1

loading...

Friday, July 5, 2019

MAKALAH STUDI ISLAM “SUMBER – SUMBER PENDIDIKAN ISLAM"


MAKALAH STUDI ISLAM

“SUMBER – SUMBER PENDIDIKAN ISLAM"

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu dan iman menjadi sumber orisinal pendidikan islam yang sejalan dengan tuntunan kehidupan modern sekarang ini. Jika sistem pendidikan tidak berlandaskan pada iman dan ilmu maka tak akan mampu merealisasikan kebahagiaan hidup manusia dengan sempurna. Iman dan ilmu akan mampu merealisasikan modernisasi yang kita cita-citakan dengan syarat prinsip pendidikan islam menjadi pola panutan dalam kehidupan kita masing-masing.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa sikap dan pandangan kaum muslimin yang paling penting dalam pendidikan islam, adalah pandangan yang bersumberkan pada al-qur’an dan hadist rassulullah saw.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja sumber dan bahan-bahan pendidikan Islam?
2.      Apa saja yang termasuk dasar pendidikan Islam?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sumber dan bahan-bahan pendidikan islam.
2.      Untuk mengetahui dasar pendidikan Islam.

 BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sumber dan Bahan-bahan Pendidikan Islam
Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai akan ditransinternalisakan dalam pendidikan Islam. Sumber yang diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam mengatar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu, disebut dengan dasar ideal pendidikan Islam. Urgensi penentuan sumber di sini untuk:
1.      Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai
2.      Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang didalamnya termasuk materi, metode, media, dan evaluasi.
3.      Menjadi standar dan tolak ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung (1980’35) sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, kata-kata sahabat(madzhab), tradisi atau adat kebiasaan (‘uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam sumber pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hirearkis, yaitu:
1.         Al-qur’an
Secara etimologi Al-qur’an berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan, atau qur’anan, yang berarti mwngumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (adh-dhammu) huruf-huruf secara kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur.
Al-qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Tuhan. Allah menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satu pun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan Al-qur’an. Allah berfirman dalam Al-qur’an Surah Al-An’am ayat 38 yang memberikan isyarat bahwa pendidikan Islam cukup digali dari sumber autenteik Islam, yaitu Al-qur’an.
Nilai esensi dalam Al-qur’anselamanya abdi dan selalu relevan pada setiap zaman, tanpa ada perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional. Pendidikan Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Al-qur’an, tanpa sedikit pun menghindarinya, karena Al-qur’an diantaranya memuat tentang sejarah pendidikan Islam dan nilai-nilai normatif dalam pendidikan Islam.[1]
a.       Sejarah Pendidikan Islam
Sumber utama ajaran Islam (Al-qur’an) mengandung cukup banyak nilai-nilai kesejarahan, yang langsung atau tidak langsung mengandung makna yang besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan utama. Seperti kisah beberapa nabi yang disebut di dalamnya dapat dijadikan suri tauladan bagi peseta didik dalam mengaruhngi kehidupannya.
Kegunaan yang bersifat umum, sejarah pendidikan Islam yaitu sebagai faktor keteladanan. Hal ini sejalan dengan makna yang tersurat dalam firman Allah.[2]

قَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS 33 : 21)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 3:31)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya:
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS 7:158)[3]

Berpedoman pada tiga ayat di atas, maka umat Islam dapat meneladani proses pendidikan Islam semenjak zaman kerasulan Muhammad SAW, zaman Khulafa’ur Rasyidin, zaman ulama-ulama besar dan para pemuka gerakan pendidikan Islam.[4]
 
Adapun kisah beberapa nabi yang menjadi suri tauladan antara lain:
1.        Kisah Nabi Adam a.s sebagaimana manusia pertama, yang merintis proses pengajaran (ta’lim) pada anak cucunya, seperti pengajaran tentang asma’(nama-nama) benda dalam QS. Al-Baqarah ayat 30-31.
2.        Penyebutan nama-nama sama artinya dengan penelusuran terminologi, dan terminologi ekuivalen dnegan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting dari akal budi manusia. Melalui sebuah asma’ seringkali seseorang mengetahui apa dan siapa yang diberi asma’ itu. Asma’ menunjukkan identitas dan eksisnya sesuatu. (Bastaman 1995 : 3)
3.        Kisah Nabi Nuh a.s yang mampu mendidik dan mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan, tidak membela dengan membabi buta kepada keluarga yang salah; menjadi pemula mengembangkan teknologi perkapalan. Perhatikan Al-qur’an surah Hud (11) : 42 – 43, 25 – 31, 40 – 48, dan Al-Ankabut (29): 14.
4.        Kisah Nabi Shalih a.s yang shaleh, cerdas, dan tubuhnya kuat, mampu memfungsikan batu seperti fungsi hewan unta, mendagunakan teknologi listrik (petir) untuk menghancurkan orang-orang yang durhaka. Perhatikan Al-qur’an surah Hud(11): 61-63, Asy-Syura(26): 41-159, dan Al-A’raf(7): 73-79.
5.        Kisah Nabi Ibrahim a.s yang memiliki kepribadian ketuhanan yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan yang korup; mampu bertahan hidup meskipun dibuang ke hutan belantara; perintis metode induktif dalam mencari Tuhan; mempunyai kekuatan diplomatik yang baik ketika menghadapi penguasa yang zalim (Namrudz); menghancurkan sistem pemberhalaan dalam mengembangkan teknologi AC(air conditioning); memiliki ketaatan dan kesabaran yang tinggi, yakni rela mengorbankan anaknya untuk menjalankan perintah Allah; mampu menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati); dan menjadi bapak agama millah Ibrahim yang hanif bagi seluruh umat manusia, sehinga dibangunkan tempat kiblat yang disebut dengan Ka’bah. Perhatikan Al-qur’an Surah Al-An’am (6): 76-79, Al-Anbiya’ (21): 51-69, Maryam (19): 41-49, As-Shaffat (37): 100-111, Al-Baqarah (2): 260, 126, dan 128, Ali-Imran (3): 96-97.
6.        Kisah Nabi Ismail a.s yang mampu bertahan hidup pada situasi dan kondisi serba sulit, gersang dan tanpa tergantung pada orang lain meskipun kepada ayahnya sendiri; berkepribadian sebagai anak shaleh yang bersedia dikorbankan dalam rangka mencapai keridhaan Allah swt.; dengan kepakan kakinya mucullah air zamzam, sehingga menjadi bapak pemula bagi penggalian tambang air mineral, minyak, emas dan lain-lain. Perhatikan Al-qur’an Surah Ibrahim (14): 37, Al-Baqarah (2): 125-129, As-Shaffat (37): 102.
7.        Kisah Nabi Yusuf a.s yang tetap eksis meskipun dikucilkan atau dibuang oleh yang lain; kuat menghadapi fitnah cinta, ketampanannya tidak menggoyahkan keimanannya untuk melakukan hubungan terlarang, meskipun dengan rayuan para wanita cantik; mampu memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi; dan tidak membalas pada siapapun yang pernah menyakitinya. Perhatikan Al-qur’an Surah Yusuf (12): 1-111.
8.        Kisah Nabi Musa a.s yang berani menentang penguasa yang zalim; bapak kedokteran karena ilmunya bisa menghidupkan (menyembuhkan) orang mati (sakit); memerangi Qarun yang tamak; memberantas penyembahan terhadap hal-hal yang ganjil seperti patung sapi; berguru pada orang yang mengetahui masa depan seperti Nabi Khidir; bapak pemula dalam pengembangan teknologi jembatan, melalui tongkat (beton) yang kokoh. Perhatikan Al-qur’an Surah Al-Baqarah (2): 49-82, Al-Qashash (28): 7-35, Thaha (20): 57-97, Al-Ma’idah (5): 21-26, dan Al-Kahfi (18): 60-82.
9.        Kisah Nabi Isa a.s yang kehidupannya bersejarah, sehingga tercipta tahun masehi; mengembangkan teknologi kedokteran sehingga mampu mengobati yang sakit seperti buta, kista, bahkan menghidupkan (memotivasi) orang yang mati (pesimis); bapak pemula dalam ilmu kedokteran. Perhatikan Al-qur’an Surah Maryam (19): 17-34, Al-Ma’idah (5): 110-114, dan An-Nisa’ (4): 157.
10.    Kisah Nabi Muhammad a.s yang kehadirannya membawa berkah dan rahmat bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam berdagang, dan bisa dipercaya; perilakunya qurani; sikapnya yang tabah dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh dan siksaan; tidak dendam pada orang yang menyakitinya; mampu mengedalikan diri dalam berperang seperti tidak membunuh orangtua, wanita dan anak-anak yang telah menyerah; mampu memperbanyak makanan atau minuman melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih sayang; bapak pemula bagi penjelajah ruang angkasa dalam peristiwa isra’dan mi’raj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan imigrasi untuk menyebarkan agama; tidak pernah mengeluarkan mani (ihtilam); biarpun matanya terpejam, tetapi hatinya tetap terjaga untuk berdzikir kepada Allah.

Demikian juga kisah-kisah orang yang shaleh seperti Luqman Al-Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada nak-anaknya, tidak menyekutukan Allah swt. Namun tetap bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat, berbuat sopan santun pada ibu-bapak, mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang mungkar, selalu bersabar, hidup bersahaja dan tidak menyombongkan diri. Perhatikan Al-qur’an Surah Luqman (31) ayat 12 – 19.[5]

b.        Nilai-Nilai Normatif Pendidikan Islam
Alquran memuat nilai normative yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama (Al-Zuhaili, 1986: 438-439), yaitu sebagai berikut.
1.        I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhirdan takdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
2.        Khuduqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dariperilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3.        Amaliyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah lakusehari-hari, baik yang berhubungan dengan:
a.    Pendidikan ibadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
b.    Pendidikan muamalah, yang memuat hubungan antara manusia, baik secara individual maupun institusional. Bagian ini terdiri atas:
1)   pendidikan syakhshiyyah, seperti perilaku individu, masalah perkawinan, hubungan suami istri, dan keluarga serta kerabat dekat, yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah dan sejahtera;
2)   pendidikan madaniyyah, yang berhubungan dengan perdagangan seperti upah, gadai, kongsi, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengelola harta benda atau hak-hak individu;
3)   pendidikan jana’iyyah, yang berhubungan dengan pidana atas pelanggaran yang dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kelangsungan kehidupan manusia, baik berkaitan dengan harta, kehormatan, maupun hak-hak individu lainnya;
4)   pendidikan marafa’at, yang berhubungan dengan acara, seperti peradilan, saksi, maupun sumpah, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan di antara anggota masyarakat;
5)   Pendidikan dusturiyyah, yang berhubungan dengan undang-undang Negara yang mengatur hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau Negara, yang bertujuan untuk stabilitas bangsa dan Negara;
6)   Pendidikan duwaliyyah, yang berhubungan dengan tata Negara, seperti tata Negara Islam, tata Negara tidak Islam, wilayah perdamaian dan wilayah perang, dan hubungan muslim satu Negara dengan muslim di Negara lain, yang bertujuan untuk perdamaian dunia.
7)   Pendidikan iqtishadiyyah, yang berhubungan dengan perekonomian individu dan Negara, hubungan yang miskin dan yang kaya, yang bertujuan untuk keseimbangan atau pemerataan pendapatan.
Alquran secara normatif juga mengungkap lima aspek pendidikan dan dimensi-dimensi kehidupan manusia, yang meliputi:
1.    Pendidikan menjaga agama(hifzh ad-din), yang mampu menjaga eksistensi agamanya; memahami dan melaksanakanajaran agama secarakonsekuen dan konsisten; mengembangkan, meramaikan, mendakwahkan, dan mensyiarkan agama. Perhatikan Alquran Surah Al-Mumtahanah (60): 12, Al-Baqarah (2): 191, Al-Ma’idah (5): 54, At-Taubah (9): 73, dan Al-Furqon (25): 52.
2.    Pendidikan menjaga jiwa (hifzh an-nafs), yang memenuhi hak dan kelangsungan hidup diri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat, karena perlu diterapkan hukum qishash (pidana Islam) bagi yang melanggarnya, seperti hukuman mati. Perhatikan Alquran Surah Al-Ma’idah (5): 32, An-Nisa (4): 93, Al-Isra (17): 31, Al-An’am (6): 151, Al-Baqarah (2): 178-179.
3.    Pendidikan menjaga akal pikiran (hifzh al-‘aqal), yang menggunakan akal pikirannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hukum-hukumNya; menghindari perbuatan yang merusak akalnya dengan minum khamaratau zat adiktif, yang karenanya diberlakukan had (sanksi) seperti cambuk. Perhatikan Alquran Surah Al-Ma’idah (5): 90, Yasin (36): 60-62, Al-Qashash (28): 60, Yusuf (12): 109, Yunus (10):16, Al-A’raf (7): 169, Al-Anbiya’ (21): 66-67, Hud (11): 51, Al-Mukminun (7): 80, Ar-Rum (30): 24, 28, Al-Ankabut (29): 34-35, Ali-Imran (3): 65, Al-An;am (6): 32, An-Nahl (16): 2-10, 66-69, Ar-Ra’d (13): 3-4, Al-Baqarah (2): 44, 164, 219.
4.    Pendidikan menjaga keturunan (hifzh an-nasb), yang mampu menjaga dan melestarikan generasi muslim yang tanggung dan berkualitas; menghindari perilaku seks menyimpang, seperti free sex, kumpul kebo, homoseksual, lesbian, sodomi, yang karenanya diundang-undangkan hukum rajam (lempar batu) atau cambuk. Perhatikan Alquran Surah An-Nisa (4): 3-4, 9, 25, An-Nur (24): 2-9, Al-Isra’ (17): 32, Al-Ahzab (33): 49, Ath-Thalaq (65): 1-7, Al-Baqarah (12): 221-237.
5.    Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan (hifzh al mal wa al-‘irdh), yang mampu mempertahankan hidup melalui pencarian tezeki yang halal; menjaga kehormatan diri dari pencurian, penipuan, perampokan, pencekalan, riba, dan kezaliman. Perhatikan Alquran Surah An-Nur (24): 19-21, 27-29, Al-Hujarat (49): 11-12, Al-Ma’idah (5): 38-39, An-Nisa (4): 29-32, Ali Imran (3): 130, Al-Baqarah (2): 188, 275-284.[6]

2.         As-Sunnah
As-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (ath-thariqah al-maslukah), baiik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya, ataupun selain dari itu. (Zuhdi, 1978: 13-14). Yang termasuk selain itu (perkataan, perbuatan, dan ketetapannya) adalah sifat-sifat, keadaan , dan cita-cita (himmah)Nabi yang belum tercapai. Misalnya sifat-sifat baik beliau, silsilah (nasab), nama-nama dan tahun-tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para ahli sejarah, dan cita-cita beliau.
Robert L. Gullick dalam Muhammad the Education menyatakan, “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besarserta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang”. Dari sudut pragmatis, seseorang yangt mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran diantara para pendidik (Rahmat, 1991:113). Kutipan itu diambil dari ensiklopedia yang melukiskan Nabi Muhammad sebagai seorang nabi, pemimpin, militer, negarawan, dan pendidik umat manusia.
Corak pendidikan Islam yang diturunkan dari sunnah Nabi Muhammad adalah sebagai berikut.
a.       Disampaikan sebagai rahmat lil alamin (rahmat bagi semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesiesmanusia, tetapi juga pada makhluk biotic dan abiotik lainnya. (QS. Al-Anbiya’ (21): 107-108).
b.      Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba’ (34): 28)
c.       Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. Al-Baqarah (2): 119) dan terpelihara antusiasnya. (QS Al-Hijr (15): 9).
d.      Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan (QS. Asy-Syura (42): 48, Al-Ahzab (33): 45, Al-Fath (48): 8).
e.       Perilaku Nabi tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figur atau suri teladan (QS Al-Ahzab (33): 21), karena perilakunya dijaga oleh Allah. (QS. An-Najm (53): 3-4), sehingga beliau tidak pernah berbuat maksiat.
f.       Dalam masalah teknik operasional dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran diserahkan penuh pada ijtihad umatnya, selama hal itu tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas dan Aisyah: “Antum a’lamubi umuridunyakum” (engkau lebih tahu terhadap urusan duniamu).[7]

3.         Kata-Kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. (Al-Husaiy, 1405: 57). Para sahabat Nabi memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi antara lain:
a.         tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan sunnah Nabi.
b.        kandungan yang khusus dan aktual dari tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri;
c.         unsur kreatif dan kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi terhadap sesuatu yang bersifatspesifik;
d.        praktik amaliah sahabat identik dengan ijima’ (konsesus umum).
Upaya sahabat Nabi dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya, mengumpulkan Alquran dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan masyarakat, dari permurtadan dan memerangi yang membangkang dari pembayaran zakat.
Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin Khathab adalah perannya sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Adapun Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Alquran dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti bagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya. (Al-Zarnuzi, tt: 15).[8]
4.         Kemashlatan Umat/Sosial (Mashalih Al-Mursalah)
Mashalih al-mursalahadalah menetapkan undang-undang, peraturan, dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan kemashlahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemashlahatan dan menolak kemudaratan (Khallaf, tt: 85-86). Mashalih al-mursalahdapat ditetapkan jika ia benar-benar dapat menarik mashlahat dan meolak mudarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum, bukan untuk kepentingan perseorangan, serta tidak bertentangan dengan nash.
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan dimana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan Mashalih al-mursalah paling tidak memiliki tiga criteria, yaitu:
a.         apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya;
b.        kemashlahatan yang diambil merupakan kemashlahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Negara Islam atau di Negara yang penduduknya mayoritas muslim;
c.         keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar Alquran dan As-sunnah. Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan manusia di bumi.[9]

5.         Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Yang dimaksud dengan tradisi/adat (‘uruf) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera (Muhaimin, 2005: 201-202). Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Niali-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri individusejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Apabila nilai-nilai tradisi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya (Suseno, 1991: 86-87).
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat muslim memiliki corak tradisi yang unik, yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara mereka akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam local. Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, Islam local adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bebtuk menutup aurat, apakah dengan memakai celana, kebaya, jubah, atau sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat, yaitu (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Alquran maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudaratan. (Zuhdi, 1990: 124).[10]
6.         Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dari kata jahda yang ebrarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al wus’I wa ath-thaqah (pengerahan kesanggupan dan kekuatan). Sa’idAt-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kea rah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya (Al-Uman, 1981: 18-19). Hasil ijtihad berupa rumusan operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan yang lama secara besar-besaran dan membuang begitu saja apa yang selama ini dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang baik dan mengambil tatanan baru yang lebih baik. Begitu penting upaya ijtihad ini sehingga Rasulullah memberikan apresiasi yang baik terhadap pelakunya, apabila mereka benar melakukannya, baik pada tatanan isi maupun prosedurnay, maka mereka mendapatkan dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan, maka mereka dapat satu pahala, yaitu pahala kesungguhannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Amr ibn Ash).

a.         Al Qabisi
Al qabisi  adalah seorang tokoh ulama ahli hadis dan seorang pendidik yang ahli. para pengamat aliran al qabisi sepakat bahwa dia adalah ulama yang hapal hadis yang terkemuka dalam ilmu ini, dan alim dalam matan-matan dan sanad-sanad al-hadis sehingga dikenal sebagai ulama yang sholeh, takwa dan fira’i.
Kurikulum menurut Mashab al qabisi dan pengaruhnya terdahap mazhab agama  mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di kuttab-kuttab. Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni, maka mengajar anak-anak sebagai tuntutan bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu yang harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti membangun piramida pendidikan (institusi pendidikan).[11]
b.        Ibnu Sina
Syaechur Rais Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina, ahli filsafat terkenal banyak memberikan saham dalam meletakan dasar-dasar pendidikan islam, yang amat berharga sekali dan tidak kecil pengaruhnya terhadap pendidikan Islam dewasa ini. Pandangan Ibnu Sina terhadap pendidikan (sistem) meliputi: pendidikan keterampilan untuk mempersiapakan anak mencari penghidupan dan bahan-bahan kurikulum tingkat awal untuk meningkatkan mutu pendidikan anak.[12]
c.         Imam Al-Gazzaly
Imam Al-Gazzaly hidup pada 450 H atau 1048 M-505 H atau 1111 M. Nama lengkap Al-Gazzaly ialah Abu Hamid Mohammad bin Mohammad Al-Gazzaly. Beliau dilahirkan di kota Thus, Persia pada 450 H. atau 1059 M. Al-Gazzaly mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keamanan dan akhlak, di mana fadhilah (keutamaan) dan taqarrup kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.[13]
Dalam berbagai karyanya al-Ghaazali menyebut empat klarifikasi ilmu yaitu, (1) ilmu-ilmu teoritis dan praktis, (2) ilmu yang dihadirkan dan yang dicapai, (3) ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu intelektual, (4) ilmu fardu a’in (kewajiban setiap orang) dan fardu kifayah (kewajiban masyarkayat).[14]

B.       Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional untuk merealisasikan dasar ideal sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam ada enam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Keenam dasar itu berpusat pada dasar filosofis. (Hasan Langgulung, 1988: 6-7, 12). Penentuan dasar tersebut agaksnya sekuler selain tidak memasukkan dasar religious, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar.
Dalam Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama, semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain, dan bernilai ubudiyah. Oleh karena itu, enam dasar operasional pendidikan yang telah disebutkan perlu ditambahkan dasar ketujuh, yaitu agama.
1.         Dasar Historis
Dasar sosiologis adalah dasar yang berorientasi pada pengtalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik.dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah dalam Alquran Surah Al-Hasyr (59) ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” Misalnya bangsa Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini. Sebab, sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab, juga berfungsi sebagai sumber perekat bangsa.
2.      Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosio-budaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolak ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hamper tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.
3.      Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi financial, menggali, dan mengatur sumber-sumber serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Dikarenakan pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur maka sumber-sumber financial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci, dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan hasil pendidikan. Misalnya, untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik maupun biaya operasionalsekolah, suatulembaga pendidikan mengembangkan sistem rentenir. Boleh jadi usahanya itu secara material berkembang, tetapi secara spiritual tidak akan berkah. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moraldan spiritual peserta didik. Allah berfirman kepada Nabi Dawud. Dalam hadis Qudsi disebutkan: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari makanan syuhbat itu karena sesungguhnya hati orang yang memakan makanan syuhbat itu tertutup dari-Ku.” Pada hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan harta syuhbat (tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan apalagi harta yang haram.
4.      Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dasar inbi juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (‘ammah) dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sedangkan dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancer tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
5.      Dasar Psikologis
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi, dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.
6.      Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang member kemampuan memilih yang terbaik, member arah suatu sitem, mengontrol dan member arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bagi masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan. Sebab, filsafat bagi mereka merupakan induk dari segtala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religious, seperti masyarakat muslim, dasar ini sekedar menjadi bagian dan cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal, yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.
7.      Dasar Religius
Dasar religious adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan Islam. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam. Sebab dengan dasar ini, semua kegiatan pendidikan menjadi bermakna. Kontruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang laim, seperti historis, sosiologis, politik dan administrative, ekonomis, psikologis, dan filosofis. Agama menjadi frame  bagi semua dasar pendidikan Islam.
Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar pendidikan Islam, maka semua tindakan kependidikan dianggap sebagai suatu ibadah. Sebab, ibadah merupakan aktualisasi diri (self-actualization) yang paling ideal dalam pendidikan Islam.
Dalam masalah agama, aktualisasi di sini tidak sama persis dengan apa yang dimaksud dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Aktualisasi di sini memiliki arti realisasi perilaku keagamaan yang pernah dijanjikan di alam arwah antara ruh manusia dan Tuhan. Sedangkan menurut teori Maslow, puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, yang mana agama tidak termasuk di dalamnya.  Kebutuhan akan agama tidak dapat dijelaskan dalam kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab agama merupakan perilaku transcendental.
Orang yang shalat misalnya, semata-mata tidak untuk memenuhi kebutuhan biologis, aman, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan transendensi, seperti ikhlas karena-Nya.[15]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Pendidikan Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Al-qur’an, tanpa sedikit pun menghindarinya, karena Al-qur’an diantaranya memuat tentang sejarah pendidikan Islam dan nilai-nilai normatif dalam pendidikan Islam.
2.    As-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (ath-thariqah al-maslukah), baiik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya, ataupun selain dari itu.
3.    Upaya sahabat Nabi dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini.
4.    Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan dimana ia berada, yang disebut Mashalih al-mursalah.
5.    Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat, yaitu (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Alquran maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudaratan.
6.    Tujuan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan yang lama secara besar-besaran dan membuang begitu saja apa yang selama ini dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang baik dan mengambil tatanan baru yang lebih baik.
7.    Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam ada enam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Keenam dasar itu berpusat pada dasar filosofis. Penentuan dasar tersebut agaksnya sekuler selain tidak memasukkan dasar religious, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Umar, Bukhari. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH.
Zuharirni, dkk. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Jumbulati, Ali. Futuh, Abdyul. 1994. Jakarta: PT. RINEKE CIPTA.
Muhammad, Ali. 2013. Jakarta: Rajawali Pers.


[1] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.32-33
[2] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.(Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm.5
[3] JavanLabs, “Qur’an Tafsir” diakses dari, https://tafsirq.com,pada tanggal 27 maret 2019 pukul 01:49
[4]Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.(Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hlm.5-6
[5] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.34-37
[6] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.37-40
[7] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.40-41
[8] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.42-43
[9] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.43-44
[10] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm.44-45
[11] Ali Jumbulati.Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan Pendidikan Islam.(Jakarta: PT. RINEKE CIPTA, 1994), hlm.76
[12] Ali Jumbulati.Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan Pendidikan Islam.(Jakarta: PT. RINEKE CIPTA, 1994), hlm.111
[13] Ali Jumbulati.Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan Pendidikan Islam.(Jakarta: PT. RINEKE CIPTA, 1994), hlm.128
[14] Mohammad Dauh Ali. Pendidikan Agama Islam.(Jakarta: Rajawali Press 2013), hlm.388
[15] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam.(Jakarta: Amzah, 2017), hlm. 46-40

No comments:

Post a Comment