1

loading...

Wednesday, March 27, 2019

MAKALAH LANDASAN ONTOLOGI ILMU DAKWAH



 
   

MAKALAH LANDASAN ONTOLOGI ILMU DAKWAH

                                                                             BAB I      
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa hal tentang ontology oleh karena itu ontology merupakan bagian dari metafisika yang mempersoalkan hal-hal yang berkenaan dengan segalah sesuatu yang ada atau the existence khususnya esistensinya.
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan satu .Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.

B.     Rumusan masalah
a.       Apa landasan ontologi Ilmu Dakwah?
b.      Apa landasan Epitimologi Ilmu Dakwah ?
c.       Apa Landasan Aksilogi Ilmu Dakwah ?


 
 


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Ontologi Ilmu Dakwah.
Lazimnya kita memandang ilmu sebagai bagian dari pengetahuan, baik Soeroso Prawirohardjo di fakultas pasca sarjana Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan itu keilmuan itu mencerminkan landasan-landasan ontologi, epistimologi, aksiologi.[1]
Ontologi adalah cabang metafisika mengani realitas yang berusaha mengungkap ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khusus. ontologi suatu telah teoritis adalah himpunan terstruktur yang primer dan basit dari jenis-jenis entitasyang dipakai untuk memberikan penjelasan dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu pengetahuan mengacu apa yang digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penelahan itu.
Seperti disebut diatas yaitu bahwa landasan ontology adalah menelaah apa yang hendak diketahui melalui penelahan itu, dengan kata lain apa yang menjadi bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka ilmu dakwah mengatasi dirinya kepada bidang-bidang yang bersifat empirik dan pemikiran objek ini tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran budaya, estetika dan filsafat yang dapat diuji atai diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan Islam bagi kehidupan manusia.[2]
2
 
Berdasarkan objek yang ditelaah, maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empirik maupun pemikiran.secara garis besar ilmu dakwah mempunyai tiga asumsi mengenai objeknya. Asumsi pertama bahwa objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokan beberapa objek dalam kegiatan yang serupa kedalam satu golongan. Asumsi kedua bahwa kegiatan ilmu dakwah disamping menyampaikan misi ajaran islam juga mempelajari tingkah laku satu objek dalam kegiatan tertentu. Asumsi ketiga bahwasuatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama, disamping asumsi-asumsi tersebut dakwah sebagai ilmu atau ilmu dakwah, mengandung  dua aspek yang pokok yaitu aspek fenomental dan aspek structural.[3]
Aspek fenomental menunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok “elit”Yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut paradigma Mertan disebut universalisme, komunise,disenterestedness,dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan melalui karya-karya publikasi dan kemudian di wariskan kepada masyarakat dunia.
1.      Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand).
2.      Objek sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentutanpa mengenal titik henti. Adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu pengetahuanyang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan baru yangmendorong terus dipertanyakan.
3.      Ada alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4.      jawaban yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Disamping aspek-aspek tersebut, maka berbicara strategi perkembangan ilmu dakwah dapat dilihat kedalam beberapa hal, bahwa ilmu dan konteks dengan sience sehingga menimbulkan adanya gagasan baru yang actual dan relevan, sedangkan yang berpendapat bahwa ilmu lebur dalam konteks. Tidak saja merefleksikan tetapi juga memberi dasar pembaharuan bagi konteks.[4]

Strategi pengembangan ilmu dakwah yang paling tepat, kiranya adalah sebagai berikut:[5]
1.      Visi orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai islam didalam mengahadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data/fakta objektif dalam satu kesatuan interogrative.
2.      Visi dan orientasi oprasionalnya diletakkan pada dimensi sebagai berikut:
a.       Tehologis dalam arti bahwa ilmu dakwah hanya sekedar sarana yang memang harus kita pergunakan untuk mencapai suatu leleos (tujuan), yaitu sebagaimana ideal kita kita untuk mewujudkan cita-cita masyarakat islamia..
b.      Etis dalam arti bahwa ilmu dakwah kita harus oprasionalkan untuk meningkatkan, sebab manusia hidup dalam relasi baik dengan sesama maupun dengan masyarakat yang menadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus diintegrasikan kedalam msayarakat yang juga harus ditigkatkan kualitas strukturnya.
Menurut Sukriadi Sambas, kajian ontology keilmuan ilmu dakwah yaitu mencakup haikat dakwah, hakikat ilmu dakwah itu dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah dan kemudian dikumpulkan oleh umat Islam secara sistematis dan terorganisir yang membahas interaksi antar unsur dalam sistem melaksanakan kewajiban dengan maksud mempengaruhi, pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah sehingga akan dapat diperoleh susunan ilmu yang bermanfaat bagi tugas pedakwah dan khalifah umat Islam.
B.     Ladasan Epitimologi Ilmu Dakwah.
Pada hakikatnya gerakan dakwah islam terporos pada amar ma’ruf nahi munkar ,ma’ruf mempunyai arti segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, sedangkanmunkar yaitu perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah. Pada tartan amar ma’ruf siapapun bisa melakukannya karena kalau hanya sekedar menyuruh kepada kebaikan itu mudah dan tidak ada resiko bagi si penyuruh. Lain halnya dengan nahi munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya, karena mencegah kemunkaran harus sinergis dengan tindakan konkrit, nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran yang tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran.
Berangkat dari penjelasan diatas, dalam mengembangkan dakwah islam selanjutnya, perlu kiranya dipertegas mengenai epistimologi dakwah secara keilmuan. Rumusan disini menyangkut yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas kelimuannya termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji.[6]
Yang menjadi batasan tegas mainstreem dasar dalam keilmuan dakwah disini adalah dakwah sebagai kebenaran ilmu, karena yang dibahas kajian wilayah epistimologinya. Oleh karena itu, maka teori pengetahuan kebenarannya adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran ilmu diuji sejauh mana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini memerlukan pembuktian. Hal ini diperlukan karena dataran epistimologi merupakan struktur fundamentral untuk membangun dan megembangkan dakwah islam yang pada akhir lebih sistematis-konstruktif dalam aplikasi terapanya.Tanpa structural fundamental yang jelas, dakwah selalu diberi pegertian konotasi dandenotasi yang baik dan fositif.
Secara umum, epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, ilmu sabagi proses adalah usaha pemikiran yang sistematis dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu.[7]
Secara keilmuan epistimologi mempunyai kedudukan yang sesungguhnya jauh lebih mendasar yakni menurut landasan, batas-batas dan bahkan basis keshohihan pengetahuan dari akarnya sampai dengan melewati dimensi fisiknya sebagai cabang dalam filsafat epitimologi secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan.
Istilah epistimologi berasal dari bahasa yunani, yakni episteme dan logos diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran, sedangkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dengan demikian secara etimolgi dapat diartiakan pula sebagai teori pengetahuan yang lazim dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan atau juga teori pengetahan.Teori pengetahuan ini berasal dari bahasa inggris yakni theory of knowledge. [8]
Untuk menemukan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmu dakwah itu penulis mencoba menelusurinya rancang bangun filsafat, pengetahuan Islam sebagaimana pernah dipetakan tradisi keilmuan tersebut oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri dalamkerjanya Bunya Al-Aql Al-Arabi (1993) dan sekaligus ini dijadikan sebagai titik tolak metodologis untuk membangun epitimologi keilmuan dakwah. Adapun penjelasan konkritnya sebagai berikut:[9]
1.      Melalui cara pengetahuan bayani atau lazim disebut epitimologi bayani, bayani (expianatory) secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, penjelasan perenyataan ketetapan, sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma, dan ijtihad. Epistimolgo bayani merupakan studifilosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagaikebenaran mutlak.
2.      Melalui cara pengetahuan“irfani atau lazim disebut epistimologi irfani, irfanisecara epistimologi irfani (Gnosis) berarti Al-Ma’rifah, Al-Ilm, Al-hikmah. Epistimologi irfani eksistensial berpangkal pada Zauq, gaih, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan illuminasi, dan yang berakar pada tradisi Hemes.
3.      Melalui pengetahuan burhani, atau lazim disebut epistimologi burhani. Burhani
4.      (demontraty) secara bahasa berarti argumentasi yang jelas, sedangkan menurutistilah (logika) berarti aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi lainnya yang bersifat aksiomotik atau setiap aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran suatu proposisi.
Ketiga bentuk epistimolgi (islam) tersebut diatas merupakan bagian teori pengetahuan dalam aplikasi terapannya ditengah pergerumulan kajian keislaman dewasaini, termamsuk didalamnya ilmu dakwah. Oleh karena itu ketiga bentuk epistimologi diatasdalam hubungannya dengan dakwah (islam), pemikirannya dijelaskan secara konkrit dalam rangka menemukan dan merumuskan epistimologi dakwah secara keilmuan konseptual. Adapun urutan teoritik sebagai berikut:[10]
1.      Sumber-sumber ilmu dakwah, yakni meliputi nash/teks (otoritas suci), Al-Khobar dan Al-Ijma (otoritas salaf), kemudian teoritas termasuk di dalamnya alam,social,han humanitas (dalam bentuk keislaman dikenal dengan tuhan (theosentris). Manusia (antroposentris) dan alam (kosmosentris).
2.      Metode dan proses-proses atau prosedur keilmuan dakwah, yakni ijtihadiyah, istinbathiyah, qiyas, dan abtraksi.
3.      pendekatan (approach) keilmuan dakwah, yakni bahasa (lughawiyah) Filosifis, psikologi, sosiologi, antropologi, etik, estetik, dan hal-hal yang terkait eratdenganscientifik atau ilmu bantu sejauh dibenarkan secara etik akademik.
4.      Kerangka teoritik ilmu dakwah, yakni pola pikir deduktif yangberpangkal padateks/nash, pola pikir induktif berdasarkan pengalaman dan kenyataan realitas, qiyas, dan premis logika dan silogisme.
5.      Fungsi dan peran akal dalam ilmu dakwah yakni akal difungsikan sebagai pengekang hawa nafsu atau pengatur hawa nafsu dan juga sebagai alat pengukuhkan kebenaran atas kebenaran mutlak.
6.      Tipe argumentasi ilmu dakwah, yakni apologetik, dialektika (jadaly) dogmatic, danekspiorasi-verifikatif.
7.      Tolak ukur validitas keilmuan dakwah, yakni adapendekatan dan relasi kuasa antara kontek sebagai relaitas, dan korespondensi yang berdasarkan data dan fakta dari kenyataan-kenyataannya.
8.      Prinsip-prinsip dasar ilmu dakwah,yakni ontology deduktif dan induktif, qiyas dan prinsip kausalitas.
9.      Kelompok ilmu-ilmu bantu dalam keilmuan dakwah, yakni filosofis, psikologi, antropologi, sosiolgi, sejarah peradaban kontemporer, ilmu komnukasi dan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip komunikasi pada umunya.
10.  Hubungan subjek dan objek ilmu dakwah yakni ada keterkaitan secara objektif dansubjektif.
Secara epistimologi menurut Syukriadi Sambas, ilmu dakwah melibatkan kajian-kajin yang menyangkut:[11]
1.      kajian ontologis, keilmuan dakwah (mengungkap hakikat)
2.      kajian secara epistimologi menyangkut
a.       Jenis kegiatan dakwah fenomena keilmuan dakwah (1) kegiatan tablighislami (komunakikasi penyiaran islam, bimbingan penyuluhan islam, pengembangan masyaraka tislam).
b.      Dakwah sebagai fenomena keilmuan (mengungkap para pakar yangmengkaji dakwah).
c.       Sejarah pemikiran dakwah.
d.      Objekn kajian ilmu dakwah (1) objek material: semua aspek ajaran-ajaranislam yang bersumber pada Al-quran dan sunnah, serta produk ijtihad (2)objek formula mengkaji salah satu objek material, yakni kegiatan dakwahitu sendiri.
C.     Landasan Aksilogi Ilmu Dakwah.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:[12]
a)      Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islammenjadi tatanan Khoirul-Ummah.
b)      Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah
c)      Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh krena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masadepan umat dan peradaban islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda:[13]
1.      Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ktivitas konkrit. Sebagai ilmu, criteria keilmuan seperti struktur yang jelas, sistematika, metodologi serta alur pikir yang“maton”terargumentasikan. Sebagai objek kajian harus jelas pula sudut tinjauanmaupun disipilin keilmuan yang dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai praktik yang harus dimiliki persyaratan tertentu dalam pelaksanaannya.
2.      Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:[14]
a.       Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondis iyang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b.      Di dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan komunitas Islam yang“bersaing”. Sunni, Syi’I dan Khariji yang masing-masing mengklaim monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam pendekatan dakwah adalah dilakukan dialogterus menerus dengan menjernihkan mana masalah yang bersifat substansial. Sehingga dakwah berarti mencegah terjadinya perselesihan besar di kalangan umat atau al-fitnah al-kubra.
c.       Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
3.      Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya pada pengertian dakwah sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu pengetahuan.



 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ontologi adalah cabang metafisika mengani realitas yang berusaha mengungkap ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khusus. Ontology suatu telaah teoritis adalah himpunan terstruktur yang primer dan basit dari jenis-jenis entitas yang dipakai untuk memberikan penjelasan dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu pengetahuan mengacu apa yang digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penelahan itu.
Oleh karena itu, maka teori pengetahuan kebenarannya adalah kebenaranilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran ilmu diuji sejauh mana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini memerlukan pembuktian. Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog


.


10
 
 


[1] Ali Aziz, Ilmu Dakwah,(Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset), 2009, halm 69
[2] Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 90
[3] Irma Fatimah, Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 214
[4] Ali Aziz, Ilmu Dakwah,(Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset), 2009, halm 78
[5] Wiharjdo, Antara Sikaf dan Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia), 2001, halm 87
[6] Irma Fatimah, Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 220
[7] Ali Aziz, Ilmu Dakwah,(Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset), 2009, halm 90
[8] Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 112
[9] Irma Fatimah, Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 226
[10] Ali Aziz, Ilmu Dakwah,(Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset), 2009, halm 96
[11] Irma Fatimah, Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 229
[12] Ali Aziz, Ilmu Dakwah,(Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset), 2009, halm 115
[13] Irma Fatimah, Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 232
[14] Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 118

No comments:

Post a Comment