1

loading...

Tuesday, May 21, 2019

Makalah Qawa’id Fiqhiyyah “Al-Masyaqqatu Tajlib al-Tasyir"


Makalah Qawa’id Fiqhiyyah “Al-Masyaqqatu Tajlib al-Tasyir"

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.[1]
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 .
Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi (istilah) kaidah  punya  beberapa   arti,  menurut Dr. Ahmad Asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.




BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Pengertian Qa'idah
Masyaqqah (kesukaran) secara etimologi berarti keletíhan (al-juhd), kepayahan (al-ina') dan kesempitan (al-syiddah). Sementara, jalb al-syai' berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.  Makna yang terbentuk dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ía menjadi penyebab syar'i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat melaksanakan aturan- aturan hukum dari berbagai sisinya.
Arti dari qa'idah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan Maksudnya, suatu hukum yang menyandung kesulitan dalam pelaksanaannya atau berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallalaf maka harus diringankan sehingga tidak menyulitkan dan membahayakan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah rukhsah.[2]
Menurut penelitian al-Syatibi, rukshah itu terjadi karena kemampuan seorang mukallaf yang terbatas. Dan kesulitan yang dialami seorang mukallaf bisa muncul karena tidak terpenuhinya kebutuhan al-hajad (sekunder).
Berkaitan dengan ibadah, masyaqqah dapat diklasifikasi menjadi dua bagian. Pertama, masyaggah yang umumnya melekat pada ibadah, yaitu ibadah yang dilakukan seseorang terkadang menjadi penyebab munculnya kesulitan. Misalnya kesulitan rasa kedinginan akibat melaksanakan wudhu' dan mandi wajib, kesulitan karena melaksanakan puasa di siang hari yang panjang dan panas, kesulitan dalam perjalanan haji dan jihad, kesulitan dan kesakitan karena menjalani hukuman (had), kesulitan dan kesakitan karena menjalani hukuman rajam bagi pezina. Kesulitan-kesulitan seperti ini walaupun dirasakan sangat berat, tapi tetap tidak bisa menyebabkan keringanan, dan tidak bisa menghilangkan kewajiban ibadah. Kedua, kesulitan yang, berada di luar ibaclah atau yang tidak disebabkan a melaksanakan ibadah. Kesulitan yang seperti ini sekali justru mengakibatkan seseorang merasa berat untuk melaksanakan ibadah secara sempurna. Misalnya sakit yang teriadi pada kaki, menyebabkan seseorang merasa berat melakukan shalat dengan berdiri.
Oleh sebab itu, kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf adalah :
1.      Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2.      Ada rasa takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan kepentingan kemasyarakatan. Karena aktifitas tersebut dalam Islam termasuk dalam kategori amal saleh yang bernilai sebagai ibadah.
B.     Dasar Hukum Qa'idah
Menurut al-Syatibi, qa'idah tentang menghilangkan kesulitan dan keringanan ini sebagaimana tersebut di atas sudah mencapai tingkat qath'i, karena dalil-dalil yang mendasari sebagai landasan berpijaknya sangat kokoh dan sempurna.
1.       Al-Qur'an:
a.       Surat al-Baqarah ayat 185:

“……Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu……."

b.      Surat al-Baqarah ayat 286:
“……Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”


c.       Surat al-Hajj ayat 78:
 $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym
“….. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…….”

Kriteria Kesukaran
Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan kemudahan syar'i maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum dan fatwa. Beberapa pendapat para ulama mengenai macam dan jenis kesukaran di antaranya: [3]
1.      Al-Izz bin Abdussalam dalam karyanya Qawa'id al-Ahkam ia menyebutkan bahwa kesukaran itu ada dua macam: pertama, kesukaran yang tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya. Misalnya kesukaran pada waktu berwudhu' dan mandi karena air yang sifatnya dingin, kesukaran puasa karena udara siang yang panas dan waktunya yang panjang, kesukaran perjalanan yang tidak dapat terlepas dari niat menunaikan ibadah haji, jihad secara umum, dan penerapan sanksi dan berbagai bentuk tindak pidana. Kedua, kesukaran secara umum yang dapat terlepas dari ibadah, yaitu kondisi umum ketika ibadah dapat dilakukan tanpa disertai factor kesukaran tersebut.
Selanjutnya, jenis kesukaran itu ada tiga bentuk, yaitu a) kesukaran yang menimbulkan bencana dan kesukaran besar, b) kesukaran ringan dan c) kesukaran yang terletak ditengah-tengah antara dua kesukaran di atas yang berbeda-beda dari segi ringan dan beratnya kesukaran tersebut
2.      Menurut imam al-Syathibi, kriteria kesukaran yang menimbulkan efek keringanan hukum adalah kesukaran yang terdiri dari dua bentuk, yaitu kesukaran yang mampu dipikul dan kesukaran yang tidak mampu dipikul.
3.      Bagi kalangan ulama Syi'ah, kesukaran yang mendatangkan kemudahan itu adalah kesukaran yang diwaspadai oleh orang-orang yang berpikiran sehat (al-ugala), biasa mereka jauhi dan tidak mereka kerjakan sebagai implementasi prinsip baik dan buruk menurut akal (at-tahsin wa at- taqbih al-‘aqliyyin) yang mereka pegang.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Azis Muhammad Azzam menyimpulkan bahwa secara umum, kesukaran itu ada dua macam:
1.      Kesukaran yang menurut kebiasaan yang berlaku di antara manusia mampu mereka tanggung dan mereka kerjakan
2.      Kesukaran yang menurut kebiasaan manusia di luar batas kemampuan mereka sehingga ia tidak ditanggung kecuali dengan mengerahkan kemampuan tertinggi (maksimal), atau tidak mungkin terus menerus dilaksanakan kecuali dengan hilangnya jiwa, harta atau ketidak berdayaan mutlak dalam pelaksanaannya.
Para ulama membagi masyaqqah dari segi berat ringannya kesulitan itu menjadi tiga tingkatan :
1.      A-Masyaqqah al- Azhimah (kesulitan yang sangat berat), dari dua bentuk, yaitu kesukaran yang mampu dipikul dan seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqgah semacam ini membawa keringanan.
2.      Al-Masyaggah al-Muthawasithah (kesulitan yang pertengahan), tidak sangat berat dan juga tidak sangat ringan). Masyaqgah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqgah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqgah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ.
3.      Al-Masyaggah al-Khafifah, (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sa'i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan  mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqgah yang ringan ini.
Sebab-sebab timbulnya keringanan
Berdasarkan penelitian para ulama terhadap nash, ada tujuh sebab yang dapat menimbulkan keringanan:[4]
a.       Bepergian
Karena bepergian, maka dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan. Dan dibolehkan mengqoshor sholat yang empat rakaat, dan gugurnya kewajiban sholat Jumat, jamaah dan dibolehkan tayamum.
b.      Sakit
Karena sakit, dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, Dibolehkan pula tayamum, sholat dengan duduk, dan memperoleh sesuatu yang haram untuk pengobatan
c.       Paksaan
Karen paksaan, orang (yang dipaksa), boleh mengucapkan kata kufur (kafir), dibolehkan juga meninggalkan kewajiban, merusak harta orang alin, memakan bangkai dan minum khamar (jenis minuman keras)
d.      Lupa
Karena lupa, orang yang melakukan dosa dihapuskan dosanya. Puasanya orang yang makan dan minum di siang bulan Ramadhan karena lupa, tidak batal. Binatang sembelihan orang yang lupa membaca basmallah Bismillahir rohmanir rohim) karena lupa ketika menyembelih binatang itu, tidak haram.
e.       Tidak tahu
Karena tidak tahu, diperbolehkan mengembalikan benda yang telah dibeli bagi orang yang telah membelinya dengan tidak mengetahui cacatnya. Dibolehkan juga menggugurkan (fasakh) pernikahan bagi orang yang telah melakukan pernikahan dengan tidak mengetahui cacat pernikahan itu. Diampuni pertentangan dalam pengakuan nasab karena tidak tahu. Begitu juga diampuni pertentangan bagi ahli waris, penerima wasiat, dan pemeliharaan wakaf karena tidak tahu.
f.       Umumul Balwa (gangguan yang sudah umum)
Karena 'umumul balwa, diampuni percikan najis dari tanah di jalan-jalan raya (jalan umum) dan tempat-tempat lain yang sulit dilakukan penghindaran dari percikan sejenis. Dan diampuni penipuan yang minimal yang minimal dalam penukaran
g.      Kekurangan
Di antara cabangnya yaitu: melenyapkan beban wajib dari orang yang ketiadaan kecakapan, seperti anak kecil dan orang gila. Dan dihapus sebagian kewajiban atas para budak dan kaum wanita. Karena itu tidak wajib atas mereka shalat Jumat, shalat berjamaah dan jihad (Berperang).

Macam-macam Keringanan (Takhfif)
      Keringanan-keringanan yang diakui di dalam syara’ tujuh macam:[5]
1.      Takhif isqath, yakni keringanan yang berupa pengguguran. Misalnya gugurnya kewajiban shalat jum'at, menunaikan ibdah haji, jihad dan lain sebagainya disebabkan adanya udzur.
2.      Takhfif tanqish, yaitu suatu keringanan yang berupa pengurangan. Misalnya mengqashar shalat empat raka 'at menjadi dua raka'at disebabkan dalam keadaan bepergian.
3.      Takhfif ibdal, yaitu keringanan yang berupa penggantian. Misalnya wudhu' atau mandi dapat diganti dengan tayamum, dikarenakan sakit atau tidak memperoleh air.
4.      Takhfif taqdim, yakni keringanan yang berupa mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya. Minsalnya menjama' (taqdlim) shalat 'ashar dengan shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur atau shalat 'isya' dengan shalat maghrib pada waktu shalat maghrib dan mendahulukan membayar zakat sebelum datang tahun wajib zakat.
5.      Takhfif ta 'khir, yakni keringanan yang berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktunya. Misalnya menjama' (ta'khir) shalat zhuhur dengan 'ashar pada waktu shalat 'ashar atau shalat maghrib dengan shalat isya, pada waktu shalat isya' dan mengakhirkan puasa Ramadhan di hari-hari selain bulan Ramadhan bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya pada bulan berperang) ebut karena suatu udzur, sakit, bepergian atau yang
lain.
6.      Takhfif tarqish, yakni keringanan yang berupa pemberian kemurahan. Misalnya makan binatang yang diharamkan atau barang najis untuk menolak kelaparan atau keperluan berobat.
7.      Takhfif taghyir, yakni keringanan yang berupa perubahan sesuatu yang telah diatur menurut aturan tertentu. Misalnya berubahnya aturan-aturan sembahyang bagi orang yang dalam keadaan ketakutan terhadap sesuatu malapetaka yang bakal mengancamnya.

Macam-macam Hukum Rukhsah (keringanan)
Ditinjau dari segi hukum pelaksanaannya, rukhsah itu ada 5 macam :
1.       Rukhsah yang harus dikerjakan. Misalnya memakan binatang yang tidak disembelih menurut syari'at bagi orang yang dalam keadaan mengkhawatirkan jiwanya adanya darurat atau kebutuhan thajat. dan membuka puasa bagi orang yang takut terganggu sekali kesehatannya lantaran saking lapar dan hausnya, sekalipun ia dalam keadaan sehat atau tidak dalam bepergian.
2.      Sunnat untuk dikerjakan. Misalnya mengqashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan, tidak puasa bagi orang yang mengalami kesulitan pada waktu bepergian atau dalam keadaan sakit.
3.      Mubah untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Misalnya jual beli dengan sistem salam, yakni jual beli dengan pembayaran lebih dahulu sedang barangnya dikirim kemudian menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.
4.      Lebih utama untuk ditinggalkan. Misalnya menjama' kedua shalat, berbuka puasa bagi orang yang tidak mengalami kesukaran sedikitpun dan bertayamum bagi orang yang memperoleh air secara membeli dengan harga mahal, sekalipun ia mampu membelinya.
5.      Makruh untuk dikerjakan. Misalnya menggashar shalat dalam bepergian yang jauh perjalanannya kurang dari 3 marhalah (+/-84km)
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum rukshah ada dua:

Pertama, rukhshah itu membolehkan larangan ketika adanya darurat atau kebutuhan (hajad).
Firman Allah, surat an-Nahl ayat 106
“…… kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)……..”

Surat al-Baqarah ayat 173:

“…….Maka siapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kebolehan atas orang-orang mukallaf meninggalkan wajib ketika terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Jadi bagi siapa sakit, atau mengadakan perjalanan di siang hari bulan Ramadhan, maka baginya boleh berbuka (tidak berpuasa).

Firman Allah, surat al-Baqarah ayat 184:

“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Membenarkan sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat umum tentang jadi dan sahnya akad, tetapi hal itu berlaku bagi hubungan (muamalah) manusia, dan menjadi sebagian dari kebutuhan mereka. Seperti akad jual-beli pesanan (salam); sebenarnya akad salam ini adalah menjual benda yang tiada (ma' dum) di waktu akad, tetapi hal itu telah menjadi kebiasaan ('urf) manusia dan termasuk di antara kebutuhannya. Hadits Rasulullah Saw:

Kedua, menghapus (nasakh) hukum-hukum yang oleh Allah Swt telah diangkat dari mereka. Sedangkan hukum-hukum itu adalah termasuk beban-beban yang berat atas umat umat terdahulu.
Sedangkan menurut ulama Hanafiah, rukhsah dibagi kepada dua bagian, yaitu: rukhsah tarfih (keringanan yang dan rukhsah isqath (keringanan yang menggugurkan) tereka membedakan bahwa rukhsah tarfih masih mendapat
ketetapan hukum azimah dan dalilnyapun masih tetap berlaku tapi dibolehkan meninggalkan, sebagai keringanan dan menyenangkan mukallaf. Misalnya orang yang dipaksa mengucapkan kata kafir, atau merusak harta orang lain, atau berbuka di siang bulan Ramadhan. Mereka berpendapat bahwa nash yang diringankan itu tidak berarti menggugurkan keharaman mengucapkan kata kafir dari orang yang dipaksa itu, tetapi orang tersebut dikecualikan dari murka Allah dan dari siksa-Nya.
Adapun rukhsah isqath, hukum azimah itu tidak berlaku lagi, bahkan keadaan yang menuntut adanya keringanan (rukhsah) menggugurkan hukum  azimah, dan menjadikan hukum yang berlaku padanya adalah hukum rukhsah. Contohnya membolehkan memakan bangkai dan minuman arak (khamar) ketika lapar dan haus, dan mengqashar shalat dalam perjalanan. Jadi orang yang terpaksa memakan bangkai atau meminum khamar berada keharaman bangkai dan khamar itu telah gugur daripadanya dalam keadaan terpaksa. Seandainya orang tersebut tidak minum dan tidak makan, maka dia berdosa. Demikian dengan seorang musafir, seandainya ia shalat empat raka'at, maka dua rakaat yang akhir shalat sunnat dan amal karena Allah, bukan termasuk fardhu.
C.   
 Qa'idah-qa'idah Cabang
Adapun qa'idah-qa 'idah cabang dari al-masyaqqah adalah:
1.                                    “Apabila suatu perkara menjadi sempit
maka hukumnya meluas
."

Qa'idah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dan qafidah "al-masyaqqat tajlib al-taisir"', sebab al-masyaqqał itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka, akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan shaum itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula qaidah kedua: Apabla suatu perkara, menjadi meluas maka hukumya menyempit." Qa'idah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu qa'idah ini digabung kan menjadi satu, yaitu:

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas, dan apabila suatu perkara meluas maka hukumnya menyempit.”

Qa'idah ini juga menunjukkan fleksibelitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan qa'idah di atas adalah qa'idah:  
"Setiap yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada yang sebalikya."
Atau qa'idah: ”Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak boleh lagi) dengan hilangnya halangan tadi."
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan puasa. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan puasa Ramadhan kembali lagi dan ia boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2.      ”Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya."
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu'
3.      "Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan."
Contohnya: pada waktu sedang berpuasa, seorang yang berkumur-kumur tidak akan mungkin terhindar dari rasa air di mulut, atau masih ada sisa-sisa darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.
4.      "Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan."
Qa'idah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan- keriganan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, perjalanan seseorang dengan maksud membegal, merampas harta orang lain, membunuh, mengancam atau mengintimidasi, memerangi kaum muslimin dan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap mereka. Atau perjalanan seorang isteri yang minggat dari rumah karena nusyuz dari suaminya, atau kepergian seseorang yang dikejar-kejar hutang dan harus melunasinya karena sudah jatuh tempo dengan maksud menghindari dari orang yang memberi hutang, padahal ia sanggup untuk melunasinya Atau kepergian seseorang untuk menikmati hiburan yang diharamkan dan maksud-maksud lainnya yang termasuk kategori tindakan maksiat.
Mengenai ketentuan hukum keringanan (rukhshah) dalam perjalanan jenis ini, para ahli hukum Islam terbelah ke dalam dua kelompok besar.
Pendapat pertama, pendapat mayoritas ahli hukum Islam yang terdiri dari kalangan ulama madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi'i, dan ulama-ulama madzhab Hanbali. Mereka berpendapat bahwa perjalanan seorang pelaku maksiat tidak dapat dijadikan faktor untuk menerapkan hukum dispentatif, sebab pemberlakuan hukum dispentatif bertujuan untuk meringankan beban perjalanan dan orang yang bertujuan maksiat tidak masuk dalam kategori ini, Pendapat ini juga menjadi pendapat yang umum di kalangan mayoritas sahabat dan tabi'in. Rukhshah adalah anugerah dari Allah, sehingga ia tidak mungkin diperoleh dengan cara maksiat.
Pendapat kedua, pendapat Imam Abu Hanifah (madzhab Hanafi), Al-Muzani dari madzhab Syafi'i, Al-Auza'i, dan Ats- Tsauri. Mereka berpendapat membolehkan ketetapan hukum dispentatif berupa rukhshsah safar dalam perjalanan maksiat. Mereka menggunakan dalil QS. Al-Baqarah ayat 184 yaitu: "barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." Lafaz perjalanan (safar) ini tidak memberikan batasan (mutlak) sehingga mencakup perjalanan dalam ketatan maupun perjalanan untuk maksiat.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Masyaqqah (kesukaran) secara etimologi berarti keletíhan (al-juhd), kepayahan (al-ina') dan kesempitan (al-syiddah). Sementara, jalb al-syai' berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.  Makna yang terbentuk dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ía menjadi penyebab syar'i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat melaksanakan aturan- aturan hukum dari berbagai sisinya.
Oleh sebab itu, kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf adalah :
a.       Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
b.      Ada rasa takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan kepentingan kemasyarakatan. Karena aktifitas tersebut dalam Islam termasuk dalam kategori amal saleh yang bernilai sebagai ibadah.
B.       Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Qa’idah-qaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 337-338
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan, diakses pada 02 Mei 2019
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 58.
Toha andiko. 2011. Ilmu Qawaid Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit teras. h. 90




[1] H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan, diakses pada 02 Mei 2019
[2] Toha andiko. 2011. Ilmu Qawaid Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit teras. h. 90
[3] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009), h. 58.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Qa’idah-qaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 337-338
[

No comments:

Post a Comment