Makalah Perkembangan Lembaga Keagamaan Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Sebelum kita
memahami Lembaga Keagamaan terlebih dahulu kita harus mengetahui Penjelasan
adanya tentang agama. Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang dianut
sebagian besar masyarakat yang merupakan tuntunan hidup. Agama, yang menyangkut
kepercayaan-kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan
masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat
manusia.
Pengertian Lembaga Agama, Secara umum
lembaga agama adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan
maksud untuk memajukan suatu kepentingan hidup beragama yang ada didalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]
Dewasa ini,
perkembangan lembaga keagamaan kuhusunya Pendidikan Islam di Indonesia sedikit
demi sedikit mengalami kemajuan setelah pasang surut beberapa abad yang lalu.
Kini pendidikan Islam berkembang kembali dengan ditandai munculnya beberapa
lembaga pendidikan Islam.
Organisasi
Pendidikan Islam di Indonesia diawali dengan lahirnya Organisasi Muhammadiyah
yang memiliki visi dan misi serta tujuan dalam bidang pendidikan Islam. Begitu
pun selanjutnya semakin berkembang organisasi-organisasi lain serta muncul
lembaga-lembaga yang mendukung perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu,
makalah ini disusun untuk menjelaskan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan
agama islam di Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
?
·
Apa saja macam macam Lembaga Pendidikan Islam Indonesia ?
2.
Tujuan
Penulisan
·
Mahasiswa mampu mengetahui latar belakang lembaga keagaaman indonesia
·
Mahasiswa mampu mengetahui perkembangan lembaga
keagamaan islam di indonesia
·
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui peran lembaga pendidikan islam
indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lembaga Keagamaan Islam
1. Pengertian Lembaga Keagamaan Islam
Secara etimologi lembaga adalah asal
sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau
organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan
sesuatu usaha. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung
dua arti, yaitu: 1) pengertian secara fisik, materil, kongkrit, dan 2)
pengertian secara non-fisik, non-materil, dan abstrak.[2] Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute
(dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan
tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution,
yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian
fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik
disebut dengan pranata.[3]
Secara terminologi, Amir Daiem
mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara
wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan definisi yang
dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggung jawab
seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu
keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang
lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap
atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam
mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[4]
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan
bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama
pengertian secara fisik, materil, kongkrit dan kedua pengertian secara non
fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat
dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan
sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau
dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu
mencapai tujuan.[5] Adapun lembaga pendidikan islam secara terminologi dapat
diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam. Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung
pengertian kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang
abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta
penananggung jawab pendidikan itu sendiri.[6]
Pendidikan
Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalamkelembagaannya tidak terlepas dari
lembaga-lembaga sosial yang ada.Lembaga tersebut juga institusi atau pranata,
sedangkan lembaga sosialadalah suatu bentuk organisasi yang tersusun realatif
tepat atas pola-polatingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang yang
terarah dalammengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi
hukum,guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Menurut
Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry ”lembaga adalah badanatau yayasan yang
bergerak dalam bidang penyelenggaraan pendidikan,kemasyarakatan dan sebagainya”[7]
Menurut Muhaimin
”lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentukorganisasi yang mempunyai
pola-pola tertentu dalam memerankanfungsinya, serta mempunyai struktur
tersendiri yang dapat mengikatindividu yang berada dalam naungannya, sehingga
lembaga ini mempunyaikekuatan hukum sendiri”.[8]
Merujuk
dari pendapat di atas lembaga pendidikan Islam adalahtempat berlangsungnya
proses pendidikan Islam bersama dengan proses pembudayaan serta dapat mengikat
individu yang berda dalamnaungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan
hukum. Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju
tujuannya, memerlukan sistem yang konsisten dan dapatmendukung nilai-nilai
moral spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan
berdasarkan otentasi kebutuhan perkembangan fitrah siswa yang dipadu dengan
pengaruh lingkungan kultural yang ada.
2.
Tujuan
Lembaga Keagamaan Islam
Tujuan
lembaga Keagamaan Islam tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam itu
sendiri. Tujuan pendidikan Islam digali dari nilai-nilai ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Menurut Muhaimin, ”Lembaga pendidikan
Islam secara umum bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayalan
dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat berbangsa dan bernegara”.[9]
Lembaga
pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk mengembangkan semua potensi yang
dimiliki manusia itu, mulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan
pemahaman siswa terhadap ajaran Islam, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan
tahapan afeksi, yakni terjadinya prosesinternalisasi ajaran dan nilai agama ke
dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Melalui tahapan efeksi
tersebut diharapkan bertumbuh motivasi dalam diri siswa dan bergerak untuk
mengamalkan dan menaati ajaran Islam ( tahap psikomotorik) yang telah diinternalisasikan
dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang bertakwa dan
berakhlak mulia.
3.
Tugas
Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga
pendidikan Islam seperti halnya pada sekolah umumnya, adalah merupakan lembaga
pendidikan kedua setelah keluarga. Menurut An-Nahkawi, ”Tugas-tugas yang
ditambah oleh lembaga pendidikan Islam adalah:
1.) merealisasikan
pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip pikir, aqidah dan tasyri’
(sejarah) yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan realisasi
itu adalah agar anak didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk dan patuh
kepada perintah dan syariat-Nya.[10]
2.) Memelihara
fitrah anak didik sebagai insan yang mulia, agar tidak menyimpang dari tujuan
Allah menciptakannya.
3.) Memberikan
kepada anak didik seperangkap peradaban dan kebudayaan Islami dengan cara
mengintengrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksak, dengan
landasan ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik mampu melibatkan dirinya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.) Membersihkan
pikiran dan jiwa anak didik dari pengaruh subyektivitas (emosi) karena pengaruh
zaman yang terjadi pada dewasa ini lebih mengarahkan pada penyimpangan fitrah
manusia.
5.) Memberikan
wawasan nilai dan moral, dan peradaban manusia yang membawa khasanah pemikiran
anak didik menjadi berkembang.
6.) Menciptakan
suasana kesatuan dan kesamaan antara anak didik.
7.) Tugas
mengkoordinasi dan membebani kegiatan pendidikan.
8.) Menyempurnakan
tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren”
Tugas
lembaga pendidikan pada intinya adalah sebagai wadah untuk memberikan
pengarahan, bimbingan dan pelatihan agar manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya dan dapat dikembangkan dengan sebaik baiknya. Tugas lembaga pendidikan
Islam yang terpenting adalah dapat mengantarkan manusia kepada misi
penciptaannya sebagai hamba Allah sebagai kholifah fi Al-Ardhi, yaitu seorang
hamba yang mampu beribadah dengan baik dan dapat mengembangkan amanah untuk
menjaga dan untuk mengelolah dan melestarikan bumi dengan mewujudkan
kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh alam.
B.
Jenis-jenis
Lembaga Pendidikan Islam
1. Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Secara harfiah, masjid adalah “tempat
untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat
khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas[11]. Dalam bahasa Indonesia, masjid
diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam. Di dalam bahasa inggris,
kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque. Pendidikan Islam
tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga pengembangan
pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan
ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana
pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan
semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja.
Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat
organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai
tempat ibadah dan I’tikaf.[12]
Al-‘Abdi menyatakan bahwa masjid merupakan
tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan
dalam masjid, akan terlihat hidupnya Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala
bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratafikasi
status sosial-ekonomi dalam pendidikan. Karena itu, masjid merupakan lembaga
kedua setelah lembaga pendidikan keluarga.[13]
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila
di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar.
Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1)
Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan
berbagai disiplin keilmuan.
2)
Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan
sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “I’tikaf
ilmiah”.
3)
Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib) remaja
masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi
istilah ruang kuliah tersebut dengan Sekolah Masjid.
Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk
membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim
dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4)
Apabila memungkinkan, teknik ceramah dapat diubah dengan
teknik komunikasi transaksi, yakni antara penceramah dengan para audien,
terjadi dialog aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam ceramah menjadi
semakin aktif dan tidak monoton.
Menurut Abuddin Nata, terdapat
dua peran yang dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai
lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga
pendidikan informal dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah
shalat lima waktu, shalat Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada
semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual
yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat
terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh
(lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya
tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut
berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan
mengikat secara kaku.
Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial
kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan
masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan yang bersiafat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif
dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan,
keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan
kepemimpinan.[14]
2.
Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah
menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak
hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab”
(pondok pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan
lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan
sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami
perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya
rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.[15]
Di Indonesia, istilah kuttab
lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan
Islam yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan
mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokon atau
asrama sebagai tempat tinggal para santri. Menurut para ahli pesantren baru
dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada
pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren
adalah:
1. Tujuan
umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian
Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya,
2. Tujuan
khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan
mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah
perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat
nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan
dan serogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan,
sedangkan di Sumatera digunakan istilah halaqah.
1. Metode
wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang
membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab
yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat
dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2. Metode
serogan. Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan
(mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan
dalam bacaannya itu langsung dibenari kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai
proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren
adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu
sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis,
tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur
ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah
“kitab kuning”.
Pada tahap selanjutnya, pondok
pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang
terdapat, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru
dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
1. Mulai
akrab dengan metodelogi modern.
2. Semakin
berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan
di luar dirinya.
3. Diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak
absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan
di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan
kerja
4. Dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini
mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal
dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern).
Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada
pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur
pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1. Perubahan
sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang
kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
2. Pemberian
pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa
arab;
3. Bertambahnya
komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih
kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang
islami;
4. Lulusan
pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren
tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah
negeri.
3.
Madrasah Sebagai Lembaga Pendidiakan
Islam
Madrasah adalah isim masdar dari
kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam
perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan
yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga
pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada
negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas
masyarakat Islam.
Sebagian ahli sejarah berpendapat,
bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur,
tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam
al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065 M.
Selanjutnya, Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah
terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:
1. Sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
2. Usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
3. Adanya
sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau
pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
4. Sebagai
upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan
oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya
di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara
lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata
pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah
Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri
khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah
dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi
agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap
keberagamaan (riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni
bidang keahlian sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian
besar rata-rata lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus
madrasah negeri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
merupakan wahana yang benar-benar memenuhi elemen-elemen institusi secara
sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank
P. Besag dan Jack L. Nelson menyatakan elemen institusi sekolah terdiri
atas tujuh macam, yaitu:
1.
Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga
sekolah diharapkan memberi kontribusi terhadap tuntutan masyarakat yang
ada, tuntutan kelembagaan sendiri dan aktor.
2.
Actor (pelaku). Actor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan
fungsi kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai status dalam institusi
tempat ia berada.
3.
Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar
dengan beberapa bentuk dan hubungan-hubungannya antar-aktor.
4.
Share in society (tersebar dalam masyarakat). Institusi
memberikan seperangkat nilai, ide, dan sikap dominan dalam masyarakat, serta
mempunyai hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik terhadap sistem
politik, ekonomi masyarakat, kebudayaan, pengetahuan, dan kepercayaan.
5.
Sanction (sanksi). Institusi memberikan
penghargaan dan hukuman bagi actor. Wewenang sanksi diperlakukan bila
berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat institusi
berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan ukurannya.
6.
Ceremony (upacara, ritus, dan simbol). Upacara
dalam pendidikan dilakukan sebagai pengikat tentang status, pengetahuan, dan
nilai seperti acara wisuda.
7.
Resistance to change (menentang perubahan). Institusi
berorientasi terhadap status quo akan menimbulkan problem baru.
Institusi didirikan untuk tujuan sosial tertentu, sehingga ia hidup dengan cara
tertentu pula. Oleh karena itu, actor sering khawatir melakukan kesalahan,
walaupun hal-hal yang dilakukan mengandung inovasi positif. Perubahan yang
terjadi akan menjadi sorotan masyarakat.
4. Majlis Ta’lim Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Majlis Ta’lim
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia pengertian majlis adalah Lembaga
(Organisasi) sebagai wadah pengajian dan kata Majlis dalam kalangan
ulama’ adalah lembaga masyarakat non pemerintah yang terdiri atas para ulama’
Islam.
Adapun arti Ta’lim adalah
Pengajaran , jadi menurut arti dan pengertian di atas maka secara
istilah Majlis Ta’lim adalah Lembaga Pendidikan Non Formal Islam yang memiliki
kurikulum sendiri/aturan sendiri, yang diselenggarakan secara berkala dan
teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak dan bertujuan untuk
membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dan
Allah, manusia dan sesamanya dan manusia dan lingkungannya, dalam rangka
membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Dari pengertian di atas tentunya Majlis
Ta’lim mempunyai perbedaan dengan
lembaga lembaga lainnya, tentunya sebagai lembaga non formal memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Sebagai
lembaga non formal maka kegiatannya dilaksanakan dilembaga-lembaga khusus
masjid, mushola, atau rumah-rumah anggota bahkan sampai ke hotel-hotel.
2. Tidak
ada aturan kelembagaan yang ketat sehingga sifatnya suka rela. Tidak ada
kurikulum, yang materinya adalah segala aspek ajaran agama.
3. Bertujuan
mengkaji, mendalami dan mengamalkan ajaran Islam disamping berusaha
menyebarluaskan.
4. Antara
ustadz pemberi materi dengan jamaah sebagai penerima materi berkomonikasi
secara langsung.
Berarti Majlis Ta’lim adalah wadah
pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis yang berfungsi sebagai stabilisator
dalam seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam Indonesia, maka sudah
selayaknya kegiatan-kegiatan yang bernuansa Islami mendapat perhatian dan
dukungan dari masyarakat, sehingga tercipta insan-insan yang memiliki
keseimbangan antara potensi intelektual dan mental spiritual dalam upaya
menghadapi perubahan zaman yang semakin global dan maju.
2. Tujuan dan Fungsi Majlis Ta’lim
Setelah kita tahu tentang pengertian
Majlis Ta’lim sebagai lembaga non formal yang mempunyai kedudukan dan
fungsi sebagai alat dan sekaligus
sebagai media pembinaan dalam beragama ( da’wah Islamiyah ), hal ini dapat
dirumuskan fungsi Majlis Ta’lim sebagai berikut :
1. Membina
dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa
kepada Allah SWT.
2. Sebagai
taman rekreasi rohaniyah karena penyelenggaraanya bersifat santai
3. Sebagai
ajang berlangsungnya silaturrohmi masa yang dapat menghidup suburkan da’wah dan
ukhuwah Islamiyah.
4. Sebagai
sarana dialog berkesinambungan antara ulama’ dan umara’ dengan umat.
5. Sebagai
media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada
umumnya.
Dilihat dari segi tujuan, majlis ta’lim
termasuk sarana dakwah Islamiyah yang secara self . standing dan self
disciplined mengatur dan melaksanakan berbagai kegiatan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat demi untuk kelancaran pelaksanaan ta’lim Islami sesuai dengan
tuntutan pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia
sampai sekarang banyak terdapat lembaga pendidikan Islam memegang peranan
sangat penting dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Disamping peranannya
yang ikut menentukan dalam membangkitkan sikap patriotismedan nasionalisme
sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia, lembaga ini ikutserta menunjang
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dilihat dari bentuk dan sifat
pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang berbentuk langgar,
surau, rangkang.
3. Peranan Majlis Ta’lim
Majlis Ta’lim merupakan lembaga
pendidikan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam
itu sendiri yang kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia.
Pertumbuhan Majlis Ta’lim dikalangan
masyarakat menunjukkan kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat tersebut akan
pendidikan agama. Pada kebutuhan dan hasra masyarakat yang lebih luas yakni
sebagai usaha memecahkan masalah–masalah menuju kehidupan yang lebih bahagia.
Meningkatkan tuntutan jamaah dan peranan pendidikan yang bersifat nonformal,
menimbulkan pula kesadarana dari dan inisiatif dari para ulama beserta anggota
masyarakat untuk memperbaiki, meningkatkan dan mengembangkan kwalitas dan
kemampuan, sehingga eksistensi dan peranan serta fungsi majlis ta’lim benar
benar berjalan dengan baik.
Disamping peranan Majlis Ta’lim
terdapat pada fungsi di atas , namun disini H.M. Arifin mengatakan bahwa “
Peranan secara fungsional majelis taÃlim adalah mengokohkan landasan hidup manusia
muslim Indonesia pada
khususnya di bidang mental
spiritual keagamaan Islam dalam
upaya meningkatkan kualitas
hidupnya secara integral, lahiriah dan
batiniahnya, duniawi dan
ukhrawiah
5. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
1. Latar Belakang Historis IAIN
Kelahiran Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) tidak lain karena usaha gigi ummat Islam, yangmayoritas di Indonesia
ini, dalam usaha mengembangkan system pendidikan Islam yang lengkap, yang
dimulaidari system pendidikan pesantren yang sederhana sampai ketingkat perguruan
tinggi.
Secara
formal pendirian lemabaga pendidikan tinggi Islam baru dapat direalisasikan
oleh pemerintah pada tahun 1950 dengan peraturan pemerintah No. 37/1950 dengan
menegrikan fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN)
dipimpin oleh KH. Muhammad Adnan dengan tiga jurusan yaitu, tarbiyah, Qadha,
dan Dakwah. Tidak lama berselang pemerintah juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA) di Jakarta tepatnya tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang
mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan seni
akademik tingkat diploma sebagai guru Agama di SLTP
Untuk
mengakomodasi perkembangan IAIN di daerah-daerah maka dikeluarkan
peraturan-peraturan presiden nomor 963 sebagai pengganti Peraturan Presiden
Nomor 11 tahun 1960 yang memungkinkan terbentuknya IAIN di daerah-daerah diluar
Yogyakarta dan Jakarta. Menurut peraturan yang baru itu sekurang-kurangnya tiga
jenis fakultas dapat digabungkan menjadi IAIN. Dengan adanya peraturan itu maka
bermunculanlah beberapa IAIN di luar Jakarta dan Yogyakarta. Sampai dengan
tahun 1973 tercatat ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia.
Menyikapi
era global dengan tuntutan yang semakin berkembang serta cita-cita untuk mengintegrasikan
ilmu yang tergolong perennial knowledge dengan ilmu yang tergolong acquired
knowledge maka Keempat belas IAIN dalam perkembangan berikutnya sebagian telah
berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sampai sekarang sejak tahun
2002 telah ada enam IAIN yang berubah menjadi UIN yaitu UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Malang, UIN Syarif Qasim Pekan
Baru, UIN sunan Gunung Jati Bandung dan UIN Alauddin Makassar. Dengan adanya
UIN maka pengembangan ilmu pun menjadi bervariasi pula. Melihat tuntutan
perkembangan zaman maka pengembangan keilmuwan tidak lagi hanya pada itu tidak
lagi hanya terbatas pada ilmu agama saja, akan tetapi semakin kuat munculnya
tuntutan kebutuhan pengembangan yang bervariasi.
Berdasarkan
hal tersebutlah maka kehadiran Universitas Islam Negeri adalah sesuatu yang sangat
dibutuhkan saat sekarang ini. Melihat sejarah IAIN yang dipaparkan secara
singkat tersebut tampak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan agama yang
diarahkan untuk mencetak intelektual-intelektual muslim . studi Islam merupakan
wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga ini berdiri sampai saat ini. Di satu
sisi, kuatnya studi islam di IAIN menjadi menjadi ciri khas tersendiri lembaga
pendidikan ini. Namun di sisi lain hal itu telah memunculkan persepsi dikalanag
masyarakat muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama bahkan lembaga
dakwah dari pada lembaga akademik.
2.
Peranan IAIN dalam Pengembangan Pendidikan
Islam di Indonesia
Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan
masyarakat di dalam mendorong dan mengembalikan perubahan sosial dalam proses
pembengunan nasional melahirkan kader-kader (tenaga sarjana) yang ahli dibidang
Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, dakwah dan Adab. Kader-kader inilah yang akan
mewujudkan fungsi dan peranan agama dalam mengendalikan. Mendorong, dan
mengarahkan perubahan sosial dalam proses pembangunan nasional melalui berbagai
kesempatan pengabdian masyarakat yang dilakukan secara organisatoris maupun
individualis.
Kebijakan
yang ditempuh IAIN dalam melakukan pengabdian masyarakat dengan memperhatikan
kebutuhan masyarakat seta fungsi dan peranan agama dalam mendorong dan
mengendalikan perubahan sosial seperti tersebut dahulu, antara lain berbagai
kegiatan. Fungsi dan peran yang dilakukan oleh IAIN sebagai lembaga pendidikan
tinggi Islam, yaitu:
1. IAIN setiap tahun mencetak sarjana-sarjana yang
berkualifikasi kader ulama intelektual di bidang Agama Islam. Alumni ini
kemudan akan mengintegrasikan dirinya dalam semua lapangan di pemerintah dan
masyarakat sesuai dengan profesinya masing-masing dalam mewujudkan fungsi dan
peran agama dalam mendorong dan mengendalikan perubahan sosial.
2. IAIN melalui kegiatan-kegiatan penelitian,
meneliti perkembangan dan perubahan masyarakat. Perubahan-perubahan yang timbul
dimasyarakat sebagai akibat dari perubahan sosial dan pembangunan nasional,
terutama yang mengguncangkan nilai-nilai yang telah dianut dan baku dalam
masyarakat yang bersumberkan ajaran agama, dibahas, dan dicarikan solusinya di
IAIN.
3. IAIN melalui kegiatan-kegiatan pengabdian
masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswanya di setiap tahun,
melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan dan penyuluhan masyarakat
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lembaga
pendidikan Islam adalahtempat berlangsungnya proses pendidikan Islam bersama
dengan proses pembudayaan serta dapat mengikat individu yang berda dalam naungannya,
sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum.
Pendidikan Islam yang berlangsung
melalui proses operasional menuju tujuannya, memerlukan sistem yang konsistem
dan dapat mendukung nilai-nilai moral apiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut
diaktualisasikan berdasarkan otentasi kebutuhan perkembangan fitrah siswa yang
dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada.
Lembaga pendidikan Islam secara
umumbertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayalan dan pengalaman
peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlakmulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat berbangsa danbernegara.
Tugas
lembaga pendidikan pada intinya adalah sebagai wadah untuk memberikan
pengarahan, bimbingan dan pelatihan agar manusia dengansegala potensi yang
dimilikinya dan dapat dikembangkan dengan sebaik baiknya.Tugas lembaga
pendidikan Islam yang terpenting adalah dapat mengantarkan manusia kepada misi
penciptaannya sebagai hamba Allah sebagai kholifah fi Al-Ardhi, yaitu seorang
hamba yang mampu beribadahdengan baik dan dapat mengembangkan amanah untuk
menjaga dan untukmengelolah dan melesarikan bumi dengan mewujudkan kebahagiaan
dan kesejahteraan seluruh alam.
Beberapa jenis lembaga pendidikan
islam, yaitu keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah. Selain yang di
ungkapkan dari Abdul Mujib dan jusuf Mudzakkir juga akan dipaparkan tentang lembaga
pendidikan Islam Majelis Ta’lim dan Perguruan Tinggi Islam (IAIN).
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Cet. Ke-2.Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.
Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2010. Ilmu Pendidikan Islam
Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda.
Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah
populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406
Muhimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 231
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm.
231.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam
di Indonesia, Bandung, 1996, hal 40
Dra.Hj.Enung K Rukiati dan Dra.Fenti
Hikmawati,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia ,
2006 ), Cet. 1, hal. 134
Zuhairi, dkk., Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 192
Hasbullah. 1996. KapitaselektaPendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, hlm: 102-103
[8]Muhimin,
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm.
231
[9]Muhimin,
op.cit., hlm. 127
[10] Anas
Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011). hlm.
216.
[12] Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm. 102.
[13] Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Loc. Cit.
[14]Abuddin
Nata, Op. Cit., hlm. 195.
[15]Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 234.
No comments:
Post a Comment