1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH TALFIQ DALAM HUKUM ISLAM

MAKALAH TALFIQ DALAM HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini banyak sekali diperdebatkan masalah-masalah dalam menggali dan menetapkan hukum Islam, terutama mengenai permasalahan mazhab. Dikalangan masyarakat, banyak yang mempermasalahkan mazhab-mazhab tersebut. Sebagai contoh ada seseorang yang beranggapan bahwa mazhab Syafi`i yang paling benar, ada pula yang mengatakan bahwa mazhab Hambali-lah yang paling benar. Dan bahkan ada yang menggunakan dua mazhab sekaligus.
Permasalahan-permasalahan tersebut ada pembahasannya di dalam Ushul Fiqh, yang mana kita kenal dengan istilah “talfiq”. Talfiq adalah pembahasan dalam Ushul Fiqh yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia. Oleh karena itu, kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh terutama untuk materi  ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah-masalah tersebut di masyarakat. Makalah ini menguraikan masalah yang berkenaan dengan talfiq di dalam Islam dan bagaimana hukum talfiq itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari talfiq?
2.      Apa saja bentuk-bentuk talfiq?
3.      Bagaimanakah hukum bertalfiq dalam fiqh?
4.      Bagaimanakah memilih pendapat yang ringan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari talfiq.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk talfiq.
3.      Untuk mengetahui hukum bertalfiq dalam fiqh.
4.      Untuk mengetahui bagaimana mencari keringanan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Talfiq
Talfiq (التلفيق) adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang secara bahasa berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat dalam suatu masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan) dua madzhab atau lebih.
Dengan kata lain talfiq adalah berpindah-pindah madzhab. Misalnya dalam melakukan sholat seseorang mengikuti madzhab Hanafi sedangkan masalah cara dan yang membatalkan wudhu mengikuti madzhab Syafi’i.[1]
Dalam penjelasan lain, talfiq adalah:
اَلتَّلْفِيْقُ : أَخْذُجَمِيْعِ اْلأَحْكَامِ اْلمُتَعَلِّقَةِ بِوَسَائِلِ اْلمَسْئَلَةِ وَمُقَدَّمَا تِهَا مِنْ مَذَاهِبَ وَأَرَاءٍ مُخْتَلِفَةٍ
“Mengambil beberapa  hukum yang berpautan dengan wasilah-wasilah dan muqadimah-muqadimah sesuatu masalah dari berbagai madzhab dan bermacam-macam pendapat.”[2]
Menurut terminologi, Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:[3]
1.      Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur adukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
2.      Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
3.      Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
4.      Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab . contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
a.       Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudhu’nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok.
b.      Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.
Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima. Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
a.       Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
b.      Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah tuk dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang dicela para ulama’. Jadi pada hakikatnya talfiq itu dasarnya ialah niat. Jika niat melakukannya semata untuk mencari kebenaran maka itu tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sebaliknya jika tujuannya bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka yang demikian tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.[4]

B.     Bentuk- Bentuk Talfiq
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.[5]
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[6]
Meskipun sebagian ulama memperbolehkan talfiq, terutama dari kalangan ulama mutaakhirin akan tetapi kebolehan talfiq itu tidaklah bersifat mutlak, bahkan kebolehannya terbatas di dalam ruang lingkup tertentu. Diantara talfiq yang dilarang adalah talfiq yang batal karena esensinya (dzatnya), sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya hal-hal haram seperti minuman keras, zina dan lainnya.
Kemudian ada pula talfiq yang dilarang bukan karena dzatnya akan tetapi karena hal lain, talfiq bentuk kedua ini yang dilarang adalah sebagai berikut:
a.       Talfiq yang secara sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan saja(tatabbu’ ar rukhash) dalam hukum syara’ misalnya, seseorang mengambil dari masing-masing madzhab pendapat yang paling lemah, tanpa terdesak oleh darurat atau alasan lain. Hal ini dilarang dalam rangka menutup pintu kerusakan akibat menyepelekan hukum syara’. Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam juga tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.”
Contoh: seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar.[7] Dia hanya mencari yang ringan-ringan saja dan tidak dalam keadaan darurat. Talfiq seperti ini tidak diperbolehkan, karena menyepelekan hukum syara’.
Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa bila seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia harus tetap berpegang teguh pada madzhabnya itu. Ia tidak dibenarkan berpindah pada madzhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.[8]
Ada pula yang menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti suatu madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena ia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Dan karena itu ia belum boleh melakukan talfiq. Apabila pintu ini dibuka bagi mereka, besar kemungkinan ia mengikuti pendapat yang salah. Disamping itu kebolehan ini dapat menimbulkan sikap meremehkan agama, yakni dengan memilih yang mudah menurutnya itu.[9] Al-Ghazali, Asy Syathibi, dan Al Jalalul Mahalli juga tidak memperbolehkan mencari-cari mana yang mudah.[10]
b.      Talfiq yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan, dalam rangka menghindari kekacauan. Contoh: ada sebuah kejadian, pencurian misalnya. Dalam kasus ini hakim sudah mengeluarkan putusan, kemudian ada orang menentang putusan hakim denga alasan talfiq. Dia berdalih menurut madzhab ini misalnya, kasus pencurian tidak diqishas.
Nah, talfiq yang seperti ini tidak diperbolehkan karena
حُكْمُ الْحَاكِمِ يَلْزَمُ وَيَرْفَعُ الْخِلافَ
“Putusan hakim itu mengharuskan dan menghilangkan khilaf”.[11]
c.       Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa yang telah diamalkan seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang diijma’kan ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaqlidkan. Contoh: Orang bermadzhab Syafi’i, dia melaksanakan wudhu sesuai madzhab Syafi’i. Setelah wudhu ia bersentuhan dengan ajnabiyyah, namun ia beranggapan wudhunya tidak batal, dia berdalih menurut madzhab Maliki hal tersebut tidak batal. Padahal menurut madzhab Syafi’i bersentuhan dengan ajnabiyyah itu membatalkan wudhu. Talfiq yang demikian ini tidak diperbolehkan, karena menjatuhkan mujtahid, padahal
الاجتهاد لا ينقض الا با لاجتهاد
“ ijtihad itu tidak bisa dirusak kecuali dengan ijtihad”.
Maka muqallid tadi harus meninjau kembali apa yang telah ia amalkan atas dasar taqlid.
Kelompok perkara-perkara yang dilarang lainnya yaitu yang bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) (dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.”
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.”

C.    Hukum Bertalfiq
1.      Hukum-Hukum Talfiq dalam Fiqh
Adapun beberapa pendapat tentang hukum talfiq dalam fiqh, yaitu:
a.       Menyatakan bahwa bila seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia harus tetap berpegang teguh pada madzhabnya itu. Ia tidak dibenarkan berpindah pada madzhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pendapat ini dipelopori oleh Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah.
b.      Menyatakan bahwa seseorang telah memilih satu madzhab boleh pindah pada madzhab lain, walaupun dengan alasan mencari keringanan, dengan catatan tidak terjadi dalam satu kasus yang menurut masing-masing Imam Madzhab yang diikuti dianggap batal atau tidak sah. Misalnya, madzhab Syafi’i memandang batal wudhu karena bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan yang bukan muhrim, sedangkan madzhab Maliki tidak membatalkannya. Jikalau pengikut Syafi’i ingin ikut pada Maliki tentang hal ini, maka cara wudhunya harus juga mengikuti cara Maliki, misalnya dengan menggosok-gosokkan anggota wudhunya. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Qarafi dari golongan Malikiyah.
c.       Menyatakan bahwa talfiq itu hukumnya mubah, dipelopori oleh Imam al-Kamal Humam dari golongan Hanafiyah. Sehingga kalau ikut paham madzhab lain tidak harus secara keseluruhannya, misalnya orang yang ikut madzhab Maliki yang tidak batal wudhu manakala bersentuhan dengan lain jenis, maka cara wudhunya tidak harus seperti madzhab Maliki.[12]
d.      Menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti suatu madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena ia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Dan karena itu ia belum boleh melakukan talfiq. Apabila pintu ini dibuka bagi mereka, besar kemungkinan ia mengikuti pendapat yang salah. Disamping itu kebolehan ini dapat menimbulkan sikap meremehkan agama, yakni dengan memilih yang mudah menurutnya itu.
e.       Membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan itu.
f.       Membolehkan talfiq tanpa syarat, dengan maksud mencari yang ringan-ringan dan sesuai dengan kehendak dirinya.
g.      Talfiq dalam masalah ibadat seharusnya dibatasi, sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap memandang enteng ibadat yang ditunaikan untuk mencari keridhaan Allah, karena hal ini akan menimbulkan kekurang khusukan dalam beribadat.
h.      Melakukan talfiq dalam perundang-undangan sangat diperlukan, karena banyak hubungannya dengan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah Mesir telah melakukannya, seperti terlihat pada Undang-Undang wakaf, Undang-Undang wasiat, keluarga, dan sebagainya, demikian pula pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan.[13]
Sehubungan dengan talfiq ini perlu direnungkan riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah suatu ketika shalat subuh tanpa do’a qunut bersama kaum Hanafiyah. Maka terjadi dialog antara beliau dengan ulama’ Hanafiyah itu; “Mengapa Tuan tidak berqunut, apakah Tuan sengaja atau lupa? Jawaban beliau; Bukan saya lupa. Tetapi saya sengaja. Mengapa demikian padahal madzhab Tuan mensyari’atkan qunut? Jawaban beliau; Saya berbuat demikian karena demi penghargaan saya kepada Hanafi.
Dari kasus ini nampak sikap tasamuhnya antar mujatahin itu, betapa tidak, menurut syari’at orang yang paling berhak menjadi Imam sholat adalah shohibul bait, sementara orang-orang Hanafi mempersilahkan Imam Syafi’i menjadi imam karena ingin menghormatinya, namun pada waktu mengimami shalat, Imam Syafi’i juga ingin menghormati shohibul bait dengan cara tidak melakukan do’a qunut.[14]
2.      Kontrofersi tentang Pelarangan Talfiq
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah talfiq, sebagian mereka melarang secara mutlak, sebagian lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi membolehkannya secara bersyarat.
Ulama yang melarang talfiq secara mutlak mengemukakan argumen bahwa membolehkan berpindah-pindah madzhab akan berdampak pada timbulnya kekacauan dalam beragama, atau akan terbuka sikap memilih-milih pendapat untuk menghindari beban talfiq. Contohnya seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar.[15]
Perselisihan pendapat, selama tidak mengenai aqidah dan dasar-dasar agama serta prinsip-prinsip yang pokok, seharusnya tidak boleh menjadi sebab timbulnya perselisihan/perpecahan diantara umat Islam, lebuh-lebih lagi karena para fuqoha semuanya mengambil hukum dari sumber yang disepakati, walaupun mereka berselisih dalam mengartikan kata-kata dalam nash dan maksud-maksudnya. Sebenarnya perselisihan faham dalam hal ini menunjukkan kepada kematangan fikiran. Seyogyanya kita harus memahami segala pendapat dan harus melapangkan dada, selama tujuan kita masih satu dan selama problem ilmiah masih merupakan hak bersama yang dapat dianalisa.[16]
Adapun beberapa sebab terjadinya perbedaan pendapat antara lain:
a.       Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
b.      Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.
c.       Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul.
d.      Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil yang lain).
e.       Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi.[17]
Ulama yang membolehkan talfiq secara mutlak mengemukakan alasan bahwa secara syar’i setiap orang awam boleh bertanya kepada siapa saja asalkan orang ‘alim, dan orang awam boleh mengamalkan pendapat yang manapun tanpa harus mengikuti madzhab tertentu, karena orang awam tidak punya madzhab (al-‘amie laa madzhaba lahum). Demikian telah berjalan semenjak masa Rasulullah masih hidup sampai masa sahabat, tabi’in dan masa-masa seterusnya, tidak ada larangan apapun.
Sedangkan ulama yang membolehkan talfiq secara bersyarat, yaitu harus satu qadhiyah, atau satu perkara atau satu urusan tertentu. Misalnya perkara shalat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, perkara zakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, dan perkara-perkara agama lainnya. Dasar pemikiran pendapat ini sama dengan pendapat pertama, yaitu agar dapat menghindari terjadinya kekacauan dalam beragama.





D.    Mencari Keringanan Hukum
Menurut pendapat yang dipilih para ulama’, seorang muqallid boleh mengambil sesuatu masalah dari seorang mujtahid lain dan boleh ia mengambil beberapa masalah dari sesuatu madzhab dan beberapa masalah lagi madzhab yang lain.[18]
Dalam pada itu, Ibnu Amril Haj Al Hanafi, berkata:
وَلَيْسَ بِضَا ئِرٍعَلَى اْلمُكَلَّفِ أَنْ يَتَّبِعَ الرُّخَصَ كَيْفَمَا كَانَ
“Tidak ada halangan seseorang mukallaf mencari-cari mana yang mudah.”
Mencari-cari mana yang mudah, ialah mengambil dari tiap-tiap madzhab mana yang enteng. Dan inilah yang diperselisihkan. Adapun yang telah diputuskan oleh hakim, dengan menyalahi nash dan qiyas yang jali, maka itu terang dilarang.
Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi menjadi beberapa bagian:
1.      Ada yang tidak membolehkan seperti Al Ghazali, Asy Syathibi, Al Jalalul Mahalli.
2.      Ada yang membolehkan dengan syarat, Al Izz Ibn Abdi Salam berkata: “Manusia sejak dari zaman sahabat hingga lahir madzhab-madzhab itu, bertanya tentang apa yang mereka perlukan kepada ulama’-ulama’ yang berbeda-beda pendapat tanpa ada teguran dari siapapun, baik ia mengikuti yang mudah-mudah saja, ataupun ia mengikuti yang berat, karena orang yang menjadikan orang yang benar dalam suatu masalah seorang saja, yang tidak ditentukan dan menjadikan yang benar itu, berbilang tidak meniadakan jalan untuk menghalangi orang mengambil mana yang mudah dalam suatu perbuatan, yang mewujudkan talfiq pada hukum-hukum yang satu.”
Ibnul Aththar berkata: “Kesimpulannya boleh talfiq, boleh mencari-cari yang mudah-mudah. Cuma jangan mencari-cari yang mudah itu dalam suatu hukum yang diperoleh dari dua ijtihad.”
3.      Ada yang membolehkan tanpa sesuatu, seperti Al Kamal Ibn Humam. Beliau berkata: “Tak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seorang manusia, boleh mengambil mana yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu.”
4.      Ibnu Amiril Haj juga menetapkan bahwa mengikuti mana-mana yang mudah, tidak dihalangi oleh syara’.
5.      Abu Ishaq Al-Marmawi Asy Syafi’i juga membolehkan. Sebenarnya seorang awam yang tidak mengetahui sebagian dari ilmu yang membawa kepada ijtihad, lazim ia amalkan pada tiap-tiap masalah apa yang difatwakan oleh muftinya. Karena bermadzhab dengan sesuatu madzhab hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai sedikit keahlian dalam mengambil dalil terhadap sesuatu masalah. Demikian mengenai seseorang. Adapun jama’ah yang sedang berusaha menyusun Undang-Undang (kitab hukum), maka mereka dibolehkan mencari mana-mana yang lain, agar mudahlah baginya memilih hukum yang sesuai dengan masa dan suasana lingkungan dari kumpulan madzhab fiqh.[19]
  

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Talfiq (التلفيق) adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang secara bahasa berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat dalam suatu masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan) dua madzhab atau lebih. Dengan kata lain talfiq adalah berpindah-pindah madzhab.
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Adapun Talfiq yang dilarang adalah (1) Talfiq yang batal karena esensinya (dzatnya), sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya hal-hal haram seperti minuman keras, zina dan lainnya, (2) Talfiq yang secara sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan saja dalam hukum syara’, (3) Talfiq yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan, dalam rangka menghindari kekacauan, (4) Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa yang telah diamalkan seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang diijma`kan ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaqlidkan.
Pendapat-pendapat mengenai hukum talfiq yaitu: tidak boleh, boleh, mubah, tidak boleh jika memililih yang ringan-ringan, dan boleh tetapi tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu; tidak boleh, boleh dengan syarat tertentu, dan boleh  tanpa syarat.
B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ashshiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulya.
Djazuli, A.. 2010. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hasan, Ali, M. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mu’in, A., et all.. 1986. Ushul Fiqh. Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Umam, Khairul, Aminudin, Achyar, A. 2001. Ushul Fiqh II, Cet.2. Bandung: Pustaka Setia.
Anonim. Pengertian Talfiq diakses melalui : http://kumpulanmakalahislami.blogspot.co.id/p/blog-page_4718.html pada tanggal 30 Oktober 2017 Pukul 14:56 WIB.



1] Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 209.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 209.
[3] Pengertian Talfiq diakses melalui : http://kumpulanmakalahislami.blogspot.co.id/p/blog-page_4718.html pada tanggal 30 Oktober 2017 Pukul 14:56 WIB.
[4] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178-179.
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 89
[6] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hlm. 171-172.
[7] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178.
[8] Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 211.
[9] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 200.
[12] Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 211-212.
[13] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[14] Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 212.
[15] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm.178.
[16] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 107.
[17] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 118.
[18] Prof. T. M. Hasbi Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV Mulya), hlm. 189.
[19] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210-211.

No comments:

Post a Comment