1

loading...

Monday, October 29, 2018

MAKALAH BATIK BASUREK

MAKALAH BATIK BASUREK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Batik memiliki banyak peran dan fungsi dalam tata kehidupan masyarakat pemiliknya. Salah satu fungsi tersebut adalah fungsi batik dalam aktivitas social-religius. Di jawa, batik jelas memiliki fungsi ritual di awal fungsinya. Awalnya batik adalah pakaian khusus raja. Batik motif perang hanya dipakai oleh raja pada acara pasewakan agung sebagai simbol legitimasi. Sejak abad ke 20, batik telah keluar istana dan menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara.
            Salah satu wilayah tersebut ialah Bengkulu yang memiliki batik khas yang disebut batik besurek. Literatur batik yang awal-awal tidak mengidentifikasi batik besurek, namun dewasa ini eksistensi batik besurek telah diangkat sebagai salah satu ikon Bengkulu. Batik besurek memiliki makna ritual Islam sebagai salah satu sarana dalam ritual pemakaman jenazah, tabut, dan ritual khitan/sunat. Penggunaan batik besurek ini merupakan salah satu cara dakwah Islam, yaitu salah satu cara mengagungkan asma Allah. Namun, di Bengkulu konsep itu telah diubah dengan menghilangkan ayat-ayat Allah di dalam batik dengan maksud mengagungkan dan menghargai ayat-ayat Allah. Sebagai gantinya dimunculkan tulisan mirip surek/ayat yang tidak terbaca dan tidak memiliki makna. 
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa itu  ritual dan makna simbolik batik jawa?
2.     Bagaimana asal-usul batik besurek?
3.     Apa yang dimaksud dengan kain surek?
4.     Apa yang dimaksud dengan kain surek dan batik?

C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui apa itu ritual dan makna simbolik dari batik jawa.
2.     Untuk mengetahui bagaimana asal-usul batik besurek
3.     Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kain surek
4.     Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kain surek dan batik


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ritual dan Makna Simbolik Batik Jawa
            Batik besurek merupakan  bagian  dari suatu jaringan batik Nusantara yang  mula-mula berasal dari lingkungan keraton Jawa. Di Jawa, pembuatan dan pemakaian batik pada awalnya merupakan kegiatan ritual. Awalnya batik hanya dikerjakan oleh para putri keraton. Batik dikerjakan dengan dasar nilai kerohanian yang  memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran, kebersihan jiwa dan dilandasi permohonan petunjuk dan petunjuk dan ridha Tuhan Yang Maha Esa (Doellah, 2002: 54). Beberapa pola batik juga dianggap pola larangan yang tidak boleh dipakai atau dibuat sembarang orang. Pola larangan berhubungan dengan pemakai dan sejarah bermunculan. Pola parang merupakan pola larangan karena pola ini biasa dipakai oleh raja, sedangkan pola sembagen  huk merupakan pola larangan karena dalam sejarahnya pola ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
            Kehadiran batik berkaitan dengan pandangan hidup atau filosofi masyarakat pemiliknya. Motif batik Jawa memiliki hubungan dengan falsafah hidup orang Jawa, keraton khususnya. Motif semen rama ternyata berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa yang mengadopsi kisah Ramayana dengan ajaran Hasta Brata (Sarwono, 1997: 61). Ajaran ini adalah ajaran Sri Rama tentang konsep-konsep tata pemerintahan. Hal ini tentu akan sangat berbeda sangat berbeda dengan batik besurek yang tidak tumbuh di kalangan istana yang memerintah.
            Batik memiliki makna simbolis sebagai doa dan harapan dan dipakai dalam peristiwa tertentu seperti perkawinan. Hal ini diungkapkan oleh Handayani (2002: 13) yang meneliti “Makna Simbolis Pola Sidomukti dalam Perkawinan Adat Jawa di Surakarta”. Akibat tuntutan zaman, motif Sidomukti mengalami perkembangan. Sidomukti yang awal adalah motif Sidomukti polos. Motif ini ciptaan Pakubuwono IV yang mengharap kemuliaan. Motif ini kemudian berkembangan di antaranya menjadi sidoasih, sidomulyo, sidoluhur, ceplok wirasat, sidodrajat, dan sidodadi (Handayani, 2002: 28). Perkembangan ini tidak lain adalah perubahan tuntutan terhadap pasangan pengantin yang diharapkan tidak hanya mukti, melainkan juga mulia, luhur budi, satria, indah, berderajat dan terkabul cita-citanya.
            Motif Sidomukti tidak lain merupakan harapan atau suatu cita-cita kolektif. Ketika kerajaan Mataram Islam berdiri pada abad ke-17, panembahan Senapati sebagai pendiri dinasti Mataram ingin menyimpangi motif batik yang selama waktu itu berkembang di kerajaan Pajang. Panembahan Senopati di dalam membina kerajaan tersebut mencita-citakan agar dapat mulia. Cita-cita tersebut akhirnya tercapai sehingga disebut “Sidomukti” (jadi mulia). Perkataan tersebut kemudian dimunculkan menjadi nama motif batik yang disebut Sidomukti. Motif ini kemudian dikembangkan oleh Pakubuwana IV yang kemudian berkembang sebagai motif khusus untuk upacara perkawinan dengan harapan pengantin yang menikah mendapat kemuliaan (Handayani, 2012: 18).
            Dalam hubungan dengan batik besurek, tentu ada juga harapan dan cita-cita yang tersimpan dalam batik besurek. Karena harapan tersebut berkaitan dengan masyarakat Bengkulu yang dijiwai nilai-nilai Islami, maka harapan dan cita-cita tersebut akan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
B.    Asal Usul Batik Besurek
            Literatur batik tahun 1980-an belum menyebutkan adanya batik besurek Bengkulu. Batik sejenis ditemukan di Jambi. Djoemena (1986:84) menyatakan bahwa batik jambi mulanya dikembangkan oleh raja-raja Melayu Jambi. Batik ini berkembang mulai tahun 1875 ketika keluarga Haji Mahibat berpindah dari Jawa Tengah ke Jambi dan mendirikan usaha batik di sana.
            Perkembangan batik di Jambi juga akibat perkembangan perdagangan yang cukup ramai antara Jambi dengan Indramayu, Cirebon, Lasem, Tuban dan Madura. Dalam batik Jambi terdapat pengaruh Arab dengan munculnya ragam hias kalighrafi Arab dan ragam hias geometri Timur Tengah. Ragam hias tersebut dipakai pada selendang dan tentunya dengan maksud memuliakan ayat-ayat suci al-Qur’an (Djoemena, 1986: 85).
            Menurut analisis peneliti, batik besurek kemungkinan besar merupakan aliran dari batik Jambi tersebut mengingat Jambi dan Bengkulu merupakan wilayah yang berdampingan. Kain surek yang bertulisan kalighrafi ayat-ayat al-Qur’an di jambi dimuliakan dengan cara hanya dipakai di bagian atas saja. Sementara itu, masyarakat bengkulu menghindari penggunaan ayat-ayat tersebut dengan menuliskan ayat-ayat secara samar dengan tidak bermakna tetapi mirip tulisan Arab. Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa batik jambi memuliakan ayat-ayat al-Qur’an menempatkan surek pada bagian atas badan, sementara Bengkulu menghindari menggunakan ayat-ayat untuk pakaian dengan cara menyamarkan tulisan yang masih mirip kalighrafi Arab, tetapi hakikatnya tidak terbaca.
C.    Kain Surek
            Sebelum berkembang batik di Bengkulu sebagai interaksi masyarakat Bengkulu dengan masyarakat luar, di Bengkulu sudah ada tradisi-tradisi Islam. Salah satu tradisi Islam yang terdapat dalam masyarakat Bengkulu adalah penggunaan kain yang digunakan untuk menutup keranda jenazah. Tradisi pemakaman Islam yakni menutup keranda dengan kain hijau atau bertuliskan ayat mengingatkan kematian. Tulisan tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari bagian ritual kematian, meskipun tidak dipersyaratkan. Dalam perawatan jenazah yang diwajibkan adalah memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Selam proses itu, maka jenazah ditutup dengan kain yang bertulisan ayat-ayat dengan beberapa tujuan.
            Kain yang bertulisan ayat-ayat itu disebut sebagai kain besurek atau kain yang bertulisan. Menurut seorang informan, aslinya dahulu kain bertulisan ayat-ayat (bersurat=besurek) adalah sebuah kain yang sakral yang hanya digunakan untuk menutup jenazah. Kain tersebut tidak digunakan untuk baju. Berbeda dengan masyarakat Jambi yang menggunakan kain bersurat untuk pakaian bagian atas, masyarakat Bengkulu lebih hati-hati dengan tidak menggunakan kain yang bertulisan ayat suci.
            Menurut pandangan seorang informan, tidak dipakainya kain bertulisan ayat-ayat suci tersebut sebagai bentuk kehati-hatian masyarakat Bengkulu karena bila ayat-ayat tersebut digunakan dibagian tubuh, maka bila ayat-ayat tersebut digunakan untuk tidur, maka ayat-ayat tersebut menjadi tidak terhormat karena hanya menjadi alas. Pada saat cuci kain juga akan berada di bagian bawah sehingga mengurangi penjagaan kesucian ayat-ayat tersebut.
            Kain surek Bengkulu berkaitan juga dengan tradisi tabut. Tradisi tabut adalah tradisi mengarak keranda jenazah kosong. Tradisi ini adalah bentuk ritual yang ada kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam berupa terbunuhnya dua cucu Nabi Muhammad SAW bernama Hasan dan Husain. Menurut cerita Hasan dibunuh dengan cara diracun sementara Husain terbunuh dalam sebuah perang tidak seimbang di Padang Karbala. Husain dikabarkan terbunuh oleh pasukan Yazid dan kepalanya dikirimkan kepada Muawiyah sebagai bukti kemenangan.
            Dahulu, keranda tersebut ditutup dengan kain bertulisan ayat-ayat al-Qur’an yang disebut kain besurek tersebut. Inilah catatan awal tentang kain surek. Kain tersebut dapat berupa pengaruh Arab-India yang memang dalam tradisi pemakaman juga memiliki tradisi menutup jenazah dengan kain bertulisan Arab. Tradisi seperti itu juga terdapat di Jawa dan Jambi.
D.    Kain Surek dan Batik
            Kain surek jelas merupakan kain yang sakral yang digunakan dalam ritual keagamaan, khususnya dalam kematian. Dalam masyarakat Bengkulu, kain surek juga digunakan dalam tradisi tabut yang dilakukan pada 10 Muharram. Tradisi tabut juga menggunakan kain surek. Tidak jelas asal-usul masuknya tradisi batik ke Bengkulu, namun teknis pembuatan batik di Sumatera setidaknya sudah dikenal di Jambi, wilayah yang berdekatan dengan Bengkulu. Membatik sebenarnya sebuah teknis membuat tulisan atau lukisan dengan menggambarkannya dahulu dengan malam, lalu dicelupkan ke dalam pewarna. Tempat yang ditutup malam yang membentuk gambar atau tulisan.
            Dalam sejarah, Bengkulu adalah tempat pembuangan pejuang-pejuang Indonesia. Salah satu tokoh perjuangan yang pernah dibuang di Bengkulu adalah panglima perang Pangeran Diponegoro bernama Ali Basah Sentot Prawirodirjo yang dibuang bersama keluarganya dan akhirnya meninggal dan dimakamkan di daerah Tengah Padang, yang saat ini masuk wilayah kota Bengkulu. Namun, hal itu tidak mengindahkan Bengkulu sebagai daerah yang tetap memegang teguh nilai Islami. Bahkan, daerah ini sampai saat ini masih memiliki konsep Islam Nusantara sebagaimana masyarakat Melayu pada zaman dahulu. Salah satu bukti kandungan nilai Islami orang Bengkulu terdapat dalam batik besurek.
            Ada yang menarik pada artefak kain batik besurek yang dapat ditemui di toko-toko batik besurek di Jalan Suprapto, Padangharapan, Tanah Patah, Jalan Nusa Indah dan Jalan Penurunan, Bengkulu Kota. Dalam sejarahnya, batik ini telah mengalami perkembangan dan menjadi bagian dari ritual Islam khas Bengkulu yang berbeda dengan batik di Jawa. Batik ini tersusun dengan motif lokal dengan pola kalighrafi, sementara kandungan nilainya bersumber pada Islam. Batik tidak hanya sekedar sebagai pakaian, namun juga menjadi bagian dari ritual (selain sebagai penutup aurat).
            Batik di Jawa pada mulanya juga memiliki aspek ritual yang berkaitan dengan legitimasi raja (Handayani, 2002: 34). Motif batik parang, misalnya hanya khusus untuk raja pada waktu pasewakan agung (pertemuan resmi kerajaan). Batik besurek Bengkulu memiliki perbedaan fungsi dengan batik Jawa. Batik besurek berkaitan dengan nilai-nilai Melayu Bengkulu yang mengedepankan makna keislaman dengan roh dalam berseni budaya. Artikel ini berusaha membahas batik besurek dalam kaitan dengan ritual dan dakwah Islam yang ada di Bengkulu.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batik besurek pada awalnya merupakan bentuk kain yang digunakan untuk kegiatan ritual Islam, khususnya dalam acara ritual jenazah, sunatan dan tradisi tabut. Seiring dengan masuknya tradisi membatik, maka pembuatan tulisan itu dilakukan dengan cara dibatik. Dari sinilah muncul istilah batik besurek yang awalnya menuliskan ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk kalighrafi sebagaimana yang ada di dalam batik Jambi.
            Pemahaman Islam yang meningkat menjadikan masyarakat Bengkulu menghindari penulisan ayat-ayat di dalam kain karena dikhawatirkannya mengurangi penghormatan pada ayat-ayat yang dituliskan. Langkah ini merupakan langkah dakwah dalam usaha memulikan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, dibuatlah bentuk mirip kalighrafi huruf Arab tetapi sejatinya huruf itu tidak terbaca. Inilah yang kemudian disebut sebagai batik besurek yang sesungguhnya tanpa surek lagi. Batik ini berkembang seiring perkembangan zaman. Karena di Bengkulu tumbuh bunga rafflesia sebagai bunga identitas Bengkulu, maka dalam motif  kain besurek yang terkini diberi gambaran tentang figur bunga raflesia.

B.    SARAN
            Sebagai warga Bengkulu dan siapapun harus mengerti apa itu kain besurek, untuk menambah wawasan kita juga. Dan sebagai pemakalah kami menerima jika pembaca memberikan kritik serta saran.


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali. 2015. “Menghormati Qur’an Penghargaan kaum Muslim terhadap Qur’an”. http://qur’an-nusantara. Blogspot.com
Baits,   Ammi Nur Baits. 2015. “Dilarang Memasang Kalighrafi Al-Qur’an?. “www. Konsultasisyariah. Com.

No comments:

Post a Comment