Makalah Qawa’id Fiqhiyyah “Al-Masyaqqatu Tajlib al-Tasyir"
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan
definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam
studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan,
yaitu kaidah dan fiqh.[1]
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau
cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 .
Sedangkan
dalam tinjauan terminologi (istilah) kaidah punya
beberapa arti, menurut Dr. Ahmad Asy-syafi’i dalam buku
Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat
universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum
yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qa'idah
Masyaqqah
(kesukaran) secara etimologi berarti keletíhan (al-juhd), kepayahan (al-ina')
dan kesempitan (al-syiddah). Sementara, jalb al-syai' berarti menggiring dan
mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir
berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak
memberatkan fisik. Makna yang terbentuk
dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu,
maka ía menjadi penyebab syar'i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan
dan menghapus kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat melaksanakan
aturan- aturan hukum dari berbagai sisinya.
Arti
dari qa'idah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan
Maksudnya, suatu hukum yang menyandung kesulitan dalam pelaksanaannya atau
berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa,
ataupun harta seorang mukallalaf maka harus diringankan sehingga tidak
menyulitkan dan membahayakan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal
dengan istilah rukhsah.[2]
Menurut
penelitian al-Syatibi, rukshah itu terjadi karena kemampuan seorang mukallaf
yang terbatas. Dan kesulitan yang dialami seorang mukallaf bisa muncul karena
tidak terpenuhinya kebutuhan al-hajad (sekunder).
Berkaitan
dengan ibadah, masyaqqah dapat diklasifikasi menjadi dua bagian. Pertama,
masyaggah yang umumnya melekat pada ibadah, yaitu ibadah yang dilakukan
seseorang terkadang menjadi penyebab munculnya kesulitan. Misalnya kesulitan
rasa kedinginan akibat melaksanakan wudhu' dan mandi wajib, kesulitan karena
melaksanakan puasa di siang hari yang panjang dan panas, kesulitan dalam
perjalanan haji dan jihad, kesulitan dan kesakitan karena menjalani hukuman
(had), kesulitan dan kesakitan karena menjalani hukuman rajam bagi pezina.
Kesulitan-kesulitan seperti ini walaupun dirasakan sangat berat, tapi tetap
tidak bisa menyebabkan keringanan, dan tidak bisa menghilangkan kewajiban
ibadah. Kedua, kesulitan yang, berada
di luar ibaclah atau yang tidak disebabkan a melaksanakan ibadah. Kesulitan
yang seperti ini sekali justru mengakibatkan seseorang merasa berat untuk melaksanakan
ibadah secara sempurna. Misalnya sakit yang teriadi pada kaki, menyebabkan
seseorang merasa berat melakukan shalat dengan berdiri.
Oleh
sebab itu, kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang
mukallaf adalah :
1. Karena khawatir akan terputusnya ibadah
dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya,
maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan
sosial yang berhubungan dengan kepentingan kemasyarakatan. Karena aktifitas
tersebut dalam Islam termasuk dalam kategori amal saleh yang bernilai sebagai
ibadah.
B.
Dasar Hukum Qa'idah
Menurut
al-Syatibi, qa'idah tentang menghilangkan kesulitan dan keringanan ini
sebagaimana tersebut di atas sudah mencapai tingkat qath'i, karena dalil-dalil
yang mendasari sebagai landasan berpijaknya sangat kokoh dan sempurna.
1. Al-Qur'an:
a. Surat al-Baqarah ayat 185:
“……Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu……."
b. Surat al-Baqarah ayat 286:
“……Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya….”
c. Surat al-Hajj ayat 78:
$tBur
@yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
“….. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan…….”
Kriteria Kesukaran
Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum
bagi dispensasi dan kemudahan syar'i maka ia mempunyai implikasi nyata dalam
penetapan hukum dan fatwa. Beberapa pendapat para ulama mengenai macam dan
jenis kesukaran di antaranya: [3]
1. Al-Izz bin Abdussalam dalam karyanya
Qawa'id al-Ahkam ia menyebutkan bahwa kesukaran itu ada dua macam: pertama,
kesukaran yang tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya. Misalnya kesukaran
pada waktu berwudhu' dan mandi karena air yang sifatnya dingin, kesukaran puasa
karena udara siang yang panas dan waktunya yang panjang, kesukaran perjalanan
yang tidak dapat terlepas dari niat menunaikan ibadah haji, jihad secara umum,
dan penerapan sanksi dan berbagai bentuk tindak pidana. Kedua, kesukaran secara
umum yang dapat terlepas dari ibadah, yaitu kondisi umum ketika ibadah dapat
dilakukan tanpa disertai factor kesukaran tersebut.
Selanjutnya, jenis
kesukaran itu ada tiga bentuk, yaitu a) kesukaran yang menimbulkan bencana dan kesukaran
besar, b) kesukaran ringan dan c) kesukaran yang terletak ditengah-tengah
antara dua kesukaran di atas yang berbeda-beda dari segi ringan dan beratnya
kesukaran tersebut
2.
Menurut
imam al-Syathibi, kriteria kesukaran yang menimbulkan efek keringanan hukum adalah kesukaran yang terdiri dari dua bentuk, yaitu kesukaran yang mampu dipikul dan kesukaran yang tidak mampu dipikul.
3.
Bagi kalangan ulama Syi'ah, kesukaran yang mendatangkan kemudahan itu
adalah kesukaran yang diwaspadai oleh orang-orang yang berpikiran sehat
(al-ugala), biasa mereka jauhi dan tidak mereka kerjakan sebagai implementasi
prinsip baik dan buruk menurut akal (at-tahsin wa at- taqbih al-‘aqliyyin) yang
mereka pegang.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Azis Muhammad Azzam menyimpulkan bahwa
secara umum, kesukaran itu ada dua macam:
1. Kesukaran yang menurut kebiasaan yang
berlaku di antara manusia mampu mereka tanggung dan mereka kerjakan
2. Kesukaran yang menurut kebiasaan manusia
di luar batas kemampuan mereka sehingga ia tidak ditanggung kecuali dengan
mengerahkan kemampuan tertinggi (maksimal), atau tidak mungkin terus menerus
dilaksanakan kecuali dengan hilangnya jiwa, harta atau ketidak berdayaan mutlak
dalam pelaksanaannya.
Para
ulama membagi masyaqqah dari segi
berat ringannya kesulitan itu menjadi tiga tingkatan :
1.
A-Masyaqqah
al- Azhimah (kesulitan yang sangat berat), dari dua bentuk, yaitu kesukaran
yang mampu dipikul dan seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau
anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna.
Masyaqgah semacam ini membawa keringanan.
2.
Al-Masyaggah
al-Muthawasithah (kesulitan yang pertengahan), tidak sangat berat dan juga
tidak sangat ringan). Masyaqgah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila
lebih dekat kepada masyaqgah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ.
Apabila lebih dekat kepada masyaqgah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di
situ.
3.
Al-Masyaggah
al-Khafifah, (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa
capek waktu tawaf dan sa'i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain
sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan
ibadah. Alasannya kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah
tadi lebih utama daripada masyaqgah yang ringan ini.
Sebab-sebab
timbulnya keringanan
Berdasarkan
penelitian para ulama terhadap nash, ada tujuh sebab yang dapat menimbulkan
keringanan:[4]
a. Bepergian
Karena bepergian, maka
dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan. Dan dibolehkan
mengqoshor sholat yang empat rakaat, dan gugurnya kewajiban sholat Jumat,
jamaah dan dibolehkan tayamum.
b. Sakit
Karena sakit, dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, Dibolehkan pula tayamum, sholat dengan duduk, dan memperoleh sesuatu yang haram untuk pengobatan
Karena sakit, dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, Dibolehkan pula tayamum, sholat dengan duduk, dan memperoleh sesuatu yang haram untuk pengobatan
c. Paksaan
Karen paksaan, orang
(yang dipaksa), boleh mengucapkan kata kufur (kafir), dibolehkan juga
meninggalkan kewajiban, merusak harta orang alin, memakan bangkai dan minum
khamar (jenis minuman keras)
d. Lupa
Karena lupa, orang yang
melakukan dosa dihapuskan dosanya. Puasanya orang yang makan dan minum di siang
bulan Ramadhan karena lupa, tidak batal. Binatang sembelihan orang yang lupa
membaca basmallah Bismillahir rohmanir rohim) karena lupa ketika menyembelih
binatang itu, tidak haram.
e. Tidak tahu
Karena tidak tahu,
diperbolehkan mengembalikan benda yang telah dibeli bagi orang yang telah
membelinya dengan tidak mengetahui cacatnya. Dibolehkan juga menggugurkan
(fasakh) pernikahan bagi orang yang telah melakukan pernikahan dengan tidak
mengetahui cacat pernikahan itu. Diampuni pertentangan dalam pengakuan nasab
karena tidak tahu. Begitu juga diampuni pertentangan bagi ahli waris, penerima
wasiat, dan pemeliharaan wakaf karena tidak tahu.
f. Umumul
Balwa (gangguan yang sudah umum)
Karena 'umumul balwa,
diampuni percikan najis dari tanah di jalan-jalan raya (jalan umum) dan
tempat-tempat lain yang sulit dilakukan penghindaran dari percikan sejenis. Dan
diampuni penipuan yang minimal yang minimal dalam penukaran
g. Kekurangan
Di antara cabangnya
yaitu: melenyapkan beban wajib dari orang yang ketiadaan kecakapan, seperti
anak kecil dan orang gila. Dan dihapus sebagian kewajiban atas para budak dan
kaum wanita. Karena itu tidak wajib atas mereka shalat Jumat, shalat berjamaah
dan jihad (Berperang).
Macam-macam Keringanan (Takhfif)
Keringanan-keringanan yang diakui di dalam syara’ tujuh macam:[5]
Keringanan-keringanan yang diakui di dalam syara’ tujuh macam:[5]
1.
Takhif isqath,
yakni keringanan yang berupa pengguguran. Misalnya gugurnya kewajiban shalat jum'at,
menunaikan ibdah haji, jihad dan lain sebagainya disebabkan adanya udzur.
2.
Takhfif tanqish,
yaitu suatu keringanan yang berupa pengurangan. Misalnya mengqashar shalat
empat raka 'at menjadi dua raka'at disebabkan dalam keadaan bepergian.
3. Takhfif
ibdal, yaitu keringanan yang berupa
penggantian. Misalnya wudhu' atau mandi dapat diganti dengan tayamum,
dikarenakan sakit atau tidak memperoleh air.
4. Takhfif
taqdim, yakni keringanan yang berupa mendahulukan
sesuatu yang belum datang waktunya. Minsalnya menjama' (taqdlim) shalat 'ashar
dengan shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur atau shalat 'isya' dengan shalat maghrib
pada waktu shalat maghrib dan mendahulukan membayar zakat sebelum datang tahun
wajib zakat.
5. Takhfif
ta 'khir, yakni keringanan yang berupa pengakhiran
sesuatu yang telah datang waktunya. Misalnya menjama' (ta'khir) shalat zhuhur
dengan 'ashar pada waktu shalat 'ashar atau shalat maghrib dengan shalat isya,
pada waktu shalat isya' dan mengakhirkan puasa Ramadhan di hari-hari selain
bulan Ramadhan bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya pada bulan berperang)
ebut karena suatu udzur, sakit, bepergian atau yang
lain.
lain.
6. Takhfif
tarqish, yakni keringanan yang berupa pemberian
kemurahan. Misalnya makan binatang yang diharamkan atau barang najis untuk
menolak kelaparan atau keperluan berobat.
7. Takhfif
taghyir, yakni keringanan yang berupa perubahan
sesuatu yang telah diatur menurut aturan tertentu. Misalnya berubahnya
aturan-aturan sembahyang bagi orang yang dalam keadaan ketakutan terhadap sesuatu
malapetaka yang bakal mengancamnya.
Macam-macam Hukum Rukhsah (keringanan)
Ditinjau
dari segi hukum pelaksanaannya, rukhsah itu ada 5 macam :
1. Rukhsah yang harus dikerjakan. Misalnya
memakan binatang yang tidak disembelih menurut syari'at bagi orang yang dalam
keadaan mengkhawatirkan jiwanya adanya darurat atau kebutuhan thajat. dan
membuka puasa bagi orang yang takut terganggu sekali kesehatannya lantaran
saking lapar dan hausnya, sekalipun ia dalam keadaan sehat atau tidak dalam
bepergian.
2. Sunnat untuk dikerjakan. Misalnya
mengqashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan, tidak puasa bagi orang yang
mengalami kesulitan pada waktu bepergian atau dalam keadaan sakit.
3. Mubah untuk dikerjakan atau
ditinggalkan. Misalnya jual beli dengan sistem salam, yakni jual beli dengan
pembayaran lebih dahulu sedang barangnya dikirim kemudian menurut perjanjian
yang telah disepakati bersama.
4. Lebih utama untuk ditinggalkan. Misalnya
menjama' kedua shalat, berbuka puasa bagi orang yang tidak mengalami kesukaran
sedikitpun dan bertayamum bagi orang yang memperoleh air secara membeli dengan
harga mahal, sekalipun ia mampu membelinya.
5. Makruh untuk dikerjakan. Misalnya
menggashar shalat dalam bepergian yang jauh perjalanannya kurang dari 3
marhalah (+/-84km)
Menurut
Abdul Wahhab Khallaf, hukum rukshah ada dua:
Pertama,
rukhshah itu membolehkan larangan ketika adanya darurat atau kebutuhan (hajad).
Firman
Allah, surat an-Nahl ayat 106
“…… kecuali orang
yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa)……..”
Surat
al-Baqarah ayat 173:
“…….Maka siapa
dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kebolehan atas orang-orang mukallaf
meninggalkan wajib ketika terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Jadi bagi siapa
sakit, atau mengadakan perjalanan di siang hari bulan Ramadhan, maka baginya
boleh berbuka (tidak berpuasa).
Firman
Allah, surat al-Baqarah ayat 184:
“Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.”
Membenarkan
sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di dalamnya tidak terpenuhi
syarat-syarat umum tentang jadi dan sahnya akad, tetapi hal itu berlaku bagi
hubungan (muamalah) manusia, dan menjadi sebagian dari kebutuhan mereka.
Seperti akad jual-beli pesanan (salam); sebenarnya akad salam ini adalah
menjual benda yang tiada (ma' dum) di waktu akad, tetapi hal itu telah menjadi
kebiasaan ('urf) manusia dan termasuk di antara kebutuhannya. Hadits Rasulullah
Saw:
Sedangkan menurut ulama Hanafiah,
rukhsah dibagi kepada dua bagian, yaitu: rukhsah
tarfih (keringanan yang dan rukhsah
isqath (keringanan yang menggugurkan) tereka membedakan bahwa rukhsah
tarfih masih mendapat
ketetapan hukum azimah dan dalilnyapun masih tetap berlaku tapi dibolehkan meninggalkan, sebagai keringanan dan menyenangkan mukallaf. Misalnya orang yang dipaksa mengucapkan kata kafir, atau merusak harta orang lain, atau berbuka di siang bulan Ramadhan. Mereka berpendapat bahwa nash yang diringankan itu tidak berarti menggugurkan keharaman mengucapkan kata kafir dari orang yang dipaksa itu, tetapi orang tersebut dikecualikan dari murka Allah dan dari siksa-Nya.
ketetapan hukum azimah dan dalilnyapun masih tetap berlaku tapi dibolehkan meninggalkan, sebagai keringanan dan menyenangkan mukallaf. Misalnya orang yang dipaksa mengucapkan kata kafir, atau merusak harta orang lain, atau berbuka di siang bulan Ramadhan. Mereka berpendapat bahwa nash yang diringankan itu tidak berarti menggugurkan keharaman mengucapkan kata kafir dari orang yang dipaksa itu, tetapi orang tersebut dikecualikan dari murka Allah dan dari siksa-Nya.
Adapun rukhsah isqath, hukum azimah itu tidak berlaku lagi, bahkan keadaan
yang menuntut adanya keringanan (rukhsah) menggugurkan hukum azimah, dan menjadikan hukum yang berlaku padanya
adalah hukum rukhsah. Contohnya membolehkan memakan bangkai dan minuman arak (khamar)
ketika lapar dan haus, dan mengqashar shalat dalam perjalanan. Jadi orang yang
terpaksa memakan bangkai atau meminum khamar berada keharaman bangkai dan
khamar itu telah gugur daripadanya dalam keadaan terpaksa. Seandainya orang
tersebut tidak minum dan tidak makan, maka dia berdosa. Demikian dengan seorang
musafir, seandainya ia shalat empat raka'at, maka dua rakaat yang akhir shalat
sunnat dan amal karena Allah, bukan termasuk fardhu.
C.
Qa'idah-qa'idah Cabang
Adapun qa'idah-qa 'idah cabang dari al-masyaqqah adalah:
Qa'idah-qa'idah Cabang
Adapun qa'idah-qa 'idah cabang dari al-masyaqqah adalah:
1. “Apabila suatu
perkara menjadi sempit
maka hukumnya meluas."
maka hukumnya meluas."
Qa'idah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dan qafidah "al-masyaqqat tajlib al-taisir"', sebab al-masyaqqał itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka, akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan shaum itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula qaidah kedua: ”Apabla suatu perkara, menjadi meluas maka hukumya menyempit." Qa'idah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu qa'idah ini digabung kan menjadi satu, yaitu:
“Apabila suatu perkara
menjadi sempit maka hukumnya meluas, dan apabila suatu perkara meluas maka hukumnya
menyempit.”
Qa'idah ini juga menunjukkan fleksibelitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan qa'idah di atas adalah qa'idah:
"Setiap
yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada yang sebalikya."
Atau
qa'idah: ”Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak boleh
lagi) dengan hilangnya halangan tadi."
Contoh
penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan puasa.
Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti. Kewajiban
melaksanakan shalat fardhu dan puasa Ramadhan kembali lagi dan ia boleh lagi
melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2. ”Apabila yang
asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya."
Contohnya: tayamum
sebagai pengganti wudhu'
3. "Apa yang
tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan."
Contohnya: pada waktu
sedang berpuasa, seorang yang berkumur-kumur tidak akan mungkin terhindar dari
rasa air di mulut, atau masih ada sisa-sisa darah pada pakaian yang sulit
dibersihkan dengan cucian.
4. "Keringanan
itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan."
Qa'idah ini digunakan
untuk menjaga agar keringanan- keriganan di dalam hukum tidak disalahgunakan
untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan
tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi
atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, perjalanan seseorang
dengan maksud membegal, merampas harta orang lain, membunuh, mengancam atau
mengintimidasi, memerangi kaum muslimin dan melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap mereka. Atau perjalanan seorang isteri yang minggat dari rumah karena nusyuz dari suaminya, atau kepergian
seseorang yang dikejar-kejar hutang dan harus melunasinya karena sudah jatuh
tempo dengan maksud menghindari dari orang yang memberi hutang, padahal ia
sanggup untuk melunasinya Atau kepergian seseorang untuk menikmati hiburan yang
diharamkan dan maksud-maksud lainnya yang termasuk kategori tindakan maksiat.
Mengenai
ketentuan hukum keringanan (rukhshah) dalam perjalanan jenis ini, para ahli
hukum Islam terbelah ke dalam dua kelompok besar.
Pendapat pertama,
pendapat mayoritas ahli hukum Islam yang terdiri dari kalangan ulama madzhab
Maliki, ulama madzhab Syafi'i, dan ulama-ulama madzhab Hanbali. Mereka berpendapat
bahwa perjalanan seorang pelaku maksiat tidak dapat dijadikan faktor untuk
menerapkan hukum dispentatif, sebab pemberlakuan hukum dispentatif bertujuan
untuk meringankan beban perjalanan dan orang yang bertujuan maksiat tidak masuk
dalam kategori ini, Pendapat ini juga menjadi pendapat yang umum di kalangan
mayoritas sahabat dan tabi'in. Rukhshah adalah anugerah dari Allah, sehingga ia
tidak mungkin diperoleh dengan cara maksiat.
Pendapat kedua,
pendapat Imam Abu Hanifah (madzhab Hanafi), Al-Muzani dari madzhab Syafi'i,
Al-Auza'i, dan Ats- Tsauri. Mereka berpendapat membolehkan ketetapan hukum dispentatif
berupa rukhshsah safar dalam perjalanan maksiat. Mereka menggunakan dalil QS.
Al-Baqarah ayat 184 yaitu: "barang
siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain." Lafaz perjalanan (safar) ini tidak memberikan
batasan (mutlak) sehingga mencakup perjalanan dalam ketatan maupun perjalanan
untuk maksiat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masyaqqah (kesukaran) secara etimologi
berarti keletíhan (al-juhd), kepayahan (al-ina') dan kesempitan (al-syiddah).
Sementara, jalb al-syai' berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu
tempat ke tempat lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu
pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik. Makna yang terbentuk dari makna dasar
tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ía menjadi
penyebab syar'i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus
kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat melaksanakan aturan- aturan
hukum dari berbagai sisinya.
Oleh sebab itu, kesulitan yang dianggap
bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf adalah :
a. Karena khawatir akan terputusnya ibadah
dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya,
maupun kedudukannya.
b. Ada rasa takut akan terkurangi
kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan kepentingan kemasyarakatan.
Karena aktifitas tersebut dalam Islam termasuk dalam kategori amal saleh yang
bernilai sebagai ibadah.
B.
Saran
Penyusun
makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku
referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini,
membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca
makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Qa’idah-qaidah Hukum Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 337-338
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan, diakses pada 02 Mei 2019
Nashr
Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009),
hlm. 58.
Toha andiko. 2011. Ilmu Qawaid
Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit teras. h. 90
[1] H.
Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan, diakses pada 02 Mei 2019
[2] Toha andiko. 2011. Ilmu Qawaid Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit
teras. h. 90
[3] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009),
h. 58.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Qa’idah-qaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 337-338
No comments:
Post a Comment