BAB 1
Latar Belakang
Pendahuluan
Sebelum membicarakan soal perkembangan pemikiran
dan peradaban Islam, ada baiknya penulis memberikan definisi terlebih dahulu
tentang variabel-variabel judul di atas. Kata “Perkembangan” berasal dari kata
kembang, yang berarti mekar, terbuka atau terbentang menjadi luas, banyak dan
sebagainya.[1]
Secara harfiyah, peradaban Islam berasal dari bahasa Arab yaitu: al-Hadarah
al-Islamiyah,[2]
yang berarti kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin.[3]
Sementara itu, kata “pemikiran” berasal dari kata pikir “akal budi”, ingatan.
Pemikiran berarti cara atau hasil berpikir.[4] Pengertian
yang dapat diungkapkan dari pemikiran Islam, ialah kegiatan manusia dalam
mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun
esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik materinya maupun esensinya,
sehingga dapat diungkapkan hubungan sebab dan akibat dari sesuatu materi
ataupun esensi, asal mula kejadiannya
serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.[5] Abad
berarti masa seratus tahun, modern berarti yang terbaru.
Abad modern dimulai setelah terlaksananya
perjanjian Carltouiz (carlouiz) melumpuhkan Usmani menjadi negara kecil. Secara
umun, istilah modern berasal dari kata moderna yang artinya: “sekarang”
(Jerman: Jetzeit). Dengan pengertian itu, ditahui bahwa yang disebut
modern, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran seseorang. Jadi, kalau ada
orang atau masyarakat yang hidup di era sekarang tetapi kesadarannya berada di
abad pertengahan, maka pertanda mereka belum modern, dan bisa dikatakan manusia
primitif.
Abad modern ini merupakan spirit zaman baru (zeitgeist)
yang dimulai pada abad ke-19. Sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman,
modernitas dicirikan oleh tiga hal yaitu: indifidualistik, rasionalisme dan
kemajuan. Dalam bahasa Indonesia, untuk merujuk suatu kemajuan selalu dipakai
kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat Barat menggunakan istilah
modernisme tersebut untuk suatu yang mengandung arti pikiran, aliran atau
paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dari penjelasan
definisi di atas dapat diartikan bahwa perkembangan pemikiran dan peradaban
berarti terbukanya pikiran manusia dan kebudayaannya pada era saat ini.
Untuk itu, pada makalah ini penulis akan membahas
tentang: Bagaimana perkembangan pemikiran dan peradaban Islam pada abad modern
ini? Serta bidang-bidang apa saja yang berkembang pada abad ini?
·
BAB 2
ISI
A.
Perkembangan
Pemikiran Islam pada Abad Modern
Pemikiran modern dimulai
sekitar paroh kedua abad ke-17M hingga sekarang, dengan
munculnya tokoh-tokoh pembaharuan di kalangan Timur
Tengah (Saudi Arabia dan Mesir). Istilah modern di atas hanya sekedar untuk
mempermudah melihat ciri perkembangan pemikiran yang ada, sebagaimana digunakan
oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Munculnya pemikiran modern, tidak lepas dari
tiga latar belakang penyebab.
Pertama, munculnya
kesadaran pembaruan secara intern sebagai akibat dari dampak
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Kedua, lahirnya peradaban baru dari Barat
yang disebut masa Renaissance (masa keemasan Barat) yang memunculkan ide
sentral modernisasi serta pemikiran rasional-ilmiah sehingga melahirkan sains
dan teknologi yang dimulai sekitar abad ke-16. Ketiga, kondisi negara-negara
Arab, seperti Mesir dan Turki yang sangat memprihatinkan di bawah imprialisme
negara-negara Eropa khususnya Prancis. [6]Kesadaran
untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan bangkitnya Eropa dan Barat, serta
kesadaran akan eksistensi umat Islam yang selama berabad-abad mengalami
kejumudan, adalah penyebab kuat lahirnya gerakan pembaharuan dalam Islam.
Keunggulan-keunggulan Barat
dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer tidak hanya
menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu, tetapi
lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara-negara muslim yang ditaklukkannya.
Sehingga, pada penghujung abad XIX hampir tidak ada satu negeri muslim pun yang
tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada
tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte berhasil menduduki Mesir. Walaupun pendudukan
Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan
Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim.
Hal ini menunjukkan
ketidakberdayaan Mesir, sebagai salah satu pusat Islam untuk menghadapi
kekuatan Barat.[7]
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai sadar akan kelemahan dan kemundurannya,
sementara mereka juga merasa terkejut dengan kemajuan yang telah dicapai oleh
Barat.
Gelombang ekspansi Barat ke
negara-negara muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam
untuk mulai berpikir, guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah
seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan
adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di
Afghanistan dan meninggal di Istambul 1897.[8]
Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme,
yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di
dunia internasional. Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani
dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawan kolonialisme dengan berpegang
kepada tema-tema ajaran Islam sebagai stimulasinya.
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa
diskursus tema-tema itu antara lain diseputar: Perjuangan melawan
absolutisme para penguasa; Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan
kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan
kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan
ketakutan terhadap Barat.[9] Selain
Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi
hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu
adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Mereka sangat dipengaruhi
oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah
pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir.
Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial
dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti
kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan
para sahabatnya atau para salafiah. Untuk menyebarkan gagasan-gagasannya ini,
Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan-tulisan yang terakumulasi dalam
majalah Al Manar yang dipimpinnya.
Di daratan Eropa, Syakib
Arsalan selalu memotori gerakan-gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan
adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara
muslim Arab yang berasal dari kekuasaan negara-negara Barat; dan menggalang
pendapat seluruh orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan
ke-Islaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan
sosial yang lebih baik. [10]
Sementara pimpinan
masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke Eropa setelah
Istambul diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya melalui berbagai
penerbitan berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation Arabe yang
dicetak di Annemasse Prancis.[11] Meskipun
pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep-konsep Pan Islamismenya Afghani
karena merasakan perlunya pembaharuan dalam masyarakat. Namun dalam praktiknya,
ia lebih menitikberatkan perjuangannya pada Pan-Arabisme. [12]
Gerakan perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum
mencapai hasil yang diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam
mereka sangat mewarnai era generasi selanjutnya, untuk membebaskan negerinya
dari penetrasi kolonial Barat.
B. Bidang Perkembangannya
1.
Bidang
Akidah
Salah satu pelopornya dalam dunia Islam adalah
aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Tokohnya
adalah Muhammad Abdul Wahab (1703- 1787M) yang berasal dari Nejed, Saudi
Arabia.
Pemikiran yang dikemukakannya adalah upaya memperbaikai
kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat
itu. Paham tauhid mereka telah tercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarekat yang
sejak abad ke 13 tersebar meluas di dunia Islam. Sebagai contohnya, Muhammad
Abdul Wahab melihat makam-makam Syekh tarekat yang tersebar di berbagai tempat
banyak dikunjungi oleh umat Islam dan mereka meminta pertolongan dari syekh
atau wali untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari.
Ada yang minta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari
penyakit dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Perbuatan ini menurut paham
Wahabiyah termasuk Syirik, karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan
kepada Allah SWT. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai
pengaruh pada perkembangan pemikiran di abad ke 19 adalah sebagai berikut:
1. hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber
asli ajaran Islam
2. taklid kepada ulama tidak dibenarkan
3. pintu ijtihad senantiasa terbuka.
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif
dan berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn
Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-pahamnya tersebar luas dan
pengikutnya bertambah banyak, sehingga di tahun 1773M mereka dapat menjadi
mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787, beliau wafat tetapi ajaran tetap dan
mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
2.
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Islam merupakan agama yang sangat mendukung
kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Islam menghendaki manusia
menjalankan kehidupan yang didasarkan pada rasioanlitas atau akal dan
iman. Ayat-ayat Al Qur’an banyak memberi tempat yang lebih tinggi kepada orang
yang memiliki ilmu pengetahuan, Islam pun menganjurkan agar manusia jangan pernah
merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya, karena berapapun ilmu dan pengetahuan
yang dimiliki itu, masih belum cukup untuk dapat menjawab pertanyaan atau masalah
yang ada di dunia ini.
Firman Allah SWT( lihat Al_qur’an ) Artinya
: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepada tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habishabisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi
maha bijaksana.” (QS. Luqman : 27)
Ajaran Islam tersebut mendapat respon yang positif
dari para pemikir Islam sejak zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan
(1250-1800 M) hingga periode modern (1800 M dan seterusnya). Masa pembaruan
merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya mesir ke tangan Barat menyadarkan umat
Islam bahwa di Barat, telah menimbulkan peradaban baru yang lebih tinggi dan
merupakan ancaman bagi Islam. Rajaraja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan
cara untuk meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam. Dalam bidang ilmu
pengetahuan, di Turki Usmani mengalami kemajuan dengan usaha-usaha dari Sultan
Muhammad II yang melakukan terhadap umat Islam di negaranya untuk dapat
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan upaya melakukan pembaharuan di
bidang pendidikan dan pengajaran, lembaga-lembaga Islam diberikan muatan
pelajaran umum dan upaya mendirikan “Mektebi Ma’arif” guna menghasilkan tenaga
ahli dalam bidang administrasi dan “Mektebi Ulumil Edebiyet” guna menghasilkan tenaga
penterjemah yang handal serta upaya mendirikan perguruan tinggi dengan berbagai
jurusan seperti kedokteran, teknologi dan militer.
Beberapa tokoh terkenal dalam dunia
ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1.
Jamaluddin
al-Afghani (Iran 1839 – Turki 1897)
Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam yang
diberikan oleh Jamaluddin berupa gagasan yang mengilhami kaum muslimin di
Turki, Mesir dan India. Ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan barat,
meskipun ia sangat anti imperialisme Eropa. Islam menurutnya adalah sebuah
keyakinan transendensi Tuhan dan akal. Ijtihad adalah hal yang diperlukan, dan
tugas manusia adalah melakukan prinsip-prinsip al-Quran dalam cara yang baru
untuk mengatasi masalah-masalah di zaman mereka.
Jika masyarakat tidak melakukan hal itu akan
terjadi kemandegan atau meniru-meniru saja. Peniruan merugikan masyarakat,
menurutnya: jika kaum muslimin mengikuti orang Eropa, mereka tidak akan menjadi
orang Eropa, karena tingkah laku dan prinsip-prinsip tertentu pada umumnya
dapat dipahami oleh orang Eropa itu sendiri.[13]
2.
Muhammad
Abduh (Mesir 1849 – 1905) dan Muhammad Rasyid Rida (Suriah 1865 –1935)
Guru dan murid tersebut sempat mengunjungi beberapa
negara Eropa dan amat terkesan dengan pengalaman mereka disana. Rasyd Rida
mendapat pendidikan Islam tradisional dan menguasai bahasa asing (Perancis dan
Turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu pengetahuan secara
umum.
Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk
bergabung dengan gerakan pembaruan Al-Afgani dan Muhammad Abduh di antaranya
melalui penerbitan jurnal Al-Urwah Al-Wustha yang diterbitkan di Paris dan
disebarkan di Mesir. Muhammad Abduh sebagaimana Muhammad Abdul Wahab dan
Jamaludin Al Afgani, berpendapat bahwa masuknya bermacam bid’ah ke dalam ajaran
Islam membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah
itulah yang menjauhkan masyarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
3.
Toha
Husein (Mesir Selatan 1889-1973)
Beliau
adalah seorang sejarawan dan filusuf yang amat mendukung gagasan Muhammad Ali
Pasya. Ia merupakan pendukung modernisme yang gigih. Pengadobsian terhadap ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktisnya saja, tetapi
juga sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi. Pandangannya
dianggap sekularis karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4.
Sayid
Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf
Al-
Qardawi al- Qardawi menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika
modernisasi yang dimaksud bukan berarti upaya pembaratan dan memiliki batasan
pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern serta penerapan teknologinya, Islam
tidak menolaknya bahkan mendukungnya. Pandangan al- Qardawi ini cukup mewakili
pandangan mayoritas kaum muslimin.
Secara
umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi
sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan ini kelak terbukti dan
tetap bertahan hingga kini di kalangan muslim. Akan tetapi, di kalangan pemikir
yang mempelajri sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti tidak
cukup memuaskan mereka.
5.
Sir
Sayid Ahmad Khan (India 1817-1898)
Beliau
adalah pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti halnya al-
Afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi
berbeda dengan al- Afgani, ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebasan itu itu antara lain
meliputi penjelasan mengenal suatu peristiwa dengan sebab-sebabnya yang
bersifat fisik materiil.
Di
Barat, nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari tahayyul dan cengkraman
kekuasaan gereja. Kini, dengan semanat yang sama, Ahmad Khan merasa wajib
membebaskan kaum muslim dengan meleyapkan unsur yang tidak ilmiyah dari pemahamnan
terhadap al-quran. Ia amat serius dengan upayanya ini antara lain dengan menciptakan
sendiri metode baru penafsiran al-Quran. Hasilnya adalah teologi yang memiliki
karakter atau sifat ilmiyah dalam tafsir al-quran.
6.
Sir
Muhammad Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi
awal abad ke-20 yang merupakan salah seorang muslim pertama di anak benua India
yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan mempunyai latar belakang pendidikan
yang bercorak tradisional Islam. Kedua hal ini muncul dari karya utamanya di
tahun 1930 yang berjudul “The Reconstruction of Religion Thought in Islam (Pembangunan
kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam).
Melalui
penggunaan istilah reconstruction, ia mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan
Islam dalam bahasa modern untuk dikonsumsi generasi baru muslim yang telah
berkenalan dengam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat barat
abad ke-20.
3.
Bidang
Politik
Ide politik yang pertama muncul yaitu Pan Islamisme
atau persatuan Islam sedunia yang digencarkan oleh gerakan Wahhabiyah dan
Sanusiyah, setelah itu diteruskan dengan lebih gencar oleh tokoh pemikir Islam
yang bernama Jamaluddin Al Afghani (1839-1897). Menurut Jamaluddin, untuk
pertahanan Islam, harus meninggalkan perselisihanperselisihan dan berjuang
dibawah panji bersama dan juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan
nasional negeri-negeri islam. Dengan ide yang demikian, ia dikenal atau
mendapat julukan bapak nasionalisme dalam Islam.
Gagasan atau ide Pan Islamisme yang digelorakan
oleh jamaluddin disambut oleh Raja Turki Usmani yang bernama Abd. Hamid II
(1876-1909) dan juga mendapat sambutan yang baik di negeri-negeri Islam. Akan
tetapi setelah Turki Usmani kalah dalam perang dunia pertama dan kekhalifahan
dihapuskan oleh Musthofa Kemal seorang tokoh yang mendukung gagasan
nasionalisme, rasa kesetiaan kepada Negara kebangsaan.
Di Wilayah Mesir, Syiria, Libanon, Palestina,
Hijaz, irak, Afrika Utara, Bahrein dan Kuwait, nasionalismenya bangkit dan
nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Dalam penyatuan Negara arab dibentuk
suatu liga yang bernama Liga Arab yang didirikan pada tanggal 12 Maret 1945. Di
India dibentuk gerakan nasionallisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional
India dan juga dibentuk komunalisme yang digagas oleh Komunalisme Islam yang
disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres nasional.
Di India terdapat pembaharu yang bernama Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Iqbal
(1876-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). [14] Munculnya
gagasan nasionalisme yang diiringi oleh berdirinya partai-partai politik tersebut
merupakan asset utama umat Islam dalam perjuangan untuk mewujudkan Negara merdeka
yang bebas dari pengaruh politik barat. Sebagai gambaran dengan nasionalisme dan
perjuangan dari partai-partai politik yang penduduknya mayoritas muslim adalah Indonesia.
Indonesia merupakan Negara yang mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamirkan
kemerdekaannya yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Negara kedua yang terbebas dari
penjajahan yaitu Pakistan.
Merdeka pada tanggal 15 agustus 1947 dengan presiden
pertamanya Ali Jinnah. Pada masa sekarang ini kepemimpinan politik dan budaya
muslim benar-benar menghadapi berbagai tantangan dari budaya luar. Tentu saja
budaya-budaya tersebut sangatlah berbeda dengan budaya yang ada pada zaman nabi
Muhammad. Sejarah muslim juga memiliki kesamaan proses pasang surut seperti
halnya dalam dunia Kristen barat. Jadi tidaklah tepat jika mengatakan bahwa
sejarah Islam ternyata diatandai dengan adanya penurunan pada beberapa abad
paling awal. Cerita-cerita kemerosotan Islam pada masa awal hanyalah karangan
dari beberapa orientalis.
Pada masa sekarang ini kepemimpinan politik dan
budaya muslim benar-benar menghadapi berbagai tantangan dari budaya luar. Tentu
saja budaya-budaya tersebut sangatlah berbeda dengan budaya yang ada pada zaman
nabi Muhammad. Sejarah muslim juga memiliki kesamaan proses pasang surut
seperti halnya dalam dunia Kristen barat. Jadi tidaklah tepat jika mengatakan
bahwa sejarah Islam ternyata diatandai dengan adanya penurunan pada beberapa
abad paling awal. Cerita-cerita kemerosotan Islam pada masa awal hanyalah
karangan dari beberapa orientalis.[15]
C.
Perkembangan
Peradaban Islam Pada Abad Modern
Bangsa Turki tercatat dalam
sejarah Islam dengan keberhasilannya mendirikan dua dinasti yaitu
Dinasti Turki Saljuk dan Dinasti Turki Usmani. Di dunia Islam, ilmu pengetahuan
modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak
Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1798 [16]
dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah
jajahan atau dibawah pengaruh Eropa. Akhirnya
serangkaian kekalahan berjalan hingga memuncak
dengan jatuhnya dinasti Usmani di Turki.
Proses ini terutama
disebabkan oleh kemajuan tekhnologi Barat. Setelah pendudukan Napoleon,
Muhammad Ali memainkan peranan penting dalam kampanye militer melawan Perancis.
Ia diangkat oleh pengusaha Usmani menjadi Pasya pada tahun 1805 dan memerintah
Mesir hingga tahun 1849.[17]
Buku-buku ilmu pengetahuan
dalam bahasa Arab diterbitkan. Akan tetapi, saat itu terdapat kontroversial
percetakan pertama yang didirikan di Mesir ditentang oleh para ulama karena
salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Muhammad Ali Pasya mendirikan
beberapa sekolah tekhnik dengan guru-gurunya dari luar negaranya. Ia mengirim
tiga ratus sebelas mahasiswa ke Eropa (Italia, Prancis, Inggris, dan Austria)
atas biaya pemerintah,[18]
untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Secara khusus yang
dipelajari adalah militer dan angkatan laut, teknik mesin, kedokteran, farmasi,
kesenian dan kerajinan.[19]
Kebudayaan turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Persia, Bizantium dan
Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menerima ajaran-ajaran tentang
etika dan tatakrama kehidupan kerajaan atau organisasi pemerintahan. Prinsip
kemiliteran mereka dapatkan dari Bizantium, sedangkan dari Arab, mereka
mendapat ajaran tentang prinsip ekonomi, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan.
Orang-orang Turki Usmani
dikenal sebagai bangsa yang senang dan mudah berasimilasi dengan bangsa lain
dan bersikap terbuka terhadap kebudayaaan luar. Para ilmuwan ketika itu tidak
menonjol. Namun demikian, mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni
arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah seperti masjid
Sultan Muhammad Al Fatih, masjid Sulaiman, dan masjid Abu Ayub Al Ansari.
Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah.
Salah satu masjid yang
terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang awalnya berasal dari
gereja Aya Sophia. Islam dan kebudayaannya tidak hanya merupakan warisan dari
masa silam yang gemilang, namun juga salah satu kekuatan penting yang cukup
diperhitungkan dunia dewasa ini. Al Qur’an terus menerus dibaca dan dikaji oleh
kaum muslim. Budaya Islam pun tetap merupakan faktor pendorong dalam membentuk
kehidupan manusia di permukaan bumi.
Toleransi beragama
merupakan salah satu kebudayaan Islam dan tidak ada satupun
ajaran Islam yang bersifat rasialisme. Dalam hal
ini, agama yang ditegakkan oleh Muhammad mengandung amanat yang mendorong
kemajuan bagi seluruh umat manusia, khususnya umat Islam di dunia.
D.
Bidang-bidang
Peradaban yang Berkembangan
Selain yang tersebut di
atas, dalam hal perkembangan peradabaan pada masa modern juga mengalami
kemajuan di berbagai Negara Islam artinya Negara yang mayoritas berpenduduk
Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Irak, Iran, Malaysia, Brunai Darussalam, Kuwait
dan indonesia.
1.
Bidang
arsitek
Di
Arab Saudi mengalami perkembangan yang pesat. Pembangunan-pembagunan fisik sangat
dahsyat dari pembangunan jalan raya, jalan kereta, pelabuhan sampai Maskapai penerbangan
Internasional, perhotelan, peribadatan seperti Masjidil Haram yang ditengah masjid
terdapat Kakbah dan baitul Atiq, Hajar Aswad, Hijr Ismail, Makam Ibrahim dan sumur
Zam-Zam yang letaknya berdekatan dengan Kakbah.
Bangunan
Masjidil Haram sangat luas, sangat indah dan megah. Masjid Nabawi yaitu Masjid
yang indah dan megah pula serta ber AC. Di Iran terdapat bangunan yang indah
yaitu berupa bangunan arsitektur peninggalan Dinasti Qatar yaitu Istana
Niavarand, pekuburan Behesyti Zahra.
2.
2
Bidang Sastra
Pada
masa pembaharuan terdapat nama-nama sastrawan yang Islami di berbagai Negara seperti
sastrawan dan pemikir ulung yang lahir di Pakistan tahun 1877 dan wafat tahun 1938
bernama Muhammad Iqbal, Mustafa Lutfi Al Manfaluti tahun 1876-1926 yaitu sastrawan
dan ulama al Azhar Mesir, Muhammad Husain Haekal tahun 1888-1956 ia adalah
seorang pengarang Mesir yang menulis Hayatu Muhammad, Jamil Sidi Az Zahawi tahun
1863-1936 di Irak daln lain-lain.
3.
Bidang
kaligrafi
Di
abad modern juga berkembang yaitu biasanya digunakan sebagai hiasan di masjid, hiasan
di rumah, perabotan rumah tangga dan lain-lain dengan media seperti kertas,
kayu, kain, kulit, keramik dan lain-lain.
Kesimpulan
Modernisasi dalam berbagai
bidang sosial hingga tauhid, benar-benar dijadikan pondasi hidup bermasyarakat,
serta berfikir ilmiiah-rasional sangat dihargai oleh masyarakat untuk memahami
Islam dan mengembangkannya.
Sikap yang perlu
dikembangkan dalam memahami Islam pada masa modern adalah sebagai berikut:
1.
Menjadikan
al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan utama dan berusaha menangkap nilai serta
ajarannya.
2.
Melihat
kenyataan alam dan lingkungan serta fenomena yang ada; dan hal ini
membutuhkan
pengetahuan tentang dunia.
3.
Mendialogkan,
menafsirkan keduanya dengan menghubungkannya. Selain itu, perkembangan Islam
pada abad modern dapat disikapi dengan melihat sejarah.
Hal ini dapat memberikan ide dan kreatifitas
tinggi untuk mengadakan perubahan-perubahan supaya lebih maju dengan cara yang
efektif dan efisien. Problema-problema masa lalu dapat menjadi pelajaran dalam
bidang yang sama pada masa yang selanjutnya. Pembaharuan dapat dilakukan dalam
berbagai bidang, baik ekonomi, pendidikan, politik maupun kebudayaan.
Jakarta. 2003. cet.I. hal. 556
[2]Lihat dalam Makalah seminar Soleh Sakni, 2011, hal.
5 dan Ahmad Salaby, Tarikh al-Islamiyah
(Kairo..cet. IV, 1978) hal. 10
Kemuhammadiyahan Univ. Malang. hal. 202
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet.II, hal. 924
[9]
Baca : Murtadha Muthahhari, 1986, Gerakan Islam Abad XX, terj.
Rineka Cipta, Jakarta
[10]
William I. Cleveland, Islam Menghadapi Barat, terj. Ahmad
Niamullah Muiz, 1991, Jakarta: PustakaFirdaus,
hlm. 92.
[11] 15 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet.II,
Yogyakarta: Pustaka Book publiher, hal. 361-362.
[12] 16William I. Cleveland, Islam Menghadapi Barat, terjemahan Ahmad
Niamullah Muiz, 1991, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 19. Dalam M. Abdul kaarim,
Sejarah Pemikiran....hal.362
[13]
Jhon Cooper, dkk., Islam and Modernity, terj. Wahid Nur Efendi,
Erlangga, 2002, hal. xvi
[16] Baca: Philip. K. Hitti, History of The Arabs,
Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 924
[17] Baca: Philip. K. Hitti, History of The Arab,
hal. 925
[18] Umar Thusun, Al-Ba’atsat al-‘Ilmiyah (Iskandariyah,1934), hal
.414 dalam Philip. K. Hitti, History of The Arabs, hal. 926
[19] Philip. K. Hitti, History of The Arabs,
hal. 926
No comments:
Post a Comment