BAB I
ILMU DAN SEJARAH
1.
Perpatuan dan ilmu sejarahnya
Sebelum kita
mempelajari hadits, terlebih dahulu kita mempelajari pengentarnya yang meliputi
sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya dan pokok dasar
yang menjadi pedoman dalam menghadapinya (hadits).
Dengan
mempelajari priode-priode yang telah dilalui oleh ilmu itu (sejarah
perkembangannya), dapatlah kita mengetahui proses pertumbuhan dan
perkembangannya dari masa ke masa.
Mempelajari
sejarah perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun
pembukuannya amat diperlukan, karena dipandang satu bagian dari pelajran hadits
yang tidak boleh dipisahkan. Sungguh gelap jalan yang dilalui oleh mereka yang
mempelajari hadits, tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya.
2.
Permasalahan dalam mempelajari ilmu hadits
Mempelajari
sejarah ilmu hadits harus dititik
beratkan kepada dua soal yang terpokok:
a.
Mempelajari
periode-periode dan nazhariyah-nazhariyah ilmu hadits, serta
memperhatikan keadaan masyarakat yang telah mendukung nazhariyah-nazhariyah
itu dan lapangan-lapangan yang telah ditempuh olehnya. Disamping itu kita
mempelajari kebutuhan masa kedepannya dan pengaruhnya terhadap masyarakat
pendukungnya.
b.
Mempelajari
secara mendalam pemuka-pemuka ilmu hadits. Dalam bafian ini dipelajari
kesungguhan yang diberikan oleh parah ahli dalam mendirikan sendi-sendi ilmu
dan kadar bekasan yang ditinggalkan oleh para ahli dalam menegakkan asas-asas
itu.
Selain dari
itu, mempelajari parah ahli hadits, suatu hal yang tidak boleh diabaikan.
Karenaq dengan mempelajari keadaan mereka dapat diketahui bagaimana keadaan
hadits-hadits itu dishahihkan, dihasankan, didha’ifkan, dan syarat-syarat yang
mereka gunakan, serta pandangan-pandangan mereka terhadap pengertian-pengertian
tersebut.
3.
Periode-periode Perkembangan Hadits
Sebagai dasar
tasyri’ yang kedua telah melalui enam priode sekarang sedang menempu periode
ketujuh.
Masa pertama:
masa wahyu dan pembentukan hokum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi
bangkit (ba’ats, diangkat sebagai Rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H.
(dari 13 SH.-11 H.)
Masa kedua:
masa membatasi riwayat, masa Khu8lafa’ Rasyidin (12 H.-40 H).
Masa ketiga:
masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota kekota untuk mencari hadits,
yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H.-akhir abat pertama H.).
Masa keempat:
masa pembukuan hadits (dari permulaan abad ke-2 H. hingga akhirnya).
Masa kelima:
masa mentashikan hadits dan menyaringnya (awal abad ke-3 H., hingga akhir).
Masa keenam:
masa menapis kitab-kitab hadits dan yang menyusun kitab-kitab Jami’ yang khusus
(dari awal abad ke-4 H. hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H.).
Masa ketujuh:
masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadist-hadist
hokum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits zawa’id
(656 H. hingga dewasa ini).
BAB II
HADITS DALAM PERIODE PERTAMA
(Masa Rasulullah)
1.
Masa pertumbuhan hadist dan cara para sahabat memperoplehnya
Rasul hidup
ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan
beliau secara bebas. Tidak ada ketentuan protocol yang menghalangi mereka
bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka yang masuk ke
rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di
dalam safar dan di dalam hadhar.
Para sahabat
menerima hadist (Syari’ah) dari rasul saw. Adakalanya secara langsung, yakni
mereka langsung mendengar sediri dari
nabi, baik karena ada sesuatu persoalan yang diajukan oleh seseorang lalu nabi saw. Menjawabnya, ataupun karena
nabi sendiri yang memulai pembicaraan, atau secara tidak langsung yaitu mereka
menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari nabi, atau m ereka yang
menyuruh seseorang yang bertanya kepada nabi jika mereka sendiri malu bertanya.
2.
Para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan rasul
Semua sahabat,
umumnya menerima hadits dari Nabi saw. Namun, dalam hal ini, para sahabat tidak
sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul. Ada yang tinggal di kota, di dusun,
berniaga, bertukang. Ada yang sering berda di kota, ada pula yang sering
berpergian, ada yang terus-menerus beribadat, tinggal dimasjid tidak bekerja.
3.
Para sahabat yang banyak menerima pelajaran dari nabi saw
Para sahabat
yang banyak memperoleh pelajaran dari Nabi saw. Dapat dibedakan menjadi
kelompok sebagai berikut:
a.
Yang
mula-mula masuk islam dan dinamai As-Sabikun Al-Awwalun, seperti kulafa’ empat
Abdullah ibn Mas’ud.
b.
Yang
selalu berda di samping Nabi saw. Dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti
Abu Hurairah dan yang mencatat seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash.
c.
Yang
hidupnya sesudah Nabi saw, dapat menerima hadits dari semua sahabat. Seperti
Anas ibn Malik dan Abdullah in Abbas.
d.
Yang
erat hubungannya dengan Nabi saw, yaitu Ummahat Al-mu’minin, seperti Aisaya dan
Ummu Salamah dan Kulafah’ Rasyidin.
4.
Sebab-sebab hadist tidak ditulis setiap[ kali nabi saw.
Menyampaikannya
Semua penulis
sejarah rasul, ulama hadist dan umat islam menetapkan bahwa Al-quran
memperooleh perhatian penuh dari rasul dan dari para sahabat. Rasul
memerintahkan parah sahabat untuk menghafal Al-Qur’an dan menulisnya di
keeping-keping tulang, pelepah kurama, batu dan lain-lain. Ketika Rasulullah
saw wafat, Al-Qur’an telah dihafal dengan sempurna dan telah lengkap ditulis,
hanya saja belum dikumpul dalam sebuah mashaf.
Hadist dan sunnah walaupun merupakan sumber
yang penting pula dari sumber-sumber tasyi, tidak memperoleh prhatian yang demikian. Perbedaan-perbedaan
perhatian dan tidak membukuakan hadits disebabkan oleh faktor-faktor berikut
ini:
a.
Men-tadwin-kan
(membukukan) ucapan, amalan, serta muamalah Nabi adalah suatu hal yang sukar,
karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala
yang tersebut diatas. Oleh karena itu Al-Qur’an merupakan sumber tasyri’ asasi,
maka dikerahkan beberapa orang penulis untuk menuliskan wahyu itu setiap kali
turun.
b.
Karena
orang Arab-disebabkan mereka tidak pandai menuis dan membaca tulisan kuat
berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin
menghafalnya. Mempergunakan waktu untuk menghafal Al-Qur’an yang diturunkan
secara berangsur-angsur itu adalah suatu hal yang mudah bagi mereka, namun
tidaklah demikian terhadap Al-Hadits.
c.
Diriwayatkan
akan tercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan
sengaja. Karena itu Nabi, melarang mereka menulis hadits kerena khawatir
sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.
Hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits
dengan cara tidak resmi. Memang ada beberapa atsar yang shahih yang menegaskan
adanya para sahabat menulis hadits di masa Nabi saw.
5.
Kedudukan usaha menulis hadist di masa nabi saw
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat
mempunyai shahifah (lembaran-lembaran) yang tertulis hadits. Mereka membukukan
sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasulullah saw. Seperti shahifah
Abdullah ibn Amr ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
Sebagian
sahabat menyatakan keberatannya terhadap upaya yang dilakukan Abdullah itu.
Mereka berkata kepada Abdullah, “Anda selalu menulis apa yang Anda dengar dari
Nabi saw, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau
menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.”
Selain
itu, Nabi saw. Sendiri pernah mengirim surat kepada sebagian pegawainya
menerangkan kadar-kadar zakat unta dan kambing. Pernah pula Nabi saw. Dengan
tegas memerintahkan sahabat menulis hadits.
6.
Pembatalan larangan menulis hadist
Kebanyakasn ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadist yang dinasakh- kan oleh hadist Abu said, dimansukh –kan dengan izin yang datang
sesudahnya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadist
tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mempercampuradukan hadist dengan al-qur’an. Izin hanya diberikan
kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mempercampuradukan hadist dan al-qur’an.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara
larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah
pembubkuan resmi seperti halnya al-qur’an, dan keizinan itu diberikan kepada
mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendirti.
Memang kita dapat menerapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat
secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang tertentu. Riwayat
Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.
Dikataan pula kebolehan menulis hadist secara tidak resmi, oleh
riwayat Al-Bukhary yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam sakit berat,
beliau meminta dituliskan pesan-pesanya menjadi pegangan umat. Akan tetapi,
karena ketika itu nabi dalam keadaan sakit berat, umar menghalangnya karena
ditakuti menambah berat sakit Nabi.
Dapat pula dipahamkan, bahwa sesudah al-qur’an dibukukan, deitulis
dengan sempurna dan telah pula lengkap turunya, barulah dikeluarkan izin menulis sunnah.
1.
Sikap sahabat terhadap uasah yang dikembangkan hadist sebelm dan sesudah nabi saw wafat
a. perintah menhilangkan hadist
b. ancaman terhadap pendustaan dalam
mentablihklan hadist
2.
Sebab-sebab dimasa abu bakar dan umar hadist tidak tersebar denagan
pesat
3.
Cara para sahabat meriwayatkan hadist
4.
Lafal-lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkam hadist dan
derajatnya
5.
Ketelitian para sahabat dalam menerima hadist dari sesama sahabat
6.
Syarat-syarat yang ditetapkan abu bakar, umar dan lai ketika
menerima hadist
Sahabat secar
umum tidk mensyaratkan apa-apa yang dalam menerima hadist dari sesama mereka,
akan tetapi, yang tidak dapat, ingkari, sahabbat itu sangat berhati-hati dalam
menerima hadist. Dalam keterangan beberapa atsar.
Abu bakar ra. Dan umar tidak menerima hadist jika tidak disaksikan kebearanya
oleh seseorang yang lain.
7.
Hadist dimasa utsman dan ali
Kita kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman dan dibuka pintu perawatan
kepada para sahabat, umad mulai memerlukan keberadaan sahabat, terutama
sahabat-sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak mengumpulkan
hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat
kediamannya untuk mencari hadits.
8.
Sebab-sebab para Sahabat tidak membukukan hadits dan
mengumpulkannya dalam sebuah buku
Mengenai pengumpulan Al-Qur’an para sahabat bersatu. Mereka berselisih
mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraannya. Karena itu,
tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka perselisihkan itu.
Sekiranya mereka sanggup menulis Sunnah-sunnah Nabi saw. Sebagaimana mereka
telah sanggup menulis Al-Qur’an, tentulah mereka telah mengumpulkan
sunnah-sunnah itu. Mereka takut, jika mereka tadwinkan apa yng mereka
perselisihkan, akan dijadikanlah pegangan yang kuat, serta ditolak apa yang
tidak masuk ke dalam buku itu. Dengan demikian tertolaklah banyak sunnah.
Para sahabat membuka jalan mencari hadits kepada umat sendiri. Mereka
mengumpulkan sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah segala
sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat dinukilkan hakikat lafal yang diterima
dari Rasul saw. Dan sunnah yang berlafalnya dan ada yang berselisian riwayat
dalam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisihan pula perwaihnya tentang
kepercayaan dan keadilan pemberitanya. Itulah sunnah-sunnah yang dimasuki ‘illah.
BAB III
HADITS DALAM
PERIODE KEDUA
(Masa
Khulafa’Rasyidin-Masa membatasi Riwayat)
1.
Sikap sahabat terhadap usaha mengembangkat hadits sebelum dan
susudah Nabi SAW Wafat
Oleh karena itu para sahabat pun sudah rasul wafat sedikit demi sedikit
menyampaikan hadits kepada orang lain. Mereka menyampaikan amanah.
Majelis-majelis nabi tidak hanya dihadiro oleh kaum lelaki saja, bahkan banyak
juga kaum perempuan yang datang kemasjid dan pertemuan-pertemuan umumuntuk
mendengarkan sabdah dan ucapan nabi.
2.
Hadis dimasa Abu bakar dan umur
Para sahabat sesudah rasul wafat tidak lagi berdiam dimadinah. Mereka
pergi ke kota-kota ain beliau-beliau ini menggerahkan menit umat (sahabat)
untuk menyebarkan Al-Quran dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati
dalam menerima riwayat-riwayat itu.
3.
Sebab-sebab pada masa abu bakar dan umar hadits tidak tersebar
dengan pesat
Dengan tegas, sejarah menerapkan bahwa umar ketika memegang tampuk
kekhalifan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Satu
masalah yang harus kita bahas dengan seksama ialah persoalan umar mencegah
penyebaran hadits.
4.
Cara-cara sahabat meriwayatkan hadits
Cara sahabat nabi SAW, meriwayatkan hadits adalah
dua
a. Adakalahnya dengan lafal asli, yakni
menurut lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka lafal dari nabi itu.
b. Adakalahnya dengan maknanya saja yakni
mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya yang asli lagi dari nabi.
5.
Lafal-lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkan hadits dan
derajatnya.
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik
perkataan nabi, saw, maupun perbuatannya. Para ahli Ushul membaginya kepada
lima derajat :
a. Derajat pertama, dialah yang paling kuat
ialah seorang Shahaby berkata, “sami’tu Rasulullahi yaqulu kadza…”
b. Derajat kedua ialah seorang shahaby
berkata sabdah Rasulullah saw. Begini atau mengambarkan raul saw. Begini, atau
menceritakan rasul saw. Begini.
c. Derajat ketiga ialah seorang shahaby
berkata “rasul saw. Menyuruh begini, atau menegah (melarang) ini…” ini dihukum
marfuh menurut mazhabjumhur.
d. Derajat ke empat ialah seorang shahaby
berkata, “kami diperintahkan begini, atau kami di tegah (dilarang) begini….”
e. Derajat kelima ialah seorang sahahby
berkata “kami para sahabat berbuat begini …” maka disadarkan kepada zaman
Rasulullah member pengertian boleh.
6.
Ketelitian para sahabat dalam menerima Hadits dari sesame sahabat
Sahabat rasulullah saw dan pemuka-pemuka tab’in mengetahui sepenuhnya isi
al-quran. Maka apabila hadits “yakin” atau zhan
yang kuat, karena itu mereka tidak membanyakkan penerimaan hadits sebagaimana
tidak pula membanyakkan riwyat.
7.
Syarat-syarat yang ditetapkan abu bakar, umar dan ali ketika
menerima Hadits.
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadits dari
sesame mereka. Akana tetapi, yang tidak dapat diingkari, bahawa sahabat itu
sangat berhati-hati dalam menerima hadits namaun dalama beberapa atsar bahwa
beliau-beliau itu menerima juga hadits dengan riwayat seorang saja, tidak memerlukan
seorang saksi dan tidak disumpah.
8.
Hadits dimasa utsman dan Ali
Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh
utsman dan dibuka pintu perlewatan kepada para wahabat, umat mulai memerlukan
keberadaan sahabat, sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak mengumpulkan hadits
dari sahabat-sahabat besar dan muai mereka meninggalkan tempat kediaman untuk
mencari hadits.
BAB IV
HADITS DALAM
PERIODE KETIGA
(Masa sahabat
Kecil dan Tabi’in Besar)
1. Masa keseimbangan dan Meluas periwayatan Hadits
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah
usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya
ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari
hadits.
Pada tahun 17H. tentara Islam mengalahkan
syiria dan Iraq. Pada tahun 20H. mengalahkan Mesir. Pada tahun 21H mengalahkan
Persia. Pada tahun 56H tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93H
tentara Islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-temat itu.
Kotra-kota itu kemudian menjadi “perguruan tempat ajarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.
2. Lawatan Para Sahabat untuk Mencari Hadits
Menurut riwayat Al-Bukhary, ahmad,
Ath-Thabrany dan Al-baihaqy, disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke saym
melakukan perlawatan sebualan lamanya untuk menanyakan sebuah hadits yang belum
pernah didengarnya kepada seorang shahaby yang tiggal di Syam, yaitu Abdullah
ibn Unais al-Anshary.
Dalam fase ini ini, hadits mulai
disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para
tabi’in mulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat Para
tabi’an berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan
memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la
(sebelum meninggal).
3. Sahabat-sahabat yang mendapat Julukan
“bendaharawan Hadits”
Dalam fase ini terkenal beberapa orang
sahabat dengan julukan “ bendaharawan hadits”. Yakni mereka yang riwayatnya
lebih darri 1000 hadits, mereka memperoleh riwayat yang banyak karena :
1. Paling awal masuk Islam, seperti Khulafa’
Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.
2. Terus-menerus mendampingi Nabi saw dan
kuat hafalan, seperti Abu Hurairah.
3. Menerima riwayat dari sebagian sahabat
selain mendengar dari Nabi saw dan panjang pula umurnya, sepeti Anas ibn Malik,
walaupun beliau masuk Islam sesudah Nabi saw menetap di Madinah.
4. Lama menyertai Nabi saw dan mengetahui
keadaan-keadaan Nabi saw karena bergaul erat dengan Nabi saw, seperti
istri-istri beliau Aisyah dan Ummu Salamah.
5. Berusaha untuk mencatatnya, seperti
Abdullah ibn Amr ibn Ash. Beliau meriwayatkan hadits dalam buku catatannya yang
dinamai Ash-Shadiqah.
Diantara sahabat-sahabat yang mengembangkan
periwayatan hadits adalah : Abu Hurairah, Aisyah (Istri Rasul saw), Anas ibn
Malik, Abdullah ibn Abbas. Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Abu Said
al_khudry, Ibn Mas’ud dan Abdullah ibn Amr ibn Ash.
Menurut perhitungan para hadits para sahabat
penghafal hadits yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah ialah :
a. Abdullah Ibn Umar, 2.630 hadits
b. Anas ibn Malik, 2.276 hadits, menurut
Al-Kirmany sebanyak 2.236 hadits
c. Aisyah, 2.210 hadits
d. Abdullah ibn Abbas, 1.660 hadits
e. Jabir ibn Adullah, 1.540 hadits
f. Abu Said al-Khudury, 1.170 hadits.
4. Tokoh-tokoh Hadits
1. Dimadinah : Said (93), Urwah (94), Abu
Bakar ibn Abd ar_rahman ibn Al-Harits ibn Hasyam (94) dll.
2. Di Makkah : Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah,
Abu az-Zubair, Muhammad ibn Muslim.
3. Di Khufah : Asya’by, Ibrahim an –Nakha’y,
Alqamah an –Nakha’y
4. Di Bashrah : Al-Hasan, Muhammad ibn
Sirin, Qatadah
5. Di Syam : Umar ibn abd al-Aziz, Qabishah
ibn Dzuaib, Makhul Ka’b al-Akbar.
6. Di Mesir : Abu al-Khair Martsad ibn Abdullah
al-Yaziny, Yazid ibn Habib.
7. Di Yaman : tahus ibn Kiasan al-Yamany,
Wahab ibn al-Munabbih (110).
5. Pusat-pusat Hadits
Adapun kota-kota yang menjadi pusat
hadits ialah : Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam dan mesir.
6. Mulai Timbul Pemalsuan Hadits
Diantara hal yang tumbuh dalam masa
ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu
terjadi setelah Ali wafat. Tahun 40H merupakan batas yang memisahkan antara
masa terlepas jadits dari pemalsuan, dengan masa mulai menculnya pemalsuan
hadits. Sejak timbul fitnah di akhir
masa Utsman, umat Islam pecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan Ali
ibn Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua golongan Khawarij,
yang menentang Ali dan Mu’awiyah. Ketiga golongan Jumhur (golongan yang pro
pemerintah pada masa itu).
Mulai saat itu lah terdapat diantara
riwayat-riwayat itu ada yang sahih dan yang palsu. Adapun kota yang mula-mula mengembangkan hadits palsu (maudhu’) ialah Baghdad (Iraq) tempat
kaum Syi’ah berpusat.
BAB V
HADITS DALAM PERIODE KEEMPAT
(Masa Pengumpulan dan Pembuktian Hadits)
1.
Permulaan
Masa Pembukuan Hadits
Masa pembukuan hadits dimulai pada masa Khalifah Rasyidin yang
kelima Umar ibn Abd al_aziz yang dinobatkan dalam tahun 99H. seorang khalifah
dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’. Pada tahun 100H khalifah
meminta gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn hazmin (120H) yang
menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi
Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
terkenal, Amrah binti Abd ar_rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades, seorang
ahli fiqh muris Aisyah (20H = 642M – 98 H atau 106H = 724 M). Dan hadits-hadits
yang ada pada Al-qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr ash_shiddiq (107H = 725M)
seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqaha tujuh Madinah.
Disamping itu Umar ibn Abd al_Aziz mengirimkan surat kepada
gubernur kesemua wilayah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang
ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing.
Adapun para pengumpul pertama hadits yang tercatat sejarah adalah :
a.
Di kota
Makkah, Ibnu Juraij (80H/669M-150H/768M)
b.
Di
kota Madinah, Ibnu ishaq (---H/151M-…..H/768M), Ibnuy Abi Dzi’bin dan Malik ibn
Anas (93H/703M-179H/798M)
c.
Di
kota Basrah, Ar-Rabi’ ibn Shahih (…H/---M-160H/777M)
d.
Di
Kufah, Syufyan ats-Tsaury (161H)
e.
Di
Syam, Al-Auza’y (156H)
f.
Di
Wasith, Husyaim al-Wasyithy (104H/772M-188H/804M)
g.
Di
Yaman, Ma’mar al_Azdy (95H/753M-153H-770M)
h.
Di
Rey, Jarir adh-Dhabby (110H.728M-188H/804M)
i.
Di
Khurasan, Ibnu al-Mubarak (118H-735M-181H/797M)
j.
Di
Mesir, Al-Laits ibn Sa’ad (175H)
Semua ulama
besar yang membukukan hadits adalah ahli-ahli hadits abad ke-2 Hijrah. Kita
menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui dimana sekarang
ini. Dan Abu hanifah menyusun kitab Fiqih. Kitab Al-Maghazi ini adalah dasar
pokok bagi kitabkitab sirah Nabi.
2.
System
Ulama Abad ke-2 Hijrah membukukan Hadits
Ulama abad ke-2
membukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits
saja. Maka dalam kitab-kitab itu terdapat hadits-hadits marfu’, Mauquf
dan hadits maqthu.
3.
Kitab-kitab
Hadits yang terkenal dalam abad ke-2 Hijrah
Kitab-kitab
hadits yang telah dibukukan akan dikumpulkan dalam abad ke-2 ini, banyak. Akan
tetapi yang terkenal dalama kalangan ahli hadits ialah :
a.
Al-Muwaththa',
susunan Imam Malik (95 H.-179 H.)
b.
Al-Maghazi
wa as-Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (i5o H.) C. AI-Jarnl, susunan
c.
Abd
ar-razaq ash-Shan'any (2u H.)
d.
Al-Mushannaf,
susunan Syu'bah ibn Hajjaj (16o H.)
e.
Al-Mushanwf,
susunan Sufyan ibn Uyainah (198 H.)
f.
Al-Mushannaf,
susunan Al-Lairs ibn Sa'ad (175 H.)
g.
Al-Mushannaf,
susunan Al-Auza'y (i5o H.)
h.
AlMushannaf,
susunan Al-Humaidy (219 H.)'
i.
Al-Maghazi
an-Nabawiyah, susunan Muhammad ibn Waqid alAsLuny (13o H-207 H.)
j.
AI-Musnad,
susunan Abu Hanifah (i5o H.)
k.
AI
Nomad, susunan Zaid ibn Ali
l.
AI-Musnad,
susunan Imam Asy-Syafi'y (204 H.)
m.
Mukhtalifal-Hadits,
susunan Imam Asy-Syafi'y
4.
Kedudukan
dan keadaan kitab-kitab Hadits abad ke-2 Hijrah
Diatara
kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah
Al-Muwaththa’ (susunan Imam malik), al_musnad dan Mukthalif al-hadits (susunan imam
Asy-Syafi’y) serta As-sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-siyar (susunan
Ibnu Ishaq).
Dimesir
sekarang telah berdiri sebuah badan ulama yang berusaha mengumpulkan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah. Ada beberapa buah yang
sudah diterbitkan, diantaranya Al-Atsar yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf.
Kitab-kitab
yang dari ini tidak mendapatkan perhatian yang sempurna dari sebagian besar
ulama. Karena itu hilanglah ditelan masa, walaupun isinya telah ditampung oleh
kitab-kitab abad ke-3 Hijrah.
5.
Pemisahan
Hadits-hadits tafsir dan Hadits-hadits sirah
Dalam abad ke-2
ini pula, mulai dipisahkan hadits-hadits tafsir dari umum hadits dan mulai pula
dipisahkan. Kitab ini terkenal dengan nama Sirah Ibni Hisyam. Dan inilah pokok
dari kitab-kitab sirah yang berkembang sesudahnya.
6.
Bertahan
Luasnya Pemalsuan Hadits
Diantara hal
yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadits. Sebagai
imbangannya, muncul pula dari pihak Amawiyah Ahli-ahli pemalsuan hadits untuk
membendung arus propaganda penganut paham Abbasiyah.
7.
Tokoh-tokoh
Hadits Abad ke2 Hijrah
Diantara
tokoh-tokoh Hadits yang masyur dalam abad ke-2 Hijrah ialah Malik, yahya ibn
said al-Qaththan dan lain-lain.
8.
Fssfsfs
Oleh Karen itu
tabi’in dan tabi’it mengambil hadits dari banyak sahabat dan dari sesamanya,,
maka jumlah riwayat seseorang tabi’it tabi’iy, lebih banyak dari tabi’iy lebih
banyak dari tabi.iy.
BAB IV
HADITS DALAM PERIODE KELIMA
(Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-kaidahnya)
(Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-kaidahnya)
1.
Hasa Membukukan Hadits Semata-mata (Hadits IMam Abad ke-3 Hijrah)
Para ahli
hadits abad ke-2 Hijrah sebagaimana sebagian yang telah diterangkan, tidak
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Keadaan ini diperbaiki
oleh ahli hadits abad ke-3 Hijrah. Ketika mengumpulkan hadits, mereka
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits-hadits saja dalam
buku-buku hadits. Akan tetapi sate kekurangan pula yang harus kita akui ialah
mereka tidak memisahkan hadits. Yakni mereka mencampuradukkan hadits shahih
dengan hadits hasart dan dengan hadits dha'if. Segala hadits yang mereka
terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya, atau kehasanannya,
atau kedha'ifannya. Lantaran itu orang yang kurang ahli tidak dapat mengambil
hadits-hadits yang terbuku di dalamnya.
2.
Bertambah Meluas Lawatan, Penyusunan Kaidah dan pentashhihan Hadits
Dalarn abad
ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibnu juraij
dan Al-Muwaththa' Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan
gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan
membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari
sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian
betambah maju.
Pada mulanya,
ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota inereka masing-masing.
Sebagian kedl Baja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan
hadits. Keadaan ini dipecahkan AlBukhary. Beliaulah yang mina-mina meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,
Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah,
Asgalan dan Himsah.
Ringkasnya,
A]-Bukhary membuat langkah bare untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di
berbagai daerah. Enam belas tahun lamanya beliau terns-menerus menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahih-nya.
Pada mulanya
ulama menerima hadits dari para perawi, lalu menulis ke dalarn bukunya, dengan
tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih
tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan
ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk
mengacaubalaukan hadits, yaitu dengan menarnbahkan lafalnya atau membuat hadits
maudhu'.
Melihat
kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibatakibat perbuatan mereka,
maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari
berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta
memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha'if yakni menshahihkan
hadits.
3.
Imam
yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih Saja
Sekiranya
kekeruhan itu terus-menerus berlangsung, tentulah kita tidak dapat meminum
aimya dan tidak dapat mengamatkan isinya, apalagi apabila diingat pada masa
itu telah banyak muncul orang Zindiq clan Yahudi yang membuat hadits-hadits
palsu secara licik dan sukar diketahui kepalsuannya.
Untuk menyaring
hadits-hadits itu Berta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari
yang lemah, seorang imam hadits yang besar, Ishaq ibn Rahawaih, terdorong untuk
memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih clan yang tidalc
Pekerjaan yang
mulia ini, kemudian disempumakan oleh Imam AlBukhary. Al-Bukhary menyusun
kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jam' ash-Shahih yang membukukan
hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha Al-Bukhary ini diikuti
pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah
kedua Bar ana bestir ini, kita menemukan cumber-cumber hadits yang bersih.
Sesudah Shahih
al-BuMwy dan Shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang iman lain
menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud),
At-Tirmidzy (Susan at-Tirmidzy) clan AnNasa'y (Susan an-Nasa'y) Itulah yang
kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang
lima (Al-Ushul alKhcuiistdi).
Di supping itu
Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab Sunan yakiii Susan Ibnl Majah. Kitab
ini oleh sebagian ulama digolongkan dalarn kitab-kitab hicluk, lalu menjadikan
kitab-kitab induk itu enam buah
4.
Dasar-dasar
Pentashhihan Hadits
Al-Bukhary
mempunyai dua keistimewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang
jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua,
kealihan dalam meneliti keadaan perawi yang nampak kita lihat dalam kitab
tarikhnya yang disusun Untuk menerangkan keadaan-keadaan perawi hadits.
AI-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela,
mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Al-Bukhary
dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih ke dalam kitab jinni'-nya, memakai
beberapa syarat, begitu pula Muslim. Kadang-kadang syarat. Perawi-perawi yang
menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti Az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya.
Ada yang erat dengan Az-Zuhry, ada yang tidak Al-Bukhary mensyaratkan
perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak
erat hubungan‑
5.
Langka-langka
yang diambil untuk memelihara Hadits
Adapun
langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik jalan-jalan menerima hadits sehingga mereka dapat
melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkan dari segala Lumpur yang mengotorinya
ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima kepada
para ahli, mengkritik para perawi, membuai ketentuan-ketentuan umum untuk
menentukan derajat-derajat hadits,
6.
Tokoh-tokoh
Hadits yang lahir dalam masa ini
Diantara
tokoh-tokoh yang lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn Al-Madiny, Abu Hatim,
Ar-razy, Muhammad Ibn jarir ath, thabary dll.
7.
Kitab-kitab
sunnah yang tersusun dalam abad ke-3 Hijrah
-
At-Musnad,
susunan Musa ibn Abdillah al-Abasy
-
Al-Musnad,
susunan Musaddad ibn Musarhad.
-
Al-Musnad,
susunan Asad ibn Musa.
-
Al-Musnad,
susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini dikumpulkan oleh para penghafal
hadits berdasar kepada riwayat Yunus ibn Habib dari Ath-Thayalisy).
-
AI-Musnad,
susunan Nu'aim ibn Hammad.
-
Al-Musnad,
susunan Abu Yala al-Maushily.
-
Al-Musnad,
susunan Al-Humaidy.
-
Al-Musnad,
susunan Ali al-Madiny.
-
AI-Musnad,
susunan Abed ibn Humaid.
-
Al-Musnad
al-Mu'allal, susunan Al-Bazzar.
-
Al-Musnad,
susunan Baqy ibn Makhlad (201-296 H.) Musnad ini paling luas isinya daripada musnad-musnad yang lain).
-
Al-Musnad,
susunan Ibnu Rahawaih (237 H.)
-
AI-Musnad,
susunan Ahmad ibn HanbaL
-
Al-Musnad,
susunan Muhammad ibn Nashr al-Marwazy.
-
AI-Musnad,
susunan Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H.)
-
Al-Musnad,
susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H.).
-
Al-Musnad,
susunan Utsman ibn Abi Syaibah (293 H.).
-
AI-Musnad,
susunan Abu al-Husain ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H.). Dalam musnad ini
dikumpulkan seluruh hadits-hadits Az-Zuhry.
-
Al-Musnad,
susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab). Seharusnya
digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena hadits-hadits yang
diriwayatkannya secara mustuid. Al-Bukhary pun menamai kitabnya dengan
Al-Musnad ashShahih.
-
Al-Musnad,
susunan Said ibn Manshur.
-
Al-Musnad,
susunan Al-Imam Ibnu Jabir. Kitab ini adalah di antara kitab-kitab Ibnu Jarir
yang bemilai tinggi. Di dalan-inya diterangkan `I'lkit hadits-haditsnya,
fiqflnya, lughah-nya dan pendapat fuqaha
BAB KETUJUH
KITAB-KITAB INDUK
1.
NAMA-NAMA KITAB ENAM
Ulama Muta'akhkhirin sependapat menetapkan bahwa kitab induk
lima buah, yaitu Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan
an-Nasa'y dan Sunan at-Tirmidzy. Kitab lima tersebut mereka namai Al-Ushul
al-Khamsah atau Al-Kutub al-Khamsah.
Sebagian ulama Muta'akhkhirin, yaitu Abu al-Fadhli ibn
Thahir, menggolongkan pula ke dalamnya sebuah kitab induk lagi, sehingga
terkenal di dalam masyarakat At-Kutub as-Sittah (kitab enam). Beliau
memasukkan Sunan Ibni Majah menjadi kitab induk yang keenam.
2.
NILAI KEADAAN KITAB ENAM
a.
Sahih al-Bukhari
Sahih al-Bukhary
adalah kitab mula-mula yang membukukan hadits-hadits sahih. Kebanyakan para
ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa kitab Shahih al_bukhary itu
adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Kitab inilah kitab induk
dari kitab-kitab ternama, sesungguhnya tidak ada sebuah kitab pun yang mendapat
perhatian besar sebesar perhatian yang diperoleh Sahih al-Bukhary. Al-Bukhary
membagi kitabnya kedalam 97 kitab, dan 3.451 bab.
Menurut Al-hafizh bahwa jumlah hadits al-Bukhary beserta dengan
yang berulang-ulang selain dari hadits Mu’allaq dan utabi’ ada 7.397 buah
hadits dan yang tidak berulang-ulang ada 2.602 buah. Jumlah yang mu’allaq ada
1.341 buah, jumlah yang mutabi’ ada 344 buah. Jumlah seluruhnya ada 9.082
hadits.
b.
Kitab sahih Muslim
Sahih Muslim adalah kitab
yang kedua dari kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan (pedoman) sesudah sahih
al-bukhary. Shahih Muslim lebih baik susunannya dari pada shahih
al_Bukhary. Karena itu lebih mudah kita mencari hadits didalamnya dari pada
mencari di dalam shahih al-Bukhary. Menurut Muslim, isi kitab shahihnya
sejumlah 7.275 nuah hadits dengan berulang-ulang.
c.
Sunan An-Nasa’y
Sunan ini bernama Al-Mujtaba’ min as-sunan (sunan-sunan
pilhan ). Al-Mujtaba’ dipandang sebagai kitab induk yang ketiga. Zawa’idnya
atas Al-Bukhary, Muslim, Abu daud. At-tirmidzy, telah dikumpulkan dan
disyarahkan oleh Ibnu Mulaqqin.
d.
Sunan Abi Daud
Al-Kaththaby didalam kitab ma’alim as-Sunan berkata,
“ketahuilah bahwa sunan Abi Daud itu sebuah kitab yang sukar ada tandingannya
dalam masalah agama, yang telah diterima baik oleh seluruh umat Islam”. Abu
Daud telah menulis 500.000 hadits, namun hanya 4.800 hadits pilihan saja yang
dimasukkan kedalam kitabnya. Kitab Sunan Abi Daud berisi hadits hokum, sedikit
saja yang berhubungan dengan urusan-urusan
lain. Al-Ghazzaly berkata “sunan Abi daud cukup buat pegangan seorang
mujtahid”.
e.
Sunan at-Tirmidzy
Sunan at-Tirmidzy ini di pandang sebagai kitab induk yang kelima. Beliau
hanya memasukkan kedalam kitab sekurang-kurangnya yang telah diamalkan oleh
sebagian fuqaha. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang
tercatat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana
yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Sunan at-Tirmidzy besar
faedahnya, tinggi derajatnya, dan isinya jarang berulang-ulang.
f.
Sunan Ibni Majah
Sunan ini dibawah dari segala kitab yang tersebut diatas. Ibnu
Thahir Al-Maqdisy, memandang sunan ini sebagai kitab induk yang keenam.
Hadits yang hanya diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah kebanyakannya dha’if.
Hal ini dapat diketahui dengan penerangan syarah-syarahnya.
g.
Sunan ad-Darimy
Sunan ad-Darimy lebih banyak
mengandung hadits yang sahih jika dibandingkan dengan sunan Ibni majah dan
sepertinya. Cuma sedikit saja hadits yang tidak shahih terdapat didalamnya.
Sunan ini lebih tinggi daripada sunan Ibni Majah. Karena itulah sebagian ulama
hadits menjadikan sunan ad-Darimy, induk yang keenam.
h.
Al-muntaqa (Muntaqa Ibni Jarud)
Kitab ini dipandang baik oleh para ahli hadits. Menurut Ahmad
Muhammad syakir bahwa Al-Muntaqa ini lebih patut dijadikan kitab yang keenam.
i.
Musnad Ahmad
Musnad ahmad adlah sebuah kitab yang besar nilainya, tinggi
derajatnya dalam pandangan ahli hadits. Penyusunnya ialah Imam Ahmad, salah
seorang imam empat. Musnad ini dipandang induk juga (induk yang setujuh).
Isinya berjumlah 40.000 buah hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang
j.
Al-Muwaththa’
Al-Muwaththa’ merupakan
kitab yang paling tua yang sampai ke tangan kita. Kitab ini ditulis oleh Imam
Malik ibn Anas al-Ashbahy atas permintaan Al-Manshur. Hadits-hadits dalam
Al-Muwaththa’ dipandang shahih oleh Malik, berdasarkan pendapatnya memegangi
hadits-hadits mursal dan munqathi’. Menurut perhitungan Al-Abhary, jumlah
hadits-hadits dalam Al-Muwatha’ baik marfu’ maupun mauquf ataupun maqthu’ ada
1.726 buah. Yang musnad di antaranya berjumlah 600 buah, mursal 228 buah, dan
yang mauquf 613 buah serta yang maqthu’ 285 buah.
BAB VIII
HADITS DALAM PERIODE KEENAM
(DARI AWAL ABAD IV H – TH 656 H)
(Masa Tahdzib, Istidraj, Menyusun, Jawami’ Zawa’id dan Athraf)
1.
Mutaqaddimin dan Muta’akhirin
Ulama hadits dalam abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin.
Mereka mengumpulkan hadits semata-mata berpegang pada usaha diri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru Negara Arab, Persia dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu muncullah pujangga-pujangga abad ke-4.
Ahli abad ke-4 ini dan seterusnya digelari Muta’akhirin.kebanyakan hadits yang
mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin itu
sedikit saja yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghafalnya. Mereka tidakn banyak lagi men-tahrij-kan, mereka hanya berusaha
menta-tahdzib-kan, menghafalnya dan memeriksa sanad yang ada di dalam
kitab-kitab yang telah ada.
Ulama hadits bertingkat kedudukannya. Ada diantara mereka yang
dapat menghafal 100.000 hadits dan mendapat gelar hafidz, yang dapat menghafal
300-000 hadits mendapat gelar hujjah, sedangkan yang lebih jauh dari jumlah
itu, digelari hakim. Adapun Al-Bukhary, Muslim, Ahmad, Sufyan ats-Tsaury dan
Ishaq ibn Rahawaih dikalangan Mutaqaddimin dan Ad-daruquthny dikalangan
Muta’akhirin digelari “amir al-mu’minin fi al-hadits.”
2.
Kitab-kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits Shahih yang tidak
terdapat dalam Kitab-kitab Shahih Abad ke-3 Hijrah (Kitab Keenam)
Kitab-kitab tersebut diantaranya :
a.
Ash-Shahih,
susunan Ibnu Khuzaimah
b.
At-Taqsim
wa al-Anwa’, susunan Ibnu Hibban
c.
Al-Mustarak,
susunan Al-hakim
d.
Ash-Shahih,
susunan Abu Awanah
e.
Al-Muntaqa,
susunan Ibnu Jarud
f.
Al-Mukhtarah,
susunan Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Maqdisy
3.
Cara-cara Menyusun Kitab-kitab Hadits
a.
Kitab-kitab
shahih dan sunan disusun dengan dasar membagi kitab-kitab itu dalam beberapa
bab.
b.
Kitab
musnad, disusun menurut nama perawi pertama, perawi yang menerima dari Rasul
saw.
c.
Ibnu
Hibban menyusun kitabnya dengan jalan membagi hadits kepada lima bagian. Pertama,
bagian suruhan. Kedua, bagian tegahan (larangan). Ketiga, bagian khabar.
Keempat, bagian ibadat. Kelima bagian af’dal (pekerjaan)
d.
Ada
juga yang menyusun kitabnya secara kamus, memulainya dengan hadits yang
berawalan a – I – u. kemudian yang berawalan b dan seterusnya.
4.
Masa memperbaiki Susunan Kitab-kitab Hadits.
Perbaikan susunan hadits dilakukan oleh para ulama pada abad ke-5
hijrah. Mereka membaguskan susunan kitab-kitabnya, mengumpulkan hadits-hadits
dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits-hadits hokum dalam sebuah kitab dan
hadits targhib-targhib dalam sebuah kitab, dan masuklah kitab-kitab hadits itu
kedalam masa mensyarahkan dan masa mengikhtisarkannya.
5.
Kitab-ktab Jami’ Targib dan Tarhib, Hukum dan Athraf
Diantara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini
ialah :
a.
Mengumpulkan
hadits-hadits Al-bukhary atau Muslim dalam sebuah kitab.
b.
Mengumpulkan
hadits-hadits kitab enam
c.
Mengumpulkan
hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab
d.
Mebumpulkan
hadits-hadits hokum dan menyusun kitab-kitab athraf.
Diantara kitab yang
mengumpulkan hadits-hadits ktab enam ialah :
a.
Tajrid
ash-Shihah, oleh Razin Mu’awiyah.
b.
Al-Jami’,
oleh Abd al-Haqq ibn ar-Rahman al-Asybily yang terkenal dengan nama Ibnu
al_harrat (582 H)
Diantara kitab-kitab yang mengumplkan hadits dari berbagai kitab
ialah :
a.
Mashbih
as-Sunnah, oleh Al-Imam Husain ibn Mas’ud al-Baghawy (516 H)
b.
Jami’
al-Masanid wa al-Alqab, oleh Abd ar-Rahman ibn Ali al-Jauzy (597)
c.
Diantara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum ialah :
BAB IX
HADITS DALAM PERIODE KETUJUH
(656 H.-SEKARANG)
1. India dan Mesir
Memegang Peranan Penting Dalam Perkembangan Hadits
Sejak baghdad dihancuran oleh Hulagu
Khan, kegiatan perkembangan hadits berpindah ke Mesir dan India. Dalam masa ii
banyak kepala-kepala pemerintahan yang berkicung dalam bidang ilmu hadits
seperti Al-Burquq.
Disamping itu tidak dapat dilupakan
usaha ulama India dalam mengembangkan ketab-kitab hadits. Banyak benar
kitab-kitab hadits yang berkembang dalam masyarakat umat Islam dengan usaha
penerbitan yang dilakukan ulama India. Merekalah yag menerbitan kitab ‘Ulum Al-Hadits karya Al-Hakim. Pada masa
akhir-akhir ini berpindah pula kegiatan itu kedaerah kerajaan Saudi Arabia.
2. Jalan-jalan yang
Ditempuh dalam Masa Ini
Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama
dalam periode ketujuh ini ialah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij. Serta membuat kitab-kitab jami’
yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan
hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadits-hadits
yang tereal dalam masyarakat dan meyusun kitab athraf.
Di antara itab-kitab yang disusun dalam
periode ini ialah:
·
Kitab-kitab Zawa’id
Dalam periode ini ulama mulai
mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-itab yang sebelumnya
ke dalam sebuah kitab tertentu. Kitab-kitab itu mereka namai kitab zawa’id. Di
antara kitab zawa’id yang terkenal ialah:
a.
Zawa’id
Sunan Ibni Majah (yakin hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang lain).
b.
Ithhaf
Al-Muharah bi Zawa’id Al-Masanid Al-Asyrah.
c.
Zawa’id
As-Sunan Al-Kubra, yaitu hadits-hadits yang tidak
terdapat dalam kitab enam.
Ketiga itab ini disusun
olehAl-Bushiry (804 H.).
d.
Al-Mathalib
Al-‘Aliyah fi-Zawa’id Al-Masanid ats-Tsamaniyah,
susunan Al-Hafizh Ibnu Hajar (852 H.).
e.
Majma’
az-Zawa’id, susunan Al-Hafizh Nuruddin Abu al-Husain
al-Haitsamy (807 H.).
Dan banyak lagi
kitab-kitab zawa’id yang lain.
·
Kita-itab Jawami’ yang
Umum
Ulama hadits dalam periode ini mengumpulkan
pula hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab
khusus. Diantara kitab yang merupakan jawami’
yang umum ialah:
a.
Jami’
al-Masanid was-Sunan al- Hadi li Aqwami Sanan, karya
Al-Hafizh Ibnu Katsir (774 H.). Dalam kitab ini dikumpulkan hadits-hadits dari Shahih al-Bukhary, Shahih muslim, Sunan
an-Nasa’y, Sunan Abi Daud, Sunan at-Tirmidzy, Sunan Ibni Majah, Musnad,
Al-Bazzar, Abu Ya’la dan Mu’jam al-Kabir (susunan Ath-Thabrany).
b.
Jami’
al-Jami’, susunan Al-Hafizh As-Sayuthy (911 H.). Dalam kitab
ini dikumpulkan hadits-hadits kitab enam dan lain-lain. Kitab ini mengandung
banyak hadits dha’if dan maudhu’.
Alauddin
al-Hindy (975 H.) telah menerbitkan kitab-kitab ini dalam
sebuah kitab yang dinamai Kanz al-Ummal
fi Sunan al-Aqwali wal-Af’al.
·
Kitab-kitab yag
Mengumpulkan Hadits-hadits Hukum
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan
hadits-hadits hukum yang disusun dalam periode ini adalah:
a.
Al-Iman
fi Ahadits al-Ahkim,
susunan Ibnu Daqiq al-Ied (702 H.). Kitab ini disyarahkan dalam kitab Al-Imam,
sebuah syarah yang sangat besar.
b.
Taqrib
al-Asanid wa Tartib al-Masanid,
susunan Zainuddin al-Iraqy (806 H.). yang memuat hadits-hadits hukum yang
diriwayatkan oleh imam-imam terkenal yang diberi julukan dengan Ash-Shahh
al-Asanid, disyarahkannya dalam kitab Tharh at-Tatsrib fi Syarh at- Taqrib.
Kemudian disempurnakan oleh putra beliau, Abu Zur’ah.
c.
Bulugh
al-Maram min Ahadits al-Ahkam, oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalany (852 H.). kitab ini mengandung 1.400 buah hadits dan telah
disyarahkan oleh banyak ulama. Diantaranya, Al-Qadih Al-Husain Muhammad ib
Isma’il ash-Shan’any (1182 H.) dalam kitab yang berama Subul as-Salam dan
Siddiq Hasan Khan (1307 H.) dalam kitab Fath al-‘Allam.
·
Kitab-itab Takhrij
Di antara kitab-kitab takhrij ini ialah:
a.
Takhrij
Ahadits Tafsir al-Kasysyaf, karya Az-Zaila’y (762 H.). Akan
tetapi kitab ini tidak mentakhrijkan seluruh hadits yang disebut oleh penulis
Al-Kasysyaf secara isyarat.
b.
Al-Kafisy
Syafi Takhrij Ahadits Tafsir al-Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar
al-Asqalany. Dalam kitab ini ditakhrijkan hadits-hadits yang lupa ditakhrijkan
oleh Az-Zaila’y.
c.
Takhrij
Ahadits al-Baidhawy, oleh Abd ar-Rauf al-Manawy.
d.
Tuhafah
ar-Rawi fi Takhriji Ahaditsi al-Baidhawy, oleh Muhammad Hammad
Zadah (1175 H.).
e.
Takhrij
Ahadits asy-Syarh Ma’ani al-Atsar, karya Ath-Thahawy,
kitab ini dinamai Al-Hawi.
f.
Takhrij
Ahadits al-Adzkar, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
g.
Takhrij
Ahadits al-Mishbah wal-Misykah yang dinamai hikayat ar-Ruwah ila Takhriji
Ahadits al-Mashabih wal-Misykah.
h.
Manahil
as-Safafi Takhriji Ahadits Syifa, oleh As-Sayuthy.
i.
Takhriji
Ahadits Minhaji al-Ushul, oleh As-Subky dan oleh Ibnu
Mulaqqin dan oleh Zainudin al-Iraqy.
j.
Takhrij
Ahadits Mukhtashar karya Ibnu Hajib, oleh Ibnu Hajar, Ibnu
Mulaqqin dan Muhammad ibn Abd al-Hadi (794 H.)
k.
Takhrij
Ahadits al-Hidayah fi Fiqi al-Hanafiyah, oleh jamaluddin
az-Zaila’y yang dinamai Nashba ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.
l.
Ad-Dirayah
fi Muntakhabi Takhrij Ahadits Hidayah, oleh Ibnu Hajar.
m.
Takhrij
Ahadits al-Ihya’, oleh Zainuddin al-Iraqy.
·
Kitab-kitab Takhrij
Ahadits yang Terkenal dalam Masyarakat
Kitab-kitab yeng menerangkan niali-nilai
dan derajat-derajat hadits, diantaranya:
a.
Al-Maqashid
al-Hasanah, oleh As-Sakhawy. Kitab ini telah diiktisarkan oleh
murid-murid beliau Abd ar-Rahman ibn ad-Daiba’ asy-Syaibany dan dinamai Tamziy
ath-Thayibi min al-Khabits.
b.
Tashil
as-Subul ila Kasyf al-Libas, oleh Izzuddin Muhammad ibn Ahmad
al-Khalily (1507 H.)
c.
Kasyf
al-Khafa’wa Muzil al-Albas, oleh Al-Hafizh Al-Ajaluny (1162
H.). Kitab ini bermanfaat.
·
Kitab-kitab Athraf
Dalam periode ini tergerak pula beberapa
orang ulama menyusun kitab-kitab athraf itu, seperti:
a.
Ith-haf
al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, oleh Ibnu Hajar
al-Asqalany.
b.
Athraf
al-Musnad al-Mu’tali bi Athraf al-Musnad al-Habaly,
oleh Ibnu Hajar.
c.
Athraf
al-Ahadits al-Mukhtarah, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
d.
Athraf
al-Musnad al-Firdaus, oleh Ibnu Hajar.
e.
Athraf
ash-Sahih ibni Hibban, oleh Al-Iraqy.
f.
Athraf
al-Masanid al-‘Asyrah, oleh Syihabuddin al-Bushiry.
Dan dalam periode inilah lahir
kitab-kitab syarah hadits, yang besar-besar, seperti Fath al-Bari, ‘Umdat
al-Qari, Irsyad as-Sari dan lain-lain.
3. Tokoh-tokoh
Hadits yang Disusun dalam Abad Ke-7 Hijrah
Di antara ulama hadits yang terenal
dalam masa ini ialah:
1.
Az-Zahaby (748 H.)
2.
Ibnu Sayyid
an-Nas (734 H.)
3.
Ibnu Daqiq
al-Ied, Mughlathai (862 H.)
4.
Al-Asqalany (852
H.)
5.
Ad-Dimyaty (705
H.)
6.
Al-Ainy (855 H.)
7.
As-Sayuthy (911
H.)
8.
Az-Zarkasyy (794 H)
9.
Al-Mizzy (742H)
10. Al-Ala’y
(761H)
11. Ibnu
Katsir (744 H)
12. Az-Zaila’y
(762H)
13. Ibnu
Rajab (795 H)
14. Ibnu
Mullaqin (804 H)
15. Al-Bulqiy
(805 H)
16. Al-Iraqy
(806 H)
17. Al-haitsamy
(807 H)
18. Abu
zur’ah (826 H)
4. Kitab-Kitab
hadits yang disusun dalam Abad ke-7 Hijriah
a.
At-Targhib,
susunan Al-hafizh Abdul Azhim ibn Abd al-Qawy ibn Abdullah al-Mundziry (656 H)
b.
Al-Jami’
baina ash-shahihain, susunan Ahmad ib Muhammad al-Qurthuby
(642 H)
c.
Muntaqa
al-Akhbar fi al-Ahkam, susunan Majduddin Abdul Barakah Abd
as-Salam ibn Abdillah ibn Abi al-Qasim al-Harrany (652 H)
d.
Al-Mukhtarah,
susuan Muhammad ibn abdil Wahid al-Maqdisy (643 H)
e.
Riyadh
ash-Shalihin, oleh Imam An-Nawawy.
f.
Al-Arba’in,
oleh A-Nawawy.
5. Kitab-kitab
hadits yang disusun dalam Abad ke-8 Hijriah
a.
Jami’
al-Massani was-Sunan al-Hadi ila Aqwami Sanan, susunan
Al-Hafizh Ibnu Katsir.
b.
Al-Ilman
fi ahadits al-Ahkam, susunan Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied (792
H)
6. Kitab-itab
hadits yang Disusun dalam Abad ke-9 Hijriah
a.
Ith-haf
al-Khiyar bi Zawa’id al-Masanid al-‘Asyrah, susunan
Muhammad ibn Abu Bakar al-Baghawy (804 H)
b.
Bulugh
al-Maram, susunan Al-hafizh Al-Asqalany.
c.
Majma’
az-Zawa’id wa Mamba’ al-Fawa’id, susunan Al-Hafizh Abu
al_hasan ali ibn Abi Bakr ibn sualiman asy-Syafi’y al-Haitamy (1303 H)
7. Kitab-kitab
Hadits yag disusun dalam Abad ke-10 Hijriah.
a.
Jam’u
al-Jawami, susunan Al-hafizh As-ayuthy.
b.
Al-Jami’
ash-Shaghir min Alhadits al-Basyir an-Nadzir, susunan
As-Sayuthy.
c.
Lubab
al_hadits, oleh As-Sayuthy.
No comments:
Post a Comment