1

loading...

Thursday, November 8, 2018

MAKALAH “Relevansi Psikologi Pai Terhadap Kesehatan Mental Bagi Lansia”

MAKALAH
 “Relevansi Psikologi Pai Terhadap Kesehatan Mental Bagi Lansia”   

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang ekploratif dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia di sebut makhluk potensial karena pada manusia tesimpan sejumlah kemampuan bawan yang dapat di kembangkan.
Selanjutnya, manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan arahan yang di berikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya di harapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu, bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatife bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negatife tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik dan psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat dulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh.Sebab, pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan. Dalam bukunya pengantar Psikologi kriminil Drs. Gerson W. Bawengan, SH. Mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasrkan pembagian yang di kemukakan oleh J.P. Guilford yaitu kebutuhan individual, kebutuhan social dan kebutuhan manusia akan agama.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu perkembangan di tentukan oleh tingkat usia.
Para ahli psikologi perkembangan membagi membagi perkembangan manusia manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau priode perkembangan. Secara garis besarnya priode perkembngan itu di bagi menjadi: 1) Masa prenatal; 2) Masa bayi; 3) Masa kanak-kanak ; 4) Masa pra pubertas ; 5) Masa pubertas ; 6) Masa dewasa ; 7) Masa usia lanjut.setiap masa perkembangan memiliki cir-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan priode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembngan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
Dalam makalah ini penulis akan membahas perkembngan psikologi agama pada lansia (lanjut usia), dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud dengan perkembangan?
2.     Apa yang dimaksud dengan lansia?
3.     Bagaimana Sejarah singkat perkembangan psikologi agama?
4.     Bagaimana  Sikap Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental Pada Lansia?
C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui pengertian perkembangan
2.     Untuk mengetahui yang dimaksud dengan lansia
3.     Untuk mengetahui Sejarah singkat perkembangan psikologi agama
4.     Untuk mengetahui Sikap Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental Pada Lansia
  
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkembangan
Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Van din diale perkembngan berarti perubahan kualitatif ini berarti perkembangan  bukan sekedar perubahan beberapa centimeter tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dan banyak stuktur dan fungsi yang komplek.
Dalam proses perkembangan perubahan- perubahan prilaku menurut tingkat usia sebagai masalah antisiden (gejala yang mendahului dan konsekensinya). Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serampak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan dalam kemunduran keduanya mulai dari kemunduran sampai dengan berakhir dengan kematian.[1]
Dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan berperan sekalipun perubahan-perubahan yang bersifat kemunduran terjadi semenjak kehidupan janin pada bagian selanjutnya kemunduran yang berperan sekalipun pertumbuhan tidak berhenti, rambut tumbuh terus dan sel-sel terus berganti pada usia lanjut beberapa bagian tubuh dan alam pikiran lebih banyak berubah dari pada yang lain.    
Seringkali pola perubahan itu mirip kurva berbentuk lonceng pada awalnya naik dengan tiba-tiba mendatar selama usia pertengahan dan turun secara perlahan atau mendadak pada usia lanjut,perlu di catat pola ini tidak pernah berbentuk garis lurus walaupun dapat terjadi priode stabil yang singkat atau berkepanjangan dalam kemampuan yang berbeda.

B.    Pengertian Lansia
Lanjut usia (lansia) menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke atas. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bah wa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun sehingga dalam kondisi yang uzur ini berbagai penyakit siap menggorogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka barada pada sisa-sisa umur menunggu kematian.[2]
Dari ayat-ayat itu jelas, lansia seperti halnya warga negara yang lain memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain yang belum memasuki usia lanjut.
Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika seseorang mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk hidup lebih menyendiri.  Sangat berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan datangnya usia tua, maka bagi Erikson ini adalah masa yang sama pentingnya dengan fase-fase sebelumnya.  Bahkan, masa ini mungkin masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus bersiap untuk meninggalkan dunia ini

C.    Sejarah singkat perkembangan psikologi agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai di pelajari memang agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun dalam sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walupun secara tidak lengkap, ternyata yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak di jumpai baik melalui imformasi melalui kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup sidarta gautama dari seorang putra raja kapila-wastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup menjadi seorang petapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang di anutnya. Proses purubahan keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan yang mempengaruhi dari tokoh agam budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.[3]
Sidarta gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, sidarta menyaksikan berbagai bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah di lihat sidarta sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, sidarta berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut dan seturusnya mati.
Segala yang di saksikan sidarta membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia keluar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Selenjutnya sidrata mengalami konversi agama dari pemeluk agama hindu kepada pendakwah  agama baru yaitu agama budha.
Proses yang hampir serupa juga di lukiskan dalam alqura’an tentang cara Ibrahim as. Memimpin ummatnya untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam semkin gelap di melihat sebuah  bintang dan berkata:
“Inilah tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “saya tidak suka kepada tuhan yang tenggelam.” Kemudian, tatkala melihat bulan terbit, dia berkata: ”inilah tuhanku.”Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “sesungguhnya jika tuhanku memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian, tatkala melihat matahari terbit ia berkata: “inilah tuhanku.ini yang lebih besar” maka tatkal mentari itu terbenam, dia berkata  “hai kaumku, sesunguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-78).   
Perumpamaan ini melukiskan bagaimana proses konversi terjadi, walaupun dalam  informasi kitab suci tersebut di kiaskan kepada Ibrahim as. yang berusaha meyakinkan pengikutnya tentang kekeliruan mereka menyembah benda-benda alam yang hakikatnya hanya ciptaan dan tidak layak di sembah.
Terlalu banyak contoh-contoh yang dapat di kemukakan tentang hubungan antara kesadaran dan pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku para pengikut agama, yang kemudian di jadikan objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti itu belum dipelajri secara ilmiah, hingga hanya di anggap sebagai peristiwa keagamaan biasa. Barangkali, kenyataan yang serupa ini menimbulkan anggapan bahwa kelahiran psikologi agama  merujuk pada kalangan pemula yang merujuk kepada ilmuan barat.
Berdasarkan sumber barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian psikologi agama mulai popoler pada abad ke-19. sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang di gunakan sebagai alat untuk kajian keagamaan. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman tentang cara bertingkah laku, berpikir dan mengemukakan prasangka ke agamaan (Robert H. Thouless, 1992:1)
Menurut Thouless, semenjak terbit buku The Varieties Of Religious Ekperience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah william james di empat universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai di akui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu 30 tahun kemudian banyak buku-buku lain di terbitkan sejalan dengan konsep yang serupa. Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tidak hanya terbatas pada masalah yang menyangkut keagamaan secara umum melainkan masalah-masalah khusus.
Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama di kenal sekiatar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof zakiah daradjat ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah di berikan. Khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. zakiah daradjat sendiri. Kedu orang ini di kenal sebagai pelopor psikologi agama di Indonesia. Sumber- sumber barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin Diller dan Starbuck dan William james, sebaliknya di dunia timur, khususnya di wilayah kekuasaan islam kajian-kajian yang tentang hal serupa belum sempat di masukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar pada abad 7 masehi berjudul Al-syiar wa al-Maghazi memuat berbagai fragumen dari biografi nabi Muhammad Saw ataupun Risalah Hay Yaqzan Fi Asrar Al-Hikmat Al Masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu Bakr Muhammad Ibn Abd Al Malim Ibn Tufail juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan psikologi.  
Ilmu Psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda berdasarkan informasi dari berbagai literature, dapat di simpulkan bahwa kelahiran psikologi agama di dukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.

D.    Sikap Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental Pada Lansia
Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari.[4]
Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).
Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agamamenyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun
Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.
Berdasarkan beberapa tiori diatas memgambarkan bahwa tujuan hidup berdasarkan nilai-nilai yang di jalani oleh setiap manusia  merupakan pondasi dasar yang membuat manusia mencapai kesejahteraan hidup, kebahagian dunia dan akhirat, agama merupakan nilai yang membawa manusia kepada kebahagian dunia dan akhiarat
Kehidupan keagaman pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M.Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel yang berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai dengan seratus persen setelah usia 90 tahun. [5]
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi menghubungkan kecendrungan peningkatan kehidupan keberagaman dengan penurunan gairah seksual.Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi di bidang seksual, sejalan dengan  penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu di nilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi menurut Robet  H Thoules pendapat tersebut terlalu berlebih lebihan, sebab katanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis boleh jadi tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan mencintai dan di cintai tetap ada poda usia tua 
Menganalis hasil penelitian M. Argyle dan Elie A. Cohen, Robert H Thouless cendrung berkesimpulan bahwa yang menentukan berbagai sikap keberagaman di umur tua adalah depersonalisasi. Kecendrungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya akan datang kematian merupakan salah satu faktor yang menentuakan sikap keberagaman.
Dalam buku psikologi agama jalaluddin menuliskan beberapa ciri-ciri keberagaman manusia pada usia lanjut secara garis besarnya adalah:
1.      Kehidupan keberagaman pada usi lanjut sudah mencapai  tingkat kemantapan
2.      Meningkatkan mulai munculnya pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
3.      Sikap kebragaman cendrung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
4.      Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang sejalan dengan pertambahan usia lanjut
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan abadi (akhirat)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Studi lain menyatakan bahwa praktisi religius dan perasaan religius berhubungan dengan sense of well being, terutama pada wanita dan individu berusia di atas 75 tahun (Koenig, Smiley, & Gonzales, 1988 dalam Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih baik.
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam  hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman, Perera &Studenski, 2004; Fry, 1999; Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock, 2006). Secara sosial, komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru atau pemimpin. Hasil studi menyebutkan bahwa aktivitas beribadah atau bermeditasi diasosiasikan dengan panjangnya usia (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya yang mendukung adalah dari Seybold & Hill yang menyatakan bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau spiritualitas dengan well being, kepuasan pernikahan, dan keberfungsian psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan bunuh diri, penyimpangan, kriminalitas, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini mungkin terjadi karena dengan beribadah dapat mengurangi stress dan menahan produksi hormon stres oleh tubuh, seperti adrenalin. Pengurangan hormon stress ini dihubungkan dengan beberapa keuntungan pada aspek kesehatan, termasuk sistem kekebalan tubuh yang semakin kuat.
Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama.
Dalam survey lain dapat dilihat bahwa apabila dibandingkan dengan younger adults, dewasa di old age lebih memiliki minat yang lebih kuat terhadap spiritualitas dan berdoa (Gallup & Jones, 1989 dalam Santrock 1999).. Dalam suatu studi dikemukakan bahwa self-esteem older adults lebih tinggi ketika mereka memiliki komitmen religius yang kuat dan sebaliknya (Krause, 1995 dalam Santrock, 1999). Dalam studi lain disebutkan bahwa komitmen beragama berkaitan dengan kesehatan dan well-being pada young, middle-aged, dan older adult berkebangsaan Afrika-Amerika (Levin, Chatters, & Taylor, 1995 dalam Santrock 1999). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada older adults, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock 1999).
Secara sosial. Komunitas religius dapat menyediakan sejumlah fungsi untuk older adults, seperti aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk mengajar dan peran kepemimpinan. Agama dapat memainkan peran penting dalam kehidupan orang-orang tua (Mcfadden, 1996).

E.    Kesehatan Mental pada Dewasa dan Usia lanjut
Orang dewasa merupakan kelompok usia yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai bidang keilmuan. Namun demikian, problem-problem kesehatan, khususnya kesehatan mental dikalangan mereka juga makin kompleks. Orang dewasa dan lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki masalah dengan kesehatan mental. Orang dewasa, yaitu yang usianya di bawah 55 tahun, banyak mengalami masalah sehubungan dengan problem keluarga dan pekerjaan. Yang sangat banyak dihadapi oeleh mereka adalah konflik-konflik keluarga, peran sosial keluarganya, pengasuhan anak, pertanggung jawaban sosial ekonomi keluarga dan dunia kerja.
Dikalangan orang lanjut usia, problem kesehatan mental juga perlu memperoleh perhatian. Problem yang umum terjadi adalah depresi. Karena terjadinya penurunan relasi sosial dan peran-peran sosial, dan kemungkinan adanya fakto genetik, depresi di kalangan lansia sering terjadi. Demikian jugademensia, yaitu penurunan kemampuan kognitif secaraprogresif, di kalangan lansia ini banyak di jumpai. Gangguan mental lain yang di alami banyak lansia adalah obsesif, kecemasan, hilangnya relasi sosial dan pekerjaan. Pencegahan itu menghindari terjadinya resiko lebih buruk bagi kalangan orang dewasa dan lansia sehubungan dengan kesehatan mentalnya. Pecegahan, di lakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk keluarganya sendiri.



PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manusia adalah makhluk yang ekploratif dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia di sebut makhluk potensial karena pada manusia tesimpan sejumlah kemampuan bawaan  yang dapat di kembangkan.
Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock  menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu perkembangan di tentukan oleh tingkat usia.
Kehidupan keagaman pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Menurut hasil penelitian yang dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel yang berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai dengan seratus persen setelah usia 90 tahun.
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam  hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua.
Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi. Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama, kebutuhan akan agama merupakn hal yang tidak dapat di pisahkan dalam kehidupan manusia.Agama merupakan pondasi dasar yang dapat menentukan kebahagian dunia dan akhirat

 DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2004)

Elizabeth B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat: (Erlangga ,1980)

Partini Suardiman Kepala Pusat Studi Sumberdaya Lansia UNY

Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2007)

Robet H Thouless, An Introdaction to the psikologiy, (Chambridge Universiti Press, 1997)




ii



[1] H. Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2004) hal 87
[2] Elizabeth B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat: (Erlangga ,1980) hal 450
[3] Elizabeth B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat:  ...    hal 452
[4] Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2007) hal 29
[5] Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2007) hal 31

No comments:

Post a Comment