MAKALAH AL-QUR'AN HADIS REZEKI
A.PENGERTIAN REZEKI
Pengertian Rizki menurut islam :Anggapan bahwa rizki semata
harta dan benda tidak lain hanyalah pandangan orang-orang kafir yang hidup
bergelimang dalam kejahiliyahan, kekafiran, dan kebiadaban. Rizki dalam Islam,
bukan semata harta dan benda. Apalagi, yang semata-mata karena hasil usaha
(kerja) manusia. Rizki dalam Islam melingkupi semua apa yang ada dalam
kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kesempatan, kecerdasan, istri,
anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan, hujan, tanaman, hewan piaraan dan
masih banyak sekali yang lainnya.
Itulah mengapa Allah mengingatkan manusia bahwa nikmat
(rizki) Allah terhadap manusia sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab,
Allah telah menyediakan untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada
segala situasi dan kondisi.
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ
اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Aritinya:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat
kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim [14]: 34).
Allah memang memberikan rizki kepada semua makhluk-Nya, tetapi
tidak semua mendapatkan rizki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka
itu?
“Maka
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rizki yang
mulia” (QS. 22 : 50).
Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad
bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah Ta’ala (wa rizqun
karim) ‘Dan rizki yang mulia,’ maka rizki yang mulia itu adalah surga.Dengan
demikian, maka sebaik-baik rizki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini
kita harus mengutamakan dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena
hanya keduanyalah yang dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rizki yang
mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat tercela bila ada seorang
Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta. Apalagi kalau sampai berani
mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya
Ø MAKNA
REZEKI
هُوَكُلُّمَاتَنْتَفِعُبِهِمِمَّااَبَاحَهُاللهُلَكَسَوَاءٌكَانَمَلْبُوْسٌاَوْمَطْعُوْمٌ
… حَتَّىالزَّوْجَةرِزْق،الاَوْلاَدُوَالبَنَاتُرِزْقٌوَالصِّحَةُوَالسَّمْعُوَالعَقْلُ
…الخ
“Segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah halalkan
untukmu, entah berupa pakaian, makanan, sampai pada istri. Itu semua termasuk
rezeki. Begitu pula anak laki-laki atau anak peremupuan termasuk rezeki.
Termasuk pula dalam hal ini adalah kesehatan, pendengaran dan penglihatan.”
Dari pengertian di atas, rezeki ternyata tidak identik
dengan harta dan uang. Jadi, janganlah kita sempitkan pada maksud tersebut
saja.
Ø
PEMANFAAT REZEKI
Rezeki yang kita peroleh wajib dimanfaatkan untuk hal yang
baik. Disebut dalam ayat,
وَمِمَّارَزَقْنَاهُمْيُنْفِقُونَ
“Dan menafkahkan (mengeluarkan) sebagian rezeki yang
dinafkahkan untuk mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3)
Jika rezeki berupa harta, maka wajib diperhatikan zakat
dari harta tersebut atau mengeluarkannya untuk sedekah yang sunnah. Ada pula
rezeki selain harta yang juga diperintahkan untuk dimanfaatkan untuk hal-hal
baik, seperti rezeki berupa akal, pendengaran dan penglihatan.
Adapun pemanfaatan rezeki dengan dua acara:
1- Rezeki atau nikmat dimanfaatkan untuk melakukan ketaatan
pada Allah.
2- Rezeki tersebut dimanfaatkan untuk memberi manfaat pada
kaum muslimin yang lain.
Ibnu Hazm berkata,
كُلُّنِعْمَةٍلاَتُقَرِّبُمِنَاللهِعَزَّوَجَلَّ،فَهِيَبَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada
Allah, itu hanyalah musibah.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82)
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَحَبُّالنَّاسِإِلَىاللَّهِتَعَالَىأَنْفَعُهُمْلِلنَّاسِ
, وَأَحَبُّالأَعْمَالِإِلَىاللَّهِتَعَالَىسُرُورٌتُدْخِلُهُعَلَىمُسْلِمٍ , أَوْتَكَشِفُعَنْهُكُرْبَةً
, أَوْتَقْضِيعَنْهُدَيْنًا , أَوْتَطْرُدُعَنْهُجُوعًا
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling
memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah
adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain,
membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani di dalam
Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).
Ø
CARILAH REZEKI DENGAN CARA YANG HALAL
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّرُوْحَالقُدُسِنَفَثَفِيرَوْعِيإِنَّنَفْسًالاَتَمُوْتَحَتَّىتَسْتَكْمِلَرِزْقُهَا،فَاتَّقُوْااللهَوَأَجْمِلُوْافِيالطَّلَبِ،وَلاَيَحْمِلَنَّكُمْاِسْتَبْطَاءَالرِّزْقُأَنْتَطْلُبُوْهُبِمَعَاصِياللهَ؛فَإِنَّاللهَلاَيُدْرِكُمَاعِنْدَهُإِلاَّبِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke
dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia
habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan
perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki
mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena
rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR.
Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166,
hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).
Dalam hadits disebutkan bahwa kita diperintah untuk mencari
rezeki dengan cara yang baik atau diperintahkan untuk “ajmilu fit tholab”. Apa
maksudnya?
Janganlah berputus asa ketika belum mendapatkan rezeki yang
halal sehingga menempuh cara dengan maksiat pada Allah. Jangan sampai kita
berucap, “Rezeki yang halal, mengapa sulit sekali untuk datang?”
Jangan sampai engkau mencelakakan dirimu untuk sekedar
meraih rezeki.
Dalam hadits di atas berarti diperintahkan untuk mencari
rezeki yang halal. Janganlah rezeki tadi dicari dengan cara bermaksiat atau
dengan menghalalkan segala cara. Kenapa ada yang menempuh cara yang haram dalam
mencari rezeki? Di antaranya karena sudah putus asa dari rezeki Allah
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Intinya karena tidak sabar. Seandainya mau bersabar mencari
rezeki, tetap Allah beri karena jatah rezeki yang halal sudah ada. Coba
renungkan perkataan Ibnu ‘Abbas berikut ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata,
مامنمؤمنولافاجرإلاوقدكتباللهتعالىلهرزقهمنالحلالفانصبرحتىيأتيهآتاهاللهتعالىوإنجزعفتناولشيئامنالحرامنقصهاللهمنرزقهالحلال
“Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat)
sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga
rezeki itu diberi, niscaya Allah akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar
lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki
halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)Itulah mengapa, para Nabi dan Rasul
tidak pernah berbangga dengan harta dan benda. Bahkan para Nabi dan Rasul itu
lebih memilih hidup susah demi rizki yang mulia di sisi-Nya. Namun demikian,
Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena kekayaan yang disertai iman
juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang mulia di sisi-Nya.
B.TUJUAN MENCARI REZEKI
Pada suatu kesempatan Rasulullah Saw menerangkan cara
burung mencari makan. Belia bersabda ” Mereka keluar pagi-pagi dengan kantung
makanan yang kosong, dan pulang dengan sore hari dengan kantung makanan yang
penuh terisi. Burung-burung keluar di pagi hari mencari rezeki yang telah Allah
Swt sediakan untuk mereka. Adapun para sahabat Rasulullah Saw mereka pergi
mencari rezeki dengan berniaga atau berdagang didaratan maupun lautan, dan
sebagian lainnya bercocok tanam dikebun-kebun. Dan bagi kaum muslim sudah
sepantasnya mengikuti jejak mereka untuk giat mencari rezeki yang halal.
Ketahuilah menari rezeki adakalanya ditujukan untuk sekedar
mencukupi kebutuhan, dan adakalanya untuk menumpuk-numpuk harta. Usaha untuk
mencar rezeki yang dilakukan untuk menumpuk-numpuk merupakan cara yang dilarang
aturan agama. Sebab, usaha menumpuk-numpuk harta untuk tujuan bermegah-megahan
lebih merupakan sumber kezhaliman yang beraikbat dosa dan nista. Oleh karna
itu, orang yang mencari rezeki untuk kepentingan bermegah-megahan atas dunia,
niscaya ia akan terperosok dalam kehinaan nanti saat berada dialam akhirat.
Namun demikian, ada 4 golongan yang di berikan keringanan
dalam meninggalkan usaha mencari rezeki”
1.
Pertama kelompok orang yang disibukan dengan mengurus kepentingan ibadah
manusia, baik secara lahiriah maupun batiniah.
2.
Kedia golongan para kekasih Allah (para waliyullah) yang tekun menyucikan qalbu
dan ruhani mereka.
3.
Ketiga golongan para ahli agama, yaitu para mufti (orang yang memberikan fatwa
dan putusan hukum agama), serta para muhaddits (orang yang mengajarkan hadis), dan
orang-orang yang belajar serta mengajar ilmu, juga mengamalkannya.
4.
Keempat golongan orang yang disebutkan dalam mengelola urusan demi kemaslahatan
kaum muslim secara umum, seperti khalifah, sultan, dan yang semisal dengannya.
Itulah keempat golongan yang tetap dianggap diberikan keringanan atas mereka
dengan meninggalkan perintah mencari rezeki. Dan bagi mereka sepantasnya
mendaptkan penhasilan (gaji) yang diambil dari upah yang dikeluarkan, atau
dibiayai oleh siapa yang menugaskan. Sebagaimana Nabi Saw diperintahkan untuk
bertasbih, bertahmid dan bersujud kepada Allah Swt bukan untuk mencari rezeki.
Oleh karna itu ketika Sayyidina Abu Bakar ra menjadi
khalifah, para sahabat menyarankan agar beliau menginggalkan aktivitas
berdagang di pasar. Sebab ada yang lebih utama di kerjakan yaitu mengurus
kepentingan rakyat dan agama. Kemudian untuk sekadar memenuhi kebutuhan beliau
dan keluarganya, dibolehkan untuk mengambil harta dari baitul mal (kas negara).
Selanjutnya ketika beliau mendekati ajal, beliau berwasiat agar harta yang
pernah diambil dari Baitu Mal untuk kebutuhannya, segera di kembaliakn sisanya.
No comments:
Post a Comment