MAKALAH TALFIQ DALAM HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini banyak sekali diperdebatkan masalah-masalah dalam
menggali dan menetapkan hukum Islam, terutama mengenai
permasalahan mazhab. Dikalangan masyarakat, banyak yang mempermasalahkan
mazhab-mazhab tersebut. Sebagai contoh ada seseorang yang beranggapan bahwa
mazhab Syafi`i yang paling benar, ada pula yang mengatakan bahwa mazhab
Hambali-lah yang paling benar. Dan bahkan ada yang menggunakan dua mazhab sekaligus.
Permasalahan-permasalahan tersebut
ada pembahasannya di dalam Ushul Fiqh, yang mana kita kenal dengan istilah
“talfiq”. Talfiq adalah pembahasan dalam Ushul Fiqh yang ramai dan tetap hangat
untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga
masyarakat kita di Indonesia. Oleh karena itu, kita dituntut agar mengetahui,
meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh terutama untuk materi ini,
sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan
tentang masalah-masalah tersebut di masyarakat. Makalah ini menguraikan masalah
yang berkenaan dengan talfiq di dalam Islam dan bagaimana hukum talfiq itu
sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari talfiq?
2.
Apa saja bentuk-bentuk talfiq?
3.
Bagaimanakah hukum bertalfiq dalam
fiqh?
4.
Bagaimanakah memilih pendapat yang
ringan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari
talfiq.
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk
talfiq.
3.
Untuk mengetahui hukum bertalfiq
dalam fiqh.
4.
Untuk mengetahui bagaimana mencari
keringanan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Talfiq
Talfiq (التلفيق)
adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang
secara bahasa berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat
dalam suatu masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan)
dua madzhab atau lebih.
Dengan kata lain talfiq adalah berpindah-pindah madzhab. Misalnya dalam melakukan
sholat seseorang mengikuti madzhab Hanafi sedangkan masalah cara dan yang
membatalkan wudhu mengikuti madzhab Syafi’i.[1]
Dalam penjelasan lain, talfiq
adalah:
اَلتَّلْفِيْقُ : أَخْذُجَمِيْعِ اْلأَحْكَامِ اْلمُتَعَلِّقَةِ
بِوَسَائِلِ اْلمَسْئَلَةِ وَمُقَدَّمَا تِهَا مِنْ مَذَاهِبَ وَأَرَاءٍ
مُخْتَلِفَةٍ
“Mengambil beberapa hukum
yang berpautan dengan wasilah-wasilah dan muqadimah-muqadimah sesuatu masalah
dari berbagai madzhab dan bermacam-macam pendapat.”[2]
Menurut terminologi, Di bawah ini adalah beberapa makna
Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:[3]
1.
Pertama, Talfiq berarti mengerjakan
sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau
dengan kata lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan
beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai
pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur
adukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua
pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang
tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
2. Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan
menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan
pendapat yang kedua.
3. Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua
pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan
oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
4.
Keempat, Perbuatan mencampurkan
berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan
pendapat satu madzhab . contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai
berikut:
a.
Seseorang berwudlu tanpa menggosok
(al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia
bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan
wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia
pun melakukan shalat. Maka shalat
yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam
arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudhu’nya sudah batal karena
menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab
Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok.
b. Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap
sebagian kepala dalam berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah
atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika
bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat
itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.
Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena
telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang
kelima. Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai
berikut:
a.
Seorang laki-laki menikahi perempuan
dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian
praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi
mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq
seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi
kesepakatan para ulama.
b. Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan
saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah
jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah
ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan
alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para
ulama.
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang
dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja
dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah tuk
dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang
dicela para ulama’. Jadi pada hakikatnya talfiq itu dasarnya ialah niat. Jika niat melakukannya semata untuk mencari kebenaran
maka itu tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sebaliknya jika
tujuannya bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka yang demikian tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam.[4]
B. Bentuk- Bentuk Talfiq
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya
taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul
bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro
dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif
baru dalam lapangan fiqh.[5]
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf
bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru yang kita
kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh
ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad kelima hijriah.
Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup
mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia
Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[6]
Meskipun sebagian ulama memperbolehkan talfiq, terutama dari kalangan ulama
mutaakhirin akan tetapi kebolehan talfiq itu tidaklah bersifat mutlak, bahkan
kebolehannya terbatas di dalam ruang lingkup tertentu. Diantara talfiq yang dilarang adalah talfiq yang batal
karena esensinya (dzatnya), sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya
hal-hal haram seperti minuman keras, zina dan lainnya.
Kemudian ada pula talfiq yang
dilarang bukan karena dzatnya akan tetapi karena hal lain, talfiq bentuk kedua
ini yang dilarang adalah sebagai berikut:
a. Talfiq yang secara sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan
saja(tatabbu’ ar rukhash) dalam hukum syara’ misalnya, seseorang mengambil
dari masing-masing madzhab pendapat yang paling lemah, tanpa terdesak oleh
darurat atau alasan lain. Hal ini
dilarang dalam rangka menutup pintu kerusakan akibat menyepelekan hukum
syara’. Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap
madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi
menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam juga tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.”
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam juga tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.”
Contoh: seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan
perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan
sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi
dan tanpa mahar.[7] Dia
hanya mencari yang ringan-ringan saja dan tidak dalam keadaan darurat. Talfiq
seperti ini tidak diperbolehkan, karena menyepelekan hukum syara’.
Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa bila
seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia harus tetap berpegang teguh
pada madzhabnya itu. Ia tidak
dibenarkan berpindah pada madzhab lain, baik secara keseluruhan maupun
sebagian.[8]
Ada pula yang menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti suatu madzhab
tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena ia tidak
mempunyai kemampuan untuk memilih. Dan karena itu ia belum boleh melakukan
talfiq. Apabila pintu ini dibuka bagi mereka, besar kemungkinan ia mengikuti
pendapat yang salah. Disamping itu
kebolehan ini dapat menimbulkan sikap meremehkan agama, yakni dengan memilih
yang mudah menurutnya itu.[9] Al-Ghazali,
Asy Syathibi, dan Al Jalalul Mahalli juga tidak memperbolehkan mencari-cari
mana yang mudah.[10]
b. Talfiq yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim,
menghilangkan persengketaan, dalam rangka menghindari kekacauan. Contoh: ada
sebuah kejadian, pencurian misalnya. Dalam kasus ini hakim sudah mengeluarkan
putusan, kemudian ada orang menentang putusan hakim denga alasan talfiq. Dia
berdalih menurut madzhab ini misalnya, kasus pencurian tidak diqishas.
Nah,
talfiq yang seperti ini tidak diperbolehkan karena
حُكْمُ الْحَاكِمِ يَلْزَمُ وَيَرْفَعُ
الْخِلافَ
“Putusan
hakim itu mengharuskan dan menghilangkan khilaf”.[11]
c. Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa yang telah diamalkan
seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang diijma’kan ulama yang berkenaan
dengan hal yang ditaqlidkan. Contoh: Orang bermadzhab Syafi’i, dia
melaksanakan wudhu sesuai madzhab Syafi’i. Setelah wudhu ia bersentuhan dengan
ajnabiyyah, namun ia beranggapan wudhunya tidak batal, dia berdalih menurut
madzhab Maliki hal tersebut tidak batal. Padahal
menurut madzhab Syafi’i bersentuhan dengan ajnabiyyah itu membatalkan wudhu.
Talfiq yang demikian ini tidak diperbolehkan, karena menjatuhkan mujtahid,
padahal
الاجتهاد لا ينقض
الا با لاجتهاد
“ ijtihad itu tidak bisa dirusak kecuali dengan ijtihad”.
Maka muqallid tadi harus meninjau kembali apa yang telah
ia amalkan atas dasar taqlid.
Kelompok perkara-perkara yang dilarang lainnya yaitu yang
bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling
selamat (wara’) (dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza
wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya).
Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu,
kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab
kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang kularang hendaklah kalian
jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan
sekuat kemampuan kalian.”
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan
(tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu,
karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari
yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :
دَعْ مَا
يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang
tidak meragukan bagimu.”
C. Hukum Bertalfiq
1. Hukum-Hukum Talfiq dalam Fiqh
Adapun beberapa pendapat
tentang hukum talfiq dalam fiqh, yaitu:
a.
Menyatakan
bahwa bila seseorang telah memilih salah satu madzhab maka ia harus tetap
berpegang teguh pada madzhabnya itu. Ia tidak dibenarkan berpindah pada madzhab
lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pendapat ini dipelopori oleh
Imam al-Quffal Syasyi dari golongan Syafi’iyah.
b. Menyatakan bahwa seseorang telah memilih satu madzhab boleh pindah pada
madzhab lain, walaupun dengan alasan mencari keringanan, dengan catatan tidak
terjadi dalam satu kasus yang menurut masing-masing Imam Madzhab yang diikuti
dianggap batal atau tidak sah. Misalnya, madzhab Syafi’i memandang batal wudhu
karena bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan yang bukan muhrim, sedangkan
madzhab Maliki tidak membatalkannya. Jikalau pengikut Syafi’i ingin ikut pada
Maliki tentang hal ini, maka cara wudhunya harus juga mengikuti cara Maliki,
misalnya dengan menggosok-gosokkan anggota wudhunya. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Qarafi dari golongan
Malikiyah.
c. Menyatakan bahwa talfiq itu hukumnya mubah, dipelopori
oleh Imam al-Kamal Humam dari golongan Hanafiyah. Sehingga kalau ikut paham
madzhab lain tidak harus secara keseluruhannya, misalnya orang yang ikut
madzhab Maliki yang tidak batal wudhu manakala bersentuhan dengan lain jenis,
maka cara wudhunya tidak harus seperti madzhab Maliki.[12]
d. Menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti suatu madzhab tertentu, tidak
boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena ia tidak mempunyai kemampuan
untuk memilih. Dan karena itu ia belum boleh melakukan talfiq. Apabila pintu
ini dibuka bagi mereka, besar kemungkinan ia mengikuti pendapat yang salah. Disamping itu kebolehan ini dapat menimbulkan sikap
meremehkan agama, yakni dengan memilih yang mudah menurutnya itu.
e. Membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan
pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan itu.
f. Membolehkan talfiq tanpa syarat, dengan maksud mencari
yang ringan-ringan dan sesuai dengan kehendak dirinya.
g.
Talfiq dalam masalah ibadat
seharusnya dibatasi, sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap memandang
enteng ibadat yang ditunaikan untuk mencari keridhaan Allah, karena hal ini
akan menimbulkan kekurang khusukan dalam beribadat.
h.
Melakukan
talfiq dalam perundang-undangan sangat diperlukan, karena banyak hubungannya
dengan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah Mesir telah
melakukannya, seperti terlihat pada Undang-Undang wakaf, Undang-Undang wasiat,
keluarga, dan sebagainya, demikian pula pemerintah Indonesia dalam
Undang-Undang Perkawinan.[13]
Sehubungan dengan talfiq ini perlu direnungkan riwayat yang menyebutkan
bahwa Imam Syafi’i pernah suatu ketika shalat subuh tanpa do’a qunut bersama
kaum Hanafiyah. Maka terjadi
dialog antara beliau dengan ulama’ Hanafiyah itu; “Mengapa Tuan tidak berqunut,
apakah Tuan sengaja atau lupa? Jawaban beliau; Bukan saya lupa. Tetapi saya
sengaja. Mengapa demikian padahal madzhab Tuan mensyari’atkan qunut? Jawaban
beliau; Saya berbuat demikian karena demi penghargaan saya kepada Hanafi.
Dari kasus ini nampak sikap tasamuhnya antar mujatahin itu, betapa tidak,
menurut syari’at orang yang paling berhak menjadi Imam sholat adalah shohibul
bait, sementara orang-orang Hanafi mempersilahkan Imam Syafi’i menjadi imam
karena ingin menghormatinya, namun pada waktu mengimami shalat, Imam Syafi’i
juga ingin menghormati shohibul bait dengan cara tidak melakukan do’a qunut.[14]
2.
Kontrofersi tentang Pelarangan Talfiq
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi masalah talfiq, sebagian mereka melarang secara mutlak, sebagian
lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi membolehkannya
secara bersyarat.
Ulama yang melarang talfiq secara mutlak mengemukakan argumen bahwa
membolehkan berpindah-pindah madzhab akan berdampak pada timbulnya kekacauan
dalam beragama, atau akan terbuka sikap memilih-milih pendapat untuk
menghindari beban talfiq. Contohnya
seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa
wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi
membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali,
tanpa saksi dan tanpa mahar.[15]
Perselisihan pendapat, selama tidak mengenai aqidah dan dasar-dasar agama
serta prinsip-prinsip yang pokok, seharusnya tidak boleh menjadi sebab
timbulnya perselisihan/perpecahan diantara umat Islam, lebuh-lebih lagi karena
para fuqoha semuanya mengambil hukum dari sumber yang disepakati, walaupun
mereka berselisih dalam mengartikan kata-kata dalam nash dan
maksud-maksudnya. Sebenarnya
perselisihan faham dalam hal ini menunjukkan kepada kematangan fikiran.
Seyogyanya kita harus memahami segala pendapat dan harus melapangkan dada,
selama tujuan kita masih satu dan selama problem ilmiah masih merupakan hak
bersama yang dapat dianalisa.[16]
Adapun beberapa sebab terjadinya perbedaan pendapat antara lain:
a.
Karena berbeda dalam memahami dan
mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
b.
Karena berbeda tanggapannya terhadap
Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai
kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.
c.
Berbeda
dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul.
d.
Berbeda
tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan
satu dalil atas dalil yang lain).
Ulama yang membolehkan talfiq secara mutlak mengemukakan alasan bahwa
secara syar’i setiap orang awam boleh bertanya kepada siapa saja asalkan orang
‘alim, dan orang awam boleh mengamalkan pendapat yang manapun tanpa harus
mengikuti madzhab tertentu, karena orang awam tidak punya madzhab (al-‘amie laa
madzhaba lahum). Demikian
telah berjalan semenjak masa Rasulullah masih hidup sampai masa sahabat,
tabi’in dan masa-masa seterusnya, tidak ada larangan apapun.
Sedangkan ulama yang membolehkan
talfiq secara bersyarat, yaitu harus satu qadhiyah, atau satu perkara atau satu
urusan tertentu. Misalnya perkara shalat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu,
perkara zakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, dan perkara-perkara agama
lainnya. Dasar pemikiran pendapat ini sama dengan pendapat pertama, yaitu agar dapat
menghindari terjadinya kekacauan dalam beragama.
D. Mencari Keringanan Hukum
Menurut pendapat yang dipilih para ulama’, seorang muqallid boleh mengambil
sesuatu masalah dari seorang mujtahid lain dan boleh ia mengambil beberapa
masalah dari sesuatu madzhab dan beberapa masalah lagi madzhab yang lain.[18]
Dalam pada itu, Ibnu Amril Haj Al
Hanafi, berkata:
وَلَيْسَ بِضَا ئِرٍعَلَى اْلمُكَلَّفِ أَنْ
يَتَّبِعَ الرُّخَصَ كَيْفَمَا كَانَ
“Tidak ada halangan seseorang
mukallaf mencari-cari mana yang mudah.”
Mencari-cari mana yang mudah,
ialah mengambil dari tiap-tiap madzhab mana yang enteng. Dan inilah yang
diperselisihkan. Adapun yang telah diputuskan oleh hakim, dengan menyalahi nash
dan qiyas yang jali, maka itu terang dilarang.
Para ulama dalam menghadapi
masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi menjadi beberapa bagian:
1.
Ada yang tidak membolehkan seperti
Al Ghazali, Asy Syathibi, Al Jalalul Mahalli.
2.
Ada yang membolehkan dengan syarat,
Al Izz Ibn Abdi Salam berkata: “Manusia sejak dari zaman sahabat hingga lahir
madzhab-madzhab itu, bertanya tentang apa yang mereka perlukan kepada
ulama’-ulama’ yang berbeda-beda pendapat tanpa ada teguran dari siapapun, baik
ia mengikuti yang mudah-mudah saja, ataupun ia mengikuti yang berat, karena
orang yang menjadikan orang yang benar dalam suatu masalah seorang saja, yang
tidak ditentukan dan menjadikan yang benar itu, berbilang tidak meniadakan
jalan untuk menghalangi orang mengambil mana yang mudah dalam suatu perbuatan,
yang mewujudkan talfiq pada hukum-hukum yang satu.”
Ibnul Aththar berkata:
“Kesimpulannya boleh talfiq, boleh mencari-cari yang mudah-mudah. Cuma jangan
mencari-cari yang mudah itu dalam suatu hukum yang diperoleh dari dua ijtihad.”
3.
Ada
yang membolehkan tanpa sesuatu, seperti Al Kamal Ibn Humam. Beliau berkata:
“Tak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seorang
manusia, boleh mengambil mana yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk
itu.”
4. Ibnu Amiril Haj juga menetapkan bahwa mengikuti mana-mana
yang mudah, tidak dihalangi oleh syara’.
5. Abu Ishaq Al-Marmawi Asy Syafi’i juga membolehkan.
Sebenarnya seorang awam yang tidak mengetahui sebagian dari ilmu yang membawa
kepada ijtihad, lazim ia amalkan pada tiap-tiap masalah apa yang difatwakan
oleh muftinya. Karena bermadzhab dengan sesuatu madzhab hanya dilakukan oleh
orang yang mempunyai sedikit keahlian dalam mengambil dalil terhadap sesuatu
masalah. Demikian mengenai seseorang. Adapun jama’ah yang sedang berusaha
menyusun Undang-Undang (kitab hukum), maka mereka dibolehkan mencari mana-mana
yang lain, agar mudahlah baginya memilih hukum yang sesuai dengan masa dan
suasana lingkungan dari kumpulan madzhab fiqh.[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talfiq (التلفيق)
adalah masdar dari kata لفق- يلفق- تفليقا yang
secara bahasa berarti mencampur adukkan. Menurut istilahnya adalah berbuat
dalam suatu masalah (hukum) yang menurut hukum terdiri dari kumpulan (gabungan)
dua madzhab atau lebih. Dengan kata lain talfiq adalah berpindah-pindah
madzhab.
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang
dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Adapun Talfiq yang dilarang adalah (1) Talfiq yang batal karena esensinya
(dzatnya), sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya hal-hal haram seperti
minuman keras, zina dan lainnya, (2) Talfiq yang secara sengaja dimaksudkan
mencari yang ringan-ringan saja dalam hukum syara’, (3) Talfiq yang dapat
berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan, dalam rangka
menghindari kekacauan, (4) Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan
kembali apa yang telah diamalkan seseorang atas dasar taqlid, atau hal yang
diijma`kan ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaqlidkan.
Pendapat-pendapat mengenai hukum talfiq yaitu: tidak boleh, boleh,
mubah, tidak boleh jika memililih yang ringan-ringan, dan boleh tetapi tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, terbagi
menjadi beberapa bagian, yaitu; tidak boleh, boleh dengan syarat tertentu, dan
boleh tanpa syarat.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini penulis
susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul
Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.
Ashshiddieqy, T. M.
Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulya.
Djazuli, A.. 2010. Ilmu
Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hasan, Ali, M. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mu’in, A., et all..
1986. Ushul Fiqh. Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Umam, Khairul, Aminudin, Achyar, A. 2001. Ushul Fiqh II, Cet.2.
Bandung: Pustaka Setia.
Anonim. Pengertian
Talfiq diakses melalui : http://kumpulanmakalahislami.blogspot.co.id/p/blog-page_4718.html pada tanggal 30 Oktober 2017 Pukul 14:56 WIB.
[2] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 209.
[3] Pengertian Talfiq diakses melalui : http://kumpulanmakalahislami.blogspot.co.id/p/blog-page_4718.html pada tanggal 30 Oktober
2017 Pukul 14:56 WIB.
[4] Drs.
H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986), hlm.178-179.
[6] Khairul
Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka
Setia, cet. 2, 2001), hlm. 171-172.
[7] Drs.
H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986), hlm.178.
[9] Drs.
H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[10] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210
[11] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 200.
[13] Drs. H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh,
(Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 179.
[15] Drs.
H. A. Mu’in, et all., Ushul Fiqh, (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986), hlm.178.
[16] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 107.
[19] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 210-211.
No comments:
Post a Comment