MAKALAH NUSYUZ,
SYIQAQ DAN HAKAMAIN
DALAM PENYELESAIANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana didalamnya hanya terdiri dari
suami, istri, dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan
sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada
di rumah maupun ketika berada diluar rumah. Dimana seluruh hak dan kewajiban
bisa mereka dapatkan dan laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup bersama.
Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat zaman sekarang seperti yang
kita ketahui dari media-media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang
lainnya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Diantara sebab-sebab
yang mengakibatkan perceraian tersebut salah satunya adalah tidak terpenuhinya
hak-hak dan kewajiban antara suami istri dan terjadinya pembangkangan (nusyus) seorang istri
kepada suami dan atau suami terhadap istrinya. Hal semacam ini, biasanya tidak
lepas dari adanya suatu kecurigaan antara kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh
pikiran bahwa dirinya lebih baik dan atau merasa lebih memiliki kekuasaan, dll.
Melihat fenomena tersebut, dalam pembahasan kali ini akan lebih diuraikan
kembali tentang konsep an-Nusyuz, asy-Syiqaq dan Fungsi Hakim dalam penyelesaiannya dalam kehidupan berumah tangga keluarga
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nusyuz
1.
Pengertian Nusyuz
Secara bahasa kata nusyuz berasal
dari kata dasar nasyz yang berarti tempat yang tinggi.
Sedangkan menurut istilah, nusyuz adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh seorang istri terhadap kewajibannya yang ditetapkan oleh Allah
SWT. agar taat kepada suami. Sehingga seolah-olah istri menempatkan dirinya
lebih tinggi dari pada suami.[1]
Menurut Ibnu Katsir, nusyuz artinya
menantang. Istri yang nusyuz adalah istri yang menantang suaminya,
tidak melaksanakan perintahnya, berpaling dari suami dan membuatnya marah.[2]
Menurut Hussein bahreisj, nusyuz adalah
suatu sikap membangkang atau durhaka dari isteri kepada suaminya atau terjadi
penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suami terhadap isterinya.
Menurut Slamet Abidin dan Amunudin, nusyuz adalah
durhaka, artinya kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Kedurhakaan disini adalah ketika seorang istri
menentang permintaan suami tanpa alasan yang dapat diterima hukum
syara'. Misalnya :
a.
Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi
istri tidak mau pindah ke rumah tersebut, atau istri meninggalkan rumah tanpa
ijin dari suami.
b.
Apabila istri bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, walaupun
perjalan itu wajib, seperti pergi haji, maka perbuatan tersebut terhitung haram.[3]
c.
Penolakan istri ketika suami mengajak berjima' tanpa adanya alasan yang
syar'i.
d.
Memasukkan orang yang tidak disukai suaminya kedalam rumah.
2.
Hukum An-Nusyuz
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita
yang melakukan nusyuz jika ia tidak mempan dinasehati. Hukuman tidak
akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal-hal yang
diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.[4] Allah
berfirman dalam QS. An-Nisa’: 34
Artinya: “Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.
Dalam
menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “ketahuilah bahwa Allah tidak
memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajibannya, kecuali
dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang
tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan maksiat dosa
besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumannyapun, suami sendiri yang
melaksanakannya, bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses
pengadilan, tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-betul
percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.
Para ulama
berbeda pendapat soal hukuman dalam ayat di atas, apakah diberikan berdasarkan
urutan atau tidak. Latar belakangnya karena mereka berbeda pendapat dalam
memahami huruf waw ‘athof. Yakni apakah huruf itu
menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu
saja dari hukuman-hukuman itu kepada istrinya dan/atau menerapkan keduanya,
atau apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah
ini ada segolongan ulama yang pendapatnya cukup moderat, mereka berkata,
”Penggabungan dengan huruf waw di atas menunjukkan
penggabungan secara mutlak, tetapi maksudnya adalah penggabungan berdasarkan urutan.
Ini bisa ditinjau dari lafaznya. Lagi pula, konteks ayat di atas mengandung
urutan dan tahapan yang harus ditempuh dalam menjatuhkan hubungan kepada
istri”.
Imam al-Qadhi
Abu Bakar ibn al-Arabi berkata, “Penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang
ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair. Ia berkata, “Suami harus terlebih
dahulu menasihati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkan dari
tempat tidurnya. Namun, jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu
jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah dari keluarganya
sendiri dan keluarga istrinya, lalu kedua penengah itulah yang akan melihat
dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa
diterapkan atas keduanya.
3.
Urutan Hukuman Bagi
Istri Nusyuz
Allah SWT
memerintahkan untuk memberikan hukuman bagi istri yang nusyuz. Ada
beberapa tahapan dalam menghukum istri yang nusyuz:
Pertama, diberi nasehat. Di antara hal yang dapat dilakukan
suami adalah:
a.
Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi
perempuan yangbermalam sedangkan suami marah dengannya.
b.
Mengancam dengan tidak memberi sebagian kesenangan
materiil.
c.
Mengingatkan istri pada sesuatu yang layak dan patut
dan menyebutkan dampak-dampak nusyus, di antaranya bisa berupa perceraian yang
berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.
d.
Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di
akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya.
e.
Menasihati istri dengan kitabullah, yang
mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap
suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
f.
Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis Nabi
SAW, menyebut sejarah hidup ibu orang-orang mukmin.
g.
Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara,
kecuali memperbanyak sikap untuk mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.[5]
Kedua, jika nasehat belum mampu menyadarkan istri yang
nusyus, maka jangan tidur dengan istri atau pisah tempat tidur. Tapi, jangan
sampai terlalu lama. Maksimal tiga malam.
Ketiga, jika masih tetap begitu, maka suami boleh memukulnya.
Akan tetapi, pukulan terhadap istri yang nusyus harus sesuai syari’at yaitu
yang tidak membahayakan dan tidak melukai. Jangan memukul bagian wajah dan
kepala.
4. Bentuk dan Jenis Sikap Nusyuz
Sikap nusyuz mempunyai banyak bentuk,
semuanya terhimpun dalam tindakan maksiat terhadap suami dan keluar dari
ketaatan kepadanya. Jenis-jenis sikap nusyuz tidak terbatas oleh
bilangan angka. Akan tetapi, sebagian diantaranya marak terjadi dan
mengakibatkan bahaya besar, yaitu:[6]
a.
Menolak ajakan suami di tempat tidur. Ini adalah sikap nusyuz terbesar.
b.
Mengkhianati suami terkait dengan kehormatan dirinya, yaitu dengan menjalin
hubungan haram dengan laki-laki lain.
c.
Memasukkan orang lain ke dalam rumah, yang mana suami tidak suka bila orang
itu masuk ke dalam rumahnya, baik ketika suami ada maupun tidak ada.
d.
Lalai dalam melayani suami.
e.
Menghambur-hamburkan harta suami dan membelanjakannya untuk sesuatu yang
tidak pantas.
f.
Menyakiti suami dengan perkataan buruk, mencelanya atau mencacinya.
g.
Keluar dari rumah tanpa izin suami.
h.
Menyebarluaskan rahasia suami dan menurunkan tirai pelindung kehormatannya.
B.
Syiqaq
1.
Pengertian Syiqaq
Syiqaq menurut
bahasa dapat diartikan pertengkaran, sedangkan menurut istilah syiqaq berarti
krisis memuncak yang terjadi antara suami istri, sehingga antara keduanya yaitu
suami isteri sering terjadi perselisihan yang menjadikan keduanya tidak dapat
dipertemukan (diselesaikan) dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.
Menurut istilah fiqih berarti perselisihan
antara suami dan istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang
hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.[7]
Pengertian di
atas menunjukkan bahwa syiqaq terjadi apabila antara suami istri tidak dapat
lagi mencukupi kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin, sehingga dalam kehidupan
rumah tangga sering terjadi perselisihan
yang tiada akhir.
yang tiada akhir.
2. Dasar Hukum Syiqaq
Syiqaq merupakan salah satu alternative
yang ditawarkan oleh agama islam untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi
dalam suatu keluarga, hal ini dijelaskan dalam firman allah surat An-Nisa’ Ayat
35:
Artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Firman Allah
tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami isteri maka
dianjurkan untuk mengutus seorang hakam dari pihak
laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan untuk menyelidiki dan mencari sebab
musabab permasalahan antara keduanya, dan allah menganjurkan agar pihak yang berselisih
apabila memungkinkan untuk kembali membina rumah tangga (hidup bersama)
kembali. Dan perlu diketahui yang dimaksud hakam dalam ayat tersebut adalah
seorang bijak yang dapat atau cakap untuk menjadi penengah dalam menghadapi
konflik yang sedang terjadi.
3.
Talak karena Syiqaq
Talak yang jatuh karena syiqaq adalah talak ba’in, karena bahaya
dari syiqaq tidak dapat dihilangkan kecuali dengan talak ba’in, karena apabila
talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i, maka dikhawatirkan akan terulang
kembali syiqaq tersebut.
Pandangan Ulama’
terhadap Perceraian karena Syiqaq: Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah
tidak memperbolehkan perceraian dikarenakan syiqaq, karena syiqaq dapat
diselesaikan melalui jalan damai, tanpa harus ada perceraian. Sedangkan ulama
Malikiyah memperbolehkan perceraian karena syiqaq, agar kehidupan berkeluaga
tidak menjadi bencana, baik bagi sang suami maupun sang istri.
C.
Hakamain
1.
Pengertian Hakamain dan Tugasnya
Hakam artinya
juru damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak
suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketaui
keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah diantara kedua suami istri
tersebut.
Hakamain yang ditetapkan
Al-Qur'an adalah juru damai. Mereka mengupayakan mendamaikan buka upaya
memperkeruh keadaan, apalagi dengan adanya juru damai malah membuat kedua belah
pihak semakin menjelek-jelekkan dan membuka rahasia masing-masing selama
berumah tangga. Hal tersebut sangat dilarang oleh islam.
Para ahli fikih berbeda
pendapat tentang arti hakam dalam QS. An-Nisa’ ayat 35 tersebut.
a.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I serta pengikut keduanya
berpendapat, hakam berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Hakam tidak
boleh menjatuhkan talak kepada istri sebelum mendapat persetujuan dari suami.
Begitu pula hakam dari pihak perempuan tidak boleh mengadakan khulu' sebelum
mendapat persetujuan suami. Hakam hanya mewakili pihak yang berselih dan
bertugas menyampaikan keinginan-keinginannya, jika suami berkeinginan cerai
maka hakam menyampaikan keinginan tersebut, kecuali jika suami menyerahkan
pemisahan tersebut kepada juru damai. Alasannya adalah bahwa pada dasarnya
talak tidak berada di tangan siapapun, kecuali suami atau seorang yang diberi
kuasa olehnya. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari puhak suami dan
istri.
b.
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat, hakamain itu sebagai
hakim sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya mengenai
hubungan suami-istri yang sedang berselisih itu, apakah mereka memberi
keputusan berdamai atau bercerai tanpa pemberian keluasaan atau persetujuan
dari kedua belah pihak. Jadi, kerelaan sorang suami sangat diperlukan disini.
Alasan Imam Malik adalah apa yang diriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib ra.
bahwa ia mengatakan tentang kedua juru damai itu:
اِلَيْهِمَا التَّفِرِ قَةُ
بَيْنَ لزَّوْجَيْنِ وَالجَمْعُ
"Kepada
kedua juru damai itu hak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami-istri".
Ibnu sirin menyebutkan bahwa
‘Ubaidah berkata: “Seorang suami dan istri datang kepada Ali ra, masing-masing dari mereka
berdua membawa sekelompok orang banyak. Ali pun memerintahkan mereka untuk
menunjuk seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga
istri. Setelah itu, Ali berkata kepada kedua hakam,’’jika kalian memandang
bahwa mereka berdua bisa bersatu, maka satukanlah, dan jika kalian memandang
bahwa mereka berdua harus berpisah maka pisahkanlah. Sang istri berkata: “aku ridho dengan kitab Allah swt, apa yang menjadi
kewajibanku dan pa yang menjadi hakku”. Dan sang suami berkata: “adapun untuk berpisah, maka
aku tidak mau”. Lalu Ali berkata: “Demi Allah, engkau berbohong,
sampai engkau memutuskan seperti apa yang telah dia putuskan”.
Dan menanggapi alasan yang di
ungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I, Imam Malik berbeda pendapat
tentang kedua juru dalam menjatuhkan talak tiga. Dan yang berhak mengangkat
hakam adalah dari hakim atau pemerintah.[8]
Jika kedua juru damai berbeda
pendapat, salah satunya menetapkan talak satu sedang juru damai yang lainya
mengatakan talak dua. Maka putusan keduanya tidak dapat di ambil, dan perlu
mendatangkan seorang hakim lagi, hingga kedua juru damai tersebut bisa
menghasilkan putusan yang sama. Jika tidak bisa mendapatkan juru damai dari keluarga
masing-masing untuk menyelesaikan perselisihan pasangan suami-istri, maka
mayoritas ulama, selain mazhab Maliki, membolehkan mengutus dua juru damai
orang lain yang bukan keluarga suami atau istri. Putusan kedua juru
damai itu bisa di terima, selama keduanya tidak berbeda pendapat.[9]
2.
Syarat-Syarat Hakamain
a.
Berlaku adil diantar pihak yang bersengketa
b.
Mengadakan perdamaian antar kedua suami istri dengan
ikhlas
c.
Disegani oleh kedua pihak suami istri
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada
beberapa kata kunci yang bisa kita petik dari makalah ini untuk memahami
Nusyuz, Syiqaq, dan fungsi hakamain dalam penyelesaian masalah :
1.
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang
menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati
suaminya,atau menolak diajak ke tempat tidurnya. Ketika istri sedang durhaka
(nusyuz), maka ada beberapa langkah yang boleh dilakukan suami terhadap istri
yakni mulai dari menasehati, tidak memberi nafkah, pisah ranjang, hingga suami
diperbolehkan memukul istri namun dengan pukulan yang tidak melukai dan dengan
niatan memberikan pelajaran.
2.
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan
suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak
suami dan seorang hakam dari pihak istri. Ketika permasalahan yang dihadapi
suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak
suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari
kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang
pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh
suami maupun istri, sebagaimana ada beberapa pendapat tentang arti hakamain
dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang telah dijelaskan pada paragraph di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman, Jakarta:
Qisthi Press, 2011.
As-Subki
Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam
Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.
Kamal Abu Malik bin Salim Sayyid, Fiqhus Sunnah Lin Nisaa, diterjemahkan
Asep Sobari, Fiqih Sunah untuk Wanita, Cet I, Jakarta: Darul Bayan
Al-Haditsah, 2010.
Rahman,
Masykur Arif, Dosa-dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam
Pertama, Jogjakarta: Sabil, 2011.
Saebani,
Beni Ahmad, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Tihami, dan
Sahrani Sohari, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 1;
Serang: Rajawali Pers, 2008.
Usamah Abu
'Ubaidah bin Al-Jammal Muhammad, Kitab Al-Mu'minat Al-Baqiyat
Ash-Shalihat fi Ahkam Takhtashshu bihal Mu'minat, diterjemahkan Arif
Rahman Hakim, Shahih Fiqih Wanita Muslimah, Cet. 1, Surakarta:
Insan Kamil. 2010.
[1] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqhus
Sunnah Lin Nisaa, diterjemahkan Asep Sobari, Lc., Fiqih Sunah Untuk
Wanita. (Cet I; Jakarta: Darul Bayan Al-Haditsah), h.
739.
[2] Abu
'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, Kitab Al-Mu'minat Al-Baqiyat
Ash-Shalihat fi Ahkam Takhtashshu bihal Mu'minat, diterjemahkan Arif
Rahman Hakim, Shahih Fiqih Wanita Muslimah. (Cet. 1;
Surakarta: Insan Kamil), h. 346.
[5] Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), h. 303.
[6] Muhammad
bin Ibrahim Al-Hamd, Dosa-dosa Suami Istri yang Meresahkan Hati, (Solo:
Kiswah, 2011), h. 53.
[8] Tihami,
dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Cet.
1; Serang: Rajawali Pers), h. 185.
No comments:
Post a Comment