MAKALAH BATIK BASUREK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Batik memiliki banyak peran dan fungsi dalam tata
kehidupan masyarakat pemiliknya. Salah satu fungsi tersebut adalah fungsi batik
dalam aktivitas social-religius. Di jawa, batik jelas memiliki fungsi ritual di
awal fungsinya. Awalnya batik adalah pakaian khusus raja. Batik motif perang
hanya dipakai oleh raja pada acara pasewakan agung sebagai simbol
legitimasi. Sejak abad ke 20, batik telah keluar istana dan menyebar ke
berbagai wilayah di Nusantara.
Salah
satu wilayah tersebut ialah Bengkulu yang memiliki batik khas yang disebut
batik besurek. Literatur batik yang awal-awal tidak mengidentifikasi batik
besurek, namun dewasa ini eksistensi batik besurek telah diangkat sebagai salah
satu ikon Bengkulu. Batik besurek memiliki makna ritual Islam sebagai salah
satu sarana dalam ritual pemakaman jenazah, tabut, dan ritual khitan/sunat.
Penggunaan batik besurek ini merupakan salah satu cara dakwah Islam, yaitu
salah satu cara mengagungkan asma Allah. Namun, di Bengkulu konsep itu telah
diubah dengan menghilangkan ayat-ayat Allah di dalam batik dengan maksud
mengagungkan dan menghargai ayat-ayat Allah. Sebagai gantinya dimunculkan
tulisan mirip surek/ayat yang tidak terbaca dan tidak memiliki makna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu ritual dan makna simbolik
batik jawa?
2.
Bagaimana asal-usul batik besurek?
3.
Apa yang dimaksud dengan kain surek?
4.
Apa yang dimaksud dengan kain surek dan batik?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu ritual dan makna simbolik dari batik jawa.
2.
Untuk mengetahui bagaimana asal-usul batik besurek
3.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kain surek
4.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kain surek dan batik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ritual dan Makna Simbolik Batik
Jawa
Batik besurek merupakan
bagian dari suatu jaringan batik
Nusantara yang mula-mula berasal dari
lingkungan keraton Jawa. Di Jawa, pembuatan dan pemakaian batik pada awalnya
merupakan kegiatan ritual. Awalnya batik hanya dikerjakan oleh para putri
keraton. Batik dikerjakan dengan dasar nilai kerohanian yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran,
kebersihan jiwa dan dilandasi permohonan petunjuk dan petunjuk dan ridha Tuhan
Yang Maha Esa (Doellah, 2002: 54). Beberapa pola batik juga dianggap pola
larangan yang tidak boleh dipakai atau dibuat sembarang orang. Pola larangan
berhubungan dengan pemakai dan sejarah bermunculan. Pola parang merupakan
pola larangan karena pola ini biasa dipakai oleh raja, sedangkan pola sembagen
huk merupakan pola larangan
karena dalam sejarahnya pola ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Kehadiran
batik berkaitan dengan pandangan hidup atau filosofi masyarakat pemiliknya.
Motif batik Jawa memiliki hubungan dengan falsafah hidup orang Jawa, keraton
khususnya. Motif semen rama ternyata berkaitan dengan pandangan hidup orang
Jawa yang mengadopsi kisah Ramayana dengan ajaran Hasta Brata (Sarwono,
1997: 61). Ajaran ini adalah ajaran Sri Rama tentang konsep-konsep tata
pemerintahan. Hal ini tentu akan sangat berbeda sangat berbeda dengan batik
besurek yang tidak tumbuh di kalangan istana yang memerintah.
Batik
memiliki makna simbolis sebagai doa dan harapan dan dipakai dalam peristiwa
tertentu seperti perkawinan. Hal ini diungkapkan oleh Handayani (2002: 13) yang
meneliti “Makna Simbolis Pola Sidomukti dalam Perkawinan Adat Jawa di
Surakarta”. Akibat tuntutan zaman, motif Sidomukti mengalami
perkembangan. Sidomukti yang awal adalah motif Sidomukti polos.
Motif ini ciptaan Pakubuwono IV yang mengharap kemuliaan. Motif ini
kemudian berkembangan di antaranya menjadi sidoasih, sidomulyo, sidoluhur,
ceplok wirasat, sidodrajat, dan sidodadi (Handayani, 2002: 28).
Perkembangan ini tidak lain adalah perubahan tuntutan terhadap pasangan
pengantin yang diharapkan tidak hanya mukti, melainkan juga mulia, luhur budi,
satria, indah, berderajat dan terkabul cita-citanya.
Motif
Sidomukti tidak lain merupakan harapan atau suatu cita-cita kolektif. Ketika
kerajaan Mataram Islam berdiri pada abad ke-17, panembahan Senapati sebagai
pendiri dinasti Mataram ingin menyimpangi motif batik yang selama waktu itu
berkembang di kerajaan Pajang. Panembahan Senopati di dalam membina kerajaan
tersebut mencita-citakan agar dapat mulia. Cita-cita tersebut akhirnya tercapai
sehingga disebut “Sidomukti” (jadi mulia). Perkataan tersebut kemudian
dimunculkan menjadi nama motif batik yang disebut Sidomukti. Motif ini
kemudian dikembangkan oleh Pakubuwana IV yang kemudian berkembang sebagai motif
khusus untuk upacara perkawinan dengan harapan pengantin yang menikah mendapat
kemuliaan (Handayani, 2012: 18).
Dalam
hubungan dengan batik besurek, tentu ada juga harapan dan cita-cita yang
tersimpan dalam batik besurek. Karena harapan tersebut berkaitan dengan
masyarakat Bengkulu yang dijiwai nilai-nilai Islami, maka harapan dan cita-cita
tersebut akan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
B.
Asal Usul Batik Besurek
Literatur batik tahun 1980-an belum menyebutkan adanya
batik besurek Bengkulu. Batik sejenis ditemukan di Jambi. Djoemena (1986:84)
menyatakan bahwa batik jambi mulanya dikembangkan oleh raja-raja Melayu Jambi.
Batik ini berkembang mulai tahun 1875 ketika keluarga Haji Mahibat berpindah
dari Jawa Tengah ke Jambi dan mendirikan usaha batik di sana.
Perkembangan
batik di Jambi juga akibat perkembangan perdagangan yang cukup ramai antara
Jambi dengan Indramayu, Cirebon, Lasem, Tuban dan Madura. Dalam batik Jambi
terdapat pengaruh Arab dengan munculnya ragam hias kalighrafi Arab dan ragam
hias geometri Timur Tengah. Ragam hias tersebut dipakai pada selendang dan tentunya
dengan maksud memuliakan ayat-ayat suci al-Qur’an (Djoemena, 1986: 85).
Menurut
analisis peneliti, batik besurek kemungkinan besar merupakan aliran dari batik
Jambi tersebut mengingat Jambi dan Bengkulu merupakan wilayah yang
berdampingan. Kain surek yang bertulisan kalighrafi ayat-ayat al-Qur’an di
jambi dimuliakan dengan cara hanya dipakai di bagian atas saja. Sementara itu,
masyarakat bengkulu menghindari penggunaan ayat-ayat tersebut dengan menuliskan
ayat-ayat secara samar dengan tidak bermakna tetapi mirip tulisan Arab. Dari
hal tersebut dapat dinyatakan bahwa batik jambi memuliakan ayat-ayat al-Qur’an
menempatkan surek pada bagian atas badan, sementara Bengkulu menghindari
menggunakan ayat-ayat untuk pakaian dengan cara menyamarkan tulisan yang masih
mirip kalighrafi Arab, tetapi hakikatnya tidak terbaca.
C.
Kain Surek
Sebelum berkembang batik di Bengkulu sebagai interaksi
masyarakat Bengkulu dengan masyarakat luar, di Bengkulu sudah ada
tradisi-tradisi Islam. Salah satu tradisi Islam yang terdapat dalam masyarakat
Bengkulu adalah penggunaan kain yang digunakan untuk menutup keranda jenazah.
Tradisi pemakaman Islam yakni menutup keranda dengan kain hijau atau
bertuliskan ayat mengingatkan kematian. Tulisan tersebut dapat dikatakan
sebagai bagian dari bagian ritual kematian, meskipun tidak dipersyaratkan.
Dalam perawatan jenazah yang diwajibkan adalah memandikan, mengkafani,
menshalatkan dan menguburkan. Selam proses itu, maka jenazah ditutup dengan
kain yang bertulisan ayat-ayat dengan beberapa tujuan.
Kain
yang bertulisan ayat-ayat itu disebut sebagai kain besurek atau kain yang
bertulisan. Menurut seorang informan, aslinya dahulu kain bertulisan ayat-ayat
(bersurat=besurek) adalah sebuah kain yang sakral yang hanya digunakan untuk
menutup jenazah. Kain tersebut tidak digunakan untuk baju. Berbeda dengan
masyarakat Jambi yang menggunakan kain bersurat untuk pakaian bagian atas,
masyarakat Bengkulu lebih hati-hati dengan tidak menggunakan kain yang
bertulisan ayat suci.
Menurut
pandangan seorang informan, tidak dipakainya kain bertulisan ayat-ayat suci
tersebut sebagai bentuk kehati-hatian masyarakat Bengkulu karena bila ayat-ayat
tersebut digunakan dibagian tubuh, maka bila ayat-ayat tersebut digunakan untuk
tidur, maka ayat-ayat tersebut menjadi tidak terhormat karena hanya menjadi
alas. Pada saat cuci kain juga akan berada di bagian bawah sehingga mengurangi
penjagaan kesucian ayat-ayat tersebut.
Kain
surek Bengkulu berkaitan juga dengan tradisi tabut. Tradisi tabut adalah
tradisi mengarak keranda jenazah kosong. Tradisi ini adalah bentuk ritual yang
ada kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam berupa terbunuhnya dua cucu
Nabi Muhammad SAW bernama Hasan dan Husain. Menurut cerita Hasan dibunuh dengan
cara diracun sementara Husain terbunuh dalam sebuah perang tidak seimbang di
Padang Karbala. Husain dikabarkan terbunuh oleh pasukan Yazid dan kepalanya
dikirimkan kepada Muawiyah sebagai bukti kemenangan.
Dahulu,
keranda tersebut ditutup dengan kain bertulisan ayat-ayat al-Qur’an yang
disebut kain besurek tersebut. Inilah catatan awal tentang kain surek. Kain
tersebut dapat berupa pengaruh Arab-India yang memang dalam tradisi pemakaman
juga memiliki tradisi menutup jenazah dengan kain bertulisan Arab. Tradisi
seperti itu juga terdapat di Jawa dan Jambi.
D.
Kain Surek dan Batik
Kain
surek jelas merupakan kain yang sakral yang digunakan dalam ritual keagamaan,
khususnya dalam kematian. Dalam masyarakat Bengkulu, kain surek juga digunakan
dalam tradisi tabut yang dilakukan pada 10 Muharram. Tradisi tabut juga menggunakan
kain surek. Tidak jelas asal-usul masuknya tradisi batik ke Bengkulu, namun
teknis pembuatan batik di Sumatera setidaknya sudah dikenal di Jambi, wilayah
yang berdekatan dengan Bengkulu. Membatik sebenarnya sebuah teknis membuat tulisan
atau lukisan dengan menggambarkannya dahulu dengan malam, lalu dicelupkan ke
dalam pewarna. Tempat yang ditutup malam yang membentuk gambar atau tulisan.
Dalam sejarah, Bengkulu adalah tempat pembuangan
pejuang-pejuang Indonesia. Salah satu tokoh perjuangan yang pernah dibuang di
Bengkulu adalah panglima perang Pangeran Diponegoro bernama Ali Basah Sentot
Prawirodirjo yang dibuang bersama keluarganya dan akhirnya meninggal dan
dimakamkan di daerah Tengah Padang, yang saat ini masuk wilayah kota Bengkulu.
Namun, hal itu tidak mengindahkan Bengkulu sebagai daerah yang tetap memegang
teguh nilai Islami. Bahkan, daerah ini sampai saat ini masih memiliki konsep
Islam Nusantara sebagaimana masyarakat Melayu pada zaman dahulu. Salah satu
bukti kandungan nilai Islami orang Bengkulu terdapat dalam batik besurek.
Ada yang
menarik pada artefak kain batik besurek yang dapat ditemui di toko-toko batik
besurek di Jalan Suprapto, Padangharapan, Tanah Patah, Jalan Nusa Indah dan
Jalan Penurunan, Bengkulu Kota. Dalam sejarahnya, batik ini telah mengalami
perkembangan dan menjadi bagian dari ritual Islam khas Bengkulu yang berbeda
dengan batik di Jawa. Batik ini tersusun dengan motif lokal dengan pola
kalighrafi, sementara kandungan nilainya bersumber pada Islam. Batik tidak
hanya sekedar sebagai pakaian, namun juga menjadi bagian dari ritual (selain
sebagai penutup aurat).
Batik di
Jawa pada mulanya juga memiliki aspek ritual yang berkaitan dengan legitimasi
raja (Handayani, 2002: 34). Motif batik parang, misalnya hanya khusus untuk
raja pada waktu pasewakan agung (pertemuan resmi kerajaan). Batik
besurek Bengkulu memiliki perbedaan fungsi dengan batik Jawa. Batik besurek
berkaitan dengan nilai-nilai Melayu Bengkulu yang mengedepankan makna keislaman
dengan roh dalam berseni budaya. Artikel ini berusaha membahas batik besurek
dalam kaitan dengan ritual dan dakwah Islam yang ada di Bengkulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batik
besurek pada awalnya merupakan bentuk kain yang digunakan untuk kegiatan ritual
Islam, khususnya dalam acara ritual jenazah, sunatan dan tradisi tabut. Seiring
dengan masuknya tradisi membatik, maka pembuatan tulisan itu dilakukan dengan
cara dibatik. Dari sinilah muncul istilah batik besurek yang awalnya menuliskan
ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk kalighrafi sebagaimana yang ada di dalam batik
Jambi.
Pemahaman
Islam yang meningkat menjadikan masyarakat Bengkulu menghindari penulisan
ayat-ayat di dalam kain karena dikhawatirkannya mengurangi penghormatan pada
ayat-ayat yang dituliskan. Langkah ini merupakan langkah dakwah dalam usaha
memulikan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, dibuatlah bentuk mirip
kalighrafi huruf Arab tetapi sejatinya huruf itu tidak terbaca. Inilah yang
kemudian disebut sebagai batik besurek yang sesungguhnya tanpa surek lagi.
Batik ini berkembang seiring perkembangan zaman. Karena di Bengkulu tumbuh
bunga rafflesia sebagai bunga identitas Bengkulu, maka dalam motif kain besurek yang terkini diberi gambaran
tentang figur bunga raflesia.
B.
SARAN
Sebagai warga Bengkulu dan siapapun harus mengerti apa
itu kain besurek, untuk menambah wawasan kita juga. Dan sebagai pemakalah kami
menerima jika pembaca memberikan kritik serta saran.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali. 2015. “Menghormati Qur’an Penghargaan kaum
Muslim terhadap Qur’an”. http://qur’an-nusantara. Blogspot.com
Baits, Ammi Nur
Baits. 2015. “Dilarang Memasang Kalighrafi Al-Qur’an?. “www. Konsultasisyariah.
Com.
No comments:
Post a Comment