TAHAMMUL DAN ADA’HADITS
1.
Kelayakan
Tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar
yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf.
Sedang sebagian mereka tidak memper bolehkannya. Yang benar adalah pendapat
mayoritas ulama itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka
menerima wirayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husan,
Abdullah ibn Az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id
Al-Khudriy, Mahmud ibn Ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara wirayat
yang mereka terima sebulum dan sesudah baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendenagar hadits yang
dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat dengan batas usianya. Karena hal
itu tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil itu. Dan tamjiz ini jelas
berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan
keterangan bersamaan dengan pendapat mereka, dan kita bisa meringkas penjelasan
itu kedalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan
oleh pendapat ini adalah wirayat Imam Bukhari dalam sahihnya dari hadits
Muhammad ibn Ar- Rabi’ ra. Katanya : “Aku masih ingat firman Nabi SAW. Dari
timbah kemukaku, dan (ketika itu) berusiah lima tahun”.
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun Al- Hammal, yaitu bahwa
kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah
mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau
maksudkan adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan
disekitar.
Ketiga, keabsahan setiap anak kecil dalam mendengar hadits
didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak terlah memahami pembicaraan dan mampu
memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan absah pendengarannya, meskipun
usianya masih di bawah lima tahun. Namun
bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka
kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meskipun usianya di atas lima
tahun.
2.
Kelayakan
Ada’
a.
Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan Ijma’
Ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta atau tidak. Dan
sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti
membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak
Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah Azza Wa Jalla juga memerintahkan
kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh fisik, melalui Firman-Nya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujurat
6).
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka
terhadap berita yang di bawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.
Baligh
Ini
merupakan pusat taklit, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia talif
tidak bisa diterima, sebagaimana firman Allh SWT:
رَفِعَ
القَلْبُ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنْ المَجْنُوْنِ المَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتىَ
يَبْرَأَ, وَعَنْ النَّائِمِ
حَتىَّ
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَبِيِّ حَتىَّ يَحْتلَِمَ
Terangkat
pena dari tiga orang : dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur
sampai terbangun dari anak kecil sampai mimpi basah.
Usia baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap
pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat. Kerena itu keberadaan takif
dikaitkan dengannya. Yang jelas, yang diaksud baligh disini adalah adanya akal
sehat disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi basah. Oleh kerena
adanya sebagai ulama’ muta’akhkhirin yang mensyaratkan baigh dan berakal sehat.
Sedangkan ulama mutaqaddimin mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal.
Kerena umumnya tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal
sehat.
c.
Sifat
adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong
pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri, sehingga jiwa
kita akan percaya akan kejujurannya. Menjahui dosa besar termasuk
didalamnya.juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji,
mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai
mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan,
berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan daam berkelakar.
d.
Dhabt
Yaitu
kerjagaan seseorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika
mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada
orang alain. Dhabt mencakup hapalan dan tulisan, maksudnya seorang perawi harus
benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan mamahami tulisannya
dariadanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari
tulisannya.
Metode- Metode
Tahamul dan ada’ Hadist
Mula-mula
saya membahas metode-metode tahamul, baru kemudian metode-metode ada’ hadist.
a.
Metode-metode
tahammul hadits ada delapan (طريقة التحمل)
a.
As-sima’
(mendengarkan) yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majelis itu untuk imla’ atau untuk
yang lain. Menurut mayoritas ulama’ metode ini berada di peringkat tertinggi.
Ada juga yang berpendapat bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan
menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk
membacakan hadits, sedangkan sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya
lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran, sebab biasanya
ada penerimaan setelah Imla. Dan mendengar adalah cara yang mula-mula ditempuh
oleh periwayat.
b.
Al-Qira’ah
Ala asy-Syeikh (membaca dihadapan guru). Sebagai besar ulama hadits menyebutnya
Al- Aradh (penyodoran). Ada yang menyebut Ardh al-Qira’ah (penyodoran bacaan)
kerena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia
menyodorkan bacaan Al-qur’an kepada gurunya, yang dimaksud adalah seorang
membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya maupun dari kitabnya yang
telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan
hafalan maupun dengan dari kitab asalnya ataupun naskah yang digunakan untuk
mengecek dan meneliti, kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya, tetapi orang
yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang
masing-msing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mengengar
dari orang yang membaca di hadapan guru.
c.
Al-Ijazah
(sertifikasi atau rekomondasi). Di dalam kedua metode yang telah saya se pemberian kewenangan seorang guru untuk
meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau
beberapa orang yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang
telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang diijazahkan. Oleh
kerena itu, ada ulama’ yang memperbolehkannya dan ada yang tidak. Contoh metode ijazah ini adalah seorang ahli
hadits berkata kepada sebagian muridnya: aku ijazahkan (aku perbolehkan) kamu
meriwayatkan kitab al-buyu’ dari shahih al-Bukhori dari ku. Saya telah
mendengar dari seseorang. Atau: saya perbolehkan kamu meriwayatkan shahih
muslim dari ku. Saya telah mendengar dari seseorang, tanpa membaca sedikitpun
atau membaca sebagiannya, dan ijazahkan selebihnya. butkan, seorang murid
atau guru membunyikan hadits-hadits yang bersangkutan, baik secara langsung
maupun tidak. Sedangkan ijazah ini merupakan jenis metode tahammul yang baru
dan berbeda sama sekali. Namun masih tetap dalam batas
Kata Al-Ijazah secara etimologis diambil dari kata:
جِوَارُ المَاءِ الَّذِى سَقَاهُ الماَلَ مِنَ
الماَشِيَّةِ وَالحَرْثِ
Mengalirkan air yang digunakan untuk menyiram kekayaan berupa
binatang ternak atau persawahan. Dikatakan :
إِسْتَجَزْتُ فُلاَناً فَأُجازِنِى
Berarti ia menyiram air ke tanaman atau kepada ternakmu. Demikian
pula, seorang murid, meminta kepada guru diperbolehkan meriwayatkan ilmunya,
sang guru pun berkenaan memberikan izin untuk itu.
d.
Al-munawalah
maksudnya seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau
sebuah kitan kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Misalnya,
seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata: inilah
haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang ku dengar, tanpa mengatakan:
riwayatkanlah Ia dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya
dariku). Sebagian ulama’ memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang
lain tidak memperbolehkannya.
a.
Al-Mukatabah
( المكاتبة )
Yaitu seseorang
guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya
sebagian hadistnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang
berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama
orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian :
Pertama,
disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadist untuk sang murid
seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setarap dengan munawalah yang
disertai dengan ijazah dalam kesahihan dan kekuatan.
Kedua, tanpa
disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama’ yang melarang meriwayatkan
dirinya. Namun Pendapat yang Shahih memperbolehkannya. Dan pendapat terakhir
ini dipilih oleh mayoritas ulama muttaqadimin dan muta’akhirin.
b.
I’lam
asy-Syeikh ( اعلا الشيخ )
Maksudnya
seorang Syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadist tertentu atau kitab
tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya
atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa
menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan
darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama’
memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu
sudah mengandung pengertian pemberiaan ijin atau ijazah dari guru kepada murid
untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan
kepercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak
didengarnya.
Dan
pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhannya untuk menerima dan
meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama’
muttaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama’ muta’akhhirin.
c.
Al-Washiyyah
(الوصية )
Yaitu seorang
guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab
riwayatnya diberikan kepada seorang untuk meriwayatkan darinya. Bentuk ini
merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhirin menghitungnya
dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama’ salaf
tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah
riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jiriy (-104 H) mewariskan
kitab-kitabnya untuk Ayyub yang berjumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayyub
juga memberikan upah pengangkutannya sebesar sepuluh dirham lebih.
Sebagian mereka
yang memperbolehkan periwayatan tahammul
dengan metode wasiat memberikan alasan, bahwa memberikan kitab-kitab kepada
yang diwasiati mengandung satu jenis Ijin dan Hampir sama dengan ‘Ardh dan munawalah,
bahkan dekat dengan jenis I’lam.
Metode ini
merupakan metode tahammul yang paling lemah. Yang diberi wasiat tidak
diperbolehkan meriwayatkan dari yang mewasiatkan, menurut mayoritas ulama’.
Yang memperbolehkan masyarakat agar yang diberi wasiat ketika menyampaikan
riwayat menyertakan secara utuh ungkapan yang dikemukakan oleh yang
mewasiatkan. Ia juga harus menunjukkan ungkapan seperti itu ketika meriwayatkan
dari yang mewasiatkan. Ia tidak boleh menggunakan ungkapan : telah mwriwayatkan
kepada si Fulan begini. Karena mewasiatkan memang tidak meriwayatkan kepadanya.
d.
Al-Wijadah/Penemuan
( الوجا د ة )
Kata al-wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjungsi dari kata
wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama’ hadist menggunakannya dengan
pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses
mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses Munawalah. Misalnya, seseorang
menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik
tulisannya itu. Baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang
yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya
kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu,
maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan,
bukan dalam bentuk mendengar.
Periwayatan Hadist Secara Makna
Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddistboleh
meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa arab
dengan segala seluk beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadist
serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya.
Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan
pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran
hukum-hukum yang terkandung didalamnya.
Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang
bisa merubah makna, maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadist dengan
makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikan riwayat dengan
lafadz seperti yang didengarnya. Dalam hal ini, imam asy-Syafi’iy mengatakan :
orang yang meriwayatkan harus kukuh agamanya, mengetahui dengan benar
hadistnya, memahami apa yang diriwayatkan dan mengerti betul kata-kata yang
bisa merubah makna. Disamping itu, ia juga harus menyampaikan hadist dengan huruf-hurufnya.
Seperti yang didengarnya, tidak meriwayatkannya dengan makna. Karena bila
demikian, yakni bila ia tidak mengerti kata-kata yang dapat merubah makna, maka
ia tidak mengerti barangkali ia telah merubah yang halal menjadi haram. Dan
bila ia menyampaikan hadist-hadist dengan lafadz. Maka tidak ada kesempatan
terjadinya perubahan pengertian hadist yang bersangkutan. Ia juga harus hafal
betul tulisannya bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
Ilmu Hadist
Tarikh Ar-Ruwat ( علم تاريخ الرواة )
Ilmu Rijal al-Hadist merupakan jenis ilmu hadist yang sangat
penting. Karena ilmu Hadist mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal
(tokoh-tokoh) yang membentuk sanad merupakan para perawinya. Mereka yang
menjadi objek ilmu rijal al-hadist, yang membentuk satu diantaranya-ulama
memberikan perhatian yang sangat besar terhadapnya.
Ilmu Rijal al-Hadist terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu Ilmu
Tarikh ar-Ruwat dan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil.
Masing-masing akan saya bicarakan dalam sub-bab tersendiri. Pertama,
saya akan membicarakan Ilmu Tarikh ar-Ruwat. Dan selanjutnya saya akan
membicarakan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil
Yang dimaksud Ilmu Tarikh ar-Ruwat adalah :
العِلْمُ
الَّذِى يَعَرِفُ بِرُوَاةِ الحَدِيْثِ مِنَ النَّاحِيَةِ الّتِى تَتَعَلَّقُ بِرِوَايَتِهِمْ
لِلْحَدِيْثِ
“Ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadist dari aspek yang
berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadist tersebut.”
Al- Jahr Antar
Sesama
Yang patut disebut pula disini, adalah bahwa ulama’, karena
kewiraian dan ketakwaan mereka, sangat berhati-hati dalam mendahulukan jahr
atas ta’dil yang terjadi antar sesama ulama’ semasa, yang muncul karena
pertentangan atau perbedaan aliran. Ulama sependapat untuk tidak menerima
kritik sebagian ulama kepada sebagian lain yang semasa (antar kawan).
Perawi yang
Tidak dikenal (al-Mahjul) menurut Ahli Hadist
Minimal untuk menghilangkan “Jahalal” ( tidak dikenal seorang
perawi) menurut Muhadditsin adalah adanya dua orang yang meriwayatkan dari
perawi yang bersangkutan, atau bahkan lebih. Dengan hal seperti ini, hilanglah
sebutan “jahalah” terhadapnya. Hanya saja, sifat adilnya bisa ditetapkan
melalui “tazkiyah”, menurut mayoritas Muhadditsin. Sementara ad-Daruquthniy
mengatakan :
مَنْ رَوَى
عَنهُ ثِقَاتاَنِ فَقَدْ ارْتَفَعَتْ جَهَالَتُهُ وَثَبَتَتْ عَدَالَتُهُ
Orang yang diriwayatkan darinya oleh dua orang tsiqat, maka
hilanglah “jahalah”-Nya dan tetaplah sifat adilnya.
Sedangkan menurut Ibn Abdil Barr, Setiap orang yang populer dalam
bidang selain hadist, seperti kezuhudan, atau propesi tertentu atau yang
sejenis, maka ia tidak “Majhul”.
Perawi yang
Mastur (Tidak Diketahui Hal-Ihwalnya)
Perawi yang Mastur atau mastur al-hal ialah perawi yang darinya dua
orang atau lebih meriwayatkan hadistnya, sehingga hilanglah “jahalah”-nya.
Secara lahiriah, ia berstatus adil. Akan tetapi tak seorangpu imam pun yang
menilainya tsiqat ataupun mentajrihnya. Sejumlah ulama menerima riwayat-nya
perawi “mastur” atau yang mungkin mastur tidak bisa dinilai secara tegas
diterima atau ditoolak riwayatnya, tetapi harus ditangguhkan sampai keadaan
menjadi jelas. Ini merupakan pendapat Ibn Hajar dan merupakan pendapat yang
baik.
Apakah periwayatan Seorang Perawi Tsiqat dari Orang lain merupakan
Penta’dilan Terhadap Orang lain itu?
Ada silang pendapat dikalangan ulama mengenai periwayatan seorang
perawi adil dari seorang Syeikh. Apakah periwayatan itu merupakan penta’dilan
terhadap Syeikh tersebut? Ada tiga Pendapat :
Pertama, periwayatan itu tidak (sekaligus) merupakan penta’dilan
karena perawi yang adil kadang-kadang juga meriwayatkan dari perawi lain yang tidak adil. Ini merupakan pendapat
mayoritas ahli hadist.
Kedua, periwayatan itu merupakan penta’dilan . sebab perawi adil,
seandainya mengetahui lebih jauh pada diri orang yang diambil hadistnya, tentu
akan menjelaskannya.
Ketiga, bila kebiasaan perawi adil itu meriwayatkan hadist dari
perawi yang tsiqat saja, maka periwayatannya dari yang lain merupakan
penta’dilan . bila tidak, maka tidak merupakan penta’dilan. Inilah pendapat
yang terpilih menurut ulama’ ushul dan sebagian imam hadist.
Periwayatan
Dari Perawi “Mubham”(yang tidak disebut Namanya)
Bila seorang perawi adil meriwayatkan dari seorang perawi lain
tanpa menyebut namanya, maka periwayatannya itu tidak merupakan penta’dilan.
Namun bila perawi adil menyertakan penilaian adil, misalnya dengan mengatakan :
“Telah meriwayatkan kepadaku orang yang saya Ridhai”, maka terdapat dua
pendapat dikalangan ulama :
Pertama, Penilaian tsiqat seperti itu belum cukup, tanpa penyebutan
nama. Karena bisa jadi, perawi yang bersangkutan tsiqat menurutnya. Tetapi tidak
tsiqat menurut yang lain seandainya ia menyebut nama perawi itu. Bisa jadi
pula, ia termasuk orang yang sendiri dalam menilai tsiqat, sementara yang lain
memberikan jauh terhadap perawi yang bersangkutan. Sehingga penyebutan nama
secara jelas akan menghilangkan keraguan dan praduga semacam itu.
Kedua, penta’dilan diterima secara mutlak, sama halnya ketika ia
menyebut nama perawi yang bersangkutan secara tegas. Karena perawi adil bisa
dipercaya dalam dua keadaan, yaitu ketika menyebut nama secara tegas dan
menilai tsiqat dan menyembunyikan namanya.
Periwayatan
Perawi yang Bid’ah
a.
Sebagian
ulama hadist berpendapat, periwayatan pelaku bid’ah tidak bisa diterima secara
mutlak, meski bagaimana pun bentuk bidahnya. Ini diriwayatkan dari Imam Malik
b.
Sebagian
yang lain berpendapat, riwayat pelaku bid’ah bisa diterima dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka kemudian memilah-milah bid’ah itu. Menurut mereka, ada bid’ah
yang mengakibatkan kafir pelakunya, dan ada yang tidak mengakibatkan kekafiran
baginya.
1.
Bila
bid’ah membuatnya kafir, maka riwayatnya tidak bisa diterima menurut mayoritas
ulama hadist.
2.
Bila
bid’ahnya tidak membuatnya kafir, maka :
a.
Bila
ia mengatakan dusta untuk membela bid’ahnya, maka hadistnya tidak bisa diterima
dan tidak boleh diambil riwayat darinya. Dan dalam hal ini Sufyan al-Tsauriy
mengatakan : “Aku menerima kesaksian pelaku bid’ah bila mereka adil dalam
keadaan selama itu-yakni selain riwayatkan yang menguatkan bid’ah mereka dan
mereka tidak menghalalkan bentuk-bentuk dukungan terhadap bid’ah mereka dan
mereka tidak menghalalkan bentuk-bentuk dukungan terhadap bid’ahnya (yang
sebenarnya dilarang).” Imam asy-Syafi’iy mengatakan, kesaksian pelaku bid’ah
bisa diterima, kecuali sekte Khaththbiyah dari aliran Syi’ah Rafidhah. Karena
mereka memperbolehkan kesaksian palsu bagi orang-orang sejalan mereka.
b.
Bila
ia tidak menghalalkan kedustaan dalam membela alirannya, maka ada yang
mengatakan riwayatnya bisa diterima, baik ia mendakwakan riwayatnya bisa
diterima, baik ia mendakwahkan bid’ahnya (mempropogandakanya) ataupun tidak. Ada yang mengatakan, bila tidak
mendakwahkan bid’ahnya. Maka riwayatnya bisa diterima. Tetapi bila ia
mempropogandakan bid’ahnya, maka riwayatnya tidak bisa diterima. Inilah
pendapat mayoritas ahli Hadist.
Riwayat Perawi
yang Telah Bertaubat dari Kefasikannya
Bila seorang perawi yang berkena jauh karena kefasikannya telah
bertaubat dan perilakunya telah kembali baik, serta sifat adilnya diketahui
setelah taubatnya itu, maka setelah itu khabar-khabarnya bisa diterima. Ini
bersifat umum untuk setiap bentuk kemaksiatan kecuali sengaja berdusta atas
suatu hadist Nabi SAW. Yang terakhir ini tetap tidak bisa diterima. Yakni
khabar dari orang yang mendustakan hadist-hadist rasulullah SAW. Tidak bisa
diterima, meskipun ia telah bertaubat dan perilakunya kembali baik setelah itu.
Pendapat ini dikutip dari Imam-imam hadist terkemuka. Abu bakar al-Shairafiy
mengatakan : Setiap pelaku dusta yang kami gugurkan khabarnya, kami dapati
tidak kami terima khabarnya setelah bertaubat. Sementara Abu al-Mudzaffar
as-Sam’aniy mengatakan : Siapa yang berdusta dalam satu Hadist, maka wajiblah
mengugurkan hadist-hadistnya yang telah terdahulu.
Tingkattingkat
al-Jarh dan atTa’dil
Perawi yang memindahkan hadist tidak semuanya berada pada tngkat
yang sama dalam hal hafalan, ilmu dan kedhabitan. Ada yang Hafidz labi mutqin
yang tidak diragukan lagi kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan
hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan
salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.
Ilmu Al-jarh wa
At-Ta’dil (
علم لجرح والتعديل )
1.
Ilmu Al-jarh wa At-Ta’dil Secara Etimologis dan Terminologis
a.
Al-Jarh
secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata
( حرج - يحرج
) yang berarti seorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai
dengan mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan حرج الحاكم و غيره الشاهد ) ) yang
berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil
saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
b.
Al-jarh
secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencatatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan bertolak
riwayatnya. Sedang “at-Tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang
membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
c.
Al-Adl
secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu
lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti menilainya positif.
d.
Al-adl
secara terminologis berarti orang yang tidak memilik sifat yang mectatkan
keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima,
bila dipenuhi pula syarat-syarat yang telah kami sebutkan dalam kelayakan ada’
Membersihkannya sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima
khabarnya. Dengan demikian, ilmu al-Jarh wa at-ta’dil berarti :
العِلْمُ
الّذِى يبَْحَثُ فِى اَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَاياَتِهِمْ
اَوْرَدَّهاَ
Ilmu
yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka.
Ilmu ini merupakan ilmu hadist yang terpenting, teragung posisinya
dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan yang shahih
dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak, karena masing-masing
tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.
2.
Normativitas
dan at-Ta’dil
Kaidah-kaidah umum syariat menunjukkan kewajiban memelihara sunnah.
Dan menjelaskan hal-ihwal para perawi merupakan sarana yang lurus untuk menjaga
sunnah. Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (al-Hujarat :
6)
Di tempat lain, dia berfirman :
Artinya : Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
(al-Baqarah : 282)
Yang dimaksud saksi yang diridhai
adalah orang yang kita ridhai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan
hadist tidak kurang dari bentuk kesaksian itu. Oleh karena itu, hadist tidak
diterima kecuali dari orang-orang isiqat.
Berkenaan dengan al-Jarh, rasulullah SAW. Bersabda :
بِئْسَ
أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ
Seburuk-buruknya
saudara sekeluarga adalah dia.
Dan
berkenaan dengan ta’dil, beliau bersabda :
نِعْمَ عَبْدُ اللهِ خاَلِيْدِ اْبنِ الوَلِيْدِ
سَيْفٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ
Sebaik-baiknya
hamba Allah adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari Pedang-pedang
Allah.
3.
Pertumbuhan
Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan
dalam Islam. Karena untuk mengetahui khabar-khabar yang shahih diperlukan
pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli
ilmu menilai kejujurannya ataupun kedustaannya, sehingga merek bias membedakan
antara yang bias diterima dari yang ditolak. Oleh karena itu, mereka selalu
bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela
kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para
perawi. Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa
mengetahui yang paling hafidz, yang paling kuat ingatannya dan yang paling
bermujalasah dengan guru-gurunya.
Disamping yang kami riwayatkan tentang al-jarh Wa Ta’dil dari Rasulullah
saw, banyak pula khabar tentang pendapat-pendapat sahabat mengenai hal ini.
Setelah sahabat, yang berbicara tentang para perawi adalah tabi’in, generasi
sesudah tabiin dan ahli ilmu sesudah mereka. Mereka menjelaskan hal ihwal para
perawi, mengkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT.,
tak tajut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih saying. Tak seseorang pun
diantara para kritikus hadist dan tokoh-tokohnya yang membela ayah, saudara
ataupun anaknya. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada kepada syari’at
dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu
sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik mungkin.
·
Metode
Ulama Dala Menjelaskan Hal-Ihwan Para Perawi
1.
Jujur
dan tuntas dalam memeberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan mad ibn positif
maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan muhammad ibn Sirin : “sungguh
engkau berbuat zalim kepada saudaramu, jika kamu hanya menyebutkan
keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikannya’’.
2.
Kecermatana
dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Ulama
tentang al-Jarh Waat-Ta’dl kita bisa enemukan kecermatan mereka dalam meneliti
kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk-beluk perawi mereka kritik. Sering
sekali mereka memberikan informasi saat kekacauan daya ingat, sebab kelemahan
dan mapu membedakan antara perawi yang lemah disebabkan keteledoran agama dan
perawai yang lemahnya dikarenakan tidak adanya kekuatan dan keteguhan hafalan
dalam dirinya.
3.
Mematuhi
etika al-jarh. Ulama’ al-jarh Waat-Ta’dl dalam menyatakan penilaian tidak akan
keluar dari etika penelitan ilmiah. Ungkapan yang mereka kemukakan adalah
“pulan wadhdha ” (fulan tukang palsu). Fulan kadzdzb (fulan tukang dusta) fulan
yaftari al-kadzba ala ash-sahabat ra. (Fulan membuat kedustaan atas diri
sahabat ra). Atau ungkapan-ungkapan yang memberikan untuk orang memalsukan
hadist. Namun demikian ungkapan-ungkapan itu itu tidak keluar kenyataan yang
ada. Ada juga yang mengindikasikan. Misalnya ungkapan “Lam Yakun Mustaqim
al-Lisan”(ia tidak lurus lidahnya) atau yang senadah. Para ilmuan juga
memerinahkan murid-murid mereka untuk mengetahui etika kritik. Salah satunya,
riwayat al-muzaniy, katanya, suatu hari imam kepada-ku “Wahai Ibrahim
gunakanlah ungkapan yang paling halus”. Jangan menhatakan”kadzhab” tetapi
katakana : “hadistsuhu laisan Bi Syai” (hadistnya tidak ada apa-apanya).
4.
Secara
gelobal menta’dil dan secara rinci dalam metajrih. Dari ungkapa-ungkap
imam-imam al-jarh wa at ta-dil kita bias meliahat bahwa mereka tidak
menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap perawi. Kita tidak bias melihat
mereka katakana “pulan tsiqat adil karena ia melakukan sholat, melakukan puasa,
tahajud dan tidak menyakiti orang lain misalnya tetapi merka hanya mengungkapkan
fulan tsab tsqat atau fulan shaduk”, tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Karena
sebab-sebab ta’dil
sangat banyak, sehingga orang sulit unatuk menyebukan seluruhnya.
Berbeda dengan al-jarh, yang umumnya mereka jelaskan sebabnya, seperti sering
lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalnya, tidak kuat
hafalanya, dusta, fasik da lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab
untuk mengkritik sifat adil atau daya hafalnya, mayorihkan demi kepentingan
membedakan antara yang tsiqat dan yang dh’if.
·
Syarat-Syarat
Penta’dil dan Petajrih
Imam-imam yang terjun dalam bidang
penjelasan hal-ihwal perawi dan berusaha menjaga sunna dengan membedakan antara
yang sahih dan yang cacat disamping menggunakan hidup mereka secara maksimal
dalam bidang tersebut mereka mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-aebab jarh.
Karena itu, ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu
dalam diri penta’dil dan pentrajrih. Siap saja yang menekuni bidang ini harus
harus kriteria alim, bertaqwa, wira’i , jujur tidak terkenah jarh, tidak
fanafik terhadap sebagian perawai dan mengert I betul sebab-sebab jarh dan
adil.
·
Cara
Mengetahui Keadilan
Keadilan seorang perawai bias
diketahui melalui satu diantar dua hal : kepopuleran keadilannya dikalangan
ahli ilmu, seperti Malik ibn Ana, sufyan al-tsauriy, syu’bah ibn al-hajjaj,
imam ahmad dan lain-lain. Sehingga tidak abash mempertanyakan mereka. Karena
yang diketahui berdasarkan kepopuleran semacam itu lebih tinggi d bandingkan
yang diketahui berdarkan tazkiah (penilaian positif) oleh satu atau dua orang.
Dan adakalanya tazkiyah, yaitu penta’dil orang yang telah terbukti adil
terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Tazkiyah sudah cukup bila
dilakukan oleh satu orang yang berstatus adil. Karena jumlah tidak disyaratkan
pula dalam jarh dan ta’dil perawihnya. Inilah yang diriwayatkan bisa diterima,
tazkiyahnya bisa diterima, merdeka atau budak, jika ia mengetahui sebab ta’dil
dan tazriyhnya. Sebagian ahli fiqih mengharuskan adanya tazkiyah dari dua
orang.
·
Pertentangan
Antara Al-Jarh dan at-Ta’dil
Kadang-kadang pernyataanpernyataan
ulamah tentang tajrih dan ta’dil tehadap orang yang sama bisa saling
bertentangan. Sebagian mentajrihkannya , sedang sebagian lain menata’dilkannya.
Bila demikian , maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang yang
sebenarnya.
Ternyata kadang-kadang sebagian
mentajrih berdasarkan informasi jarh yang dahulu perna didengarnya mengenai
perawi yang bersangkutan. Kemudian
perawi dan bertaubat diketahui oleh sebagian
yang lain yang kemudian menta’dilkannya, dngan demikian, sebenarnya
tidak ada pertentangan antara keduanya.
Kadang-kadang ia juga dikenal tidak
baik hafalanya dari seorang guru yang ia tidak menulis dari guru tersebut
karena ia bertumpuh pada hafalanya sewaktu masi bisa diandalkan hafalnya,
tetapi dikenal hafidz dari guru lain karena ia bertumpuh pada kitab-kitabnya,
misalnya. Sehingga dalam kondisi seperti ini juga tidak ada pertentangan.
No comments:
Post a Comment