangan-sebenarnya,
wujud pertama diciptakan tanpa didahului oleh sebuah sebab, namun sebab lain
haruslah dianggap sebagai pemikiran yang datang lebih awal. Ibn ‘Arabi
mecontohkan dengan pemikiran kenyang datang sebelum makan, pemikiran pemuasan
dahaga datang sebelum minum, keinginan melakukan berbuat baik datang sebelum berbuat,pemikiran
atas pahala datang sebelum melakukan perbuatan baik, rasa takut terhadap
azabnya datang sebelum berbuat dosa, dan seterusnya.
Hal ini tentunya
berbeda dengan alam yang dikategorikan sebagai Mumkin Al-wujud artinya wujud
potensia sehingga memiliki kemungkinan untuk ada atau aktual, tetapi belum lagi
aktual. Sebagai Mumkin Al-wujud alam membedakan dirinya dengan Wajib Al-wujud,
disatu pihak dan Mumtani Al-wujud yang mustahil ada atau aktual, karena tidak
memiliki potensi apapun untuk mengada di pihak lain. Alam
sebagai Mumkin Al-wujud memiliki potensi untuk ada dan berbeda dengan Mumtani
Al-wujud yang tidak memiliki potensi untuk ada. Namun alam sebagai potensi, ia
tidak bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak
memiliki prinsip aktualitas untuk mengaktualkan potensinya.
3. Tuhan sebagai cahaya
Pendapat ini dikemukakan oleh tokoh Suhrawardi dengan
istilahnya Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya (Nur Al-anwar). Sebenarnya
Suhrawardi yang mengkonsepsikan Tuhan sebagai cahaya sebab Al Ghazali
sebelumnya juga telah menulis sebuah kitab yang berjudul Misykat Al-anwar.
Dalam kitab ini ia juga mengkonsepsikan Tuhan sebagai cahaya meskipun demikian
Suhrawardi adalah filusuf Muslim yang mengambil simbol cahaya secara serius
dengan konsekuensi logisnya dan ia dijadikan dasar konsep filsafatnya yang
dikenal Hikmah.
7
Al-isyraq
atau filsafat iluminasi menurutnya apapun yang ada di alam semesta terdiri atau
terbagi cahaya dengan cahaya illahi yang menjadi sumber sejatinya. Kalau Tuhan
dipandang sebagai cahaya maka apakah cahaya itu, dan bagaimana “cahaya” itu
dapat “menciptakan” alam semesta? Sifat cahaya adalah terang pada dirinya dan
bisa membuat terang pada yang lain. Oleh karena itu cahaya menurut Suhrawardi
tidak perlu didefinisikan karena definis dibuat untuk menerangkan.
Oleh karena itu, cahaya tidak perlu
didefinisikan. Yang lain perlu didenfinisikan karena belum terang bahkan gelap sehingga
perlu cahaya untuk membuat terang. Suhrawardi menggambarkan bagaimana Tuhan
sebagai cahaya yang menciptakan alam semesta? Alam ibarat ruang yang sama sekali
gelap tetapi tidak kosong melainkan terdapat banyak hal yang secara potensial
bisa nampak tetapi karena gelapnya, maka benda-benda atau entitas-entitas
potensial ini masih tersembunyi dari penampakannya.
Nah ketika Tuhan sebagai cahaya menyinari
ruang yang gelap itu, maka satu per satu benda-benda yang tersembunyi menyembul
dari kegelapan. Demikian juga alam semesta beserta isinya tidak akan muncul ke
permukaan (diciptakan) kecuali setelah tersentuh oleh cahaya dari segala cahaya
yaitu Tuhan.
4. Tuhan sebagai wujud murni
Filusuf yang mengkonsepsikan Tuhan sebagai wujud murni
adalah Mulla Shadra. Dikatakan wujud murni karena berbeda dengan wujud-wujud
lainnya yang selalu bercampur dengan esensi (Mahhiyah), Tuhan tidak memiliki
apapun kecuali wujud. Ia tidak bercampur dengan Mahhiyah (esensi)
Tuhan adalah wujud murni, tanpa esensi. Tuhan, memang diakui Mulla Shadra
memiliki sifat tetapi sifat-sifat itu tiadk dikonsepsikan sebagai sesuatu yang
berada di luar atau ditambahkan kepada dirinya melainkan identik dengan zatnya.
Kalau Tuhan memiliki esensi maka akan terjadi bukan hanya
tarkid (komposisi) pada diri Tuhan, yang tak mungkin terjadi, tetapi juga
ketergantungan Tuhan pada esensinya. Kalau itu yang terjadi maka Ia akan
menjadi Mumkin Al-wujud bukan Wajib Al-wujud demikian juga
8
kalau sifat Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang
ditambahkan dari luar kepada esensinya maka akan terjadi tarkid yang mengancam
keesaan-Nya. Tuhan, sebagai wujud, haruslah esa. Kalau Tuhan dikonsepsikan
sebagai ”yang tertinggi derajatnyadi antara wujud-wujud yang lain yang tidak
ada apa pun selainnya, yang melampaui ketinggiannya, maka wujud seperti itu
haruslah hanya satu, maka pasti tidak akan ada yang tertinggi, tapi itu
mustahil. Dan diantara yang keduanya harus ada yang paling tinggi. Kalau kalau
di atas tuhan, masih terbayang ada yang lebih tinggi, maka yang lebih tinggi
itulah Tuhan. Hal ini yang disebut dengan istilah dalil
ontologis. Adapun modus pembuktian adanya Tuhan oleh mulla shadra disebut dalil
al-shiddiqin. Argumen (dalil) ini menyatakan bahwa Tuhan sebagai wujud murni,
tidak perlu dibuktikan, karena telah terbukti sendiri (self-evident) atau dalam
istilahnya sendiri “badihi” .
b. Alam
b. Alam
Ada beberapa persoalan filosofis yang sangat penting
dalam ajaran filsafat islam yang berkaitan dengan alam diantaranya, apakah alam
diciptakan melalui kehendak Tuhan atau sebuah keniscayaan logis?, apakah alam
abadi atau diciptakan dalam waktu?, apakah alam diatur oleh Tuhan atau melalui
sebab sekunder?, adakah evolusi kreatif pada alam? dan sebagainya.
1. Apakah alam diciptakan melalui kehendak
Tuhan atau sebuah keniscayaan logis?
Ini
adalah pertanyaan penting tentang penciptaan yang diperdebatkan oleh berbagai
kalangan filusuf islam termasuk para teolog. Dalam pembahasan yang lalu Tuhan
diumpamakan sebagai cahaya atau lebih jelasnya diibaratkan seperti matahari,
dan alam sebagai pencaran atau cahayanya, pertanyaannya adalah apakah
memancarnya cahaya matahari berdasarkan kehendak bebas matahari, atau merupakan
sebuah keniscayaan? Hal ini sangat berhubungan dengan teori Imanasi yang
dikemukakan oleh para filosof Peripatetik, khususnya Al Farabi dan Ibnu Sina
percaya bahwa Tuhan hanya patut memikirkan sesuatu yang paling mulia, yakni
dirinya sendiri saja dan tidak pantas memikirkan yang lainnya. Dengan demikian
jelas bagi para filusuf di atas alam merupakan pancaran dari kegiatan berfikir
Tuhan, tercipta (dalam arti memancar dari Tuhan), tidak melalui kehendakNya,
melainkan sebuah keniscayaan logis.
9
Kapan
saja ada kegiatan berfikir maka niscaya ada sesuatu yang terpancar dariNya,
disengaja atau tidak disengaja .
1.
Apakah alam itu abadi atau diciptakan dalam
waktu?
Permasalahan
ini sangat diperdebatkan di antara kaum filusuf dan teolog, para filusuf
dikenal sebagai pemikir muslim yang berpandangan bahwa alam itu abadi. Dalam
sejarah Filsafat Islam Al Ghazali dengan sangat keras mengecam pandangan para
filusuf tentang keabadian alam ini. Bahkan dia mengkafirkan para filusuf. Al
Ghazali meyetakan bahwa statement para filusuf bertentangan dengan keterangan
Al-Qur’an yang mengatakan “Segala sesuatu yang ada di alam semesta akan musnah
(fana) kecuali Allah”, menurut Al Ghazali pandangan para filusuf tersebut tidak
logis karena kalau alam itu abadi dan Tuhan abadi maka bagaimana menentukan
siapa yang pencipta.
Kalau kita
mengatakan Tuhan itu abadi, sedangkan alam itu baru atau diciptakan maka kita
akan mudah menunjukkan secara logis bahwa Tuhan adalah pencipta alam. Tetapi
kalau kita mengatakan alam itu abadi, artinya telah ada sejak dulu bersama-sama
Tuhan, maka tentu kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam, karena betapapun pencipta harus mendahului ciptaannya . Kritik
di atas para filusuf khususnya Ibnu Rusyd mencoba memberikan penjelasan yang
logis.
Kalau kita kembali
pada teori Emanasi dan Tuhan diibaratkan sebagai matahari sebagaimana contoh
Tuhan (sebagai matahari) dan alam (cahayanya), maka tentu cahaya matahari akan
ada bersamaan dengan matahari itu sendiri karena begitu ada matahari niscaya
ada cahayanya. Tetapi bukankah masih dalam batas kemungkinan bahwa sekalipun
sinar matahari ada bersamaan dengan adanya matahari, tetapi tetap saja matahari
disebut sebagai sebab bagi sinar yang dipancarkannya .
3. Apakah alam diatur langsung oleh Tuhan atau melalui sebab sekunder?
3. Apakah alam diatur langsung oleh Tuhan atau melalui sebab sekunder?
Hal ini
berkaitan dengan permasalahan teolog yaitu apakah alam sebagai ciptaan Tuhan
yang diatur secara langsung atau melalui perantara? Para teolog Al Asyariyyah
sebagai bentuk protes
10
kepada Mu’tazillah, mengatakan bahwa Tuhan adalah sebab
langsung bagi apapun yang ada di alam semesta ini dan untuk menguatkan
pendirian mereka dengan mengemukakan teori atom yang menurut hemat Majib Fachri
dipinjam dari pemikir India.
Menurut
teori ini alam terdiri dari atom-atom. Tetapi atom-atom tersebut hanya bertahan
satu sampai dua saat lalu musnah. Nah, untuk mempertahankan keberadaan alam ini
maka Tuhan harus menciptakan atom-atom sejenis setiap ada atom yang lama musnah
berarti Tuhan dipandang oleh mereka sebagai yang mencipta setiap saat. Dari
pandangan di atas dapat dikatakan Tuhan adalah sebab langsung bagi semua
peristiwa yang ada di alam semesta tapi disisi yang lain Tuhanpun kadang
menggunakan perantara seperti malaikat untuk menyempaikan wahyu kepada nabi dan
sebagainya.
Kalau kembali
keajaran Peripatetik khususnya Ibnu Sina tentang akal aktif (Al-Aql Al Fa’al)
sebagai pemberi bentuk (Wahib Al shuar), maka di sana jelas betapa sebab
langsung pembentukan alam di bawah bulan bukanlah Tuhan sendiri, tetapi akal
aktif sedangkan istilah sunatullah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai
sesuatu yang tidak akan berubah .
3.Apakah
alam berkembang secara evolutif
Kita
pada umumnya berfikir bahwa alam diciptakan sekali, dan apapun yang terjadi di
alam raya telah ditentukan secara fixed-deterministic sebelumnya pandangan pre
deterministic ini dalam sejarah pemikiran Islam antara lain dikemukakan oleh
para teolog-teolog rasionalis antara lain teolog Mu’tajillah khususnya Anazham
dalam apa yang disebut sebagai teori Latensi (khumun).
Menurut pandangan ini, penciptaan terjadi
sekali dan untuk selamanya tetapi tidak semua yang telah diciptakan tersebut
teraktualisasi secara sekaligus.
Tetapi kita juga
melihat beberapa pemikir khususnya para sufi dan filusuf yang berfikir bahwa
alam berkembang secara evolutif kreatif, dan karena itu mereka percaya bahwa
penciptaan itu terjadi secara terus-menerus dalam sejarah pemikiran Islam teori
ini telah
11
dikemukakan dalam tulisan
Al Jahizh, yang dalam kitabnya Al Hawayan memperhatikan betapa burung-burung
yang telah bermigrasi mengalami perubahan-perubahan yang sangat gradual. Namun
Ibnu Maskawenah lah yang sangat serius dalam pemikiran ini seperti yang
dikatakan Iqbal dalam bukunya The Development of Metafisical in Thought in
Persia khususnya dalam kitabnya Al Fauz Al Ashghar memperlihatkan evolusi pada
alam misalnya dikatakan bahwa alam tumbuh mengalami perkembangan yang semakin
sempurna, dan tercapai puncaknya pada pohon kurma yang telah bisa membuahi
dirinya sendiri karena sifatnya yang biseksual.
Pandangan
penciptaan evolutif kreatif lebih jelas lagi dalam karya-karya Jalal Al Din
Rumi, khususnya Al Matsnawi, yang menjelaskan dengan gamblang jalannya proses
evolusi yang dialami oleh alam hingga tercapai tingkat manusia. Manusia telah
dipandang oleh Rumi berevolusi dari dunia mineral, tumbuhan, hewan dan akhirnya
manusia. Rumi percaya bahwa evolusi akan berlangsung setelah kematian manusia.
Pandangan penciptaan kreatif evolutif juga
dikemukakan oleh Muhlasadra dalam teorinya yang terkenal dengan istilah gerakan
substansial (Al Harakah Al Jauhariyyah) . Menurut teori ini alam terus berubah,
bukan hanya pada taraf aksidental tetapi juga substansial. Mullashadra berkata
setiap perubahan pada aksiden membutuhkan juga perubahan pada tingkat substansi
.
c.
Manusia
Dalam
pembahasan manusia setidaknya ada tiga pembahasan yang sangat penting yang
sering di jelaskan dalam kajian filsafat islam ertama Manusia sebagai
mikrokosmos, kedua theomorfis, dan ketiga manusia dan kebebasannya.
1. Manusia sebagai mikrokosmos Manusia disebut
mikrokosmos karena sekalipun kecil tetapi didalamnya ia mengandung semua unsur
kosmic, dari mulai mineral, tumbuhan, hewan, bahkan unsur malaikat dan unsur
illahi (berupa ruh yang ditiup Tuhan kepada dirinya), hal ini yang membuat
mahkluk dikatakan sebagai mahkluk dua dimensi yaitu mahkluk fisik dan spiritual
.
12
2. Manusia
sebagai theomorfis Para sufi cenderung percaya bahwa manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan. Berdasarkan pada hadis qudsi yang mengatakan: kalau bukan
karena engkau niscaya tidak akan Aku ciptakan alam semesta
3. Manusia dan kebebasannya Tema ini berhubungan dengan paham Jabariyah
maupun Qadariyah. Kaum Jabariyah mengatakan apapun
yang dilakukan manusia semuanya telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan
sedangakan Qadariyah menyatakan sebaliknya bahwa manusia adalah yang menentukan
tindakan-tindakannya .
13
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan demikian Al Gozali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama
–setelah mengeritik filsafat– sangat berhasil. Dengan usahanya itu ia mampu
mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ke jenjang yang sangat tinggi, bahkan
barangkali tertinggi. Di dunia Sunni ia sangat dikagumi dan mendapat gelar “hujjat
al-Islam” karena keberhasilannya itu. Akibatnya, kini “titik tekan”
ilmu telah bergulir dari ilmu-ilmu rasional ke ilmu-ilmu agama.
Sehubungan dengan itu, ia menegaskan bahwa mempelajari
ilmu-ilmu agama adalah fardlu ain, sedangkan ilmu-ilmu
rasional, fardlu
kifayah, artinya tidak wajib bagi setiap Muslim. Tapi sayang,
keberhasilan al-Ghazali dalam mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ini harus
ditebus dengan harga mahal, yaitu sirnanya disiplin ilmu filsafat dan
cabang-cabangnya, dan kemudian dengan melemahnya tradisi keilmuan rasional yang
menyertainya.
Alam
sebagai Mumkin Al-wujud memiliki potensi untuk ada dan berbeda dengan Mumtani
Al-wujud yang tidak memiliki potensi untuk ada. Namun alam sebagai potensi, ia
tidak bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak
memiliki prinsip aktualitas untuk mengaktualkan potensinya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadi, MA Prof. Dr., Gerbang
Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Lentera Hati,2006
Hardiman, F. Budi, Melamau positivisme dan
modernisme Jakarta, Kanisius, 2003
Ibn ‘Arabi Penj. Hodri Ariev, Menata Diri
dengan Tadbir Illahi terjm dari kitab Tadbirat al-Illahiyyah fi Ishlah
al-Mamlakah al-Insaniyyah Jakarta, Serambi, 2004
Leaman, Oliver Penj. Musa Kazhim dan Arif
Mulyadi, Pengantar filsafat Islam, Bandung; Mizan; 2002
Muthahhari, Murtadha Penj. Tim Mizan, Pengantar
Pemikiran Shadra, Filsafat Hikmah, Bandung; Mizan, 2002
No comments:
Post a Comment