MAKALAH AKHLAK TERHADAP SESAMA
BAB II
PEMBAHASAN
A. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK
SOSIAL
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun
bi at tob'i). Integritas manusia dapat dilihat secara bertingkat, integritas
pribadi, integritas keluarga dan integritas sosial. Diantara ketiga lembaga;
pribadi, keluarga dan masyarakat terdapat hubungan saling mempengaruhi.
Masyarakat yang baik terbangun oleh adanya keluarga-keluarga yang baik, dan
keluarga yang baik juga terbangun oleh individu-individu anggauta keluarga yang
baik, sebaliknya suasana keluarga akan mewarnai integritas individu dan suasana
masyarakat juga mewarnai integritas keluarga dan individu.
Hubungan antar anggota
masyarakat ada yang diikat oleh faktor domisili pertetanggaan, ada juga yang
diikat oleh kesamaan profesi, atau kesamaan asal usul dan kesamaan sejarah.
Oleh karena itu disamping ada masyarakat lingkungan juga ada masyarakat pers,
masyarakat pendidikan, masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan sebagainya,
juga ada masyarakat etnik dan masyarakat bangsa.
Dalam perspektiF ini kita
mengenal ungkapan yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah anak zaman,
artinya kualitas masyarakat seperti apa akan melahirkan pemimpin seperti apa. Seorang
penulis juga anak dari zamannya, artinya pemikiran yang muncul dari seorang
penulis mencerminkan keadaan masyarakat zamannya. Bagi orang yang sadar akan
makna dirinya sebagai makhluk sosial maka ia bukan hanya dibentuk oleh
masyarakatnya, tetapi secara sadar berusaha membangun masyarakat sesuai dengan
konsep yang dimilikinya.
Secara berencana ia membangun institusi-institusi yang akan menjadi
pilar terbangunnya masyarakat yang diimpikan, satu pekerjaan yang sering
disebut dengan istilah rekayasa sosial, social enginering. Islam mengajarkan
bahwa antara individu dengan individu yang lain bagaikan struktur bangunan (ka
al bun yan), yang satu memperkuat yang lain. Masyarakat yang ideal adalah yang
berinteraksi secara dinamis tetapi harmonis, seperti yang diumpamakan oleh Nabi
bagaikan satu tubuh (ka al jasad al wahid), jika satu organ tubuh menderita
sakit maka organ yang lain ikut merasakannya dan keseluruhan organ tubuh
melakukan solidaritas.
Dari sudut tanggung jawab
anggota masyarakat, suatu masyarakat itu diibaratkan Nabi dengan penumpang
perahu, jika ada seorang penumpang di bagian bawah melubangi kapal karena ingin
cepat memperoleh air, maka penumpang yang di bagian atas harus mencegahnya,
sebab jika tidak, yang tenggelam bukan hanya penumpang yang di bawah, tetapi
keseluruhan penumpang perahu, yang bersalah dan yang tidak.
Jadi disamping setiap
individu memiliki HAM yang perlu dilindungi, dan setiap keluarga memiliki
kehidupan privacy yang perlu dihormati, maka suatu masyarakat juga memiliki
norma-norma dan tatanan sosial yang harus dipelihara bersama. Pelanggaran
atas norma-norma sosial akan berakibat terjadinya kegoncangan sosial yang
dampaknya akan dirasakan oleh setiap keluarga dan setiap individu. Akhlak
terhadap masyarakat adalah bertujuan memelihara keharmonisan tatanan masyarakat
agar sebagai lembaga yang dibutuhkan oleh semua anggauta masyarakat ia
berfungsi optimal.
Di dalam lingkungan masyarakat yang baik, suatu keluarga akan
berkembang secara wajar, dan kepribadian individu akan tumbuh secara sehat.
Diantara akhlak terhadap
masyarakat adalah:
1.
Memelihara perasaan umum. Masyarakat yang telah terjalin lama akan memiliki
nilai-nilai yang secara umum diakui sebagai kepatutan dan ketidakpatutan.
Setiap individu hendaknya menjaga diri dari melakukan sesuatu yang dapat
melukai perasaan umum, meski perbuatan itu sendiri halal, misalnya berpesta di
tengah kemiskinan masyarakat dan sebagainya.
2.
Berperilaku disiplin dalam urusan
publik. Disiplin adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemestiannya,
menyangkut waktu, biaya, dan prosedur. Seorang yang disiplin, datang dan pulang
kerja sesuai dengan jadwal kerja, membayar atau memungut bayaran sesuai dengan
tarifnya, menempuh jalur urusan sesuai dengan prosedurnya. Pelanggaran kepada
disiplin, misalnya' menyuap atau menerima suap, meski dirasa ringan secara
ekonomi, tetapi bayarannya adalah rusaknya tatanan dan sistem kerja.
3.
Memberi kontribusi secara optimal
sesuai dengan tugasnya. Ulama dan cendekiawan menyumbangkan ilmunya, Pemimpin
(umara) mengedepankan keadilan dan tanggungjawab (amanah),
pengusaha mengutamakan kejujuran, orang kaya mengoptimalkan infaq dan sedekah.
4.
Amar makruf nahi munkar. Setiap
anggota masyarakat harus memiliki
kepedulian terhadap hal-hal yang potensil merusak masyarakat, oleh karena itu
mereka harus aktip menganjurkan perbuatan baik yang nyata-nyata telah
ditinggalkan masyarakat dan mencegah perbuatan buruk yang dilakukan secara
terang terangan oleh sekelompok anggota masyarakat.[1]
Banyak sekali rincian yang dikemukakan al-Qur’an berkaitan dengan
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam
bentuk larangan atau hal negatif, seperti membunuh, mencuri, menyakiti badan
atau yang lainnya. Namun disisi lain al-qur’an menekankan bahwa setiap orang
hendaknya didudukkan secara wajar, tidak masuk ke rumah orang lain tanpa izin,
jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan yang dikeluarkan adalah
ucapan baik, benar dan tidak mengucilkan orang lain atau kelompok, tidak wajar
pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang,
memanggil dengan sebutan buruk. Lalu dianjurkan untuk menjadi orang yang pandai
memaafkan, pandai menahan hawa nafsu, dan mendahulukan kepentingan orang
daripada kepentingan kita. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah, 2:
83
وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ
تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil
janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan
berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu,
kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Al-Baqarah 2: 83)
B. Pergaulan Dalam Islam
Pergaulan adalah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat
mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di
dunia ini. Sungguh menjadi sesuatu yang aneh atau bahkan sangat langka, jika
ada orang yang mampu hidup sendiri. Karena memang begitulah fitrah manusia.
Manusia membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.[2]
Tidak ada mahluk yang sama seratus persen di dunia ini. Semuanya diciptakan
Allah berbeda-beda. Meski ada persamaan, tapi tetap semuanya berbeda. Begitu
halnya dengan manusia. Lima milyar lebih manusia di dunia ini memiliki ciri,
sifat, karakter, dan bentuk khas. Karena perbedaan itulah, maka sangat wajar
ketika nantinya dalam bergaul sesama manusia akan terjadi banyak perbedaan
sifat, karakter, maupun tingkah laku. Allah mencipatakan kita dengan segala
perbedaannya sebagai wujud keagungan dan kekuasaan-Nya.
Seorang mukmin
dalam menjalankan kehidupannya tidak hanya menjalin hubungan dengan Allah
semata (habluuminallah), akan tetapi menjalin hubungan juga dengan
manusia (habluuminannas). Saling kasih sayang dan saling menghargai
haruslah diutamakan, supaya terjalin hubungan yang harmonis. Rasulullah ‘saw
bersabda: “Tidak” dikatakan beriman salah seorang di antaramu, sehingga kamu
menyayangi saudaramu, sebagaimana kamu - menyayangi dirimu sendini”. (HR.
Bukhari Miisllm)
Perbedaan bangsa, suku, bahasa, adat, dan kebiasaan menjadi satu paket
ketika Allah menciptakan manusia, sehingga manusia dapat saling mengenal satu
sama lainnya. Sekali lagi . tak ada yang dapat membedakan kecuali ketakwaannya.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita tumbuh kembangkan agar
pergaulan kita dengan sesama muslim menjadi sesuatu yang indah sehingga
mewujudkan ukhuwah islamiyah. Tiga kunci utama untuk mewujudkannya yaitu
ta’aruf (mengenali), tafahum (memahami), dan ta’awun (saling tolong-menolong).
Inilah tiga kunci utama yang harus kita lakukan dalam pergaulan.
1. Tata cara
bergaul dengan orang tua atau guru
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan keluhuran budi pekerti dan
akhlak mulia. Segala sesuatu yang semestinya diiakukan dan segala sesuatu yang
semestinya ditinggalkan diatur dengan sangat rinci dalam ajaran Islam, sehingga
semakin banyak orang mengakui (termasuk non-muslim) bahwa Islam merupakan
ajaran agama yang sangat lengkap dan sempurna serta tidak ada yang terlewatkan
sedikit pun.
Rasulullah SAW diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,
sehingga setiap manusia dapat hidup secara damai, tenteram, berdampingan,
saling memahami, menghormati, dan menghargai satu sama lain, baik kepada yang
lebih tinggi, yang lebih rendah, kepada sesama atau teman sebaya, kepada lawan
jenis, dan sebagainya.
Rasulullah saw pernah bersabda:
اِنَّمَا بُعِثْتُ لاُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلاَخْلاَقِ (رَوَاهُ
اْلبُخَارِيْ وَمُسْلِم(
Artinya:
“Aku
diutus (ke dunia) hanya untuk menyempurnakan akhlak terpuji”. (HR. Bukhari
Muslim)
Hal pertama yang semestinya dilakukan setiap muslim dalam pergaulan
sehari-hari adalah memahami dan menerapkan etika atau tata cara bergaul dengan
orang tuanya. Adapun yang dimaksud dengan orang tua, dapat dipahami dalam tiga
bagian, yaitu:
a.
Orangtua kandung, yakni orang yang telah melahirkan dan
mengurus serta membesarkan kita (ibu bapak).
b.
Orang tua yang telah menikahkan anaknya dan menyerahkan
anak yang telah diurus dan dibesarkannya untuk diserahkan kepada seseorang yang
menjadi pilihan anaknya dan disetujuinya. Orang tua ini, lazim disebut dengan
“mertua”.
c.
Orang tua yang telah mengajarkan suatu ilmu, sehingga
kita mengerti, dan memahami pengetahuan, mengenal Allah, dan memahami arti
hidup, dialah “guru” kita.
Dalam Al-Quran maupun hadits, dapat ditemukan banyak sekali keterangan yang
memerintahkan untuk berbuat baik kepada orangtua. Sekalipun demikian, Islam
tidak menyebutkan jenis-jenis perbuatan baik kepada kedua orangtua
secara rinci, sebab berbuat baik kepada kedua orang tua bukan merupakan
perbuatan yang dibatasi beberapa batasan dan rincian. Kewajiban berbuat baik
kepada kedua orangtua sangat bergantung pada situasi dan kondisi, kemampuan,
keperluan, perasaan manusiawi, dan adat istiadat setiap masyarakat.
Berbuat baik kepada kedua orangtua dalam berbagai bentuknya, disebut dengan
“biruul walidain”.
Kewajiban berbuat baik kepada kedua orangtua juga diungkapkan di dalam
bentuk kata ihsan, ma’ruf, dan rahmah.
Islam memperingatkan setiap anak, bahwa menyakiti perasaan orangtua
merupakan suatu dosa besar dan waib atasnya untuk selalu menjaga perasaan kedua
orangtuanya. Hak orang tua dan anaknya tidak akan pernah sama dengan hak siapa
pun di dunia. Jadi, segala bentuk ucapan, perbuatan, dan isyarat yang dapat menyakiti
kedua orangtuanya atau salah satunya merupakan perbuatan dosa, sekalipun hanya
berupa perkataan “ah”, “cis”, atau “uff”, apalagi jika sampai membentaknya.
Sesungguhnya Allah tidak akan penah meridai seseorang kecuali kita
merendahkan diri kepada keduanya disentai kelembutan dan kasih sayang. Allah
Swt. berfirman dalam surat Al-Isra ayat 24:
Artinya:
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (QS. A1-lsra: 24)
Jadi, kewajiban kita kepada kedua orangtua ialah untuk selalu berbakti
kepadanya dan jangan sedikit pun melukai perasaan mereka, karena Allah tidak
akan rida kepada kita.Adapun yang berkaitan dengan orangtua dalam makna yang
ketiga, yakni orangtua dalam arti orang yang telah mengajarkan dan mendidik
kita tentang pengetahuan dan kehidupan. Mereka adalah guru, ustadz, dosen,
kyai, dan sebagainya. Sebagai seorang muslim, kita juga diperintahkan untuk menghormati
dan memuliakan mereka.
2. Tata
Cara Bergaul dengan yang Lebih Tua
Dalam pergaulan sosial, kita dituntut untuk menjunjung tinggi hak dan
kewajiban masing-masing, termasuk dalam pergaulan dengan orang yang lebih
tinggi atau lebih tua dari kita. orang yang lebih tinggi dari kita, dapat
dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian. yaitu:
a.
Orang yang umurnya lebih tua atau sudah tua,
b.
Orang yang ilmu, wawasan, dan pemikirannya lebih tinggi,
sekali pun bisa jadi umurnya lebih muda, dan
c.
Orang yang harta dan kedudukannva lebih tinggi dan lebih
banyak.
Dalam pergaulan sosial dengan mereka, hendaklah kita bersikap wajar dan
menghormatinya, mendengarkan pembicaraannya, serta wajib mengingatkan jika
mereka keliru dan berbuat kejahatan, dengan cara-cara yang lebih baik. Kita
juga dilarang memperlakukan mereka secara berlebihan, misalnya terlalu hormat
dan tunduk melebihi apa pun, sekalipun mereka salah. Hal ini sungguh tidak
dibenarkan, sebab yang paling mulia di antara kita bukan umur, ilmu, pangkat,
harta, dan kedudukannya, akan tetapi karena kualitas takwanya kepada Allah Swt.
Hal ini sesuai dengan salah satu hadis Rasulullah saw dalam riwayat Thabrani:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ
إِلَى اَحْسَابِكُمْ وَلاَ اِلَى اَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى
قُلُوْبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ (رواه الطبرانى(
Artinya:
“Sesungguhnya
Allah Swt. tidak melihat ruhmu, kedudukan, dan harta kekayaanmu, tetapi Allah
melihat apa yang ada dalam hatimu dan amal perbuatanmu”. (HR. Thabrani)
3. Tata
Cara Breagaul dengan yang Lebih Muda
Dalam menjalankan pergaulan social, Islam melarang umatnya untuk
membeda-bedakan manusia karena hal-hal yang bersifat duniawi, seperti harta,
tahta, umur, dan status sosial lainnya. akan tetapi yang terbaik adalah
bersikap wajar sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntutan ajaran agama dan
tidak bertentangan dengan norma-norma kehidupan.
Tidak dapat dihindari, kita juga pasti berkomunikasi dan bergaul dengan
orang yang umur dan strata sosialnya lebih rendah dan kita. Kita sama sekali
dilarang untuk merendahkan dan meremehkannya.
Kita diperintahkan untuk selalu berusaha menyayangi orang yang umurnya
lebih muda dari kita. Bahkan Rasulullah SAW menyatakan dalam satu hadisnya
bahwa bukan termasuk golongan umatku, mereka yang tidak menyayangi yang lebih
muda. Beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا
وَلَمْ يَعْرِفْ حَقًّ كَبِيْرَناَ (رواه الطبرانى(
Artinya:
‘Bukan
termasuk golongan umatku, orang yang tidak menyayangi yang lebih
kecil (lebih muda), dan tidak memahami hak-hak orang yang lebih besar (tinggi /
dewasa)”. (HR. Thabrani)
Seseorang yang usianya lebih muda, bisa saja amal perbuatannya
dan akhlaknya lebih baik dibandingkan dengan orang yang telah
berumur dewasa, bahkan telah berusia lanjut. Jadi, umur seseorang tidak
menjamin hidupnya lebih mulia dan berkualitas, sekali pun semestinya semakin
bertambah (bilangan) umur (hakikatnya berkurang), harus semakin baik amalnya,
semakin mulia akhlaknya, dan semakin bijak sikapnya.
Kenyataannya, dalam kehidupan sosial, kita menemukan hal yang justru
sebaliknya. Ada yang usianya sudah lebih tua dan dianugerahi panjang umur oleh
Allah Swt. akan tetapi kualitas hidupnya tidak Iebih baik dibandingkan dengan
yang lebih muda. Nauzubillah.
Dalam salah satu hadis Rasulullah saw riwayat Ahmad, dikemukakan bahwa termasuk
orang yang terbaik, jika umurya panjang dan amal perbuatannya baik. Rasulullah
saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عَمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ (رواه احمد(
Artinya:
“Sebaik-baik
manusia adalah, mereka yang panjang umurnya dan sangat baik amalnya. Dan
sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya, tetapi jelek amal
perbuatannya” (HR.Ahmad)
Jika kita bergaul dengan yang lebih muda, dan kebetulan kita merasa sudah
lebih dewasa serta berpengalaman, hendaklah kita membimbing, rnengarahkan dan
mengajarkan kepada mereka hal-hal yang baik agar bermakna bagi kehidupannya.
Inilah yang dikehendaki dalam ajaran agama Islam, sehingga orang yang lebih
tua hidupnya lebih bermanfaat karena wawasan dan pengalamannya, sedangkan orang
yang lebih mudah dapat memanfaatkan kelebihan yang dimiliki orang yang lebih
tua.
4. Tata
Cara Bergaul dengan Teman Sebaya
Bergaul dengan sesama atau teman sebaya, baik dalam umur, pendidikan,
pengalaman, dan sebagainya, kadang-kadang tidak selalu berjalan mulus. Mungkin
saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti terjadi salah pengertian (mis
understanding) atau bahkan ada teman yang zaim terhadap kita serta suka
membuat gara-gara dan masalah.
Menghadapi persoalan seperti itu, hendaklah kita mensikapi dengan sikap
terbaik yang kita miliki. Jika ada yang berbuat salah, hendaklah kita segera
memaafkan kesalahanya sekalipun orang yang berbuat salah tidak meminta maaf.
Begitu juga apabila kita berbuat kesalahan atau kekeliruan, hendaklah kita
segera meminta maaf kepada orang yang kita sakiti, baik disengaja maupun tidak
disengaja. Perkara orang itu memaafkan kita atau tidak, itu bukan urusan kita.
Kewajiban kita adalah segera meminta maaf dan memaafkan. Janganlah kita
termasuk orang yang sebagaimana dikemukakan Rasulullah saw dalam sabdanya:
مَنِ اعْتَذَرَ اِلَى أَخِيْهِ اْلمُسْلِمِ فَلَمْ يَقْبَلْ
مِنْهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيْئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ (رواه ابن ماجه(
Artinya:
“Barangsiapa
yang meminta maaf kepada saudaranya yang muslim sedangkan ia tidak mau
memaafkannya, maka ia mempunyai dosa sebesar dosa orang yang merampok”.
(HR. lbnu Majah)
Pergaulan dengan teman sebaya termasuk dengan siapa pun harus dilandasi
kasih sayang dan keikhlasan Allah tidak akan menyayangi
seseorang jika tidak menyayangi sesamaya. Dalam salah satu hadis,
.Rasulullah saw bersabda:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ
الله ُ(متفق عليه(
Artinya:
“Barangsiapa
yang tidak menyayangi sesama manusia, niscaya tidak akan disayangi oleh Allah”.
(HR. Bukhari Muslim)
5. Tata
Cara Bergaul dengan Lawan Jenis
Allah telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan sempurna,
teratur, dan berpasang-pasangan. Ada langit dan ada bumi, ada siang dan ada
malam, ada dunia ada akhirat, ada surga dan neraka, ada tua dan ada muda, ada
laki-laki dan ada perempuan.
Laki-laki dan perempuan: merupakan makhluk Allah yang telah diciptakan
scara berpasang-pasangan. jadi, merupakan suatu keniscayaan dan sangat wajar,
jika terjadi pergaulan di antara mereka. Dalam pergaulan tersebut,
masing-masing berusaha untuk saling mengenal. Bahkan lebih jauh lagi, ada yang
berusaha saling memahami, saling mengerti dan ada yang sampai hidup bersama
dalam kerangka hidup berumah tangga. lnilah indahnya kehidupan.
Laki-laki dan perempuan ditentukan dalam sunah Allah untuk saling tertarik
satu dengan yang lainnya. Laki-laki tertarik dengan perempuan, demikian juga
sebaliknya, perempuan tertarik kepada laki-laki. Allah Swt. memberikan rasa
indah untuk saling menyayangi di antara mereka. Tidak jarang juga masing-masing
merindukan yang lainnya. Rindu untuk saling menyapa, saling melihat, serta
saling membenci atas. dasar ketulusan dan kasih sayang.
Pergaulan yang baik dengan lawan jenis. hendaklah tidak didasarkan pada
nafsu (syahwat) yang dapat menjerumuskan pada pergaulan bebas yang dilarang agama.
Inilah yang tidak dikehendaki dalam Islam. Islam sangat memperhatikan
batasan-batasan yang sangat jelas dala pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan.
Seorang laki-laki yang bukan muhrim, dilarang untuk berduaan di
tempat-tempat yang memungkinkan melakukan perbuatan yang dilarang. Kalau pun
bersama-sama sebaiknya disertai oleh muhrimnya atau minimal ditemani tiga
orang, yaitu: dua laki-laki dan satu perempuan. atau Juga pergaulan untuk
belajar atau bergaul jika ada dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Hal
ini memungkinkan untuk lebih menjaga diri.
Salah satu hadis mengemukakan bahwa jika seseorang pergi dengan orang lain
yang bukan muhrimnya serta berlinan jenis kelamin, maka yang ketiganya pasti
syetan yang selalu berusaha untuk menjerumuskan dan menghinakan. ltulah yang
disinyalir dalam ayat A!-Quran, agar jangan mendekati zina. Mendekatinya sudah
dilarang dan haram, apalagi melakukannya. Allah Swt. berfirman dalam surat
Al-Isra ayat 32 yang artinya: “Jadi janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS.
Al-Isra: 32)
Mencintai dan menyayangi seseorang merupakan hal yang wajar. Hendaklah
pikiran dan perasaan kita arahkan kepada hal-hal yang positif, dan bukan
sebaliknya. Contohnya, karena cinta dan sayang, seseorang mengorbankan
segalanya termasuk hal-hal yang paling “berharga” dan dilarang oleh Allah Swt.
Islam mengajarkan agar dalam pergaulan dengan lawan jenis untuk senantiasa
saling menjaga diri, menghormati dan menghargai atas dasar kasih sayang yang
tulus karena Allah, bukan karena derajat, pangkat, harta, keturunan, tetapi
semata-mata hanya karena Allah.
Cinta karena Allah merupakan titik puncak dan tingginya kualitas iman
seseorang Hasilnya tidak dapat dilihat, melainkan hanya dapat dirasakan oleh
orang yang telah nyaris sempurna keikhlasannya. Cinta yang mendalam. ini
merupakan bukti kesempurnaan serta ketulusan iman, yang kedua-duanya berhak
untuk mendapatkan pahala yang paling besar di sisi Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ:
أَنْ يَكُوْنَ الله وَرَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِمَّاسَوَاهُهُمَا وَاَنْ
يُحِبَّ فِى اللهِ وَيَبْغَضَ فِى الله وَاَنْ تُوْقَدُ نَارٌ عَظِيْمَةٌ فَيَقَعُ
فِيْهَا اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ اَنْ يُسْرِكَ بِااللهِ سَيِّئًا (رواه مسلم(
Artinya:
“Ada
tiga perkara, barangsiapa yang terdapat padanya ketiga hal tersebut, maka akan
merasakan lezat (manisnya) iman: “Jika ia mencintai Allah dan rasulnya melebihi
yang lainnya; Mencintai dan membenci semata-mata hanya karena Allah; Jika
dilemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, lebih disukai daripada
syirik (menyekutukan) Allah”. (HR. Muslim)
Orang yang bersahabat, bergaül, dan berkomunikasi dengan yang lainnya hanya
karena Allah, tandanya adalah senantiasa berusaha untuk mendoakan dengan tulus.
Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda:
إِذَادَعَا الرَّجُلُ لاِخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ
اْلمَلَكُ: وَلَكَ مِثْلُ ذَالِكَ (رواه مسلم(
Artinya:
“Jika
seseorang berdoa untuk sahabatnya di belakangnya (jaraknya berjauhan), maka
berkatalah malaikat: “Dan untukmu pun seperti itu”. (HR. Muslim)
Jika ada masalah yang dihadapi, maka diupayakan untuk dipikul atau
dipertanggung jawabkan bersama-sama, dan tidak membiarkan salah satu pihak
menderita. Dalam peribahasa diungkapkan: ‘Berat sama dipikul ringan sama
dijinjing” Rasulullah saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ بَيْنَ
اْلمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضَهُ بَعْضًا (رواه البخاري(
Artinya:
“Seseorang
mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah bagaikan suatu bangunan,
yang bagian-bagian saling menguatkan satu sama lain”. HR. Bukhari)
[1]
http://konselorqurani.blogspot.co.id/2012/07/akhlak-terhadap-sesama-manusia.html. Diakses pada tanggal 18 Desember 2017
Pukul 15:25 WIB.
[2]
http://rangga-bachdar.blogspot.co.id/2012/05/akhlak-pergaulan-dalam-islam.html.
Diakses pada tanggal 17 Desember 2017 Pukul 17:00WIB.
No comments:
Post a Comment