1

loading...

Thursday, May 9, 2019

MAKALAH USHUL FIKIH "DALALAH"


 MAKALAH USHUL FIKIH

" DALALAH"

 

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam baik dalam Al Qur’an maupun AsSunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa Arab. Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula.Seseorang yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.Suatu teks nash kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu. Mencari illat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasionil. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’Pembicaraan tentang Dalalah inipun merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu. Dalalah atau petunjuk lafadh ini mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama’ Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan pemakalah uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.

B.     Rumusan Masalah
Merunut pada prolog di atas, maka pemakalah akan memberi batasan yang jelas dan tegas mengenai permasalahan yang akan pemakalah tulis. Tema di atas memang begitu menarik untuk dibahas dan juga sangat kompleks tetapi demi pemahaman atas tema bahasan, alangkah arifnya jika pemakalah diperkenankan menawarkan rumusan masalah yang mendasar yaitu:
  1. Apakah definisi dari Dalalah itu?
  2. Apa saja macam-macamnya?
  3. Bagaimana dalalah menurut madzhab-madzhab fiqh?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dalalah

Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum. Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh. Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam namanya Dalalah. Pembahasan Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال). Jadi antara al-dal,  al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama.

B. Dalalah Menurut Dua Imam Mazhab (Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah)

1. Dalalah menurut ulama Hanafiyah
Ø  Dalalah Lafdhiyah

a. Dalalah Ibrotun Nash
Ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yang mudah dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai contoh adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).

Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang paling keji ialah memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut adalah dosa yang menimbulkan
                                               [1]
 siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi.

b. Dalalah nash
Ialah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu peristwa yang tidak disebutkan hukumnya.
Contohnya terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Qs. Al-Isra’: 23-24)
Secara eksplisit ayat tersebut menunjukkan tentang haramnya mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan ”ah” kepada kedua orang tua saja diharamkan maka memukul dan mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan. Dalalah ini dapat difahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan sebuah istinbath.

c. Dalalah isyaratun nash
Ialah petunjuk lafdz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan Dalalah ibrotun nash. Atau dengan bahasa Abu Zahroh, yaitu dengan menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan Dalalah iabrotun nash.
Sebagai contoh  firman Allah SWT yang berbunyi:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya adalah memberi sifat terhadap catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan secara implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat dijadikan Argumentasi (data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.

d. Dalalah iqtidhaun nash
Ialah yang mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz).
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
 Artinya:  Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. (Q.S.Yusuf:82)
Menurut dzahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.
    Ø   Dalalah Gairu Lafdhiyah
Dalalah Ghairu Lafdhiyah adalah dalalah yang bukan lafadh, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh, dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuara”, sesuatu dapat pula memberi petunjuk pada sesuatu. Contohnya “raut muka” seseorang mengandung arti tertentu.
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:

a.  ان يلزم عن مذكور مسكوت عنه
Artinya adalah Lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan, suatu hukum bagi yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu).
Dalam suatu hukum yang tersurat dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadh itu. Contohnya:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga. (Q.S.An-Nisa’:11)
Ibarat nash dari ayat ini adalah ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, nemun dari ungkapan ayat ini, dapat dipahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu, dua pertiga.

b. دلالة حال الساكت الذي كانت وظيفته البيان مطلقا
                             [2]               
Dalalah (petunjuk) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya untuk memberikan penjelasan seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang diberi tugas suntuk melarang sesuatu perbuatan tapi sesuatu saat ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diam nya itu memberi petunjuk atas suatu hukum.
Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal diam ketika melihat perbuatan tersebut. Karena ia bertugas memberikan penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diam nya itu memberikan izin untuk berbuat.

c. اعتبار سكوت الساكت دلالة كالنطق لدفع التغرير
Memandang diam orang diam itu, satu petunjuk, sama dengan tuturannya, untuk menolak penipuan.
Contohnya, seorang wali anak bersikap diam saat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di bawah pertaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya, tidak hanya diam semata.
Namun, karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak mendapat persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang akan merugikan pihak lain. Dalam rangka menghindari kerugian dari pihak lain maka meskipun wali itu hanya diam tetapi sudah sah.

d. دلالة المسكوت على تعيين معدود تعورى حذفة ضرورة طول الكلام بذكره
Dalalah diam terhadap penentuan bilangan yang biasa dibuang (tidak disebut) dalam pembicaraan.
Contoh dalam hal ini biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam bahasa Arab bila seseorang berkata:
ارز وصاع من مائة (seratus dan satu gantang beras).
Dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap seharusnya dijelaskan dengan ucapan: مائة صاع وصاع yang kalau yang kita terjemahkan menjadi:’ seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka menghindarkan panjangnya ucapan.

2. Dalalah menurut ulama Syafi’iyah

a. Dalalah Mantuq
Ialah petunjuk lafadz kepada arti yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Atau apa yang ditunjukkan oleh lafadz tentang apa yang dibicarakan. Syekh Muhammad Al Kkhudlari membagi Dalalah mantuq kepada dua bagian yaitu, mantuq sharih dan ghairi sharih.

 1). Dalalah Manthuk Sharih, yaitu pentunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut misalnya dalam firman Allah Swt :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya : maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah..(QS. 17 : 23)
Lafadz pada ayat diatas, secara tegas menunjukan keharaman berkata kasar kepada kedua orang tua.
2). Dalalah Manthuk Ghoiru Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.
 Arti yang ditunjuki dengan adalah manthuk ghoiru sharih ini dapat berupa :
a) petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau atau keabsahan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. Dalalah-Dalalah semacam ini, menurut ulama hanafiah disebutkan dengan Dalalah iqtidlaun nash. (untuk contohnya periksa pada contoh dari Dalalah iqtidlaun nash).
b) Petunjuk lafadz kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ’ illah (alasan) bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat bukan merupakan illahnya, maka tidak ada gunanya dengan menysbutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya : ” laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri. Potonglah tangan keduanya..” (QS. 5 : 38).
b. Dalalah Mafhum
Dalalah mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi dari faham tersebut tersirat di dalam. Dalalah mafhum terbagi dua macam, yaitu Dalalah mafhum muwafaqah dan Dalalah mafhum mukhalafah.

1) Dalalah Mafhum Muwafaqah
Dalalah mafhum muwafaqah adalah pengertian yang menunjukan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan ’illah hukum ini adalah semata-mata difahami dari segi bahasa dari lafadz tersebut – bukan diambil dengan jalan ijtihad.



2) Dalalah Mafhum Mukhalafah
            Dalalah mafhum mkhalafah adalah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah mafhum mukhalafah ini disebut juga dengan dalilul khitab. Dalam Dalalah mafhum mukhalafah dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu ; mafhum laqob, mafhum hasshr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum ’adad.
a) Mafhum Laqab.
            Mafhum laqab ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda Rasulullah Saw. Artinya : pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.
b) Mafhum Hasr
            Mafhum hasr merupakan hukum sebaliknya dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam suatu nash. Contoh sabda Nabi, artinya: hanya syuf’ah itu terdapat pada suatu (benda tetap) yang belum dibagi.
c) Mafhum Shifat
            Ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz itu, pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafadz tersebut. Contoh firman Allah (an-Nisa: 25)
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
artinya: dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
d) Mafhum Syarat
            Ialah petunjuk lafadz yang menfaedahkan adanya hukum yang dihubugnkan dengan atau syarat supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah (at-Tholaq: 6)
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
artinya: dan jika mereka (para istri yang ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka melahirkan.
e) Mafhum Ghoyah
            Ialah petunjuk lafadz yang menfaedahkan sesuatu hukum samapi dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya. Contoh firman Allah (al-Baqoroh:230)
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
artinya: kemudian jika suami mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.
f) Mafhum ’Adad
            Ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilang tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah (an-Nur : 2)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali.
                                                [4]
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1.      Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.

Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”

Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.

2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
 Contoh ayat:

وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
                                                         [5]
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).

Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.

4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah:
 
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)
Kait dalam masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).

Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).

Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:

إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari berbagai penjabaran di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa jalan yang digunakan oleh Imam Hanafi dalam mengambil petunjuk suatu nash, dibagi menjadi dua cara: yang pertama yaitu menggunakan Dalalah Lafdhiyah yang kemudian dirinci menjadi empat, antara lain: Dalalah ‘Ibarah, Dalalah ‘Isyarat, Dalalatun Nash, dan Dalalatul ‘Iqtidha. Sedangkan cara yang kedua yaitu menggunakan Dalalah Ghairu Lafdhiyah. Itu semua bertujuan untuk memahami makna ataupun kandungan dari ayat Al-Qur’an, kemudian hasil dalalah nash tersebut menjadi dalil hukum yang wajib diamalkan.
Dalam memahami kandungan makna Al Qur’an, Imam Hanafi menggunakan  pengertian-pengertian yang diperoleh melalui-jalan tersebut merupakan “Madlul Nash” (hasil penunjuk nash) dan nash tersebut menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya setiap orang yang dikenakan nash dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash tersebut.
Dan menurut madzhab selain Hanafi (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali) dalalah dibagi dua yaitu mantuq dan mafhum yang masing-masing terbagi dua yakni mantuq sharih dan ghairu sharih serta mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah.

Demikian  makalah  yang berisi tentang pembahasan mengenai Dalalah Menurut Mazdhab Hanafiyah pemakalah sampaikan. Pemakalah yakin di dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan pemakalah dalam memahami dan menelaah. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat pemakalah harapkan. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Wassalam.
  
DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an        DepagRI,2006.

Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.

Rahman, Drs. H. Asymuni A., dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.

Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Yahya, Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka   Firdaus,1986.

Zahrah, Muhamad Abu., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

[1] Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005
[2] Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
[3] Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
[4] Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
[5] Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

No comments:

Post a Comment