MAKALAH USHUL FIQH “ISTIHSAN”
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Istihsan menjadi bagian sangat penting dalam hukum islam mengingat
ada hal-hal tertentu dalam agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk
itu dibutuhkan pendapat dari para ulama terkemuka untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menolak bahaya secara khusus.
Pada hakekatnya istihsan tidaklah berarti beramal dengan keluar
dari dalil syara, melainkan beramal dengan dalil syara itu sendiri, dan
meninggalkan dalil syara yang lain.
Ada banyak pendapat ulama besar mengenai kehujjaan istihsan itu
sendiri, ada yang mendukung, menolak dan ada juga yang tidak membahasnya sama
sekali. Berbagai pendapat ulama itu sendiri tentunya berpengaruh luas terhadap
sikap umat muslim di berbagai penjuruh dunia, mengingat mereka adalah sumber
bertanya sekaligus panutan bagi umat islam yang lain. Karena itu, penting bagi
kita untuk membahas istihsan lebih mendalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian istihsan?
2.
Apa
kehujjahan istihsan?
3.
Apa
saja pembagian istihsan?
4.
Apa
perbedaan istihsan dan maslahah mursalah?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian istihsan.
2.
Untuk
mengetahui kehujjahan istihsan.
3.
Untuk
mengetahui pembagian istihsan.
4.
Untuk
mengetahui perbedaan istihsan dan maslahah mursalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
(ISTIHSAN)
A.
Pengertian Istihsan
Menurut
bahasa istihsan berarti memandang baik sesuatu. Ia juga berarti sesuatu yang
digemari dan disenangi manusia, walaupun dipandang buruk manusia.[1]
Menurut istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama:
1.
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntunan
qiyas jali kepada tuntunan iyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum
istitsna’i berdasarkan dalil.[2]
2.
Menurut
al-Bazdawi, istihsan ialah berpindah dari tuntunan suatu qiyas kepada qiyas
lain yang lebih kuat atau mentakhsish qiyas dengan dalil yang lebih kuat.[3]
3.
Imam
Malik mendefinisikan istihsan dengan beramal dengan salah satu dari dua dalil
yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil
kulli.[4]
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
sebagian Hanabilah istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum
syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan dengan dalil-dalil, baik dari
Al-Quran, Sunnah maupun penelitian terhadap Nash.[5]
B.
Kehujjahan Istihsan
1.
Kehujjahan
istihsan dalam pandangan ulama-ulama malikiyah.
Kaidah istihsan dalam hubungan dengan dalil fiqih merupakan suatu
kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang
saling mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh
karena itu istilah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik dari
lafadz itu, diterapkan kepada setiap
peristiwa yang ada relefansinya dan di tetapkan hukumnya dengan memasukannya
kedalam kategori obyek yang umum itu.
Maslahat merupakan kardah istihsan yang dihasilkan secara induktif
yang dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti
kedudukan dalil umum yang di ambil dari suatu lafadz. Dalil umum yang di
hasilkan secara induktif itu diterapkan kepada setiap masaalah cabang yang
tidak di jelaskan hukumnya oleh nash karena dalil umum itu dapat merealisasi
kemasalahatan umum.
Dalam hal ini Al-Syatibi berkata : “Apabila mujtahid menarik
kesimpulan secara induksi dari dalil-dalil khusus dan menggeneralisasinya, maka
setelah itu ia tidak membutuhkan bagi dalil khusus terhadap suatu peristiwa,
akan tetapi kesimpulan itu dapat di terapkan kepadanya jika peristiwa itu
secara khusus masuk dalam pengertian umum hasil induksi tanpa perlu pembenaran
dengan kias atau dalil lainnya. Karena induksi dari umum makna sama dengan
dalil yang dinaskan dengan lafadz yang umum. Kalau sudah demikian, maka untuk
apalagi mencari lafadz yang khusus”.
Istihsan adalah fikih malikiyah berarti beramal dengan dalil-dalil
syara’ yang mu’tamad (disandarkan) kepada nash-nash syara’ dan bukan beramal
dengan maslahat yang berdasarkan pemikiran akal mujtahid dan kecenderungan
tabiatnya, karena penalaran pada masalah-masalah syara’ merupakan penalaran
pada urusan agama dan akal tidak bisa membuat syara’.
2.
Kehujjahan
isthsan dalam pandangan golongan Hanafiah
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara’.
Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh
kiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka istihsan dapat di jadikan dalil
(hujjat) Al-Taptazani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari
dalil-dalil yang di sepakati oleh para ulama, karena istihsan di dasarkan
kepada nash atau kepada ijma’, darurat atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiah mengemukakan
alasan atau dalil dari al-qur’an, al-sunnah dan ijma’. Di antaranya adalah:
a. Surat Az-Zumar :18
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”.
b. Surat Az-Zumar :55
Artinya: “Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang Telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil syara’ karena istihsan itu
bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, isthsan itu merupakan suatu cara
istinbadh hukum yang dapat di pertanggung jawabkan karena di dasakkan kepada
sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih Maliki dan Hanafih maka dapat
dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu merupakan salah satu upaya
mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan kaidah umum atau qiyas
terhadap suatu masalah jus’i dalam rangka mencari ketentuan hukum yang lebih
sesuai dengan jiwa dan ruh syariat, karena memang nahs tidak bisa di pahami
hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami dengan menggunakan logika
pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas yang memberikan kesempatan
kepada mujtahid untuk merealisasi kehendak al-syari’ semaksimal mungkin.
C.
Pembagian Istihsan
1.
Berdasarkan
proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
a.
Mendahulukan
qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan yang dibenarkan syara’
b.
Mengecualikan
hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil.
2.
Berdasarkan
sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam,[6]
yaitu:
a.
Istihsan
berdasarkan nash.
b.
Istihsan
bi al-Ijma’
c.
Istihsan
berdasarkan qiyas khafi.
d.
Istihsan
bi al-Maslahah.
e.
Istihsan
bi al-‘adah au al-urf.
f.
Istihsan
bi al-Darurah.
D.
Perbedaan Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan menurut Bahasa artinya
menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti
sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena
memang di suruh untuk itu.
Sedangkan Maslahah Mursalah Dari segi
bahasa, kata maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai
masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung
ash-Shalah yang bermakna an-naf’u.
Dengan demikian, maslahah mursalah adalah
suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan
tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni
suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau menyatakan
suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah. Tujuan
utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari
kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum
yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara
keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak
berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif,
tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syarak.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi
pemindahan hukumnya, dan istihsan dipandang dari sandaran dalilnya. Dari segi
pemindahan hukumnya istihsan berpindah dengan cara dari hukum kulli kepada
hukum juz’I, dan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi. Dari segi sandaran
dalilnya istihsan di sandarkan kepada Al Qur’an dan Hadist, Ijma, ‘Urf, Urusan
yang sangat darurat, Qiyas khafiTerdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul
fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam
menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti
telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu
hanyalah Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Zaidan, Abdul Karim. 1996. Al-Wajis Fi Ushul al-Fiqh. Beirut:
Muassasahal-Risalah
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
[1]
AbdulKarimZaidan,Al-WajisFiUshulal-Fiqh(Beirut:Muassasahal-Risalah,1996),hlm.230.
[2]
Khallaf,ushul,hlm.79.
[3]
Zaidan,Al-Wajiz,hlm.230.
[4]
Wahbah,UshulII,hlm.19.
[5]
Haroen,Ushul,hlm.108-109.
[6]
Zaidan,Al-Wajis,hlm.233.
No comments:
Post a Comment