MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
islam awalnya muncul pada masa Nabi muhammad SAW. Pada masa ini pendidikan
islam melalui wahyu-wahyu yang turun berupa Al-Qur’an dan Hadist yang masih
digunakan hingga saat ini sehingga pedoman bukan hanya untuk pendidikan islam
saja tetapi untuk cabang-cabang ilmu lainnya seperti astronomi, kedokteran, dan
lain-lain. Pada masa ini pusat pendidikan hanya dikota Mekkah dan Madinah saja.
Dan setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat melanjutkan dakwah belliau untuk
menyebarkan agama islam, dan mengajarkan agama islam, masa itu disebut masa
Khulafaur Rasydin, dimana ini pusat pendidikan islam bukan hanya di Mekkah dan
Madinah saja tetapi sudah berkembang ke kota basrah, kufah (iran), damsyik
palestina hingga ke kota mesir, di pusat-pusat kota inilah islam berkembang
sangat cepat. Lalu setelah masa Khulafaur Rasydin berakhir, dilanjutkan kembali
pada masa dinasti Bani Umayyah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam masa Rasululloh
2.
Bagaimana periode
pendidikn
islam
masa Khulafa Al-rasyidin
3.
Bagaimana
pendidikan islam pada masa Dinasti Bani Umayyah
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa
mampu memahami
materi
periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam masa Rasululloh.
2.
Mahasiswa mampu memahami materi periode pendidikan islam masa Khulafa
Al-rasyidin
3.
Mahasiswa mampu memahami materi pendidikan islam pada masa Dinasti Bani Umayyah
BAB II
PEMBAHASAAN
- Periode pertumbuhan dan
Perkembangan Pendidikan Islam masa Rasululloh
Masa tersebut berlangsung sejak
nabi Muhammad menerima wahyu dan menerima pengangkatan menjadi rasul, sampai
lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam bangsa
Arab adalah keturunan Ibrahim dari anaknya Ismai oleh karena pada hakikatnya kebudayaan Arab yang
dihadapi nabi Muhammad adalah warisan budaya Ibrahim maka tentunya masih
terdapat unsur-unsur ajaran Islam yang telah dibudayakan oleh Ibrahim dan
Ismail kedalamnya. Intisari
warisan Ibrahim dengan ka’bah sebagai pusatnya adalah ajaran tauhid. Dan nabi
Muhammad memulai tugasnya dengan
membersihkan tauhid ini dari siirik dan penyembahan terhadap berhala. Intisari
ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi Muhammad adalah untuk mengadakan pembedahan
terhadap warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dan ini terlukiskan dalam
surat Al-fatihah yang merupakan intisari dari seluruh wahyu Allah. Dengan
demikian pelaksanaan pendidikan Islam pada masa nabi Muhammad berdasarkan
petunjuk dan bimbingan dari Allah.
Pelaksanaan pembinaan
pendidikan Islam pada zaman nabi dapat dibedakan menjadi dua tahap yaitu tahap
Mekkah dan tahap Madinah.
1.
Pelaksanaan pendidikan Islam di Mekkah
Nabi Muhammad mulai menerima
wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan instruksi untuk melakukan tugasnya
sewaktu beliau mencapai umur 40 tahun. Perintah dan petunjuk tersebut pertama-tama
tertuju pada nabi tentang apa yang harus ia lakukan baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap umatny. Itulah
petunjuk awal kepadanabi Muhammad SAW agar beliau memberikan peringatan kepada
umatnya. Kemudian
bahan materi
pendidikan tersebut
diturunkan secara
berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Setiap kali menerima wahyu.
Segera ia sampaikan kepada umatnya. Diantara tradisi yang terdapat dikalangan
yang
rupanya masih melakukan
tahannus. Tahannus ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran
dari Tuhan di gua Hira.
Disana pula nabi
dilantik menjadi pendidik bagi umatnya. Beliau
mulai mendidik keluarga dekatnya secara sembunyi-sembunyi. Kemudian ia muncul
dengan seruannya kepada sahabat karib yang telaha lama bergaul dengannya. Dan
secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan lebih luas tetapi masih
terbatas kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy saja. Keadaan tersebut
berlangsung sekitar 3 tahun yang akhirnya
turun perintah dari Allah. Agar nabi memberikan
pendidikan dan seruannya secara terbuk. Dengan
turunnya perintah tersebut. Nabi mulai memberikan
pengajaran kepada umatnya secara terbuka dan lebih meluas. Bukan hanya
lingkungan kaum keluarga dikalangan penduduk Mekkah. Tetapi juga ke luar
Mekkah.
a.
Pendidikan tauhid dalam teori dan praktek
Pelaksanaan praktek pendidikan tauhid tersebut diberikan oleh
nabi Muhammad kepada umatnya dengan cara yang sangat bijaksana dengan menuntun
akal pikiran untuk mendapatkan dan menerima tauhid yang diajarkan dan sekaligus memberikan contoh
bagaimana pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Pengajaran Al-Qur’an di Makkah
Tugas nabi Muhammad selain mengajarkan tauhid juga
mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya agar secara utuh dan sempurna milik umatnya
dan menjadi pedoman hidup sepanjang
zaman. Pengajaran Al-Qur’an tersebut berlangsung sampai
nabi Muhammad dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Masyarakat Arab pada masa itu terkenal tidak bisa membaca dan menulis. Tradisi budaya mereka adalah budaya lisan (hafalan). Nabi Muhammad diperintahkan
oleh Allah
untuk membaca lalu ia membaca situasi masyarakatnya yang menjadi sasaran tugasnya. Ia melihat potensi pengikutnya yang kuat hafalanya dan potensi dari
sebagian mereka yang
pandai tulis
baca. Situasi dan potensi
umatnya
tersebut sangat cocok untuk pengajaran Al-Qur’an Setiap turun wahyu. Beliau memerintahkan
untuk menghafal
baik-baik
dan menuliskan
baik-baik. Pada
permulaan turunya Al-Qur’an nabi mengajarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Mereka
berkumpul di suatu rumah untuk membaca dan memahami kandungan setiap ayat di
dalam Al-Qur’an.
2.
Pelaksanaan pendidikan di Madinah
Hijrah dari Mekah ke Madinah
bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari tekanan dan ancaman
dari kaum kafir quraisy tetapi juga mengandung maksud tertentu untuk mengatur
potensi dan menyusun kekuatan dalam menghadapi tantangan yang lebih lanjut.
Kemudian akan terbentuknya warisan mutiara tauhid yang disempurnakan oleh nabi
Muhammad SAW melalui wahyu Allah SWT. Pendidikan Madinah pada hakekatnya adalah
merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekah yaitu pembinaan di bidang
pendidikan sosial dan politik agar ajaran tauhid dapat dijiwai. sehingga tingkah laku sosial politiknya
merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut. wahyu secara beruntun
selama nabi di dalam mengajarkan Al-Qur”an adalah menganjurkan pengikutnya
untuk menghafal dan menulis ayat yang sebagaimana diajarkanya. Beliau sering
mengadakan pengulangan-pengulangan dalam pembacaan Al-Qur’an yaitu dalam
sholat, pidato dll.
Demikian segala kegiatan dilaksanakan oleh nabi bersama
umat dalam rangka pendidikan sosial politik. Selalu dalam bimbingan dan
petunjuk langsung dari wahyu-wahyu.
a.
Pembentukan dan pembinaan mas6arakat baru menujusatu kesatuan
sosial politik
Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru menuju satu
kesatuan politik yang pertama dengan membangun masjid, membangun tempat-tempat
tinggal sederhana untuk pengembangan masyarakat baru di Madinah yang diusahakan
oleh Rosululloh.
b.
Pendidikan
sosial politik dan kewarganegaraan
Pelaksanaan
praktek pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan
di antaranya
pendidikan ukhuwah antar kaum
muslimin,
pendidikan kesejahteraan dan lain-lain.
c.
Pendidikan
anak dalam Islam
Diantaranya pendidikan Islam terhadap
anak, diantaranya : tauhid, sholat, adab, sopan santun dalam keluarga dll.
d.
Pendidikan dakwah Islam
Dalam Islam ada prinsip laa ikhrooha fd diina (tidak
ada paksaan dalam agama), dan lakum diinukum waliyadiina (bagimu agamamu
dan bagiku agamaku).
- Periode Pendidikn Islam masa
Khulafa Al-rasyidin
Pada masa Nabi daerah kekuasaan Islam hanya
meliputi seluruh daerah Jazirah Arabia dan pendidikan Islam berpusat di
Madinah.Namun setelah Rasulullah Saw., wafat dan digantikan oleh Khulafa
al-Rasyidin yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usmanbin Affan dan
Ali bin Abi Thalib daerah kekuasaan Islam sudahbertambah luas di luar jazirah
Arabia yang meliputi Mesir, Persia,Syria dan Irak. Keempat orang khalifah ini
disamping mementingka kekuasaan Islam mereka juga menaruh perhatian yang besar
padapendidikan Islam demi syi’arnya agama dan dan kokohnya negara Islam.
1.
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
terpilih secara aklamasi pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah pada saat
jenazah Rasulullah Saw. belum lagi dimakamkan. Sepeninggal Rasulullah Saw, umat
Islam yang kuat kadar keimanannya hanya pada penduduk Makkah, Madinah dan
Thaif, selain dari itu ketiga kota tersebut kadar keimanan masyarakat Islam
belum kuat benar. Ketika mereka mendengar Rasulullah Saw meninggal banyak di
antara mereka kembali kepada agama nenek moyang mereka atau murtad. Di samping
itu bermunculan orang-orang yang mengaku dirinya menjadi Nabi dan sebagian
besar masyarakat Islam tidak mau membayar zakat, mereka beranggapan zakat hanya
diberikan kepada Nabi, tetapi karena Nabi sudah wafat, maka tidak ada lagi
kewajiban membayar zakat tersebut. Pada masa awal pemerintahannya Khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq telah dihadapkan pada tiga peristiwa penting yang memerlukan
solusi segera. Pertama, adalah orang yang murtad, kedua,
munculnya nabi palsu dan ketiga, orang yang enggan membayar zakat.
Menghadapi ketiga persoalan ini, Khalifah Abu Bakar bermaksud memerangi ketiga
kelompok ini. Pada mulanya rencana Abu Bakar mendapat tantangan dari sahabat Nabi
Umar bin Khattab. Namun Khalifah Abu Bakar bersikeras untuk memerangi ketiga kelompok
manusia itu yang dapat mengacaukan keamanan dan dapat mempengaruhi umat Islam
yang kadar keimanannya masih lemah. Maka dikirimlah pasukan untuk menumpas para
pemberontak di Yamamah. Dalam operasi penumpasan yang dipimpin oleh Panglima Perang
Khalid bin Walid telah gugur sebanyak 73 orang sahabat dekat Rasulullah Saw dan
para penghafal al-Qur’an. Kenyataan ini menyebabkan umat Islam telah kehilangan
sebagian para penghafal al-Qur’an. Dan jika tidak diperhatikan lama kelamaan,
sahabat-sahabat penghafal al-Qur’an akan habis dan akhirnya akan terjadi
perselisihan dikalangan umat Islam tentang kitab suci mereka. Oleh karena itu
sahabat Umar bin Khattab mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk segera
mengumpulkan ayat-ayat suci al-Qur’an dari hafalan-hafalan para sahabat Nabi
penghafal al-Qur’an yang masih tersisa. Saran tersebut pada mulanya tidak diterima
oleh Khalifah Abu Bakar, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Namun
sahabat Umar bin Khattab bisa meyakinkan khalifah Abu Bakar dengan mengatakan: “Demi
Allah, ini adalah perbuatan baik, maka Khalifah Abu Bakar merealisasikan saran
tersebut dengan menugaskan sahabat Zaid binTsabit, seorang penulis wahyu pada masa
Rasulullah Saw., untuk segera mengumpulkan semua tulisan ayat-ayat al Qur’an
yang dihafal oleh para sahabat penghafal al-Qur’an. Dalam waktu kurang lebih
setahun, Zaid bin Tsabit berhasil melaksanakan misi yang sangat mulia itu yaitu
mengumpulkan bacaan al-Qur’an yang ditulis pada pelepah. daun kurma, kulit-kulit onta dan dibundel dalam sebuah bundelan. Bundelan
itu akhirnya diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dengan demikian
Khalifah Abu Bakar berhasil menyelamatkan keaslian kitab suci al-Qur’an, materi
dasar pendidikan Islam. (Ashrohah, 1999:16).
Operasi penumpasan terhadap ketiga kelompok
pemberontak mencapai keberhasilan yang gemilang, orang-orang yang murtad kembali
ke pangkuan Islam, orang-orang yang enggan membayar zakat sudah mau kembali
membayar zakat dan nabi-nabi palsu ada yang berhasil dibunuh dan sebagian tobat
menyesali perbuatannya. Pemberontakan tersebut memberikan pengalaman bagi umat
Islam untuk memperteguh ajaran-ajaran Islam kepada kaum muslimin sehingga dapat
dihindari kejadian serupa. Pengalaman tersebut memperteguh pendidikan Islam
untuk memperkokoh nilai-nilai Islam di kalangan kaum muslimin. Akan tetapi,
pelaksanaan pendidikan Islam di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ini masih
seperti pada masa Rasulullah Saw baik materi maupun lembaga pendidikannya.
Setelah berhasil mencapai stabilitas politik dalam negeri, Khalifah Abu Bakar
melanjutkan misi yang dibawa oleh Rasulullah Saw yang sempat terhenti karena
wafatnya Nabi yaitu melakukan ekspansi atau meluaskan wilayah kekuasaan Islam
ke wilayah Syria. Usaha umat Islam berhasil menaklukkan Syria. Khalifah Abu
Bakar hanya menjalankan pemerintahan selama lebih kurang 2 tahun, akhirnya
Khalifah Abu Bakar wafat karena sakit, sebelum wafatnya Khalifah telah berwasiat
dengan menunjuk langsung sahabat Umar bin Khattab untuk menggantikan posisinya
sebagai khalifah.
2.
Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, kondisi politik
dalam negeri dalam keadaaan stabil, Khalifah Umar melanjutkan usaha yang telah
dirintis Rasulullah Saw dan Khalifah Abu Bakar yaitu melakukan ekspansi atau
penyebarluasan wilayah Islam. Ekspanasi yang terjadi pada masa Khalifah Umar
mencapai hasil yang gemilang, satu persatu wilayah-wilayah yang dulunya
merupakan jajahan kerajaan Romawi dan Persia jatuh ke tangan umat Islam. Daerah-daerah
tersebut adalah meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Syria, Irak, Persia dan
Mesir. Dengan meluasnya wilayah Islam sampai ke luar jazirah Arabia, penguasa memikirkan
pendidikan Islam di daerah-daerah di luar Jazirah Arabia karena bangsa-bangsa
tersebut memilki adat dan kebudayaan yang berbeda dengan Islam. Untuk itu,
Khalifah Umar memerintahkan panglima-panglima apabila mereka berhasil menguasai. suatu kota, hendaknya mereka mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan
pendidikan. (Syalabi, 1978:94).
Berkaitan
dengan usaha pendidikan Islam itu, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru
untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan, yang bertugas mengajarkan isi
al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam. Karena negara
Islam sudah menyebar luas ke luar Jazirah Arabia, maka pusat pendidikan Islam
bukan di Madinah saja, tetapi tersebar juga di kota-kota besar sebagai berikut
:
a.
Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
b.
Kota Basrah dan Kufah (Iraq)
c.
Kota Damsyik dan Palestina
(Syria)
d.
Kota Fustat (Mesir).
Suatu hal yang paling berbeda pada masa ini yaitu
tidak ada lagi guru besar yang agung yakni Rasulullah Saw. Pengikut-pengikut beliau
selama ini mendapat batu ujian yang cukup berat pada masa ini dalam melanjutkan
risalah Islam, terutama menghadapi berbagai rintangan yang datang dari batang
tubuh bangsa Arab sendiri. Rasulullah Saw semasa hidupnya telah menggariskan
dasardasar utama pendidikan Islam, dan telah menghasilkan insan-insan berpendidikan
yakni para sahabat beliau yang mendapat kepercayaan memangku jabatan sebagai
Amirul Mukminin. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan pada masa Nabi itu benar-benar
ampuh. Mereka para sahabat sanggup dan berhasil melalui segala rintangan dan cobaan.
Dalam sejarah mereka teracatat sebagai guru-guru besar dunia. Setiap ujian dilalui
dengan sukses besar, karena mereka berpegang dengan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumbu utama ideologi Islam. Masa Khulafa al-Rasyidin adalah masa
perjuangan besar, pertarungan antara yang hak dan yang batil, pertarungan
antara yang asli dan yang palsu. Kebatilan pada waktu itu tidak sama dengan kebatilan
pada masa Rasulullah Saw. Pada masa Khulafa al-Rasyidin kebatilan datang dalam
bentuk-bentuk kepala-kepala suku Arab sekitar Makkah, orang-orang yang ambisi
menjadi pemimpin, menghadapi raja-raja Persia, raja-raja atau bangsawan Romawi
dan sebagainya. Semua itu membawa akibat yang sama yaitu kebatilan. Sahabat-sahabat
Rasulullah Saw pada masa ini mengalami perjuangan seperti yang mereka hadapi
pada masa Rasulullah Saw, tetapi dalam bentuknya tersendiri. Mereka berpencar
ke seluruh penjuru negeri mengajarkan apa yang mereka pelajari dari Rasulullah Saw
pada waktu dulu. Pada masa Khulafa al-Rasyidin ini, kaum muslimin telah mengadakan
kontak langsung dengan negeri-negri taklukan yang mempunyai
peradaban berbeda satu sama lainnya, untuk menyebarkan dakwah Islamiyah
diperlukan kemahiran berbahasa. Oleh karena itu pendidikan dalam ilmu bahasa
atau lisaniyah ini sudah mulai dirintis pada masa Khulafa al-Rasyidin. Sarana-sarana
pendidikan yang berbentuk halaqah telah tumbuh dengan baik. Menurut sebagian
riwayat bahwa Kuttab sebagai lembaga pendidikan untuk mengajarkan membaca
al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam telah tumbuh pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab memerintah, Ali bin Abi Thalib telah menumpahkan
perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan. Bersama dengan sepupunya
Abdullah bin Abbas mengadakan kuliah atau pengajian sekali seminggu di masjid
Jami dalam bidang ilmu bahasa, fiqih, hadist dan termasuk filsafat khususnya
logika. Begitu pula para sahabat yang lain menyampaikan berbagai jenis mata
pelajaran di berbagai tempat. (Dalimunthe, 1978:31). Secara umum dapat dikatakan
bahwa pada masa Khulafa al- Rasyidin belum ada pemikiran baru dalam bidang
pendidikan yang menonjol, kecuali sebagai pelanjut dari pendidikan yang ada
pada masa Nabi. Adapun hal-hal yang dapat dikatakan membedakan pendidikan pada
masa Rasul adalah pada masa Khulafa al-Rasyidin ini sudah tumbuh minat untuk
memperdalam ilmu bahasa atau lisaniyah dan mulai ada perhatian sedikit terhadap
filsafat Yunani, itupun hanya terbatas pada logika. Pada masa Khalifah Umar bin
Khattab, sahabat-sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah Saw., dan
memiliki pengaruh besar dilarang keluar meninggalkan kota Madinah kecuali atas
izin khalifah dan hanya dalam waktu yang terbatas. Dengan demikian penyebaran ilmu
para sahabat besar terpusat di Madinah sehingga kota Madinah muncul sebagai
pusat studi ilmu keislaman. Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan
pendidikan Islam bertambah besar karena mereka yang baru menganut Islam ingin
menimba ilmu-ilmu keislamn dari para sahabat Nabi yang masih hidup yang
langsung menerima pengajaran dari Rasulullah Saw., khususnya yang menyangkut
Hadist Rasulullah Saw., sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam–yang belum
dibukukan hanya berdasarkan ingatan para sahabat-dan sebagai alat bantu dalam
menafsirkan al-Qur’an. Tidak terelakkan lagi pada masa ini terjadi mobilitas
penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh menuju Madinah sebagai pusat studi
ilmu-ilmu agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam tersebut di belakang
hari mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin ilmu keagamaan, seperti tafsir,
hadist, fikih dan sebagainya. Tuntutan belajar bahasa Arab juga sudah nampak
dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah Umar. Dikuasainya wilayah baru oleh
umat Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk belajar bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar di wilayah-wilayah baru tersebut. Orang-orang yang baru masuk
Islam dari daerah-daerah yang ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab, jika
mereka ingin belajar dan mendalami pengetahuan keagaman Islam. Oleh karena itu,
masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.
Pada masa-masa Khulafa al-Rasyidin sebenarnya telah
ada tingkat pengajaran, hampir seperti masa sekarang, tingkat pertama ialah
kuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca/menghafal al-Qur’an serta
belajar pokok-pokok Agama Islam. Setelah tamat al-Qur’an mereka meneruskan
pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid ini terdiri dari tingkat menengah dan tingkat
tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar, sedangkan pada
tingkat tinggi gurunya ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan kesalehannya.
(Yunus, 1986:39) Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi
seorang baik di Kuttab atau di masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat
tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh
pelajar bersama-sama. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada kuttab pada mulanya adalah
dalam keadaan sederhana yaitu belajar membaca dan menulis, membaca al-Qur’an
dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama Islam seperti cara berwudu’,
shalat, puasa dan sebagainya. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab beliau
menginstruksikan kepada penduduk kota supaya diajarkan kepada anak-anak
berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan menghafal syair-syair mudah
dan peribahasa. Dengan demikian mulai masuk dalam pengajaran rendah gerak badan
dan membaca syair-syair mudah serta peribahasa. Sedangkan sebelum itu hanya
membaca al-Qur’an saja. Instruksi Khalifah Umar itu dilaksanakan oleh guru-guru
di tempat-tempat yang dapat dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai,
seperti di Iraq, Syam, Syria, Mesir, dan lain-lain. Pada saat Khalifah Umar ibn
Khattab terbaring sakit. Atas desakan sejumlah tokoh masyarakat Madinah, Umar
mengangkat suatu dewan yang terdiri dari enam sahabat pilihan, yaitu Usman ibn
Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubeir ibn Awwam, Sa’ad ibn
Abi Waqqas dan Abdu al-Rahman ibn Auf. Sedangkan putera Umar, Abdullah ibn Umar
mempunyai hak memilih dan tidak berhak
dipilih. Pada waktu itu Thalhah ibn Ubaidillah
sedang tidak berada di Madinah. Abdu al Rahman ibn Auf mengusulkan agar dia diperkenankan
mengundurkan diri, tetapi kepadanya ditugaskan bermusyawarah dengan kaum muslimin
dan memilih salah seorang di antara sahabat-sahabat yang ditunjuk Umar untuk
menjadi Khalifah.
3.
Khalifah Usman ibn Affan
Usman ibn Affan terkenal sebagai orang yang berbudi
pekerti luhur, sangat pemalu, dermawan, lemah lembut, penuh kasih sayang, pemaaf,
selalu berprasangka baik, bersikap toleransi, paling baik bergaul dengan orang
lain, lapang dada lagi sabar, paling kuat menjaga hubungan kekerabatan dan
terlalu lemah serta tunduk kepada keluarga. (Hitty, 1974:176).
Usman ibn Affan sebagai seorang yang sangat kaya,
terlalu terikat dengan kepentingan orang orang Mekkah. Walaupun dia masuk Islam
sejak awal risalah Nabi dan mengabdi kepada Islam sepanjang hayat, ia menghabiskan
sebagian umurnya di Mekkah, selain itu ia banyak mempunyai hubungan dagang dan
mengerti benar dengan kepentingan-kepentingan suku Quraisy. Ia mempunyai sifat yang
sangat lemah lembut yang kadang-kadang terlihat sangat hati-hati dalam
mengambil suatu keputusan, tetapi justru kelemahan pada kebijakan kebijakannya.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya,
Usman tidak terlepas dari sifar-sifat yang
dimilikinya di antaranya terlalu lemah dalam melawan desakan keluarganya. Usman
ibn Affan diangkat menjadi khalifah menjelang usia 70 tahun. Para ahli sejarah
membagi masa pemerintahan Usman ibn Affan pada dua periode. Enam tahun pertama
pemerintahan yang gemilang dan enam kedua pemerintahan yang kacau. Pada enam
tahun pertama ditandai dengan keberhasilan menjadikan daerah-daerah Armenia,
Irtifiqiya, Cyprus, Rhodes, Tabaristan, Transoxania menjadi daerah kekuasaan
Islam. Abdullah ibn Abi Sahr berhasil menembus sampai ke Afrika Utara. Dari
Basrah Abdullah ibn Amir berhasil menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasaniyah.
Dari Kufah beberapa ekspedisi militer bergerak ke Utara untuk meluaskan daerah
di sekitar Laut Kaspia. Pada masa pemerintahan Usman ibn Affan berhasil
dibangun Angkatan Laut yang kuat. Di antara pertempuran ini pasukan Islam
dipimpin oleh Abdullah ibn Abi Sarh berhasil mengalahkan tentara Romawi di Laut
Tengah dekat Iskandariyah. (Shaban, 1971:91).
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan
pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pendidikan pada
masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Hanya sedikit perubahan yang
mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam dari apa yang telah ada. Para sahabat
besar Rasulullah Saw., yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah Saw., pada
masa Khalifah Umar tidak diizinkan meninggalkan Madinah, maka pada masa
Khalifah Usman diberikan sedikit kelonggaran untuk keluar Madinah dan menetap
di daerah-daerah yang mereka sukai. Di daerah-daerah yang baru tersebut mereka
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki dan dapatkan langsung dari
Rasulullah Saw. Kebijakan ini besar sekali manfaatnya bagi pelaksanaan pendidikan
Islam di daerah-daerah yang baru. Sebelumnya umat Islam di luar Madinah dan
Mekkah, khususnya dari luar Semenanjung Arabia, harus menempuh perjalanan yang
jauh, melelahkan dan memakan waktu yang lama untuk bisa menuntut ilmuilmu agama
Islam di Madinah. Tetapi dengan tersebarnya para sahabat Rasulullah Saw., yang
langsung mendapatkan pengajaran dari Nabi ke berbagai daerah meringankan umat Islam
di daerah-daerah yang baru untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam kepada para
sahabat Nabi yang mempunyai pengetahuan yang banyak dalam ilmu-ilmu agama Islam
di daerah mereka sendiri atau di daerah yang terdekat. Usaha yang kongkrit
dalam bidang pendidikan Islam belum dikembangkan pada masa Khalifah Usman bin
Affan. Khalifah sudah merasa puas terhadap pendidikan Islam yang telah berjalan
pada masamasa sebelumnya. Namun, yang penting untuk dicatat, suatu prestasi yang gemilang telah dicapai pada masa pemerintahan khalifah ketiga ini
adalah usaha pembukuan kitab suci Al-Qur’an yang mempunyai pengaruh yang luar
biasa bagi pendidikan Islam. Khalifah Usman melanjutkan usaha yang dulu dirintis
oleh Khalifah Abu Bakar yaitu pengumpulan al-Qur’an dari hafalan-hafalan para
sahabat penghafal al- Qur’an. Bundelan itu disimpan oleh Khalifah Abu Bakar,
kemudian diserahkan kepada Khalifah kedua Umar bin Khattab, setelah itu dititipkan
Khalifah Umar kepada puterinya Hafsah binti Umar yang juga istri Rasulullah
Saw.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, khalifah
memerintahkan supaya bundelan al-Qur’an yang disimpan Hafsah dipinjam untuk disalin
kembali. Khalifah telah membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit dengan anggotanya adalah Abdullah bin Zubeir, Abdurrahman bin Harits dan
Zaid bin Ash, mereka ini mendapat tugas untuk menyalin al-Qur’an yang sudah
dibukukan. Penyalinan ini dilatarbelakangi oleh perselisihan yang terjadi dalam
bacaan al-Qur’an yang dilihat oleh sahabat Huzaifah ibnul Yamani dan langsung
dilaporkannya kepada Khalifah Usman bin Affan. Khalifah Usman merasa khawatir
perselisihan tentang bacaan al-Qur’an di kalangan umat Islam akan sama dengan
perselisihan umat Yahudi dan Nasrani tentang bacaan kitab suci mereka. Maka
Khalifah memerintahkan untuk segera menyatukan bacaan al-Qur’an. Akhirnya khalifah
memerintahkan penyalinan al-Qur’an tersebut, sekaligus menyatukan bacaan
al-Qur’an sebagai pedoman, apabila terjadi perselisihan bacaan antara Zaid bin
Tsabit dengan tiga anggota tim penyusun, hendaknya ditulis sesuai dengan lisan
Quraisy. Zaid bin Tsabit bukan orang Qurasiy, sedangkan ketiga orang anggotanya
adalah orang Quraisy. (Supardi, 1985: 59) Setelah menyelesaikan tugas yang
mulia tersebut, khalifah Usman bin Affan memerintahkan kepada tim penyusun
untuk menyalin kembali beberapa mushfat al-Qur’an untuk dikirimkan ke Mekkah,
Kufah, Basrah dan Syam. Khalifah Usman sendiri memegang satu Mushaf yang
dikenal dengan nama Mushaf al-Imam. Mushaf Abubakar dikembalikan lagi ke tempat
penyimpanan semula yaitu di rumah Hafsah binti Umar. Khalifah Usman meminta
kepada seluruh kaum muslimin agar memegang teguh apa yang tertulis di mushaf yang
dikirimkan kepada mereka. Sedangkan mushaf yang sudah ada di tangan umat Isalm
untuk segara dikumpulkan dan dibakar untuk menghindari perselisihan tentang
bacaan al-Qur’an serta untuk menjaga keaslian al-Qur’an. Fungsi al-Qur’an
sangat fundamental bagi sumber agama dan ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu
untuk menjaga keaslian al-Qur’an dengan menyalin dan membukukannya merupakan
suatu usaha demi perkembangan ilmu-ilmu keislaman di masa mendatang. Usman ibn
Affan mewarisi sebuah pemerintahan yang gemilang, umpamanya perluasan wilayah
dan timbulnya kota-kota baru, pembentukan institusi keuangan. Usman berusaha
menekankan otoritasnya sebagai pemimpin, khususnya terhadap kegiatan para tokoh
dan amir di provinsi. Sebagai salah seorang anggota keluarga besar Bani
Umayyah, Usman nampaknya cenderung melihat efektifitas penggunaan tokoh-tokoh
Umayyah yang dikenalnya secara baik dalam proses konsolidasi tersebut. Para
sejarahwan melihat garis kebijaksanaan yang ditempuh Khalifah Usman ibn Affan
dan mereka memandang Usman ibn Affan telah melaksanakan politik yang dikenal
dengan nepotisme. Pada saat Usman ibn Affan menggantikan kedudukan Umar, ia mulai
menyimpang dari kebijaksanaan Umar. Sedikit demi sedikit ia mulai menunjuk
sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada
mereka hadiah-hadiah. Semua pejabat yang diangkat Usman adalah orang-orang yang
sangat kompeten, kecuali Walid ibn Uqbah dan sebagian besar telah
berpengalaman. Usman mengangkat mereka karena dia dapat mempercayai mereka, mengingat
kedudukannya sebagai tokoh kelompok Quraisy. (Shaban,1971: 94).
Pada enam tahun terakhir dari pemerintahannnya
banyak terjadi persoalan-persoalan di dalam negeri. Sikapnya yang kurang tegas,
penuh toleransi dan lemah dalam menentang ambisi keluarganya yang kaya dan
berpengaruh dalam masyarakat Arab dimanfaatkan oleh sanak kerabatnya untuk
memperoleh jabatan dan memperkaya diri sementara kelompok lain tidak
menikmatinya. Akibat adanya praktek nepotisme dalam pemerintahan khalifah Usman
ibn Affan dan sikapnya yang lemah dalam bertindak sehingga terjadi pergeseran
nilai dalam kehidupan masyarakat Islam. Dari pola hidup sederhana (pada masa Umar)
menjadi pola hidup mewah. Dengan demikian timbullah persaingan yang menjurus
kepada pertentangan antar golongan. Perhatian para pejabat pemerintahan bergeser
dari masalah politik dan administrasi beralih kepada masalah sosial ekonomi.
Pemerintahan Usman ibn Affan yang bercorak nepotisme yang memberikan
jabatan-jabatan penting kepada sanak kerabatnya serta memberikan
keistimewaan-keistimewaan lainya telah menyebabkan protes dan kritikan rakyat secara
umum. Pengaruh kebijaksanaan khalifah Usman sangat dirasakan di
provinsi-provinsi, seperti di Fustat dan Kufah. Rakyat di daerah-daerah banyak
mengeluh, karena kesewenang wenangan yang dijalankan
pejabat-pejabat keturunan Bani Umayyah yang diangkat Usman, tetapi keluhan rakyat
ini tidak sampai kepada khalifah. Akhirnya timbullah pemberontakan di Kufah, Basrah
dan Mesir. (Syalabi, 1977:277).
Ketidakpuasan kaum muslimin yang merupakan bibit
dari gejolak sosial dan pemberontakan kepada khalifah adalah merupakan akumulasi
dari berbagai masalah yang rumit dan kompleks. Sedangkan daya pendorong
timbulnya pemberontakan yang berasal dari Mesir. Di Mesir ketidakpuasan timbul
akibat tindakan Gubernur Mesir Abdullah ibn Abi Sarah yang bertindak
sewenang-wenang. Ia membebani penduduk Mesir dengan pajak di luar kesanggupan
mereka. Penduduk mesir mengadukan hal ini kepada khalifah dan khalifah memberikan
peringatan keras kepada Abdulllah ibn Abi Sarah, tetapi Abdullah ibn Abi Sarah
tidak menghiraukan peringatan tersebut, bahkan ia menghukum orang-orang yang
mengadukan hal tersebut kepada khalifah. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan
penduduk Mesir serta sahabat Nabi. Dengan keras mereka menuntut Khalifah Usman supaya
memecat Abdullah ibn Abi Sarah. Tuntutan mereka diterima baik, maka khalifah
Usman mengangkat Muhammad ibn Abu Bakar, orang yang mereka pilih sebagai gubernur
Mesir. Para demonstran merasa puas dan kembali ke negeri mereka. Tetapi di
tengah perjalanan delegasi Mesir kembali lagi ke Madinah dengan penuh emosi,
setelah mereka mengetahui adanya sepucuk surat atas nama khalifah Usman yang
dikirimkan kepada Abdullah ibn Abi Sarah, berisi perintah supaya membunuh
anggota delegasi Mesir. Mereka minta pertanggung jawaban Khalifah Usman, tetapi
Khalifah mengingkari menulis atau menyuruh seseorang menulis surat semacam itu,
tetapi ketika mereka menuntut penyerahan sekretaris khalifah yaitu Marwan ibn
Hakam, Usman menolak. Sauasana menjadi tegang. Ali berusaha menengahi
permasalahan tersebut dengan sekuat tenaga mencegah mereka melakukan tindakan
kekerasan, akan tetapi para pembangkang tetap berkeras. Para sahabat Nabi
seperti Thalhah, Ali dan Zubeir mengirimkan puteranya masing-masing untuk
melindungi khalifah Usman yang dikepung oleh para pemberontak, akan tetapi
jumlah pemberontak banyak. Mereka menerobos masuk ke rumah khalifah dengan
memanjat dinding, akhirnya terjadilah tragedi berdarah yang tidak dapat dielakkan.
Usman ibn Affan terbunuh di tangan pemberontak pada Shubuh hari Jum’at bulan
Zulhijjah tahun 35 Hijriyah atau bertepatan pada bulan Juni tahun 656 Masehi.
(Amin,1987:87) Perbuatan kezaliman kaum pemberotak bukan saja berpengaruh
terhadap diri Usman, tetapi juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
kehidupan kaum muslimin berikutnya.
4.
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Pada mulanya Ali menolak, tapi akhirnya mau menerima
setelah mendapat desakan dari sebagian kaum muslimin. Naiknya Ali menjadi
khalifah tidak disetujui oleh Bani Umayyah yang merupakan keluarga terdekat
khalifah Usman. Apalagi Khalifah Ali dengan segera memecat pejabat-pejabat
penting yang dulu diangkat Usman. Sebagai contoh, Khalifah Ali memecat gubernur
Syria Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai gubernur Syria, namun Muawiyah tidak terima
malah dia mengangkat dirinya menjadi khalifah dan menentang Ali dengan alasan
menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Di satu sisi lain Ali menghadapi tantangan
yang lain yaitu datangnya dari Asiyah, Thalhah dan Zubeir yang menentang Ali
karena Ibnu Zubeir berambisi menjadi khalifah. Ali memusatkan perhatian untuk
menghadapi pasukan Aisyah, Thalhah dan Zubeir terlebih dahulu, maka terjadilah
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Jamal (perang onta), karena panglima
perangnya Aisyah pada waktu itu mengendarai onta. Pada peperangan ini pasukan
Ali memperoleh kemenangan, Aisyah tertawan dan dikembalikan dengan penuh kehormatan
ke Makkah, sedangkan Thalhah dan Zubeir tewas terbunuh. Kemudian Ali
bersiap-siap untuk menghadapi tantangan dari pasukan Muawiyah yang sudah siap-siap
untuk menentang Ali di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Dalam peperangan
tersebut pasukan Ali hampir memperoleh kemenangan, namun dalam pasukan Muawiyah
terdapat seorang ahli politik yang sangat lihai ia mengusulkan
supaya pasukan Muawiyah mengangkat mushaf al- Qur’an tinggi-tinggi ke atas dengan
ujung tombak sebagai ajakan damai. Melihat hal tersebut sebagai seorang ahli
strategi militer Ali tahu itu hanya tipu muslihat, Ali menginginkan perang
dilanjutkan karena kemenangan sedikit lagi akan diperoleh, namun Ali menghadapi
desakan dari sebagian pasukannya yang menginginkan perang dihentikan karena
musuh mengajak berdamai. Karena Ali terus didesak, maka dengan sangat terpaksa
Ali menghentikan peperangan. Maka dicapailah perundingan damai (tahkim). Dalam
peristiwa tahkim tersebut pasukan Ali terkalahkan oleh kelicikan Amru bin Ash
di pihak Muawiyah bin Abi Sofyan. Karena tidak setuju dengan tahkim sebagian
pasukan Ali keluar dari barisan Ali dan membentuk kelompok tersendiri. Mereka
inilah dalam sejarah dikenal dengan nama golongan Khawarij. Menurut golongan
Khawarij, siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir, maka
mereka berusaha untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sofyan dan Amru
bin Ash. Karena Ali tidak pernah menggunakan pengawal pribadi, salah seorang
Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam hanya berhasil menikam khalifah
keempat ini pada Shubuh dini hari. Kekacauan dan pemberontakan yang terjadi
pada masa Khalifah Ali, membuat Syalabi berkomentar: “Sebenarnya tidak pernah
ada barang satu haripun, keadaaan yang stabil selama masa pemerintahan Ali. Tak
ubahnya dia sebagai seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi baik
malah bertambah sobek. Demikianlah nasib Ali”. Lebih lanjut dijelaskan oleh
Soekarno dan Ahmad Supardi, bahwa saat kericuhan politik di masa Ali ini hampir
dapat dipastikan bahwa kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan
walaupun tidak terhenti sama sekali. Khalifah Ali pada saat itu tidak sempat
lagi memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan
pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. (Supardi, 1985:59).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan
pada zaman Khulafa al-Rasyidin belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya.
Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang menekankan pada
pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi umat Islam terhadap perluasan
wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
- Pendidikan
Islam pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang dicapai pada
masa Dinasti Bani Umayyah berkaitan erat dengan stabilnya situasi politik dalam
negeri pemerintahan Islam yang dikendalikan oleh Dinasti Bani Umayyah. Dalam
negara yang stabil perhatian kaum muslimin diarahkan untuk membangun peradaban,
ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain karena adanya hubungan
atau persentuhan dan kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain yang telah ditaklukkan.
Perhatian terhadap ilmu-ilmu lisaniyah seperti ilmu bahasa, sastra, nahwu,
balaghah serta ilmu-ilmu agama sudah tumbuh dengan subur dan dipelihara dengan
sungguh-sungguh. Kedudukan ilmu yang berasal dari dalam lebih tinggi nilainya
bagi mereka dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Sebab
itu masa Bani Umayyah ini terkenal dengan fanatisme Arab dan fanatisme Islam.
Pada masa Bani Umayyah berkuasa, pelaksanaan
pendidikan Islam semakin meningkat dari masa-masa sebelumnya. Kalau pada masa
Nabi dan Khulafa al-Rasyidin pendidikan Islam dilaksanakan di 184 kuttab, di
rumah-rumah dan di masjid-masjid, maka pada masa Dinasti Bani Umayyah penguasa
Dinasti ini sering menyelenggarakan majelismajelis keilmuan, Syalabi menjelaskan
bahwa Khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah, Muawiyah bin Abu Sofyan sering menyelenggarakan
majelis dengan mengundang ulama, sastrawan dan ahli sejarah untuk menerangkan
kepada khalifah sejarah bangsa Arab melalui syair-syair Arab, cerita-cerita Persia
dan sistem penmerintahan dan administrasi Kerajaan Persia. Usaha ini mendorong berkembangnya
sya’ir-sya’ir Arab dan munculnya buku Akhbar al- Madin (buku
tentang raja-raja dan sejarah orang-orang kuno). (Mahmud, 1960:94) Pada masa
ini sudah mulai ada perhatian terhadap pembidangan ilmu tafsir, hadist, fikih
dan ilmu kalam. Di bidang hadist muncul seorang ahli hadis, seperti Hasan Basri.
Dalam bidang fiqih munculseorang ahli fiqih Ibn Sihab al-Zuhri. Di bidang ilmu
kalam muncul nama Wasil bin Atha’, sebagai pendiri aliran Mu’tazilah yang
muncul sebagai reaksi dari aliran Khawarij dan Murji’ah yang telah berkembang
pada masa itu. (hitty, 1974: 242) Di samping itu berkembang juga bahasa Arab.
Kecendrungan untuk memahami al-Qur’an dan ajaran Islam lainnya, membuat orangorang
yang ditaklukkan umat Islam membutuhkan bahasa Arab. Danbanyaknya orang-orang
non Arab yang menimbulkan dialek-dialekyang bisa merusak bahasa Arab, mendorong
umat Islam untuk mengembangkan bahasa Arab. Faktor-faktor ini menyebabkan
besarnya tuntutan mempelajari bahasa Arab sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya
yang terkenal antara lain Abu al-Aswad al-Duali dan Sibawaih.(Hitty, 1974:242).
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman
dan bertakwa, dan berakhlak mulia sebagai landasan bagi mereka dalam menjalani
kehidupan sosial. Adapun tujuan pendidikan secara khusus adalah bertujuan agar
manusia dapat bertingkah laku mulia dan menjauhi tingkah laku jahat. Materi
yang di ajarkan adalah Aqidah (Keimanan), akhlak dan Al-Qur’an. Metode
pembelajaran yang digunakan adalah pidato, ceramah, keteladanan, pembiasaan,
dan hafalan. Hasil pembelajaran, mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an serta
dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam. Lembaga pendidikan yang
digunakan berupa Rumah (Dar Al Arqom), Kuttab. Tujuan pendidikan untuk
melahirkan umat yang tulus dan kukuhterhadap pelaksanaan ajaran Islam
sebagaimana yang dijarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Materi yang diajarkan adalah
al Qur’an, akidah ibadah, syariah dan akhlak, pelajaran berenang, menungggang
kuda, pepatah-pepatah dan syair-syair yang baik, dan Al-Qur’an dan tafsirnya,
hadits dan pengumpulanya, dan fiqih (tasyri’). Metode pembelajaran yang
digunakan adalah sorogan dan halaqoh, ceramah dan hafalan. Hasil pembelajaran
yang diharapkan adalah kemampuan seseorang dalam menguasai bahan ajar dilihat
dari kemampuannya untuk mengemukakan, mengajarkan, dan mengamalkan ajaran
Islam. Lembaga yang digunakan beruapa kuttab, masjid, al Suffah, dan rumah. Tujuan
pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang unggul secara seimbang
dalam ilmu agama dan ilmu umum serta mampu menerapkan bagi kemajuan wilayah
Islam. Materi yang diajarkan berupa ilmu-ilmu agama, ilmu sejarah dan geografi,
ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan bidang bahasa. Metode pembelajaran yang
digunakan adalah hafalan, ceramah, sorogan atau mandiri dan halaqoh. Hasil
pembelajaran untuk mendapatkan gelar tertentu dibidang keahliannya yang
seanjutnya memiliki otoritas atau kepercayaan untuk mengajarkan ilmunya kepada
yang lain. Lembaga pendidikan yang digunakan berupa rumah, kuttab, masjid,
istanah, badiah, perpustakaan, Al Bima ristan.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus,
Mahmud. 1986. Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Hirdakarya Agung.
Syalabi,Ahmad.1978.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Asrohan,
Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
No comments:
Post a Comment