MAKALAH USHUL FIKIH
" DALALAH"
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam baik dalam Al Qur’an
maupun AsSunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa Arab. Untuk memahaminya
dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa Arab
dengan baik pula.Seseorang yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum
dari sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa
Arab. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa
itu (dalalahnya). Karena itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar
sekali agar nash atau dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan
sempurna.Suatu teks nash kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang
bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang dipergunakan oleh para mujtahid
untuk memahami petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk
suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam
susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat
dibalik susunan kalimat itu. Mencari illat yang menjadi sebab ditetapkannya
suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada
nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya
menjadi rasionil. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun
Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’Pembicaraan
tentang Dalalah inipun merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni
pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya.
Memang Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu. Dalalah
atau petunjuk lafadh ini mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para
ulama’ Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan
pemakalah uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
B. Rumusan Masalah
Merunut
pada prolog di atas, maka pemakalah akan memberi batasan yang jelas dan tegas
mengenai permasalahan yang akan pemakalah tulis. Tema di atas memang begitu
menarik untuk dibahas dan juga sangat kompleks tetapi demi pemahaman atas tema
bahasan, alangkah arifnya jika pemakalah diperkenankan menawarkan rumusan
masalah yang mendasar yaitu:
- Apakah definisi dari Dalalah itu?
- Apa saja macam-macamnya?
- Bagaimana dalalah menurut madzhab-madzhab fiqh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dalalah
Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang
dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul
yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu
adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut
dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut
dalil hukum. Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut bahasa adalah maksud
tertentu. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah
pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu
lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan
antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh
sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh. Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya al-dal.
dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan
yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka
penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam namanya Dalalah. Pembahasan Dalalah sangat amat
penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya
istidlal (الأستدلال).
Jadi antara al-dal, al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu
tidaklah sama.
B. Dalalah Menurut Dua Imam Mazhab
(Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah)
1. Dalalah menurut ulama Hanafiyah
Ø Dalalah Lafdhiyah
a. Dalalah Ibrotun Nash
Ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami
baik dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu
dalam suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yang
mudah dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai
contoh adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).
Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim
yang paling keji ialah memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan
tersebut adalah dosa yang menimbulkan
siksaan kelak di hari
kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh pemerintah, agar
perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
b. Dalalah
nash
Ialah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang
disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya
oleh suatu lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu
peristwa yang tidak disebutkan hukumnya.
Contohnya
terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Qs. Al-Isra’: 23-24)
Secara eksplisit ayat tersebut menunjukkan tentang haramnya
mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan ”ah” kepada kedua
orang tua saja diharamkan maka memukul dan mencerca serta segala perkataan dan
perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan.
Dalalah ini dapat difahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan sebuah istinbath.
c. Dalalah
isyaratun nash
Ialah petunjuk lafdz kepada arti yang dipahami dengan jalan
mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan Dalalah ibrotun
nash. Atau dengan bahasa Abu Zahroh, yaitu dengan menyimpulkan dari arti yang
dipahami dengan Dalalah iabrotun nash.
Sebagai
contoh firman Allah SWT yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya adalah memberi sifat terhadap catatan dengan
benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang ditulis itu harus benar
dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan secara implisit (isyarat)
dapat dipahami bahwa catatan itu dapat dijadikan Argumentasi (data) bagi orang
yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap apa-apa yang tertera dalam
tulisan tersebut selama tidak didustakan.
d. Dalalah
iqtidhaun nash
Ialah yang mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang
tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan
(lafadz).
Misalnya
firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا
فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
Artinya:
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami
datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”.
(Q.S.Yusuf:82)
Menurut
dzahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin
bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu
memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang
perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat
ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata
“orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam
“kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.
Ø Dalalah Gairu Lafdhiyah
Dalalah Ghairu Lafdhiyah adalah dalalah yang bukan lafadh,
yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh, dan bukan
pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuara”,
sesuatu dapat pula memberi petunjuk pada sesuatu. Contohnya “raut muka”
seseorang mengandung arti tertentu.
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
a.
ان
يلزم عن مذكور مسكوت عنه
Artinya adalah Lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan,
suatu hukum bagi yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu).
Dalam
suatu hukum yang tersurat dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak
tersurat dalam lafadh itu. Contohnya:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga. (Q.S.An-Nisa’:11)
Ibarat nash dari ayat ini adalah ahli waris hanya dua orang
ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak
disebutkan hak ayah, nemun dari ungkapan ayat ini, dapat dipahami bahwa hak
ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu, dua pertiga.
b.
دلالة
حال الساكت الذي كانت وظيفته البيان مطلقا
Dalalah (petunjuk) keadaan diamnya seseorang yang
fungsinya untuk memberikan penjelasan seseorang yang diberi tugas untuk
memberikan penjelasan atas sesuatu namun ia dalam keadaan tertentu diam saja
memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang diberi tugas
suntuk melarang sesuatu perbuatan tapi sesuatu saat ia menyaksikan perbuatan
yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diam nya itu memberi
petunjuk atas suatu hukum.
Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan perbuatan itu.
Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal diam ketika
melihat perbuatan tersebut. Karena ia bertugas memberikan penjelasan atau
melarang perbuatan yang salah. Keadaan diam nya itu memberikan izin untuk
berbuat.
c.
اعتبار
سكوت الساكت دلالة كالنطق لدفع التغرير
Memandang diam orang diam itu, satu petunjuk, sama
dengan tuturannya, untuk menolak penipuan.
Contohnya,
seorang wali anak bersikap diam saat orang yang berada di bawah perwaliannya
melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang
yang berada di bawah pertaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas
diizinkan oleh walinya, tidak hanya diam semata.
Namun, karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau
tidak mendapat persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah
yang akan merugikan pihak lain. Dalam rangka menghindari kerugian dari pihak
lain maka meskipun wali itu hanya diam tetapi sudah sah.
d.
دلالة
المسكوت على تعيين معدود تعورى حذفة ضرورة طول الكلام بذكره
Dalalah diam terhadap penentuan bilangan yang biasa dibuang
(tidak disebut) dalam pembicaraan.
Contoh
dalam hal ini biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam
bahasa Arab bila seseorang berkata:
ارز
وصاع من مائة (seratus
dan satu gantang beras).
Dalam
pemakaian bahasa Arab yang lengkap seharusnya dijelaskan dengan ucapan: مائة صاع وصاع yang kalau yang kita terjemahkan
menjadi:’ seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan 101 gantang.
Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka
menghindarkan panjangnya ucapan.
2. Dalalah menurut ulama Syafi’iyah
a. Dalalah Mantuq
Ialah petunjuk lafadz kepada arti yang disebut oleh lafadz
itu sendiri. Atau apa yang ditunjukkan oleh lafadz tentang apa yang
dibicarakan. Syekh Muhammad Al Kkhudlari membagi Dalalah mantuq kepada dua
bagian yaitu, mantuq sharih dan ghairi sharih.
1). Dalalah Manthuk Sharih, yaitu pentunjuk
lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut misalnya
dalam firman Allah Swt :
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya :
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah..(QS.
17 : 23)
Lafadz
pada ayat diatas, secara tegas menunjukan keharaman berkata kasar kepada kedua
orang tua.
2). Dalalah Manthuk Ghoiru Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.
2). Dalalah Manthuk Ghoiru Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.
Arti yang ditunjuki dengan adalah manthuk
ghoiru sharih ini dapat berupa :
a)
petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab
kebenaran atau atau keabsahan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya.
Dalalah-Dalalah semacam ini, menurut ulama hanafiah disebutkan dengan Dalalah
iqtidlaun nash. (untuk contohnya periksa pada contoh dari Dalalah iqtidlaun
nash).
b)
Petunjuk lafadz kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ’ illah
(alasan) bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat bukan merupakan illahnya,
maka tidak ada gunanya dengan menysbutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya :
” laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri. Potonglah tangan
keduanya..” (QS. 5 : 38).
b. Dalalah Mafhum
Dalalah mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak
disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi dari faham tersebut tersirat di dalam.
Dalalah mafhum terbagi dua macam, yaitu Dalalah mafhum muwafaqah dan Dalalah
mafhum mukhalafah.
1) Dalalah
Mafhum Muwafaqah
Dalalah
mafhum muwafaqah adalah pengertian yang menunjukan lafadz kepada berlakunya
arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang
tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya
terdapat persamaan ’illah hukum ini adalah semata-mata difahami dari segi bahasa
dari lafadz tersebut – bukan diambil dengan jalan ijtihad.
2) Dalalah
Mafhum Mukhalafah
Dalalah mafhum mkhalafah adalah
pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) yang disebutkan dalam nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah
mafhum mukhalafah ini disebut juga dengan dalilul khitab. Dalam Dalalah mafhum
mukhalafah dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu ; mafhum laqob, mafhum
hasshr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum ’adad.
a) Mafhum
Laqab.
Mafhum laqab ialah menetapkan hukum
sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam
suatu nash, sebagai contoh dari sabda Rasulullah Saw. Artinya : pada gandum
dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak
dikenakan kepada selain gandum.
b) Mafhum
Hasr
Mafhum hasr merupakan hukum
sebaliknya dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz
dalam suatu nash. Contoh sabda Nabi, artinya: hanya syuf’ah itu terdapat pada
suatu (benda tetap) yang belum dibagi.
c) Mafhum
Shifat
Ialah petunjuk lafadz yang diberi
sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum
yang disebutkan oleh lafadz itu, pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang
disebutkan oleh lafadz tersebut. Contoh firman Allah (an-Nisa: 25)
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
artinya: dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
artinya: dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
d) Mafhum
Syarat
Ialah petunjuk lafadz yang
menfaedahkan adanya hukum yang dihubugnkan dengan atau syarat supaya dapat
berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak
memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah
(at-Tholaq: 6)
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
artinya:
dan jika mereka (para istri yang ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
mereka nafkah hingga mereka melahirkan.
e) Mafhum
Ghoyah
Ialah petunjuk lafadz yang
menfaedahkan sesuatu hukum samapi dengan batas yang telah ditentukan, apabila
telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya. Contoh
firman Allah (al-Baqoroh:230)
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
artinya:
kemudian jika suami mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.
f) Mafhum
’Adad
Ialah petunjuk lafadz yang
memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilang tertentu
dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu
yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman
Allah (an-Nur : 2)
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
artinya:
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari
keduanya seratus kali.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan
hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah,
pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak
dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para
ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim
alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum
sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah dan ulama
Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan
dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Mafhum
Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini
tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari
firman Allah (al-Isro’: 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a.
Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak
terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b.
Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan,
seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya,
selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d.
Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan
sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan
zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1.
Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum
mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari
padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas
Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu
yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya
persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan,
maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya
adalah:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
{رواه البخارى مسلم}
Artinya:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia
berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya
firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya:
“janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS.
Al Baqarah: 187)
Kait dalam
masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah
menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh
dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh
ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
(QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika
suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum
mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh
ayat:
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya:
“Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai penjabaran di atas, kiranya dapat diambil
kesimpulan bahwa jalan yang digunakan oleh Imam Hanafi dalam mengambil petunjuk
suatu nash, dibagi menjadi dua cara: yang pertama yaitu menggunakan Dalalah
Lafdhiyah yang kemudian dirinci menjadi empat, antara lain: Dalalah ‘Ibarah,
Dalalah ‘Isyarat, Dalalatun Nash, dan Dalalatul ‘Iqtidha. Sedangkan cara
yang kedua yaitu menggunakan Dalalah Ghairu Lafdhiyah. Itu semua bertujuan
untuk memahami makna ataupun kandungan dari ayat Al-Qur’an, kemudian hasil dalalah
nash tersebut menjadi dalil hukum yang wajib diamalkan.
Dalam memahami kandungan makna Al Qur’an, Imam Hanafi
menggunakan pengertian-pengertian yang diperoleh melalui-jalan tersebut
merupakan “Madlul Nash” (hasil penunjuk nash) dan nash tersebut menjadi
dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya setiap orang yang dikenakan nash
dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash tersebut.
Dan menurut madzhab selain Hanafi (Syafi’i, Maliki, dan
Hanbali) dalalah dibagi dua yaitu mantuq dan mafhum yang masing-masing terbagi
dua yakni mantuq sharih dan ghairu sharih serta mafhum muwafaqoh dan mafhum
mukholafah.
Demikian makalah yang berisi tentang pembahasan mengenai
Dalalah Menurut Mazdhab Hanafiyah pemakalah sampaikan. Pemakalah yakin di
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan karena
keterbatasan pemakalah dalam memahami dan menelaah. Untuk itu kritik dan saran
yang konstruktif sangat pemakalah harapkan. Akhirnya semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an DepagRI,2006.
Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
Rahman, Drs. H. Asymuni A., dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.
Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Yahya, Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus,1986.
Zahrah, Muhamad Abu., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
Rahman, Drs. H. Asymuni A., dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.
Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Yahya, Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus,1986.
Zahrah, Muhamad Abu., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
No comments:
Post a Comment