RESUME PENGERTIAN MAZHAB, LATAR BELAKANG MUNCULNYA MAZHAB, PERKEMBANGAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN FIQH
A. Pengertian
Mazhab
Kata Mazhab berasal dari makna kata Arab
"pergi" atau "mengambil sebagai cara", dan mengacu pada
pemilihan mujtahid dalam kaitannya dengan sejumlah kemungkinan penafsiran dalam
menurunkan hukum Allah dari teks utama Qur'an dan hadis pada pertanyaan
tertentu. pengertian mazhab menurut fiqih adalah hasil ijtihad seorang imam
(mujtahid) tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash. Jadi,
masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad ini adalah yang termasuk kategori
dzonni atau prasangka, bukan hal yang qoth’i atau pasti. Jadi tidak benar kalau
ada istilah hukum shalat 5 waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’i, karena
hukum shalat wajib termasuk kategori qoth’i yang tidak bisa dibantah wajibnya
oleh mazhab manapun. Berbeda jika masalah yang dihadapi tentang hal-hal yang
asalnya masih samar seperti hukum menyentuh kulit wanita yang bukan muhrim.
Karena perbedaan pandangan itulah, maka terjadi perbedaan pendapat antara Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam lainnya. Hasilnya dinamakan ijtihad Imam Syafi’i
yang pasti berbeda dengan ijtihad Imam Hanafi dan Imam lainnya yang menentukan
batal atau tidaknya wudhu ketika menyentuh wanita muhrim.
B. Latar
Belakang Munculnya Madzhab
Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah
disebabkan oleh tiga factor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum
Islam sesudah wafatnya Rasulullah yaitu:
1. Meluasnya
daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir,
Syam, Persia, dll.
2. Pergaulan
bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan
budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
3. Akibat
jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para
Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban
terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Pada masa tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu
yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan yang
lebih banyak menggunakan hadis atau sunnah yang ditampilkan “Madrasah Madinah”.
Masing-masing madrasah menghasilkan para mujtahid kenamaan.
Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi
karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip
pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langkah dan metode yang
mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
pedoman oleh generasi berkutnya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya.
Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis,
terinci, dan operasional yag kemudian disebut “fiqh”. Mujtahid yang
mengembangkan rumusan ilmu ushul dan metode tersendiri disebut “mujtahid
mandiri”.
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil
syara’ dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam
berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang
mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid
dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatau
pendapat tentang hukum, kemudian disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai
‘imam mazhab’.
C. Perkembangan
dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Fikih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah
tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah
tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru. Dengan demikian, kesempatan
untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sulit
dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat)
di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan
para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan
para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan
para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf
dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama
ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk
masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan
masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan
Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di
berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini
dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini
dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang
oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa
pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih
pada periode ini. Dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab
munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini
tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali
– seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa
saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai
mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang
dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka
pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar
al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi
(wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat
157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits
bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam
Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat
204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi
periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode
khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode
tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode
kemunduran fiqih
1. Periode
risalah.
Periode ini
dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. (11 H./632
M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi
S.A.W.
Periode awal
ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode
Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum
yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam
rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan
masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode
Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh
persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah
maupun muamalah.
2. Periode
al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini
dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan
memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan
munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan
yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa
ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.),
ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal
pertumbuahn fiqh.
Masa ini
dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam
Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa
al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah,
33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
daerah tersebut.
4. Periode
keemasan.
Periode ini
dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode
sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam
Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini
adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.
Dinasti
Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan
menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga
perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar.
Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan
ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang
semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya
dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam
Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun.
Periode
keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah
al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang
muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul
fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan,
dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode
tahrir, takhrij, dan tarjih
Periode ini
dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang
dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan
ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil
ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka
anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab
(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya).
Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap
satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab
imamnya.
Mustafa Ahmad
az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul
pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada
tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
a. Dorongan para
penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
b. Munculnya
sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan
berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid
imam mazhab.
c. Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul
sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih
jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode
kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan
dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan
penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab
masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari
buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir
(memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab),
tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol
pada periode ini.
a. Munculnya
upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang
memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab.
b. Muncul
beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu,
fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik
dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan
terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai
dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan
diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’,
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan
pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut,
karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang
tersebut.
Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ‘ud (qadi
Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim
[1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum
(fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa
pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang
merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki
Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau
merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama dan
yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa
Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang
pokok agama maupun dalam bidang cabang – cabang agama.
Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul
perselisihan dalam kalangan umat islam di bidang ushul dan bidang furu’.
Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat ialah mengenai pendapat bahwa :
“apakah Nabi benar – benar meninggal atau hanya diangkat Allah saja” . Sedang
dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu
mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan –
perselisihan yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai
madzhab dikemudian hari.
Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan
madzhab :
1. Golongan para
sahabat yang berani membahas dan menganalisa, dan berani memberi fatwa baru
tanpa ragu. Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami, mendalami di
jiwa syari’at.
2. Golongan para
sahabat yang tidak berani memberi fatwa – fatwa terhadap kejadian – kejadian
yang baru. Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang membatasi diri dalam
petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut makna yang lahir saja (jelas
adanya).
No comments:
Post a Comment