Poligami: antara akhlak
dan fikih
Oleh: Alireza Alathas
Poligami yang seringkali dianggap
bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh masyarakat malah dianggap
sebagai solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama.
Trend mutakhir dari
perkembangan sosial masyarakat saat ini adalah menuntut dan mempertanyakan
kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama yang semakin hari dianggap tidak
sesuai dengan masa kekinian. Kecenderungan ini tidaklah perlu ditakuti, bahkan
hal ini adalah indikasi positif sosial, bahwa masyarakat benar-benar ingin
menjalankan tatanan sosial dan tradisi berdasarkan logika dan nalar yang
jernih. Islam sebagai agama yang fleksibel yang tercermin dalam al-Quran dan
sunah, menyambut hangat reaksi sosial ini. Diantara kajian yang hangat dan
kontroversial saat ini, adalah poligami. Meskipun polemik tentang poligami
tidak bisa dikatakan sebagai hal yang baru, akan tetapi karena pembahasan ini
sensitif khususnya bagi kaum hawa sehingga topik ini selalu menarik minta
halayak.
Poligami yang seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi
oleh masyarakat malah dianggap sebagai solusi problema sosial yang mendapat
legitimasi agama. Bahkan, figur manusia suci Rasulullah Saww sendiri melakukan
norma tersebut. Jelas, konsekwensi dari segala perbuatan Rasulullah saww selalu
dianggap sebagai sunah untuk ummatnya. Memang terlalu sederhana memandang
poligami dari sisi hukum fiqih. Bahwa hukum fiqih lebih cenderung kering
apabila tidak diimbuhkan dengan nilai-nilai akhlak.
Dari satu pihak, saya sependapat dengan Faqihudin Abdul Qodir, bahwa ungkapan
"poligami itu sunnah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami,
sehingga lebih cenderung kaku dalam melihat hukum tersebut, tanpa melihat latar
belakang sunnahnya poligami Rasulullah Saww. Akan tetapi dari sisi lain,
pendapat yang mengatakan bahwa poligami sama sekali tidak benar dan
bertentangan naluri manusia, khususnya wanita adalah pikiran yang dangkal.
Allamah Thabathabai seorang filosof dan mufasir kontemporer, dalam bukunya Maqalot
secara jelas menyinggung bahwa pernyataan poligami bertentangan dengan naluri
wanita sebagai manusia adalah tidak benar, karena yang menjadi istri kedua juga
wanita yang dengan senang hati melakukannya. Seandainya bertentangan dengan
naluri wanita, maka tidak akan ada wanita yang bersedia menjadi istri kedua.
Kecenderungan para sarjana Islam yang hanya memandang dari satu sisi diantara
doktrinasi tersebut menyebabkan kesalahpahaman yang terus berlanjut. Seperti
kajian poligami yang mempunyai aspek murni kajian akhlak dan sosial, kemudian
dipaksakan sebagai wacana yang beraspek fiqih. Ayatullah Muhammad Husein
Madzohiri, guru akhlak tersohor, dan juga dikenal sebagai pakar fiqih,
menyatakan bahwa kajian poligami yang berkembang saat ini adalah murni kajian
akhlak dan sosial, bukan fiqih.
Dalam bukunya "Akhlok dar Khoneh" Ayatullah Husein Madzohiri
mengklasifikasi poligami menjadi beberapa tipe. Pertama, poligami darurat,
bahwa kondisi menuntut untuk berpoligami. Sebagai contoh, apabila istri sakit,
sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, maka suami
terpaksa berpoligami. Dan bentuk poligami inilah yang mendapatkan perhatian
khusus hadis-hadis Rasulullah saw. Contoh lain, adalah istri yang mandul dan
suami-istri menginginkan kehadiran seorang bayi, maka suami terpaksa
berpoligami. Berkenaan dengan bentuk poligami ini, Ayatullah Husein Madhohiri
menganjurkan, supaya istrinya yang mencarikan istri keduanya yang sesuai dengan
kondisi spritualnya. Kedua, poligami dengan motif birahi, bahwa suami
membayangkan istri kedua akan memberikan kenikmatan seks yang berbeda. Yang
jelas, seorang yang bertumpu kepada hawa nafsu tidak cukup beristri satu,
bahkan apabila memungkinkan akan membangun lokalisasi pribadi.
Menurut sudut pandang akhlak, bentuk poligami yang kedua ini sangat berbahaya
sekali. Karena mengikuti hawa nafsu seks akan menjebaknya di lembah marabahaya.
Bahwa hawa nafsu seks tidak mempunyai batas akhir, yakni seseorang tidak akan
pernah klimaks dan puas, sehingga orang yang terjebak didalamnya akan selalu
menkonsentrasikan pikirannya demi tujuan-tujuan tersebut. Naluri seks juga akan
mengalami krisis, yang biasa disebut dengan istilah "haus seks".
Ayatullah Husein Madzohiri secara jelas dalam bukunya "akhlok dar
khoneh" menyatakan bahwa naluri seks yang merupakan pemberian Tuhan
akan mengalami haus seks, disaat istrinya tidak dapat menjaga "iffah"
(kehormatan). Wanita yang tidak menjaga kehormatannya adalah wanita yang tidak
menjaga tatanan agama, sebagai contohnya, wanita yang tidak menjaga auratnya.
Didalam sejarah banyak contoh tipe poligami kedua ini, seperti yang telah
menjadi kebiasaan para penguasa di masa kedigjayaan rezim Bani Umayah dan rezim
Bani Abbas, yang hampir-hampir setiap dari mereka memiliki lokalisasi pribadi untuk
melampiaskan hawa nafsunya. Semua ini adalah bukti ketidakpuasan individu, yang
berangkat dari tidak terhormatnya istri disampingnya.
Ayatullah Husein Madzohiri juga menambahkan, bahwa kondisi haus seks tidak
hanya dialami oleh laki-laki saja, tapi juga wanita. Indikasi ini dapat dilihat
ketika wanita tidak menjaga auratnya, seperti memperlihatkan bagian-bagian
sensitif kepada yang bukan mahramnya. Beliau juga mengingatkan, bahwa poligami
jenis kedua ini sama sekali mengabaikan kesetiaan istri pertama, dan juga
langkah yang salah.
Dalam buku tersebut beliau membawakan cerita seorang ulama besar dari Najaf
yang mempunyai penghormatan khusus dikalangan komunitas pelajar agama, karena
akhlak yang mulia dan ketakwaannya yang tinggi. Beliau adalah almarhum Sayid
Ibrahim Ghozweini. Pada suatu hari, putri raja Fatah Ali Shah yang bernama
Dziya'u Sulthonah telah bercerai dengan suaminya di umur yang relatif masih
muda. Setelah perceraian, putri ini tidak ingin kembali ke Iran, tapi memilih hidup di kota
Karbala.
Putri ini setelah beberapa lama hidup tanpa didampingi suami, tiba-tiba
mengutus seseorang untuk menemui Sayid Ibrahim Ghozweini, dan mengatakan, "Aku
ingin sekali, tangan anda menyentuh kepalaku, oleh karenanya aku berharap anda
dapat menikahiku". Beliau menjawab, "Sampaikan salam kepada
Dziya'u Sulthonah dan katakanlah, Aku tidak sesuai dengan anda, dan juga tidak
kufu (istilah fiqih yang menjelaskan ketidaksesuaian) karena aku tua,
sedangkan anda masih muda. Anda juga anak raja, sedangkan aku seorang pelajar
agama. Dan anda juga juragan sedangkan aku miskin".
Pada hari berikutnya sampailah pesan putri yang menyatakan, "Aku bangga
menjadi istri anda. Aku bangga tangan anda berada diatas kepalaku, yang artinya
aku adalah istri anda. Masalah uang, aku tidak akan mengharap apa-apa dari
anda, bahkan aku juga bersedia membiayai kebutuhan rumah istri pertama".
Melihat kondisi ini, yang mana sang putri sepertinya tidak akan melepaskannya,
tiba-tiba Sayid Ghozweini berwudzu' (seakan beliau mencari ketenangan dengan
bersuci melalui wudzu) dan menjawab yang kedua kalinya. "Sampaikan
salam kepada Dziya'u Sulthonah dan sampaikan kepadanya, Bahwa aku mempunyai
istri yang selama 40 tahun telah menanggung kefakiranku, dan juga menerima
hidup dalam perantauan, sekaligus menanggung masa-masa susah dan setelah 40
tahun yang masih berkhidmat di rumah, melakukan tugas rumah tangga, melahirkan
anak-anak, dan melayani suami, yang keseluruhannya dilakukan dalam kondisi
berat dan pahit. Kemudian setelah itu, aku menikah dengan anda. Ini benar-benar
menyakiti kesetiaan istri saya. Oleh karena itu, aku tidak rela menikahi
anda".
Cerita ini sangat menarik sekali, sekalipun Sayid Ghozweini mempunyai idealisme
yang tinggi, tapi tetap menghiraukan masalah yang seringkali dianggap remeh.
Ternyata idealisme beliau tidak menghalangi kesetiaannya terhadap istrinya.
Beliau sangat merendah dan tidak segan-segan menyatakan bahwa istrinya telah
memberikan kontribusi besar dalam kehidupannya.
Ayatullah Madzohiri setelah membawakan cerita ini, menganjurkan lebih baik
biaya untuk berpoligami dihadiahkan kepada generasi muda yang berhalangan
menikah karena kendala ekonomi. Beliau dalam buku tersebut juga menukil hadis
Imam Musa al Kadzim As bersabda, "Seandainya aku dapat mengelola satu
keluarga saja dalam satu minggu itu lebih baik bagiku dari 40 kali
berhaji".
Bentuk ketiga, poligami kejiwaan, bahwa manusia memiliki kecenderungan yang
terkadang terpenuhi dan tidak terpenuhi. Dalam istilah ilmu psikologi disebut
kecenderungan dibawah alam sadar. Pakar psikologi menyebutkan, ketika kondisi
alam sadar berubah menjadi alam dibawah sadar, saat itu kondisi kejiwaan
muncul. Kondisi kejiwaan sangat berbahaya sekali, karena telah kehilangan
kontrol diri. Kondisi semacam ini akan muncul karena tekanan terus menerus.
Sebagai contoh, seorang istri yang kurang bisa menyambut suaminya ketika masuk
rumah, yang mustinya harus menyambut dengan hangat, tapi malah menampakkan muka
masam. Hari berikutnya, mengangkat suara tinggi dihadapan suaminya, sambil
memerintah untuk membawa anak-anaknya yang terus mengganggu. Dan hari ketiga,
meminta baju mahal yang suami tidak dapat membelinya. Semakin hari
terus-menerus mendapat tekanan, sehingga suami merasa terbebani, akhirnya
berfikir untuk berpoligami dengan harapan istri kedua akan memberikan
ketentraman. Dan suami juga tetap akan melakukan hal yang sama, ketika
mendapatkan kondisi yang sama pada istri kedua, yang akhirnya, suami akan
mengambil istri yang ketiga.
Ayatullah Madzohiri dalam menerangkan poligami tipe ketiga ini, beliau
menyalahkan pihak istri yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik, dan
juga tidak menjalankan sesuai dengan tuntunan agama.
Dalam memberikan gambaran dari pernikahan poligami jenis ketiga Beliau menukil
sebuah cerita suami istri tauladan yang terjadi di zaman Rasulullah Saww.
Seorang wanita Anshor (penduduk Madinah) yang bernama Ummu Salim yang mempunyai
suami seorang pekerja. Keduanya adalah murid setia Rasulullah Saww yang
masing-masing menjalankan tugas kekeluargaannya sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Saww. Mereka hanya mempunyai satu anak yang berumur dua tahun yang
sangat disayangi.
Pada suatu saat, anak tersebut mengalami sakit berat dan akhirnya meninggal
dunia. Istri tidak dapat menahan isak tangis, kemudian sadar bahwa suaminya
akan datang dari kerja. Istri tidak ingin suaminya mengalami kegoncangan
setelah bekerja seharian. Istri kemudian menyembunyikan anaknya, dan berusaha
keras untuk tabah dan menghilangkan kesan sedih, sehingga ketika suami datang
tidak akan curiga dengan apa yang sedang terjadi. Suamipun datang, dan disambut
dengan hangat, senyum dan melayani suaminya dengan baik, seperti hari-hari
biasa. Suami menanyakan kondisi anak, spontan istri menjawab: "Anak
dalam kondisi sehat wal afiat". Istripun tidak berbohong, karena anak
tersebut telah pergi ke surga dan telah mendapatkan ketenangan sepenuhnya.
Setelah melayani suaminya dengan baik dan dan juga nampak wajah letihnya telah
hilang, kemudian sang istri bertanya kepada suaminya, "Apabila
seseorang menitipkan amanat kepada kita, kemudian setelah beberapa lama amanat
tersebut diminta kembali, apakah kita berhak gusar dengan mengembalikan amanat
tersebut kepada pemilik aslinya?" Suami spontan menjawab, "Tidak
selayaknya demikian, karena berkhianat dengan amanat adalah dosa besar, maka
kita harus mengembalikan amanat tersebut".
Kemudian istri melanjutkan pembicaraannya, "Kalau memang demikian,
beberapa tahun yang lalu, Allah swt telah memberikan amanat kepada kita. Dan
amanat tersebut telah kembali kepada pemilik aslinya, bahwa sebenarnya anak
kami telah meninggal dunia". Suami mendengar berita ini, malah
mengucapkan puji syukur kepada Allah swt. Memang, sewajarnya suami
mensyukurinya, karena telah mendapatkan istri yang punya pengertian tinggi
dalam kondisi yang gawat.
Setelah menimbang latar belakang poligami yang terbagi menjadi tiga tipe
diatas, maka saatnya untuk mempertanyakan latar belakang poligami Rasulullah
saww. Kenapa Rasulullah merasa cukup dengan Sayyidah Khodijah binti Khuwailid?
Jawabannya sangat jelas, karena Rasulullah saww merasa tidak perlu berpoligami
dengan kehadiran Sayyidah Khodijah yang sangat mewakili dalam segala aspek.
Maka tidak heran, apabila Rasulullah saww sering memuji-muji beliau dihadapan
istri yang lain. Sehingga terkadang pujian Rasulullah saww kepada beliau
menimbulkan kecemburuan bagi istri-istri yang tidak sadar dengan kebesaran
Sayyidah Khodijah. Kemudian dari sisi lain, dapat ditambahkan, bahwa kenapa
Rasulullah saww sepeninggal Sayyidah Khodijah baru berpoligami? Apakah istri yang
ada tidak dapat mendampinginya dengan baik?
Untuk menelaah pertanyaan berikut ini, terlebih dahulu harus melihat latar
belakang historis di masa itu. Bahwa sejarah membuktikan kepedulian lebih
Rasullullah saww kepada anak-anak yatim dan keluarga syuhada peperangan
mendorong Rasulullah saww untuk berpoligami, sehingga dapat memberikan
perhatian lebih kepada mereka. Mungkin sebagian orang akan bertanya, "Kenapa
solusinya harus menikahi ibu anak-anak yatim tersebut? Bahwa kondisi saat
itu menuntut Rasulullah harus menikahinya, karena tanpanya tidak akan
terealisasi sikap perhatian beliau saww.
Kondisi pada saat itu, dapat dilihat dengan rumah dan ruangan yang terbatas
para keluarga syuhada'. Ini dapat dijadikan alasan poligami Rasulullah Saww,
karena berada dalam satu ruangan dengan wanita yang bukan mahramnya adalah
perbuatan yang tercela, yang mana tidak sesuai dengan kapasitas sebagai
Rasulullah saww. Insyaallah, analisa pendek ini dapat dijadikan sebagai bentuk
pertimbangan analisa sejarah, sebelum kita terjebak pada sikap yang lebih
berani dalam memandang figur suci Rasulullah saww.
Satu hal lagi yang mendapatkan perhatian lebih akhir-akhir ini dalam kajian
poligami, adalah hadis kontroversial Rasulullah syang tidak setuju dengan sikap
menantunya yang akan menikahi wanita lain. Pada suatu saat, Nabi saww marah
besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saww, akan
dipoligami Ali bin Abi Thalib as. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun
langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru, "Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan
putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib".
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan.
Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku,
kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku,
apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku, apa yang menyakiti hatinya
adalah menyakiti hatiku." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor
hadis: 9026).
Pakar sejarah Hasyim Ma'ruf al-Husaini dalam kitabnya Sirotul A'immah Istna
Asyar secara jelas dan tegas menolak hadis tersebut, dengan menyatakan
bahwa hadis ini diriwayatkan dengan riwayat-riwayat yang mursalah, bahwa
kevalidan hadis tersebut diragukan. Terlebih para perawi (yang meriwayatkan
hadis) juga menyebutkan bahwa wanita yang akan dikawini oleh Imam Ali As adalah
Juwairiyah binti Abi Jahal Ammar bin Hisyam al-Makhzumi.
Keraguan hadis ini dapat dilihat dari riwayat yang mengatakan bahwa kejadian
ini terjadi sebelum kelahiran Hasan as, putra pertama Sayyidah Fathimah
az-Zahra as, berarti sekitar tahun ketiga sebelum hijrah. Sedangkan tahun itu
adalah tahun-tahun dimana Rasulullah saww ditekan oleh kelompok Quraisy. Dan
Abu jahal adalah tokoh mereka yang sangat getol menyingkirkan Rasulullah saww,
dan juga termasuk orang-orang yang mengumpulkan para kabilah dan membagi kerja
setiap dari mereka untuk membunuh Nabi saww di malam hijrahnya, sehingga setiap
kabilah yang ada mempunyai saham dalam membunuh Nabi saww.
Para pakar sejarah juga sepakat bahwa Abu Jahal mati di peperangan badar,
kemudian keluarganya tetap bertahan dalam kondisi musyrik hingga fathu
Makkah (pembebasan kota Makkah ) pada tahun kedelapan setelah hijrah.
Dengan kondisi politik pada saat itu, bagaimana mungkin Abu Jahal datang kepada
Rasulullah saww meminta izin untuk menikahkan putrinya kepada Imam Ali as.
Apalagi diceritakan dalam hadis tersebut, Rasulullah datang ke masjid dan naik
mimbar. Sedangkan masjid pertama kali berdiri di Madinah, dan tahun ketiga
sebelum hijrah tidak ada masjid untuk kaum muslimin, terlebih pada waktu itu
adalah dakwah pertama Rasulullah saww.
Sangat jelas sekali keganjalan hadis ini. Oleh karena itu, hadis ini tidak
dapat dijadikan sebagai dalil ketidaklegalan poligami dan sikap Nabi saww yang
anti poligami. Poligami tetap sebagai solusi sosial dan mendapat legitimasi
dari syariat. Tapi tidak berarti bahwa semua bentuk poligami itu sunnah dan
mendapat dukungan penuh dari agama. Tapi dalam kondisi tertentu, poligami juga
dapat dikatakan sebagai sunnahnya. Sunnah dan tidaknya poligami, tergantung
pada bentuk poligami dan motif berpoligami.[]
No comments:
Post a Comment