1

loading...

Friday, November 2, 2018

MAKALAH USHUL FIQH “ISTIHSAN”

MAKALAH USHUL FIQH  “ISTIHSAN”   

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Istihsan menjadi bagian sangat penting dalam hukum islam mengingat ada hal-hal tertentu dalam agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk itu dibutuhkan pendapat dari para ulama terkemuka untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak bahaya secara khusus.
Pada hakekatnya istihsan tidaklah berarti beramal dengan keluar dari dalil syara, melainkan beramal dengan dalil syara itu sendiri, dan meninggalkan dalil syara yang lain.
Ada banyak pendapat ulama besar mengenai kehujjaan istihsan itu sendiri, ada yang mendukung, menolak dan ada juga yang tidak membahasnya sama sekali. Berbagai pendapat ulama itu sendiri tentunya berpengaruh luas terhadap sikap umat muslim di berbagai penjuruh dunia, mengingat mereka adalah sumber bertanya sekaligus panutan bagi umat islam yang lain. Karena itu, penting bagi kita untuk membahas istihsan lebih mendalam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian istihsan?
2.      Apa kehujjahan istihsan?
3.      Apa saja pembagian istihsan?
4.      Apa perbedaan istihsan dan maslahah mursalah?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian istihsan.
2.      Untuk mengetahui kehujjahan istihsan.
3.      Untuk mengetahui pembagian istihsan.
4.      Untuk mengetahui perbedaan istihsan dan maslahah mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
(ISTIHSAN)
A.    Pengertian Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti memandang baik sesuatu. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenangi manusia, walaupun dipandang buruk manusia.[1] Menurut istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama:
1.      Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas jali kepada tuntunan iyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsna’i berdasarkan dalil.[2]
2.      Menurut al-Bazdawi, istihsan ialah berpindah dari tuntunan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mentakhsish qiyas dengan dalil yang lebih kuat.[3]
3.      Imam Malik mendefinisikan istihsan dengan beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli.[4]
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan dengan dalil-dalil, baik dari Al-Quran, Sunnah maupun penelitian terhadap Nash.[5]
B.     Kehujjahan Istihsan
1.      Kehujjahan istihsan dalam pandangan ulama-ulama malikiyah.
Kaidah istihsan dalam hubungan dengan dalil fiqih merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu istilah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik dari lafadz  itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relefansinya dan di tetapkan hukumnya dengan memasukannya kedalam kategori obyek yang umum itu.
Maslahat merupakan kardah istihsan yang dihasilkan secara induktif yang dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti kedudukan dalil umum yang di ambil dari suatu lafadz. Dalil umum yang di hasilkan secara induktif itu diterapkan kepada setiap masaalah cabang yang tidak di jelaskan hukumnya oleh nash karena dalil umum itu dapat merealisasi kemasalahatan umum.
Dalam hal ini Al-Syatibi berkata : “Apabila mujtahid menarik kesimpulan secara induksi dari dalil-dalil khusus dan menggeneralisasinya, maka setelah itu ia tidak membutuhkan bagi dalil khusus terhadap suatu peristiwa, akan tetapi kesimpulan itu dapat di terapkan kepadanya jika peristiwa itu secara khusus masuk dalam pengertian umum hasil induksi tanpa perlu pembenaran dengan kias atau dalil lainnya. Karena induksi dari umum makna sama dengan dalil yang dinaskan dengan lafadz yang umum. Kalau sudah demikian, maka untuk apalagi mencari lafadz yang khusus”.
Istihsan adalah fikih malikiyah berarti beramal dengan dalil-dalil syara’ yang mu’tamad (disandarkan) kepada nash-nash syara’ dan bukan beramal dengan maslahat yang berdasarkan pemikiran akal mujtahid dan kecenderungan tabiatnya, karena penalaran pada masalah-masalah syara’ merupakan penalaran pada urusan agama dan akal tidak bisa membuat syara’. 
2.      Kehujjahan isthsan dalam pandangan golongan Hanafiah
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh kiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka istihsan dapat di jadikan dalil (hujjat) Al-Taptazani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang di sepakati oleh para ulama, karena istihsan di dasarkan kepada nash atau kepada ijma’, darurat atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiah mengemukakan alasan atau dalil dari al-qur’an, al-sunnah dan ijma’. Di antaranya adalah:
a.       Surat Az-Zumar :18
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”.
b.      Surat Az-Zumar :55
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang Telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil syara’ karena istihsan itu bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, isthsan itu merupakan suatu cara istinbadh hukum yang dapat di pertanggung jawabkan karena di dasakkan kepada sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih Maliki dan Hanafih maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu merupakan salah satu upaya mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan kaidah umum atau qiyas terhadap suatu masalah jus’i dalam rangka mencari ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan jiwa dan ruh syariat, karena memang nahs tidak bisa di pahami hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami dengan menggunakan logika pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas yang memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk merealisasi kehendak al-syari’ semaksimal mungkin.
C.    Pembagian Istihsan
1.      Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
a.       Mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan yang dibenarkan syara’
b.      Mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil.
2.      Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam,[6] yaitu:
a.       Istihsan berdasarkan nash.
b.      Istihsan bi al-Ijma’
c.       Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
d.      Istihsan bi al-Maslahah.
e.       Istihsan bi al-‘adah au al-urf.
f.       Istihsan bi al-Darurah.
D.    Perbedaan Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
Sedangkan Maslahah Mursalah Dari segi bahasa, kata maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u.
Dengan demikian, maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah. Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syarak.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya, dan istihsan dipandang dari sandaran dalilnya. Dari segi pemindahan hukumnya istihsan berpindah dengan cara dari hukum kulli kepada hukum juz’I, dan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi. Dari segi sandaran dalilnya istihsan di sandarkan kepada Al Qur’an dan Hadist, Ijma, ‘Urf, Urusan yang sangat darurat, Qiyas khafiTerdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Zaidan, Abdul Karim. 1996. Al-Wajis Fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasahal-Risalah
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group



[1] AbdulKarimZaidan,Al-WajisFiUshulal-Fiqh(Beirut:Muassasahal-Risalah,1996),hlm.230.
[2] Khallaf,ushul,hlm.79.
[3] Zaidan,Al-Wajiz,hlm.230.
[4] Wahbah,UshulII,hlm.19.
[5] Haroen,Ushul,hlm.108-109.
[6] Zaidan,Al-Wajis,hlm.233.

No comments:

Post a Comment