1

loading...

Wednesday, October 24, 2018

MAKALAH EKONOMI ISLAM

MAKALAH FATWA-FATWA DALAM BIDANG EKONOMI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang akan membawa rahmat bagi pemeluknya tidak terkecuali siapappun itu. Islam jua adalah suatu lembaga dan wadah di dalalm menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan segi kehidupan umatnya. Seperti, dalam bidang ibadah makhdoh kita mengenal di situ ada beberapa hal seperti salat, puasa, dan ibadah lainnya yang telah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun adakalanya permasalahan yang kotemporer saat-saat ini yang sangat rumit memeng tidak dapat dibantah kembali dalm penerimaan kehujjahan kita butuh bantuan Ijtihad dari kaum ulama’ yang berkompeten dalam bidang yang bermasalah ,yang berupa produk ijma’ dan qiyas.
Itu semua adalah sumber hukum Islam yang telah dapat dipercaya dan masih banyak yang lainnya seperti Ihtisan, Urf dll. Itu semuanya akan dibahas secara lengkap pada pokok pembahasan Usul Fiqh. Namun pada kenyataan masih banyak hal yang perlu dijadikan patokan agar tercapinya hukum yang baik dan benar secara syariat dan aturan yang berlaku di suatu wilayah.
Dengan ketentuan di atas, maka di Indonesia dibentuklah sebuah lembaga perkumpulan sekumpulan ulama yang akan membantu di dalam penyelesaian masalah kontemporer yang sedang melanda negeri ini lebih-lebih berhubungan dengan akidah dan syari’at. Lembaga tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tugas yang mereka adalah menyampaikan fatwa atau himbauan yang berhubungn dengan masalah tersebut. Inilah yang akan kami bahas bagaimnakah keterkaitannya MUI yang sebagai subjek Hukum Islam di Indonesia dengan upaya pegakan dan penerapan Hukum Islam di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah dan Fungsi didirikannya MUI ?
2.      Bagaimana Prosedur dan Persyaratan Fatwa ?
3.      Apa saja  Contoh Fatwa MUI ?

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah dan Fungsi didirikannya Majelis Ulama Indonesia
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Prosedur dan Persyaratan Fatwa
3.      Untuk Mengetahui Apa saja  Contoh Fatwa MUI

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah dan Fungsi didirikannya Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.[1] Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.[2]
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.[3]
Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.
Dalam perjalanannya, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.[4]
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1.      Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2.      Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3.      Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4.      Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5.      Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.[5]

B.     Prosedur dan Persyaratan Fatwa

Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat dilahirkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Dengan upaya serius, para mufti atau mujtahid memberikan fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, kaitan antara ijtihad dengan fatwa sangat erat sekali, sebab ijtihad itu merupakan suatu usaha yang masksimal para ahli untuk mengambil atau meng-istinbath-kan hukum-hukum tertentu, sedangkan fatwa itu salah satu hasil dari ijtihad itu sendiri. Hukum Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan al-Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yangdituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan. Karena begitu penting nilai fatwa dalam kehidupan keagamaan umat Islam, dalam mengeluarkan fatwa, seorang mufti atau lembaga tertentu harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang cukup ketat, yang telah ditetapkan oleh para ulama’. Hal ini diberlakukan untuk menghindari kecacatan dan kesalahan dalam mengeluarkan fatwa. [6]
KH Ma’ruf Amin (21:2007) yang kini menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus yang membidangi masalah fatwa dan hukum Islam mennjelaskan  5 hal atau rukun yang berkaitan dengan proses dikeluarkannya fatwa yakni:
1.      Al-ifta atau kegiatan menerangkan hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
2.      Al- Mustafti atau individu atau kelompok yang meminta fatwa,
3.      Mufti atau orang dan istitusi yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
4.      Mustafti fihi atau masalah yang dipertanyakan dan ingin dicarikan status hukumnya.
5.        Dan fatwa itu sendiri sebagai jawaban hukum atas masalah yang ditanyakan. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam penetapan fatwa. [7]
Fatwa tidak bisa dikeluarkan tanpa prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan, serta disepakati para ulama. Ia menempati posisi penting dalam hukum Islam karena statusnya sama dengan hasil ijtihad. Realitas dan fenomena permintaan fatwa dari individu atau masyarakat sudah ada semenjak awal sejarah perkembangan umat Islam. Pada masa Rasulallah SAW, ketika para sahabat menemukan persoalan yang dianggap sulit untuk dicarikan solusinya dan jawabannya, mereka langsung bertemu  dan meminta jawaban dari Nabi Muhammad SAW, meskipun jawaban nabi langsung berupa nash-nash al-Qur’an dan Hadist Nabi sendiri, tetapi tradisi permintaan, konsultasi, bimbingan untuk menjawab berbagai persoalan hidup kepada ahlinya merupakan bagian spirit yang menginspirasi munculnya tradisi fatwa dalam masyarakat muslim. Keberadaan Nabi SAW pada masa itu adalah pembuat keputusan (decision maker) dan pemegang kebijakan bagi hampir seluruh persoalan umat Islam. Setelah kewafatan Nabi, pemegang otoritas keagamaan menjadi persoalan. Untuk itu, para ulama selalu membuat prosedur dan persyaratan dalam berbagai hal yang menyangkut penentuan panduan keagamaan, termasuk persoalan fatwa.[8] Untuk itu, para ulama memberikan persyaratan bagi mufti, diantaranya sebagai berikut:
a.       Seseorang yang ingin mengelurkan fatwa keagamaan harus memahami ajaran Al- Qur’an secara mendetail, lengkap dengan kemampuan menafsirkan dan menganalisisnya secaraa tajam.
b.      Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara seksama tentang asbabunnuzul al Qur’an dan mengetahui juga asbabul wurud hadist Rsulullah saw.
c.       Seseorang ahli fatwa harus mengetahui ayat-ayat yang nasikh dan ayatayat yang mansukH
d.      Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara persis tetang ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih.
e.        Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara detail tentang aspek-aspek yang menyangkut penta’wilan Al Qur’an dan penafsirannya.\
f.        Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara detail tentang hadist-hadist Rasulullah saw.
g.       Seorang ahli fatwa harus mengetahui tentang ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
h.      Seorang ahli fatwa harus mengetahui tentang ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu fiqh, Ushul Fiqh, ilmu kalam, ilmu nahwu dan shorof, balaghah, dan ilmu-ilmu lain yang sifatnya untuk menunjang kelengkapan dan memberikan fatwa keagamaan.
i.        Seorang ahli fatwa juga termasuk orang harus mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (masalahatul mursalah)
j.         Seorang ahli fatwa harus terhindar dari sikap dan watak vested interest, namun mengutamakan kepentingan ilmiah semata-mata demi kepentingan ummat manusia, khususnya ummat Islam.[9]
Selain persyaratan di atas, Imam Ahmad bin Hambal seperti yang dikutip Ma’ruf Amin (2007) menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk mengeluarkan fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut;
Pertama, mempunyai niat yang tulus ikhlas, maksudnya setiap orang yang mengeluarkan fatwa harus diniatkan lillahi ta’ala, tidak karena maksud-maksud lain, apalagi maksud keduniaan, misalnya agar mendapatkan kedudukan yang mulia. Kedua, mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Setiap mufti harus mampu menyampaikan dan menjelaskan fatwanya kepada pihak yang meminta fatwa, sehingga fatwanya dipahami secara utuh dan benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan akan kesulitan untuk menyampaikan secara jelas fatwanya. Ketiga, mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa, karena tanpa kapasitas ini, seorang akan cenderung melakukan tahakum membuat-buat hukum. Keempat, mempunyai penghidupan (ma’isyah) yang cukup. Dan kelima, mempunyai kecerdikan dan kecermatan dalam menghadapi masalah. Hal ini diperlukan, karena mufti harus memahami berbagai persoalan yang diajukan oleh peminta fatwa termasuk kemungkinan dari orang yang berniat jahat kepadanya.
Imam Nawawi, seperti yang juga dikutip Ma’ruf Amin (35:2007) menjelaskan bahwa; pertama, berfatwa hukumnya adalah fardlu kifayah. Jika ada seseorang atau pihak yang mssssssenanyakan hukum sesuatu, maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk menjawabnya. Dan jika ada orang lain yang juga mempunyai kompetensi untuk menjawabnya, maka menjawabnya adalah fardlu kifayah. Kedua, jika suatu fatwa telah dikeluarkan akan tetapi ada sesuatu hal dirasa tidak sesuai, maka pihak yang mengeluarkan fatwa harus memberikan pemberitahuan dan penjelaskan kepada pihak yang meminta fatwa, bahwa fatwanya tidak sesuai. Ketiga, diharamkan bagi mufti untuk mempermudah untuk mengeluarkan fatwa, dan begitu pula haram untuk meminta fatwa kepadanya. Keempat,  seorang mufti harus sehat lahir dan batin ketika mengemukakan fatwanya, sehingga ia berfikir jernih dan menjaga netralitasnya dalam menentukan hukum suatu masalah. Kelima, seorang mufti dilarang untuk menjadikan berfatwa sumber penghidupan dan penghasilan untuk kepentingan dirinya. Keenam,  penetapan fatwa harus merujuk kepada ulama madzhab tertentu yang didasarkan kepada kitab-kitab yang mu’tabarah. Ketujuh, pengulangan penetapan fatwa harus disesuaikan dengan illat dan argumentasinya. Kedelapan, penetapan fatwa harus jelas dan langsung dapat dilaksanakan oleh peminta fatwanya.[10]


Untuk dapat menjalankan ekonomi dan keuangan syariah diperlukan salah satu unsur hukum Islam berupa fatwa. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syariah dalam suatupersoalan sebagai jawabah atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa(mustafti) baik secaraperorangan atau kolektif.
Diperlukan fatwa untuk menjawab beberapa permasalahan dalam ekonomi dan keuangan modern yang tergolong cukup kompleks dan merupakan hal baru jika dilihat dari konteks fiqh. Oleh karena itu, Fatwa tidak bisa dipisahkan dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah saat ini.
Di Indonesia, fatwa ekonomi dan keuangan syariah dilimpahkan ke MUI yang secara khusus dikeluarkan oleh lembaga tersendiri dibawah MUI yaitu Dewan Syariah Nasional - DSN. Meski bukan merupakan lembaga pemerintah, namun fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI menjadi acuan lembaga pemerintah dalam membuat regulasi tentang ekonomi dan keuangan syariah. tak heran jika istilah DSN-MUI masuk dalam Undang-Undang atau peraturan BI, Peraturan OJK, atau peraturan menteri. 
DSN-MUI termasuk yang cukup aktif dalam mengeluarkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah, hingga saat ini sudah 108 fatwa yang dikeluarkan. Berikut ini daftar lengkap fatwa DSN MUI yang dijadikan acuan oleh lembaga ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.


NOMOR
FATWA

Fatwa-fatwa terbaru yang dikeluarkan DSN MUI terkait perbankan syariah antara lain; fatwa no. 101/DSN-MUI/X/2016 tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah, fatwa no. 102/DSN-MUI/X/2016 tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah untuk produk pembiayaan pemilikan rumah (PPR) inden, fatwa no. 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi subyektif berdasarkan prinsip syariah, fatwa no. 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi berdasarkan prinsip syariah, dan fatwa no. 105/DSN-MUI/X/2016 tentang penjaminan pengembalian modal pembiayaan mudharabah, musyarakah, dan wakalah bil istitsmar.
Sementara itu, fatwa-fatwa terkait non – perbankan syariah antara lain; fatwa no. 106/DSN-MUI/X/2016 tentang wakaf manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah, fatwa no. 107/DSN-MUI/X/2016 tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip syariah, fatwa no. 108/DSN-MUI/X/2016 tentang pedoman penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah, serta terakhir fatwa no. 109/DSN-MUI/X/2016 tentang pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari keterangan tersebut, ada pelajaran yang sangat berharga yaitu betapa upaya generalisasi dalil-dalil hukum pada semua masalah hukum tidak efektif dan kredibel dalam hal membumikan tujuan-tujuan agama. Pengetahuan dalil sesungguhnya hanya mencerminkan setengah dari proses berfatwa. Fatwa harus berangkat dari pertanyaan, harus berangkat dari kasus.
Teori fatwa mengatakan dua kasus yang sama tidak serta merta harus diberi hukum yang sama, sebab setiap kasus ia memiliki karakteristik-karakteristik yang sangat spesifik. Dari perspektif inilah sehingga perlu disosialisasikan bahwa hanya pengetahuan tentang kasus-lah yang menjadi penentu jenis atau kualitas hukum atau fatwa bukan dalil hukum.

B.     Saran
Harapan kami selaku pemakalah, semoga dengan terselesainya makalah MUI ini dapat menjadikan para pembaca, khususnya teman-teman MPI supaya dapat memberikan bimbingan dan tuntunan kepada kita dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
                      
DAFTAR PUSTAKA

Rahmat,M Imadadun.2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya

Rahmat,Prof.2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia

Soejono Soekamto,Soejono.1989. Tata Negara dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press

Sudi Prayitno,Sudi.2004. Peran Beberapa State Auxiliary Agencies Dalam Mendukung Reformasi Hukum Di Indonesia.Jakarta: Kompas



[1] Rahmat,M Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya, hal.  96
[2] Rahmat,M Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya, hal.  97
[3] Rahmat, Prof. 2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia, hal. 116
[4] Rahmat,M Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya, hal.  144
[5] Rahmat, Prof. 2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia, hal. 120
[6] Soejono Soekamto, Soejono.1989. Tata Negara dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press, hal. 48
[7] Rahmat,M Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya, hal.  163
[8] Rahmat, Prof. 2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia, hal. 151
[9] Rahmat, Prof. 2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia, hal. 155
[10] Soejono Soekamto, Soejono.1989. Tata Negara dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press, hal. 118

No comments:

Post a Comment