|
MAKALAH LANDASAN ONTOLOGI ILMU DAKWAH
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa hal
tentang ontology oleh karena itu ontology merupakan bagian dari metafisika yang
mempersoalkan hal-hal yang berkenaan dengan segalah sesuatu yang ada atau the
existence khususnya esistensinya.
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk
dikaji karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang
diperoleh manusia menjadi bahan pijakan satu .Konsep-konsep ilmu pengetahuan
yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang
membentuknya.
Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu
pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa
yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi,
pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.
B. Rumusan
masalah
a. Apa
landasan ontologi Ilmu Dakwah?
b. Apa
landasan Epitimologi Ilmu Dakwah ?
c. Apa Landasan Aksilogi Ilmu Dakwah ?
|
|
PEMBAHASAN
A. Landasan
Ontologi Ilmu Dakwah.
Lazimnya kita memandang ilmu sebagai bagian dari
pengetahuan, baik Soeroso Prawirohardjo
di fakultas pasca sarjana Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik
pengetahuan itu keilmuan
itu mencerminkan landasan-landasan ontologi, epistimologi, aksiologi.[1]
Ontologi adalah cabang metafisika mengani realitas
yang berusaha mengungkap ciri-ciri
segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khusus. ontologi suatu telah teoritis adalah himpunan
terstruktur yang primer dan basit dari jenis-jenis entitasyang dipakai untuk
memberikan penjelasan dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu
pengetahuan mengacu apa yang digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa
yang hendak
diketahui melalui kegiatan penelahan itu.
Seperti disebut diatas yaitu bahwa landasan ontology
adalah menelaah apa yang hendak
diketahui melalui penelahan itu, dengan kata lain apa yang menjadi bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan
agama, maka ilmu dakwah mengatasi dirinya kepada bidang-bidang yang bersifat
empirik dan pemikiran objek ini tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial,
kehidupan agama, pemikiran budaya, estetika dan filsafat yang dapat diuji atai diverifikasi.
Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan Islam bagi
kehidupan manusia.[2]
|
Aspek fenomental menunjukan ilmu dakwah yang
mengewejantahkan dalam bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat
atau kelompok “elit”Yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi
kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut paradigma Mertan disebut universalisme,
komunise,disenterestedness,dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai
proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok
elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian,
ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah
dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya
disebar luaskan melalui karya-karya publikasi dan kemudian di wariskan kepada
masyarakat dunia.
1. Sasaran
yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand).
2. Objek
sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode)
tertentutanpa mengenal titik henti. Adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu
pengetahuanyang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan
baru yangmendorong terus dipertanyakan.
3. Ada
alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4. jawaban
yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Disamping aspek-aspek tersebut, maka
berbicara strategi perkembangan ilmu
dakwah
dapat dilihat kedalam beberapa hal, bahwa ilmu dan konteks dengan sience sehingga
menimbulkan adanya gagasan baru yang actual dan relevan, sedangkan yang
berpendapat bahwa ilmu lebur dalam konteks. Tidak saja merefleksikan tetapi
juga memberi dasar pembaharuan bagi
konteks.[4]
Strategi pengembangan ilmu dakwah yang
paling tepat, kiranya adalah sebagai berikut:[5]
1. Visi
orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai islam didalam mengahadapi masalah-masalah yang harus
dipecahkan sebagai data/fakta objektif dalam satu kesatuan
interogrative.
2. Visi
dan orientasi oprasionalnya diletakkan pada dimensi sebagai berikut:
a. Tehologis
dalam arti bahwa ilmu dakwah hanya sekedar sarana yang memang harus kita pergunakan untuk
mencapai suatu leleos (tujuan), yaitu
sebagaimana
ideal kita kita untuk mewujudkan cita-cita masyarakat islamia..
b. Etis
dalam arti bahwa ilmu dakwah kita harus oprasionalkan untuk meningkatkan, sebab
manusia hidup dalam relasi baik dengan sesama maupun
dengan masyarakat yang menadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus diintegrasikan
kedalam msayarakat yang juga harus
ditigkatkan
kualitas strukturnya.
Menurut Sukriadi Sambas, kajian ontology
keilmuan ilmu dakwah yaitu mencakup
haikat dakwah, hakikat ilmu dakwah itu
dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah dan
kemudian dikumpulkan oleh umat Islam secara
sistematis
dan terorganisir yang membahas interaksi antar unsur dalam sistem melaksanakan kewajiban dengan
maksud mempengaruhi, pemahaman yang tepat
mengenai
kenyataan dakwah sehingga akan dapat diperoleh susunan ilmu yang bermanfaat
bagi tugas pedakwah dan khalifah umat Islam.
B. Ladasan
Epitimologi Ilmu Dakwah.
Pada hakikatnya gerakan dakwah islam terporos pada
amar ma’ruf nahi munkar ,ma’ruf mempunyai arti segala perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah, sedangkanmunkar yaitu perbuatan yang menjauhkan
diri dari Allah. Pada tartan amar ma’ruf siapapun bisa melakukannya karena
kalau hanya sekedar menyuruh kepada kebaikan itu mudah
dan tidak ada resiko bagi si penyuruh. Lain halnya dengan nahi munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan
beresiko bagi yang melakukannya, karena mencegah kemunkaran
harus sinergis dengan tindakan konkrit, nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran yang
tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran.
Berangkat dari penjelasan diatas, dalam
mengembangkan dakwah islam selanjutnya, perlu kiranya dipertegas mengenai
epistimologi dakwah secara keilmuan.
Rumusan
disini menyangkut yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas kelimuannya termasuk didalamnya
pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji.[6]
Yang menjadi batasan tegas mainstreem dasar dalam
keilmuan dakwah disini adalah
dakwah sebagai kebenaran ilmu, karena yang dibahas kajian wilayah epistimologinya.
Oleh karena itu, maka teori pengetahuan kebenarannya adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama,
kebenaran ilmu diuji sejauh mana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini
memerlukan pembuktian. Hal ini diperlukan karena dataran epistimologi merupakan struktur
fundamentral untuk membangun dan megembangkan dakwah
islam yang pada akhir lebih sistematis-konstruktif dalam aplikasi
terapanya.Tanpa structural fundamental yang jelas, dakwah selalu diberi
pegertian konotasi dandenotasi yang baik dan fositif.
Secara umum, epistimologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan mengenai hakikat
ilmu, ilmu sabagi proses adalah usaha pemikiran yang sistematis dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu.[7]
Secara keilmuan epistimologi mempunyai kedudukan
yang sesungguhnya jauh lebih
mendasar yakni menurut landasan, batas-batas dan bahkan basis keshohihan
pengetahuan dari akarnya sampai dengan melewati dimensi fisiknya sebagai cabang
dalam filsafat epitimologi secara khusus
membahas tentang teori ilmu pengetahuan.
Istilah
epistimologi
berasal dari bahasa yunani, yakni episteme dan logos diartikan sebagai
pengetahuan atau kebenaran, sedangkan logos diartikan sebagai pikiran, kata,
teori. Dengan demikian secara etimolgi
dapat diartiakan pula sebagai teori pengetahuan yang lazim dalam bahasa Indonesia
disebut filsafat pengetahuan atau juga teori pengetahan.Teori pengetahuan ini
berasal dari bahasa inggris yakni theory of knowledge. [8]
Untuk menemukan bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan ilmu dakwah itu penulis mencoba menelusurinya rancang bangun
filsafat, pengetahuan Islam sebagaimana pernah dipetakan tradisi keilmuan
tersebut oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri dalamkerjanya Bunya Al-Aql Al-Arabi
(1993) dan sekaligus ini dijadikan sebagai titik tolak metodologis untuk
membangun epitimologi keilmuan dakwah. Adapun penjelasan konkritnya sebagai berikut:[9]
1. Melalui
cara pengetahuan bayani atau lazim disebut epitimologi bayani, bayani (expianatory)
secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, penjelasan perenyataan
ketetapan, sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang
bersumber pada nash, ijma, dan ijtihad. Epistimolgo bayani merupakan
studifilosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu)
sebagaikebenaran mutlak.
2. Melalui
cara pengetahuan“irfani atau lazim disebut epistimologi irfani, irfanisecara
epistimologi irfani (Gnosis) berarti Al-Ma’rifah, Al-Ilm, Al-hikmah. Epistimologi irfani eksistensial
berpangkal pada Zauq, gaih, atau intuisi yang merupakan
perluasan dari pandangan illuminasi, dan yang berakar pada tradisi Hemes.
3. Melalui
pengetahuan burhani, atau lazim disebut epistimologi burhani. Burhani
4. (demontraty)
secara bahasa berarti argumentasi yang jelas, sedangkan menurutistilah (logika)
berarti aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif, yakni
dengan cara mengaitkan proposisi lainnya yang bersifat aksiomotik atau setiap
aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran suatu
proposisi.
Ketiga bentuk epistimolgi (islam) tersebut
diatas merupakan bagian teori pengetahuan dalam aplikasi terapannya ditengah
pergerumulan kajian keislaman dewasaini, termamsuk didalamnya ilmu dakwah. Oleh
karena itu ketiga bentuk epistimologi diatasdalam hubungannya dengan dakwah
(islam), pemikirannya dijelaskan secara konkrit dalam rangka menemukan dan merumuskan
epistimologi dakwah secara keilmuan konseptual. Adapun
urutan teoritik sebagai berikut:[10]
1. Sumber-sumber
ilmu dakwah, yakni meliputi nash/teks (otoritas suci), Al-Khobar dan Al-Ijma (otoritas
salaf), kemudian teoritas termasuk di dalamnya alam,social,han humanitas (dalam
bentuk keislaman dikenal dengan tuhan (theosentris). Manusia (antroposentris) dan
alam (kosmosentris).
2. Metode
dan proses-proses atau prosedur keilmuan dakwah, yakni ijtihadiyah, istinbathiyah, qiyas, dan abtraksi.
3. pendekatan
(approach) keilmuan dakwah, yakni bahasa (lughawiyah) Filosifis, psikologi,
sosiologi, antropologi, etik, estetik, dan hal-hal yang terkait
eratdenganscientifik atau ilmu bantu sejauh dibenarkan secara etik akademik.
4. Kerangka
teoritik ilmu dakwah, yakni pola pikir deduktif yangberpangkal padateks/nash,
pola pikir induktif berdasarkan pengalaman dan kenyataan realitas, qiyas, dan premis logika dan
silogisme.
5. Fungsi
dan peran akal dalam ilmu dakwah yakni akal difungsikan sebagai pengekang hawa
nafsu atau pengatur hawa nafsu dan juga sebagai alat pengukuhkan kebenaran atas
kebenaran mutlak.
6. Tipe
argumentasi ilmu dakwah, yakni apologetik, dialektika (jadaly) dogmatic,
danekspiorasi-verifikatif.
7. Tolak
ukur validitas keilmuan dakwah, yakni adapendekatan dan relasi kuasa antara kontek sebagai relaitas, dan
korespondensi yang berdasarkan data dan fakta dari kenyataan-kenyataannya.
8. Prinsip-prinsip
dasar ilmu dakwah,yakni ontology deduktif dan induktif, qiyas dan prinsip
kausalitas.
9. Kelompok
ilmu-ilmu bantu dalam keilmuan dakwah, yakni filosofis, psikologi, antropologi, sosiolgi, sejarah
peradaban kontemporer, ilmu komnukasi dan hal-hal yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip komunikasi pada umunya.
10. Hubungan
subjek dan objek ilmu dakwah yakni ada keterkaitan secara objektif
dansubjektif.
Secara
epistimologi menurut Syukriadi Sambas, ilmu dakwah melibatkan kajian-kajin yang menyangkut:[11]
1. kajian
ontologis, keilmuan dakwah (mengungkap hakikat)
2. kajian
secara epistimologi menyangkut
a. Jenis
kegiatan dakwah fenomena keilmuan dakwah (1) kegiatan tablighislami
(komunakikasi penyiaran islam, bimbingan penyuluhan islam, pengembangan
masyaraka tislam).
b. Dakwah
sebagai fenomena keilmuan (mengungkap para pakar yangmengkaji dakwah).
c. Sejarah
pemikiran dakwah.
d. Objekn
kajian ilmu dakwah (1) objek material: semua aspek ajaran-ajaranislam yang
bersumber pada Al-quran dan sunnah, serta produk ijtihad (2)objek formula
mengkaji salah satu objek material, yakni kegiatan dakwahitu sendiri.
C. Landasan
Aksilogi Ilmu Dakwah.
Menurut
Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:[12]
a) Mentransformasikan
dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islammenjadi tatanan
Khoirul-Ummah.
b)
Mentransformasikan iman menjadi amal
sholeh jamaah
c) Membangun
dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran
dan sunnah, oleh krena itu, ilmu dakwah
dapat
dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masadepan umat
dan peradaban islam.
Dalam dimensi
aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang
berbeda:[13]
1. Perlu
dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau
bahkan sebuah ktivitas konkrit. Sebagai ilmu, criteria keilmuan seperti struktur yang
jelas, sistematika, metodologi serta alur pikir yang“maton”terargumentasikan.
Sebagai objek kajian harus jelas pula sudut tinjauanmaupun disipilin keilmuan
yang dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai praktik yang harus dimiliki
persyaratan tertentu dalam pelaksanaannya.
2. Kesadaran
akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:[14]
a. Perbedaan
kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain.
Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondis
iyang
lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b. Di
dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan komunitas Islam yang“bersaing”.
Sunni, Syi’I dan Khariji yang masing-masing mengklaim monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam
pendekatan dakwah adalah dilakukan dialogterus menerus dengan menjernihkan mana
masalah yang bersifat substansial.
Sehingga
dakwah berarti mencegah terjadinya perselesihan besar di kalangan umat atau al-fitnah al-kubra.
c. Adanya
realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat
dilindungi (Dzimmi) atau diperangi
tergantung
kondisi yang ada.
3. Dakwah
sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah
syarat aksiologis yang harus ada dalam
setiap
upaya menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya pada pengertian dakwah
sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu pengetahuan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ontologi adalah cabang metafisika mengani realitas
yang berusaha mengungkap ciri-ciri
segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khusus. Ontology suatu telaah teoritis adalah himpunan
terstruktur yang primer dan basit dari jenis-jenis entitas yang dipakai untuk memberikan
penjelasan dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu pengetahuan mengacu
apa yang digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa yang hendak diketahui melalui kegiatan
penelahan itu.
Oleh karena itu, maka teori pengetahuan kebenarannya
adalah kebenaranilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran ilmu diuji sejauh
mana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini memerlukan pembuktian. Dakwah sebagai panggilan, ajakan
dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog
.
|
[2] Jujun
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif
Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 90
[3] Irma
Fatimah, Filsafat Islam: kajian
ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 214
[6] Irma
Fatimah, Filsafat Islam: kajian
ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 220
[8] Jujun
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif
Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 112
[9] Irma
Fatimah, Filsafat Islam: kajian
ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 226
[11] Irma
Fatimah, Filsafat Islam: kajian
ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 229
[13] Irma
Fatimah, Filsafat Islam: kajian
ontologis, epistimologis, aksiologis histories, persfektif, (Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 1992, halm 232
[14] Jujun
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif
Moral dan Politik, (Jakarta : Gramedia), 1986, halm 118
No comments:
Post a Comment