1

loading...

Friday, November 23, 2018

MAKALAH USHUL FIQIH


MAKALAH USHUL FIQIH 

ISTISHHAB DAN KEDUDUKANNYA, ‘URF’ DAN PEMBAGIANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.  Di dalam penentuan hukum Islam, terdapat empat sumber utama yang dijadikan dalil syara’ dan disepakati di kalangan jumhur ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Di samping keempat dalil syara’ tersebut, terdapat dalil-dalil lain yang dikemukakan oleh sebagian ulama, seperti istihsan, mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan qaul ash-shahabi.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian istishab?
2.    Jelaskan bentuk-bentuk istishab !
3.    Apa kehujjahan istishab?
4.    Kedudukan istishab ?
5.    Pengertian Urf dan pembagiannya ?
C.      Tujuan Penulisan 
1.      Agar kita mengetahui hukum istishab, bentuk-bentuk istishab dan kehujjahan istishab.
2.      Agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘Urf dan pemb
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Istishhab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Penggunaan secara lughawi adalah sesuai dengan kaedah istishhab yang berlaku di kalangan ulama ushul figh yang menggunakan istishab sebagai dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di masa lalu dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk diamalkan sampai ke masa selanjutnya.
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1.         Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2.         Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
3.         Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
4.         Ibn Subki menggunakan ungkapan “selama tidak ada hal yang patut mengubahnya.” Rumusan ini melengkapi definisi sebelumnya dari Ibn Qayyim yang hanya menggunakan kata “pada prinsipnya”.
stishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.[1]

B.       Syarat-syarat Istishab
1.         Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2.         Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C.      Bentuk-bentuk  Istishab
Menurut bentuknya Istishab terbagi atas berbagai bentuk antara lain sebagai berikut :
1.         Istishab Bara’ah Asliah yakni terlepas dari tanggung jawab (terlepas dari suatu hukum ) hingga ada dalil yang menunjukkannya. Hukum Istishab ini menjadi hujjah.
2.         Istishab Atsar yang telah ditunjuk oleh akal dan syara’, sehingga ada dalil yang menentangnya, seperti tetap istri dihukumi halal, sesudah ada akad perkawinan.
3.         Istishab dalil, sesuau yang kemungkinan menentangnya baik berupa takhsis, maupun nash. Istishab ini bisa diamalkan
4.         Istishab hukum yang telah diijma’i lalu terjadi perselisihan.[2]
Para ulama ushul fiqih juga mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:
1.        Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2.        Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.    
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
3.      Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang membatalkannya).
4.        Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk  mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
5.             Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.[3]

D.      Kehujjahan Istishhab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
1.    Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2.      Ulama mutakallimin (ahli kalam)
Bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.


3.      Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah
Menyatakan bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.   Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).

E.       Pengertian Urf
Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra, dan fa (عرف) yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.

Menurut ahli Syara`,‘urfbermakna adat. Dengan kata lain‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan ijab qabul. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.

F.       Pembagian ‘Urf
a.         Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘ fi’li:
1.        ‘Urf qauliy
Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti kata walad (وَلَدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
2.        ‘Urf  fi’li
Ialah ‘Urf  yang berupa perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara’, ijab qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’ membolehkannya.
b.         Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
1.        ‘Urf ‘umum
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
2.             ‘Urf Khash atau khusus
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu. Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak adalah tidak bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai  pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu akan membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
c.         Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
1.        ‘Urf Shahih
Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
2.        ‘Urf Fasid
Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Contohnya seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang seperti inilah yang harus diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang seperti perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada saat adanya event-event akbar seperti piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.[4]
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
Sedangkan Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
 ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy. Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid.

B.       Saran
Pendidik yang profesional kita harus mempunyai tanggung jawab yang kita emban selama proses mengajar. Kewajiban untuk menyampaikan ilmu kepada orang lain harus terlaksana dengan sebaik-baiknya. 

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 482

Drs. H. A. Syafi’i Karim,  Ushul Fiqih (Bandung; CV Pustaka Setia, 2006) hlm 252
Koto, Alauddin. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. (Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Yahya, Muhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. (Bandung : PT Al-Marif, 1986)





[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 365
[2] Drs. H. A. Syafi’i Karim,  Ushul Fiqih (Bandung; CV Pustaka Setia, 2006) hlm 80-81
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 376-378
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 389-392

No comments:

Post a Comment