MAKALAH FATWA-FATWA DALAM BIDANG EKONOMI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah
agama yang akan membawa rahmat bagi pemeluknya tidak terkecuali siapappun itu.
Islam jua adalah suatu lembaga dan wadah di dalalm menyelesaikan suatu
permasalahan yang berkaitan dengan segi kehidupan umatnya. Seperti, dalam
bidang ibadah makhdoh kita mengenal di situ ada beberapa hal seperti salat,
puasa, dan ibadah lainnya yang telah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun
adakalanya permasalahan yang kotemporer saat-saat ini yang sangat rumit memeng
tidak dapat dibantah kembali dalm penerimaan kehujjahan kita butuh bantuan
Ijtihad dari kaum ulama’ yang berkompeten dalam bidang yang bermasalah ,yang
berupa produk ijma’ dan qiyas.
Itu semua
adalah sumber hukum Islam yang telah dapat dipercaya dan masih banyak yang
lainnya seperti Ihtisan, Urf dll. Itu semuanya akan dibahas secara lengkap pada
pokok pembahasan Usul Fiqh. Namun pada kenyataan masih banyak hal yang perlu
dijadikan patokan agar tercapinya hukum yang baik dan benar secara syariat dan
aturan yang berlaku di suatu wilayah.
Dengan
ketentuan di atas, maka di Indonesia dibentuklah sebuah lembaga perkumpulan
sekumpulan ulama yang akan membantu di dalam penyelesaian masalah kontemporer
yang sedang melanda negeri ini lebih-lebih berhubungan dengan akidah dan
syari’at. Lembaga tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tugas yang
mereka adalah menyampaikan fatwa atau himbauan yang berhubungn dengan masalah
tersebut. Inilah yang akan kami bahas bagaimnakah keterkaitannya MUI yang
sebagai subjek Hukum Islam di Indonesia dengan upaya pegakan dan penerapan
Hukum Islam di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan Fungsi didirikannya MUI ?
2. Bagaimana Prosedur dan Persyaratan Fatwa ?
3. Apa saja Contoh Fatwa MUI ?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah dan Fungsi didirikannya Majelis Ulama
Indonesia
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Prosedur dan Persyaratan Fatwa
3. Untuk Mengetahui Apa saja Contoh
Fatwa MUI
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan
Fungsi didirikannya Majelis Ulama Indonesia
Majelis
Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.[1]
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU,
AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari
musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah
tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang
dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.[2]
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para
Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam
membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para
ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam
Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan
teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global
yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama
dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri.[3]
Akibatnya
umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang
berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai
sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kebersamaan umat Islam.
Dalam
perjalanannya, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai
masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan
antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.[4]
Dalam khitah
pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama
MUI yaitu:
1.
Sebagai pewaris tugas-tugas para
Nabi (Warasatul Anbiya)
2.
Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3.
Sebagai pembimbing dan pelayan umat
(Riwayat wa khadim al ummah)
4.
Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5.
Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi
munkar
Sampai saat
ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan
kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir
masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.[5]
Fatwa
merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat
dilahirkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Dengan upaya serius, para mufti
atau mujtahid memberikan fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan umat
manusia. Oleh karena itu, kaitan antara ijtihad dengan fatwa sangat erat
sekali, sebab ijtihad itu merupakan suatu usaha yang masksimal para ahli
untuk mengambil atau meng-istinbath-kan hukum-hukum tertentu, sedangkan
fatwa itu salah satu hasil dari ijtihad itu sendiri. Hukum Islam yang
berlandaskan al-Qur`an dan al-Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan
berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yangdituangkan dalam bentuk
fatwa keagamaan. Karena begitu penting nilai fatwa dalam kehidupan keagamaan
umat Islam, dalam mengeluarkan fatwa, seorang mufti atau lembaga tertentu harus
memenuhi prosedur dan persyaratan yang cukup ketat, yang telah ditetapkan oleh
para ulama’. Hal ini diberlakukan untuk menghindari kecacatan dan kesalahan
dalam mengeluarkan fatwa. [6]
KH Ma’ruf
Amin (21:2007) yang kini menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus
yang membidangi masalah fatwa dan hukum Islam mennjelaskan 5 hal atau
rukun yang berkaitan dengan proses dikeluarkannya fatwa yakni:
1.
Al-ifta atau kegiatan
menerangkan hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
2.
Al- Mustafti atau individu
atau kelompok yang meminta fatwa,
3.
Mufti atau orang dan istitusi
yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
4.
Mustafti fihi atau masalah
yang dipertanyakan dan ingin dicarikan status hukumnya.
5.
Dan fatwa itu sendiri
sebagai jawaban hukum atas masalah yang ditanyakan. Kelima hal tersebut
merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam penetapan fatwa. [7]
Fatwa tidak bisa dikeluarkan tanpa prosedur dan
persyaratan yang telah ditetapkan, serta disepakati para ulama. Ia menempati
posisi penting dalam hukum Islam karena statusnya sama dengan hasil ijtihad.
Realitas dan fenomena permintaan fatwa dari individu atau masyarakat sudah ada
semenjak awal sejarah perkembangan umat Islam. Pada masa Rasulallah SAW, ketika
para sahabat menemukan persoalan yang dianggap sulit untuk dicarikan solusinya
dan jawabannya, mereka langsung bertemu dan meminta jawaban dari Nabi
Muhammad SAW, meskipun jawaban nabi langsung berupa nash-nash al-Qur’an dan
Hadist Nabi sendiri, tetapi tradisi permintaan, konsultasi, bimbingan untuk
menjawab berbagai persoalan hidup kepada ahlinya merupakan bagian spirit yang
menginspirasi munculnya tradisi fatwa dalam masyarakat muslim. Keberadaan Nabi
SAW pada masa itu adalah pembuat keputusan (decision maker) dan pemegang
kebijakan bagi hampir seluruh persoalan umat Islam. Setelah kewafatan Nabi,
pemegang otoritas keagamaan menjadi persoalan. Untuk itu, para ulama selalu
membuat prosedur dan persyaratan dalam berbagai hal yang menyangkut penentuan
panduan keagamaan, termasuk persoalan fatwa.[8]
Untuk itu, para ulama memberikan persyaratan bagi mufti, diantaranya sebagai
berikut:
a.
Seseorang yang ingin mengelurkan
fatwa keagamaan harus memahami ajaran Al- Qur’an secara mendetail, lengkap
dengan kemampuan menafsirkan dan menganalisisnya secaraa tajam.
b.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui
secara seksama tentang asbabunnuzul al Qur’an dan mengetahui juga asbabul wurud
hadist Rsulullah saw.
c.
Seseorang ahli fatwa harus
mengetahui ayat-ayat yang nasikh dan ayatayat yang mansukH
d.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui
secara persis tetang ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih.
e.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara
detail tentang aspek-aspek yang menyangkut penta’wilan Al Qur’an dan
penafsirannya.\
f.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara
detail tentang hadist-hadist Rasulullah saw.
g.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui tentang
ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
h.
Seorang ahli fatwa harus mengetahui
tentang ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu fiqh, Ushul Fiqh,
ilmu kalam, ilmu nahwu dan shorof, balaghah, dan ilmu-ilmu lain yang sifatnya
untuk menunjang kelengkapan dan memberikan fatwa keagamaan.
i.
Seorang ahli fatwa juga termasuk
orang harus mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (masalahatul
mursalah)
j.
Seorang ahli fatwa harus terhindar dari sikap
dan watak vested interest, namun mengutamakan kepentingan ilmiah semata-mata
demi kepentingan ummat manusia, khususnya ummat Islam.[9]
Selain persyaratan di atas, Imam Ahmad bin Hambal seperti
yang dikutip Ma’ruf Amin (2007) menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk
mengeluarkan fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut;
Pertama, mempunyai
niat yang tulus ikhlas, maksudnya setiap orang yang mengeluarkan fatwa harus
diniatkan lillahi ta’ala, tidak karena maksud-maksud lain, apalagi
maksud keduniaan, misalnya agar mendapatkan kedudukan yang mulia. Kedua,
mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Setiap mufti harus mampu menyampaikan dan
menjelaskan fatwanya kepada pihak yang meminta fatwa, sehingga fatwanya
dipahami secara utuh dan benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan
kewibawaan akan kesulitan untuk menyampaikan secara jelas fatwanya. Ketiga,
mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa, karena tanpa
kapasitas ini, seorang akan cenderung melakukan tahakum membuat-buat
hukum. Keempat, mempunyai penghidupan (ma’isyah) yang cukup. Dan kelima,
mempunyai kecerdikan dan kecermatan dalam menghadapi masalah. Hal ini
diperlukan, karena mufti harus memahami berbagai persoalan yang diajukan oleh
peminta fatwa termasuk kemungkinan dari orang yang berniat jahat kepadanya.
Imam Nawawi, seperti yang juga dikutip Ma’ruf Amin
(35:2007) menjelaskan bahwa; pertama, berfatwa hukumnya adalah fardlu
kifayah. Jika ada seseorang atau pihak yang mssssssenanyakan hukum sesuatu,
maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk menjawabnya. Dan
jika ada orang lain yang juga mempunyai kompetensi untuk menjawabnya, maka
menjawabnya adalah fardlu kifayah. Kedua, jika suatu fatwa telah
dikeluarkan akan tetapi ada sesuatu hal dirasa tidak sesuai, maka pihak yang
mengeluarkan fatwa harus memberikan pemberitahuan dan penjelaskan kepada pihak
yang meminta fatwa, bahwa fatwanya tidak sesuai. Ketiga, diharamkan bagi
mufti untuk mempermudah untuk mengeluarkan fatwa, dan begitu pula haram untuk
meminta fatwa kepadanya. Keempat, seorang mufti harus sehat lahir
dan batin ketika mengemukakan fatwanya, sehingga ia berfikir jernih dan menjaga
netralitasnya dalam menentukan hukum suatu masalah. Kelima, seorang
mufti dilarang untuk menjadikan berfatwa sumber penghidupan dan penghasilan
untuk kepentingan dirinya. Keenam, penetapan fatwa harus merujuk
kepada ulama madzhab tertentu yang didasarkan kepada kitab-kitab yang mu’tabarah.
Ketujuh, pengulangan penetapan fatwa harus disesuaikan dengan illat dan
argumentasinya. Kedelapan, penetapan fatwa harus jelas dan langsung
dapat dilaksanakan oleh peminta fatwanya.[10]
Untuk dapat menjalankan ekonomi dan keuangan syariah diperlukan
salah satu unsur hukum Islam berupa
fatwa. Menurut Yusuf Qardawi,
fatwa adalah menerangkan hukum syariah dalam suatupersoalan sebagai jawabah atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa(mustafti) baik secaraperorangan atau kolektif.
Diperlukan
fatwa untuk menjawab beberapa permasalahan dalam ekonomi dan keuangan modern
yang tergolong cukup kompleks dan merupakan hal baru jika dilihat dari konteks
fiqh. Oleh karena itu, Fatwa tidak bisa dipisahkan dalam pengembangan ekonomi
dan keuangan syariah saat ini.
Di
Indonesia, fatwa ekonomi dan keuangan syariah dilimpahkan ke MUI yang secara
khusus dikeluarkan oleh lembaga tersendiri dibawah MUI yaitu Dewan Syariah
Nasional - DSN. Meski bukan merupakan lembaga pemerintah, namun fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI menjadi acuan lembaga pemerintah dalam membuat
regulasi tentang ekonomi dan keuangan syariah. tak heran jika istilah DSN-MUI
masuk dalam Undang-Undang atau peraturan BI, Peraturan OJK, atau peraturan
menteri.
DSN-MUI
termasuk yang cukup aktif dalam mengeluarkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan
syariah, hingga saat ini sudah 108 fatwa yang dikeluarkan. Berikut ini daftar
lengkap fatwa DSN MUI yang dijadikan acuan oleh lembaga ekonomi dan keuangan
syariah di Indonesia.
NOMOR
|
FATWA
|
Fatwa-fatwa terbaru yang dikeluarkan DSN MUI
terkait perbankan syariah antara lain; fatwa no. 101/DSN-MUI/X/2016 tentang
Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah, fatwa no. 102/DSN-MUI/X/2016 tentang
Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah untuk produk pembiayaan pemilikan
rumah (PPR) inden, fatwa no. 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi subyektif
berdasarkan prinsip syariah, fatwa no. 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
berdasarkan prinsip syariah, dan fatwa no. 105/DSN-MUI/X/2016 tentang
penjaminan pengembalian modal pembiayaan mudharabah, musyarakah, dan wakalah
bil istitsmar.
Sementara itu, fatwa-fatwa terkait non –
perbankan syariah antara lain; fatwa no. 106/DSN-MUI/X/2016 tentang wakaf
manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah, fatwa no.
107/DSN-MUI/X/2016 tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan
prinsip syariah, fatwa no. 108/DSN-MUI/X/2016 tentang pedoman penyelenggaraan
pariwisata berdasarkan prinsip syariah, serta terakhir fatwa no.
109/DSN-MUI/X/2016 tentang pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
keterangan tersebut, ada pelajaran yang sangat berharga yaitu betapa upaya
generalisasi dalil-dalil hukum pada semua masalah hukum tidak efektif dan
kredibel dalam hal membumikan tujuan-tujuan agama. Pengetahuan dalil
sesungguhnya hanya mencerminkan setengah dari proses berfatwa. Fatwa harus
berangkat dari pertanyaan, harus berangkat dari kasus.
Teori fatwa
mengatakan dua kasus yang sama tidak serta merta harus diberi hukum yang sama,
sebab setiap kasus ia memiliki karakteristik-karakteristik yang sangat
spesifik. Dari perspektif inilah sehingga perlu disosialisasikan bahwa hanya
pengetahuan tentang kasus-lah yang menjadi penentu jenis atau kualitas hukum
atau fatwa bukan dalil hukum.
B.
Saran
Harapan kami
selaku pemakalah, semoga dengan terselesainya makalah MUI ini dapat menjadikan
para pembaca, khususnya teman-teman MPI supaya dapat memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada kita dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahmat,M Imadadun.2000. Islam dan
Indonesia. Bandung : Rosdakarya
Rahmat,Prof.2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka
Setia
Soejono Soekamto,Soejono.1989. Tata Negara dan
Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press
Sudi Prayitno,Sudi.2004. Peran Beberapa State
Auxiliary Agencies Dalam Mendukung Reformasi Hukum Di Indonesia.Jakarta:
Kompas
[1] Rahmat,M
Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia. Bandung
: Rosdakarya, hal. 96
[2] Rahmat,M
Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia.
Bandung : Rosdakarya, hal. 97
[3] Rahmat, Prof.
2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka
Setia, hal. 116
[4] Rahmat,M
Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia.
Bandung : Rosdakarya, hal. 144
[5] Rahmat, Prof.
2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka
Setia, hal. 120
[6] Soejono
Soekamto, Soejono.1989. Tata Negara dan
Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press, hal. 48
[7] Rahmat,M
Imadadun. 2000. Islam dan Indonesia.
Bandung : Rosdakarya, hal. 163
[8] Rahmat, Prof.
2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka
Setia, hal. 151
[9] Rahmat, Prof.
2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka
Setia, hal. 155
[10] Soejono
Soekamto, Soejono.1989. Tata Negara dan
Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press, hal. 118
No comments:
Post a Comment