MAKALAH
“Relevansi Psikologi Pai Terhadap Kesehatan Mental Bagi Lansia”
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang ekploratif
dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif, karena manusia memiliki kemampuan
untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia di sebut
makhluk potensial karena pada manusia tesimpan sejumlah kemampuan bawan yang
dapat di kembangkan.
Selanjutnya, manusia juga disebut
sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan
berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan luar dirinya. Bantuan
dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya.
Bimbingan dan arahan yang di berikan dalam membantu perkembangan tersebut pada
hakikatnya di harapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah
tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu, bimbingan yang tidak searah
dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatife bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negatife tersebut
akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan
tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan kegagalannya
manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik dan psikis. Sehubungan
dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu
dilihat dulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh.Sebab, pemenuhan
kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan
menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan. Dalam bukunya pengantar
Psikologi kriminil Drs. Gerson W. Bawengan, SH. Mengemukakan pembagian
kebutuhan manusia berdasrkan pembagian yang di kemukakan oleh J.P. Guilford
yaitu kebutuhan individual, kebutuhan social dan kebutuhan manusia akan agama.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek
rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik dan
demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan
fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu perkembangan di
tentukan oleh tingkat usia.
Para ahli psikologi perkembangan
membagi membagi perkembangan manusia manusia berdasarkan usia menjadi beberapa
tahapan atau priode perkembangan. Secara garis besarnya priode perkembngan itu
di bagi menjadi: 1) Masa prenatal; 2) Masa bayi; 3) Masa kanak-kanak ; 4) Masa
pra pubertas ; 5) Masa pubertas ; 6) Masa dewasa ; 7) Masa usia lanjut.setiap
masa perkembangan memiliki cir-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa
keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia
dan priode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembngan jiwa
keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan
demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
Dalam makalah ini penulis akan
membahas perkembngan psikologi agama pada lansia (lanjut usia), dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kekurangan, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan perkembangan?
2.
Apa yang
dimaksud dengan lansia?
3.
Bagaimana Sejarah
singkat perkembangan psikologi agama?
4.
Bagaimana Sikap Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental
Pada Lansia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian perkembangan
2.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan lansia
3.
Untuk
mengetahui Sejarah singkat perkembangan psikologi agama
4.
Untuk
mengetahui Sikap Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental Pada Lansia
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkembangan
Perkembangan adalah serangkaian
perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman,
seperti yang dikatakan oleh Van din diale perkembngan berarti perubahan
kualitatif ini berarti perkembangan
bukan sekedar perubahan beberapa centimeter tinggi badan seseorang atau
peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dan banyak
stuktur dan fungsi yang komplek.
Dalam proses perkembangan perubahan-
perubahan prilaku menurut tingkat usia sebagai masalah antisiden (gejala yang
mendahului dan konsekensinya). Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang
saling bertentangan yang terjadi secara serampak selama kehidupan, yaitu
pertumbuhan dalam kemunduran keduanya mulai dari kemunduran sampai dengan
berakhir dengan kematian.[1]
Dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan
berperan sekalipun perubahan-perubahan yang bersifat kemunduran terjadi
semenjak kehidupan janin pada bagian selanjutnya kemunduran yang berperan
sekalipun pertumbuhan tidak berhenti, rambut tumbuh terus dan sel-sel terus
berganti pada usia lanjut beberapa bagian tubuh dan alam pikiran lebih banyak
berubah dari pada yang lain.
Seringkali pola perubahan itu mirip
kurva berbentuk lonceng pada awalnya naik dengan tiba-tiba mendatar selama usia
pertengahan dan turun secara perlahan atau mendadak pada usia lanjut,perlu di
catat pola ini tidak pernah berbentuk garis lurus walaupun dapat terjadi priode
stabil yang singkat atau berkepanjangan dalam kemampuan yang berbeda.
B.
Pengertian
Lansia
Lanjut usia (lansia) menurut UU Nomor
13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 2 adalah seseorang
yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke atas. Selanjutnya pada pasal 5
ayat 1 disebutkan bah wa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa lanjut
usia mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Manusia usia lanjut dalam penilaian
banyak orang adalah manusia yang tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata
sudah menurun sehingga dalam kondisi yang uzur ini berbagai penyakit siap
menggorogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul
semacam pemikiran bahwa mereka barada pada sisa-sisa umur menunggu kematian.[2]
Dari ayat-ayat itu jelas, lansia
seperti halnya warga negara yang lain memiliki hak dan kewajiban sama dengan
warga negara lain yang belum memasuki usia lanjut.
Masa ini dimulai sekitar usia 60,
ketika seseorang mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap
untuk hidup lebih menyendiri. Sangat
berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan datangnya usia tua, maka
bagi Erikson ini adalah masa yang sama pentingnya dengan fase-fase
sebelumnya. Bahkan, masa ini mungkin
masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus
bersiap untuk meninggalkan dunia ini
C.
Sejarah
singkat perkembangan psikologi agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan
psikologi agama mulai di pelajari memang agak sulit. Baik dalam kitab suci,
maupun dalam sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai
hal itu. Namun demikian, walupun secara tidak lengkap, ternyata yang menjadi
ruang lingkup kajian psikologi agama banyak di jumpai baik melalui imformasi
melalui kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup sidarta gautama dari
seorang putra raja kapila-wastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan
kemewahan hidup menjadi seorang petapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin
yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang di anutnya. Proses
purubahan keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan yang
mempengaruhi dari tokoh agam budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi
agama disebut dengan konversi agama.[3]
Sidarta gautama yang putra raja itu,
sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi,
ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, sidarta menyaksikan
berbagai bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit dan orang yang
meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah di lihat sidarta
sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, sidarta berkesimpulan bahwa
kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut dan
seturusnya mati.
Segala yang di saksikan sidarta
membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia keluar dari istana dan
meninggalkan segala kemewahan hidup. Selenjutnya sidrata mengalami konversi
agama dari pemeluk agama hindu kepada pendakwah
agama baru yaitu agama budha.
Proses yang hampir serupa juga di
lukiskan dalam alqura’an tentang cara Ibrahim as. Memimpin ummatnya untuk
bertauhid kepada Allah. Ketika malam semkin gelap di melihat sebuah bintang dan berkata:
“Inilah tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: “saya tidak suka kepada tuhan yang
tenggelam.” Kemudian, tatkala melihat bulan terbit, dia berkata: ”inilah
tuhanku.”Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “sesungguhnya jika tuhanku
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat.”Kemudian, tatkala melihat matahari terbit ia berkata: “inilah
tuhanku.ini yang lebih besar” maka tatkal mentari itu terbenam, dia
berkata “hai kaumku, sesunguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-78).
Perumpamaan ini melukiskan bagaimana
proses konversi terjadi, walaupun dalam
informasi kitab suci tersebut di kiaskan kepada Ibrahim as. yang
berusaha meyakinkan pengikutnya tentang kekeliruan mereka menyembah benda-benda
alam yang hakikatnya hanya ciptaan dan tidak layak di sembah.
Terlalu banyak contoh-contoh yang
dapat di kemukakan tentang hubungan antara kesadaran dan pengalaman agama
dengan sikap dan tingkah laku para pengikut agama, yang kemudian di jadikan
objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti itu belum dipelajri
secara ilmiah, hingga hanya di anggap sebagai peristiwa keagamaan biasa.
Barangkali, kenyataan yang serupa ini menimbulkan anggapan bahwa kelahiran
psikologi agama merujuk pada kalangan
pemula yang merujuk kepada ilmuan barat.
Berdasarkan sumber barat, para ahli
psikologi agama menilai bahwa kajian psikologi agama mulai popoler pada abad
ke-19. sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang di gunakan sebagai
alat untuk kajian keagamaan. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman
tentang cara bertingkah laku, berpikir dan mengemukakan prasangka ke agamaan
(Robert H. Thouless, 1992:1)
Menurut Thouless, semenjak terbit buku
The Varieties Of Religious Ekperience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi
kuliah william james di empat universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari
kajian psikologi agama mulai di akui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu
30 tahun kemudian banyak buku-buku lain di terbitkan sejalan dengan konsep yang
serupa. Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tidak hanya
terbatas pada masalah yang menyangkut keagamaan secara umum melainkan
masalah-masalah khusus.
Di tanah air sendiri tulisan mengenai
psikologi agama di kenal sekiatar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof zakiah
daradjat ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan
bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu, kuliah mengenai psikologi agama
juga sudah di berikan. Khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti
Ali dan Prof. zakiah daradjat sendiri. Kedu orang ini di kenal sebagai pelopor
psikologi agama di Indonesia. Sumber- sumber barat umumnya merujuk awal
kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin Diller dan Starbuck dan
William james, sebaliknya di dunia timur, khususnya di wilayah kekuasaan islam
kajian-kajian yang tentang hal serupa belum sempat di masukkan. Padahal,
tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar pada abad 7 masehi berjudul Al-syiar wa
al-Maghazi memuat berbagai fragumen dari biografi nabi Muhammad Saw ataupun
Risalah Hay Yaqzan Fi Asrar Al-Hikmat Al Masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu
Bakr Muhammad Ibn Abd Al Malim Ibn Tufail juga memuat masalah yang erat
kaitannya dengan psikologi.
Ilmu Psikologi agama tergolong cabang
psikologi yang berusia muda berdasarkan informasi dari berbagai literature,
dapat di simpulkan bahwa kelahiran psikologi agama di dukung oleh para ahli
dari berbagai disiplin ilmu.
D.
Sikap
Keberagamaan Terhadap Kesehatan Mental Pada Lansia
Perubahan terjadi pada manusia seiring
dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock
(1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi,
masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal,
masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut.
Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik
yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991)
ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti
terjadi dan tidak dapat dihindari.[4]
Dengan kata lain, seiring dengan
bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam
rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode
tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam
Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada
masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang
telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat
mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika
demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula yang
memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup
mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).
Sama seperti setiap periode lainnya
dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik
dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu,
apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan
penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut
diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan
fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi
jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan
dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda
dulu. Hal ini Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung
mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003).
Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh
yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk
melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agamamenyebabkan
lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness,
perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan
membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup
pada lansia menjadi menurun
Melihat masalah-masalah yang potensial
terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau
mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat
dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan
psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan
psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui
beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan
hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB
menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia
berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian
potensi-potensi mereka sendiri.
Berdasarkan beberapa tiori diatas
memgambarkan bahwa tujuan hidup berdasarkan nilai-nilai yang di jalani oleh
setiap manusia merupakan pondasi dasar
yang membuat manusia mencapai kesejahteraan hidup, kebahagian dunia dan
akhirat, agama merupakan nilai yang membawa manusia kepada kebahagian dunia dan
akhiarat
Kehidupan keagaman pada usia lanjut
menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M.Argyle mengutip
sejumlah penelitian yang dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang
sampel yang berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan
untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini
sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul
sampai dengan seratus persen setelah usia 90 tahun. [5]
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli
psikologi menghubungkan kecendrungan peningkatan kehidupan keberagaman dengan
penurunan gairah seksual.Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut
mengalami frustasi di bidang seksual, sejalan dengan penurunan kemampuan fisik dan frustasi
semacam itu di nilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap
keagamaan. Tetapi menurut Robet H
Thoules pendapat tersebut terlalu berlebih lebihan, sebab katanya, hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis boleh
jadi tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan mencintai dan di cintai
tetap ada poda usia tua
Menganalis hasil penelitian M. Argyle
dan Elie A. Cohen, Robert H Thouless cendrung berkesimpulan bahwa yang
menentukan berbagai sikap keberagaman di umur tua adalah depersonalisasi.
Kecendrungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya akan
datang kematian merupakan salah satu faktor yang menentuakan sikap keberagaman.
Dalam buku psikologi agama jalaluddin
menuliskan beberapa ciri-ciri keberagaman manusia pada usia lanjut secara garis
besarnya adalah:
1.
Kehidupan
keberagaman pada usi lanjut sudah mencapai
tingkat kemantapan
2.
Meningkatkan
mulai munculnya pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh
3.
Sikap
kebragaman cendrung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat luhur.
4.
Meningkatnya
kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan
5.
Timbul
rasa takut kepada kematian yang sejalan dengan pertambahan usia lanjut
6.
Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan abadi (akhirat)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan
agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri
dan optimisme. Studi lain menyatakan bahwa praktisi religius dan perasaan
religius berhubungan dengan sense of well being, terutama pada wanita dan
individu berusia di atas 75 tahun (Koenig, Smiley, & Gonzales, 1988 dalam
Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil bahwa lansia yang
orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih
baik.
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada
lansia dalam hal menghadapi kematian,
menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan,
dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman, Perera &Studenski, 2004;
Fry, 1999; Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock, 2006). Secara sosial,
komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas
sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru
atau pemimpin. Hasil studi menyebutkan bahwa aktivitas beribadah atau
bermeditasi diasosiasikan dengan panjangnya usia (McCullough & Others, 2000
dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya yang mendukung adalah dari Seybold &
Hill yang menyatakan bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau
spiritualitas dengan well being, kepuasan pernikahan, dan keberfungsian psikologis;
serta asosiasi yang negatif dengan bunuh diri, penyimpangan, kriminalitas, dan
penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini mungkin terjadi karena
dengan beribadah dapat mengurangi stress dan menahan produksi hormon stres oleh
tubuh, seperti adrenalin. Pengurangan hormon stress ini dihubungkan dengan
beberapa keuntungan pada aspek kesehatan, termasuk sistem kekebalan tubuh yang
semakin kuat.
Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai
harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu
berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang
paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk
melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama.
Dalam survey lain dapat dilihat bahwa apabila dibandingkan dengan
younger adults, dewasa di old age lebih memiliki minat yang lebih kuat terhadap
spiritualitas dan berdoa (Gallup & Jones, 1989 dalam Santrock 1999).. Dalam
suatu studi dikemukakan bahwa self-esteem older adults lebih tinggi ketika
mereka memiliki komitmen religius yang kuat dan sebaliknya (Krause, 1995 dalam
Santrock, 1999). Dalam studi lain disebutkan bahwa komitmen beragama berkaitan
dengan kesehatan dan well-being pada young, middle-aged, dan older adult
berkebangsaan Afrika-Amerika (Levin, Chatters, & Taylor, 1995 dalam
Santrock 1999). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada
older adults, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense
akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang
tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock 1999).
Secara sosial. Komunitas religius dapat menyediakan sejumlah fungsi
untuk older adults, seperti aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan
untuk mengajar dan peran kepemimpinan. Agama dapat memainkan peran penting
dalam kehidupan orang-orang tua (Mcfadden, 1996).
E.
Kesehatan
Mental pada Dewasa dan Usia lanjut
Orang dewasa merupakan kelompok usia
yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai bidang keilmuan. Namun demikian,
problem-problem kesehatan, khususnya kesehatan mental dikalangan mereka juga
makin kompleks. Orang dewasa dan lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki
masalah dengan kesehatan mental. Orang dewasa, yaitu yang usianya di bawah 55
tahun, banyak mengalami masalah sehubungan dengan problem keluarga dan
pekerjaan. Yang sangat banyak dihadapi oeleh mereka adalah konflik-konflik
keluarga, peran sosial keluarganya, pengasuhan anak, pertanggung jawaban sosial
ekonomi keluarga dan dunia kerja.
Dikalangan orang lanjut usia, problem
kesehatan mental juga perlu memperoleh perhatian. Problem yang umum terjadi
adalah depresi. Karena terjadinya penurunan relasi sosial dan peran-peran
sosial, dan kemungkinan adanya fakto genetik, depresi di kalangan lansia sering
terjadi. Demikian jugademensia, yaitu penurunan kemampuan kognitif
secaraprogresif, di kalangan lansia ini banyak di jumpai. Gangguan mental lain
yang di alami banyak lansia adalah obsesif, kecemasan, hilangnya relasi sosial
dan pekerjaan. Pencegahan itu menghindari terjadinya resiko lebih buruk bagi
kalangan orang dewasa dan lansia sehubungan dengan kesehatan mentalnya.
Pecegahan, di lakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk keluarganya
sendiri.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia adalah makhluk yang ekploratif
dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif, karena manusia memiliki kemampuan
untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia di sebut
makhluk potensial karena pada manusia tesimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat di kembangkan.
Perubahan terjadi pada manusia seiring
dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock menyebutkan tahap perkembangan tersebut
adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir
kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa
madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan
tersebut, Hurlock ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu
hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek
rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik dan demikian
pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan
berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu perkembangan di tentukan oleh
tingkat usia.
Kehidupan keagaman pada usia lanjut
menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel yang
berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan untuk
menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini sedangkan
pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai dengan
seratus persen setelah usia 90 tahun.
Agama dapat memenuhi beberapa
kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan
mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima
kekurangan di masa tua.
Lansia dengan komitmen beragama yang
sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi. Individu berusia
65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling
signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan
keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama, kebutuhan akan agama
merupakn hal yang tidak dapat di pisahkan dalam kehidupan manusia.Agama merupakan
pondasi dasar yang dapat menentukan kebahagian dunia dan akhirat
Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo
persada, 2004)
Elizabeth B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu
pendekatan sepanjang hayat: (Erlangga ,1980)
Partini Suardiman Kepala Pusat Studi Sumberdaya Lansia
UNY
Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo
persada, 2007)
Robet H Thouless, An Introdaction to the psikologiy,
(Chambridge Universiti Press, 1997)
ii
|
[2] Elizabeth
B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat:
(Erlangga ,1980) hal 450
No comments:
Post a Comment