Makalah Riba
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau
dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition)
pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman1.
Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus
mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat
diartikan juga dengan segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini
menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau
terlambat menerimanya.
B. Beberapa Macam Riba
1. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena
keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’, yang berarti menunda,
jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya
sebagai berikut.
Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang
memberi hutang dari orang yang berhutang. . Misalnya, si A meminjam satu juta
rupiah kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah
jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A
menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau
menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah
engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika
si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat
membayarnya, maka ia menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia
nantinya harus membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang
menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini
merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal
itu, dengan firmannya:
“ Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
Maka dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo,
semantara orang yang berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh
membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi harus siberikan tempo lagi.
Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan,
maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan
hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang
sulit.
2. Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samara, diharamkan karena sebab
lain) berasal dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu
barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual
beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya
dalam enam hal, yakni diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan
jika salah satu barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama,
maka hal itu diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl
ialah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan
(yang sejenis) dengan ada tambahan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang
disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang
disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit )3 :
“Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan
tunai. Maka barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut
riba. Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R.
Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Riba ini diharamkan karena untuk mencegah
timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian
Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl
seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita
yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita
seperti itu diharamkan karena untuk menghindari perbuatan zina. .
Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba
tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena
berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Kemudian Riba qardi
yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang4.
Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di dunia
(revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat menimbulkan
dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada
khususnya.
1.
Menyebabkan eksploatasi
(pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya
semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara
2.
Dapat menyebabkan kebangkrutan
usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena
kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru
disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3.
Menyebabkan kesenjangan ekonomi,
yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial.
C. Ayat dan Hadist yang Melarang Riba6
C. Ayat dan Hadist yang Melarang Riba6
1. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran : 130)
2. Firman Allah SWT :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)
3. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya (Al-Baqarah : 278-279)”
4. Firman Allah SWT
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan
bergelimang dosa ” (Al-Baqarah : 276)
5. Firman Allah SWT
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)” (Ar-Rum : 39)
6. Sabda Nabi SAW
“Dari Jabir : Rasulullah SAW telah
melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua
saksinya” (HR. Muslim)
D. Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa
ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk
kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam
sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima atau
sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah
system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non Islam) sebagai
suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian
disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun
badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba7,
sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan
bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif,
sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif8.
Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama
saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan
mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan
operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam. Sudah barang
tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional.
Sebab system atau cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga tersebut,
maka bank Islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih dan
terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai
berikut 9:
1.
Wadiah (titipan uang,
barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam
dalam operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima
deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib
dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang
didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin
bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya membutuhkan
2.
Mudharabah (kerja sama
antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss
sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada
pengusaha untuk perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi
hasil dan rugi yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty.
Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3.
Musyarakah/ syirkah
(persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha
mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint venture.) karena
itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan
menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
4.
Murabahah (jual beli barang
dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara
jujur). Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya
dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity
menjadi sale and purchase transaction). Dengan system ini, bank bias
membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk
dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga
pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang
dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli
tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin)
daripada cost plus-nya itu.
5.
Qargh Hasan (pinjaman yang
baik atau bernevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa
bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah
yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan
penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas
depositonya dari bank Islam.
6.
Bank Islam juga dapat menggunakan
modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang
usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya
secara langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan
oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
7.
Bank Islam boleh pula mengelola
zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan
bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek
yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
8.
Bank Islam juga boleh memungut dan
menerima pembayaran untuk :
1.
Mengganti biaya-biaya yang
langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan
nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau
memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
2.
Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan
prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
E. Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum
Mendirikan Bank Islam
Pada masa zaman kehidupan modern seperti saat sekarang ini,
umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank
konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya,
termasuk dalam beragama. Misalkan ibadah Haji di Indonesia umat Islam harus
memakai jasa bank, apalagi dalam hal kehidupan ekonomi sulit untuk bisa lepas
dari jasa bank itu sendiri. Sebab tanpa jasa bank tersebut, perekonomian
Indonesia mungkin tidak akan selancar dan semaju seperti sekarang. Namun para
ulama dan cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat
tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya.
1.
Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar
Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad
abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya
yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh
agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan
bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan
darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan
lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2.
Pendapat A. Hasan pendiri dan
Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di
Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda
sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
3.
Pendapat Majelis Tarjih
Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga
bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula
sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas
halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati
menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam
keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang
mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang
menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah
ditetapkan dalam agama.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan
Hukum Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima
sekarang ini sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam
diperbolehkan (mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas
pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam
harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system
bunga/riba, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak
Islami11.
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama
maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai
berikut :
1.
Agar umat Islam tidak selalu
berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat
subhat/haram
2.
Untuk menyelamatkan umat Islam
dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan
atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang
berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si
kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin
3.
Guna melepaskan ketergantungan
umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur
syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang
itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam
tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan
pribadi maupun bermasyarakat.
4.
Untuk mengaplikasikan ketentuan
kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari
perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama
maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang
hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena
masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas
hukumnya (haram/syubhat/halal).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi
dua macam saja, yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan
riba yad dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan
riba fadhl. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah
emas,perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang
mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya
seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1)
tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan,
tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama
tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat
ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja
seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari
yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk
dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan
maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan
transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk mendirikan
bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam
bentuk/praktek riba
No comments:
Post a Comment