1

loading...

Monday, October 29, 2018

MAKALAH FIKIH JINAYAH “ HIROBAH ”

MAKALAH FIKIH JINAYAH “ HIROBAH ”

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar  Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makluk ciptaan tuhan yang mempunyai berbagai keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Sang Khaliq, Allah SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik fitrah biologis (makan, minum), fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih sayang, cinta,  bersenang-senang), maupun fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain sebagainya.
Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya keimanan dalam dirinya dan fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam hukum Islam disebut dengan Jinayah. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Perampokan dalam hukum pidana Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.
.    
B.     Rumusan Masalah

1.    Apa itu  Pengertian Hirabah ?
2.     Apa sajakah bentuk hirabah ?
3.     Apa itu Pelaku hirabah dan syarat-syaratnya ?
4.    Bagaimana Pembuktian untuk jarimah hirabah ?
5.     Bagaimana Hukuman atau sanksi hirabah ?






BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Hirabah / Perampokan

            Hirabah disebut  juga dengan perampokan atau dapat juga disebut dengan Qatha’ut Thariq. Perampokan adalah kejahatan merampas harta dijalan umum dengan ancaman kekerasan. Perampokan dapat juga diartikan pengambilan secara terang-terangan dengan kekerasan. Hanya saja dalam perampokan juga terdapat unsur diam-diam atau sembunyi-sembunyi jika dinisbahkan kepada penguasa atau petugas keamanan.
            Biasanya jarimah hirabah dilakukan oleh sekelompok orang yang bersenjata tajam atau bersenjata api, yang melakukan pencegatan lalu lintas baik pada siang ataupun malam hari, yang kadang-kadang hanya merampas harta benda, kadang-kadang diikuti dengan pembunuhan terhadap pemiliknya atau mungkin hanya bersifat menakut-nakuti lalu lintas saja.Dasar hukum dari Jarimah hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33 sebagai beriku:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

            “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat”.(Qs.5 Al-Maidah:33)
            Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama mengenai Perampokan /hirabah, yaitu:
a.       Hanafiyah
          Artinya; “ Hirabah…adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat dijalan atau mengambil harta atau membunuh orang.

b.      Syafi’iyah
          Artinya: “ Hirabah… adalah ke luar untuk mengambil harta atau membunuh atau menakut-nakuti dengan cara kekerasan dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan(buntuan).
c.       Imam Malik
          Artinya: “ mengambil harta tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak.
d.      Golongan Zhahiriyah
            Artinya: “ perampok adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi.

B.      Bentuk Hirabah

Bentuk-bentuk Tindak Pidana perampokan ada 4 macam, yaitu :
1.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
2.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasa, kemudian ia mengambil harta tanpa membunuh.
3.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.
4.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.

Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana perampokan tersenut maka ia dianggao sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi dan tidak mengambil harta serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir.

C.     Pelaku Perampokan dan Syarat-syaratnya

Syarat umum bagi pelaku perampokan untuk mendapatkan hukuman had adalah harus Mukallaf, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud :
 Dari aisyah ra ia berkata :”Telah bersabda Rasululloh saw.: Dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil sampai ia dewasa.”(Hadits riwayat Ahmad, abu Daud, Nasa’I, Ibn Majah dan Hakim).
Mengenai pelaku jarimah hirabah, para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut.dengan demikian menurut hanafiyah adalah orang yang ikut terjun secara langsung dalam mengambil harta, membunuh atau mengintimidasi termasuk pelaku perampokan. Demikian pula orang yang ikut memberikan bantuan, baik dengan cara permufakatan, suruhan maupun pertolongan, juga termasuk pelaku perampokan. Pendapat tersebut disepakati oelh imam Malik, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah. Akan tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan, Walaupun ia hadir ditempat kejadian , tidak dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai pembantu yang diancam dengan hukuman Ta’zir.
Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku hirabah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila diantara peserta pelaku hirabah terdapat seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi Imam Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Zhahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan  seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain.
Untuk para pelaku hirabah adalah dapat dilakukan kelompok ataupun perorangan yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukan kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang disamakan dengan senjata, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau strategi tanpa penggunaan kekuatan atau dalam keadaan tertentu dengan emnggunakan anggota badan seperti tangan dan kaki.

Sedangkan persyaratan harta yang diambil dalam jarimah hirabah adalah :
1.      barang atau harta yang diambil harus tersimpan
2.      milik orang lain
3.      tidak ada subhat
4.      memenuhi Nisab

Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad  dan Syiah Zaydiyah berpendapat bahwa dalam jarimah hirabah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan.
Dengan demikian, meskipun pemabagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman Had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara perseorangan.
 Dengan demikian, apabila harta yang diterima oleh masing-masing peserta itu tidak tidak mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta. Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara hanafiyah da Syafi’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian yang lalu.

Persyaratan lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam jarimah hirabah ini adalah menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      jarimah perampokan harus terjadi di negeri islam. Dikemukakan oleh hanafiyah. Dengan demikian, apabila jarimah hirabah(perampokan) terjadi di luar negeri islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri islam maupun di luar negeri islam.
2.      Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari kemanan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terjadi di dalam kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasannya pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.
3.      Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan kendala untuk meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan atau karena upaya penghadangan oleh para perampok atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian apabila upaya dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan hukuman.

Ada pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh islam.orang tersebut adalah orang muslim atau dzimmi.. orang islam dijamin karena keislamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’mam  (Mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak dikenakan hukuman had.

D.    Pembuktian Untuk Jarimah Hirabah
Jarimah hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu:
1.      Dengan sanksi
Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah hirabah saksi merupakan alat bukti yang kuat. Seperti jarimah pencurian, saksi jarimah hirabah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi tersebut dapat diambil dari para korban dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabilasaksi laki-laki ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan atau empat orang saksi perempuan.
2.      Dengan pengakuan/pembuktian
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi, menurut Hanabillah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.

E.     Hukuman / Sanksi Hirabah
Hukuman/ sanksi hirabah menurut Imama Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam ahmad berbeda-beda sesuai dengan perbuatannya masing-masing, hal ini karena mereka mengacu pada QS.Al-Maidah:33.
1.            Hukuman untuk menakut-nakuti
Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang hanya menakut-nakuti adalah pengasingan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam ahmad. Menurut Imam Syafi’i dan Syiah Zaidah, hukumannya adalah ta’dzir atau pengasingan karena kedua jenis hukuman ini dianggap sama.
 Menurut Malikiyah, pengertian pengasingan (An-Nafyu) adalah dipenjarakan di tempat lain, bukan di tempat terjadinya jarimah perampokan. Hanafiyah mengartikan pengasingan dengan dipenjarakan, tetapi tidak mesti di luar daerah terjadinya perampokan.
 Pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’I mengartikan pengasingan dengan penahanan, baik di daerah sendiri, tetapi lebih utama di daerah lain. Imam Ahmad berpendapat bahwa pengertian pengasingan adalah pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak diperbolehkan untuk kembali, sampai ia jelas telah bertobat. untuk lamanya penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak terbatas, artinya tidak ada batasan tertentu, sampai pelaku perampokan sampai benar-benar bertaubat dan tingkah lakunya menjadi baik.
2.            Hukuman untuk mengambil harta tanpa membunuh
Hukuman untuk jenis tindak pidana ini adalah potong tangan kaki secara silang menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah, mereka beralasan dengan demikian karena berpedoman pada firman Allah dalam QS. Al-Maidah:33 atau dipotong tangan.
3.            Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta
Apabila pelaku perampokan hanya membunuh korban tanpa mengambil hartanya maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan satu riwayat dan Imam ahmad, hukumannya adalah dibunuh (hukuman Mati) sebagai hukuman had tanpa disalib. Sementara menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan salah satu pendapat Syi’ah Zaidiyah disamping hukuman mati, pelaku juga harus disalib.
4.            Hukum membunuh dan mengambil dan mengambil harta
Apabila pelaku perampokan membunuh dan mengambil hartanya menurut Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari kelompok Hanafiyah, hukumannya adalah dibunuh(hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong tangan dan kaki. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus ini, hakim diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternative hukuman: pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau disalib. Kedua, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki dan ketiga. Disalib kemudian dibunuh.





BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Perampokan atau hirabah adalah salah satu bentuk tindak pidana sangat merugikan orang lain karena sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merampas hak-hak orang lain yang berstatus sebagai korban perampokan, hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai dengan tingkatan kejahatannya, apabila pelaku perampokan hanya mengambil harta dan membunuh, maka ia dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang.
Apabila pelaku perampokan membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan atau tanpa disalib jika pelaku perampokan membunuh korban dan mengambil harta,, maka ia dihukum mati dan disalib dan jika pelaku perampokan hanya menakut-nakuti maka ia dihukum dengan diasingkan atau penjara.






DAFTAR PUSTAKA



            Muslich,ahmad wardi.2016.Hukum Pidana Islam.Sinar Grafika:Jakarta


No comments:

Post a Comment