Makalah Ulumul Qur’an”I’jaz Al-Quran”
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, kita sering menilai sesuatu itu
mustahil Karena akal manusia yang terbatas dan terpaku dengan hukum-hukum alam
atau hukum sebab akibat yang telah kita ketahui. Sehingga kita sering menolak
suatu yang tidak sejalan dengan logika atau hukum yang berlaku.
Manusia dengan akal yang dimilikinya tidak mampu
merenungkan ciptaan Allah di muka bumi dan di alam semesta. Mereka tidak
mencoba untuk menyempatkan diri mentadaburi kebesaran tuhan yang terlukis pada
alam semesta. Sehingga Allah mengutus setiap rasul pada kaumnya. Kemudian
bersamaan dengan itu Allah bekali setiap rasul dengan mukjizat sebagai
tandingan terhadap kemampuan di luar kebiasaan yang berkembang ditengah-tengah
kaumnya.
Kemampuan luar biasa atau yang lebih sering dikenal
sebagai mukjizat yang dimiliki oleh setiap rasul untuk menandingi dan
mengalahkan kemampuan luar biasa yang ada di kaum mereka sehingga dengan adanya
itu mereka tidak sanggup melawan dan muncullah perasaan lemah dalam diri mereka
yang pada akhirnya membawa mereka pada keimanan dengan risalah yang dibawa oleh
rasul.
Pembicaraan tentang kemukjizatan al-qur’an merupakan
suatu mukjizat tersendiri, di mana para peneliti tidak bisa mencapai
kesempurnaan dari setiap sisi-sisi kemukjizatannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan dan sebutkan pengertian dan
macam-macam mu’jizat!
2. Apa saja segi-segi kemu’jizatan
Al-qur’an ?
3. Apa yang membuat Bukti Historis kegagalan
menandingi Al-Qur’an ?
4. Apa perbedaan pendapat tentang
aspek-aspek kemu’jizatan Al-qur’an ?
C.
Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian dan
macam-macam mu’jizat al-qur’an
2. Dapat mempelajari segi-segi kemujizatan
Al-Qur’an
3. Dapat mengetahui bukti Historis
kegagalan menandingi Al-Quran
4. Dapat mengetahui perbedaan tentang
aspek-aspek kemu’jizatan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mukjizat Al-Qur’an
Kata
mukjizat berasal dari bahasa arab (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan
tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamakan mu’jiz dan bilah kemampuannya
melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan dinamakan
mukjizat. Tambahan ta’ marbutha pada akhhir kata, mengandung kata mubalagha
(superlatif).[1]
Dilihat
dari sudut kebahasaan menurut al-azarqani kata mukjizat merupakan salah satu
bentuk perubahan dari lafal i’jaz yang bermakna melemahkan. Dan i’jaz al-Qur’an
yang bermakna pengokohan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan
berbagai tantangan untuk menciptakan karya sejenisnya.[2]Dalam
kaitannya dengan fungsi dan kerasulan serta kenabian Muhammad terhadap umatnya,
kemukjizatan al-Qur’an tersebut berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan
fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya.
Muhammad
Saw Melalui al-Qur’an menantang orang-orang Arab membuat hal yang sama, tetapi
mereka tidak sanggup melakukannya. Hal tersebut membuktikan kebenaran al-qur’an
sekaligus meyakinkan mereka dan pengikut Nabi sendiri terhadap kebenaran yang
dibawah oleh Rasulullah Muhammad saw. Tantangan tersebut menunjukkan pula
al-Qur’an sebagai mukjizat, karena mukjizat sendiri adalah sesuatu yang luar
biasa disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Berdasarkan
pada kisah-kisah yang diangkat al-Qur’an, al-Suyuthi membagi mukjizat para Nabi
pada dua kelompok besar, yaitu mukjizat hisiyah (sesuatu yang dapat ditangkap panca
indra), dan mukjizat aqliyah (sesuatu yang hanya dapat ditangkap nalar
manusia). Mukjizat hisiyah diperkenalkan oleh Nabi yang berhadapan umat
terdahulu, seperti Nabi Musa dan Nabi Isa. Sedangkan mukjizat aqliyah
diperkenalkan Nabi Muhammad.Al-Qur’an, karena sifatnya adalah tantangan daya
nalar, maka kemukjizatan tidak berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad.
Al-Qur’an tetap menantang siapa saja yang ingin mencoba menyainginya, termasuk
generassi manusia setelah Rasul, dan bahkan manusia hari ini, hari esok dan
seterusnya sampai hari akhir.
Kemukjizatan
al-Qur’an akan memberikan interpretasi yang berbeda bagi setiap generasi. Ia
juga akan memberikan interpretasi pada setiap pemikiran kehendaknya tanpa
bertentangan dengan hakekat ilmu pengetahuan, ataupun berlainan dengan berbagai
hakikat alam. Ia selalu memberi interpretasi yang baru pada setiap waktu.
Hakikat-hakikat alam juga tidak akan menyalahi apa yang disebut didalam
al-qur’an sedikitpun. Sebab Allah yang menentukan segala sesuatu di alam ini.
Dialah yang menciptakan, Dia pula yang menurunkan firman di dalam al-Qur’an.
B.
Macam-macam
Mu’jizat
Secara
garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat material indrawi yang tidak
kekal dan mukjizat immaterial, logis,dan dapat dibuktikan sepanjang masa.
Muljizat Nabi-Nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat
material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan
dijangkau langsung lewat indra (hissi) oleh masyarakat tempat mereka
menyampaikan Risalahnya seperti halnya :[3]
·
Perahu Nabi Nuh yang
dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan
gelombang yang demikian dahsyat.
·
Tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim a.s dalam kobaran api yang besar.
·
Berubah wujudnya tongkat
Nabi Musa a.s menjadi ular, dan bisa membelah laut dengan tongkatnya.
·
Bisa menyembuhkan orang
yang sakit lepra hanya semata-mata dengan menyentuh-Nya, yang mana dilakukan
oleh Nabi Isa a.s (Atas izin allah) dan lain-lain.
Kesemuanya ini bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada
lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda
dengan mukizat Nabi Muhammad SAW, yang sifatnya bukan indrawi atau material,
tetapi dapat dipahami oleh suatu tempat atau masa tertentu. MukjizaT Al-Qur’an
dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimanapun dan sampai
kapanpun.
C.
Segi-segi
kemu’jizatan Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai daya i’jaz yang
luar biasa dari segala segi. Mulai dari sistematika susunannya dalam mushaf,
sampai pemilihan dan penempatan suatu kata dalam kaliamat, redaksi makna yang
terkandungnya. Semua itu merupakan sesuatu yang luar biasa, di atas kesanggupan
dan nalar manusia.
Segi-segi kemuji’zatan Al-Qur’an yaitu :
1.
Kemukjizatan
Al-Qur’an dari Segi Bahasa
Menghayati keindahan, ketelitian
serta kecermatan pembahasan al-Qur’an tidak mudah, terutama bangsa kita yang
pada umumnya kurang mempunyai apresiasi terhadap sastra Arab.[4]
Tetapi kemukjizatan al-Qur’an justru dari segi kebahasaan, selain isi dan
ilustrasi-ilustrasinya.
Sejarah memperlihatkan bahwa
al-Qur’an diturunkan berdasarkan urutan kejadian dan tidak berdasarkan urutan
ayat atau surah yang terlihat dalam mushaf baku.[19] Bahkan ayat-ayat al-Qur’an
terkadang secara spontanitas menjawab persoalan sulit yang dihadapi oleh Nabi
Muhammad saw.
Namun demikian para ahli bahasa
tetap menilai al-Qur’an memiliki keindahan gaya bahasa yang tidak tertandingi.
Menurut para pakar bahasa bahwa seseorang dinilai berbahasa dengan baik apabila
pesan yang hendak disampaikan tertampung oleh kata atau kalimat yang ingin
dirangkai ﺨﻴﺮﺍﻠﮏﻼﻢ ﻤﺎﻗﻞ ﻭﺪﻞ. Kata yang dipakai tidak asing bagi pendengaran
atau pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta kalimat yang dipakai tidak
bertele-tele.
2.
Keseimbangan
Redaksi al-Qur’an
Keseimbangan
dalam jumlah pemakaian kata antonim; seperti kata al-ayah (kehidupan)
dan al-maut (kematian) masing-masing sebanyak 145 kali. Kata al-harr
dan al-bard masing-masing 4 kali.
Keseimbangan
dalam jumlah pemakaian kata sinonim; kata al-jahr (nyata) dan al-a’laniyah
(nyata), masing-masing sebanyak 16 kali. Kata al-ujub (membanggakan
diri) dengan kata al-gurur (angkuh) masing-masing 17 kali. Kata al-harts
(membajak) dan as-Zira’ah (bertani) masing-masing 14 kali.
Keseimbangan
dalam jumlah bilangan kata yang menunjukan pada akibatnya: al-kafirun
(orang-orang kafir) dan an-nar (neraka/pembakaran) masing-masing
sebanyak 154 kali. Kata as-Zakah (penyucian) dan al-Barakat (kebajikan
yang banyak) masing-masing 32 kali. Kata al-fahisyah (kekejian) dan al-ghadab
(murkah) masing-masing 26 kali.
Keseimbangan
dalam jumlah pemakaian kata dengan penyebabnya; Kata as-salam
(kedamaian) dan ath-thayyibat (kebajikan) masing-masing sebanyak 60
kali. Kata al-asra (tawanan) dan al-harb (perang) masing-masing 6
kali. Kata al-mau’izhah (nasihat) dan al-lisan (lidah)
masing-masing 25 kali
Keseimbangan
lainnya yaitu; kata yaum (dalam bentuk tunggal) sebanyak 365 kali. Sesuai
jumlah hari dalam setahun. Sedangkan kata ayyam (dalam bentuk jamak), yaumin
(dalam bentuk mutsanna) jumlah pemakaian dalam keseluruhan sebanyak 30 kali
sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata syahr (bulan) hanya
terdapat 12 kali, sejumlah bulan dalam setahun.
3.
Kemukjizatan
Dari Segi Isyarat Ilmiah
Lahirnya teori baru membuat sebagian orang terjebak di dalam
mencari kemungkinan kecocokannya dalam ayat, lalu ditakwilkan sesuai dengan
teori ilmiah tersebut. Mereka menginginkan al-Qur’an mengandung segalah teori
ilmiah, sehingga mengaitkannya dengan semua ilmu pengetahuan. Mukjizat ilmiah
al-Qur’an bukanlah terletak pada pencakupan teori-teori ilmiah yang selalu baru
dan berubah, tetapi terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan
akal.
Semua persoalan atau kaidahilmu pengetahuan yang telah
mantap dan meyakinkan itu merupakan manifestasi dari pemikiran valid yang
dianjurkan al-Qur’an, tidak ada pertentangan sedikitpun dengannya. Ilmu
pengetahuan telah maju dan tidak sedikit masalah yang muncul, namun apa yang
telah dianggap paten dan mantap tidak bertentangan sedikitpun dengan
salah satu ayat al-Qur’an.
4.
Kemukjizatan
Al-Qur’an segi Pemberitaan
Al-Qur’an telah memberikan informasi tentang
kejadian-kejadian masa lalu yang tidak mungkin didapatkan dengan jelas tanpa
pemberitaan al-Qur’an. Pemberitaan al-qur’an bertujuan kebenaran dan keagamaan
sehingga dapat meneguhkan keimanan terhadapdan kerasulan.
Penelitian antropologi misalnya sangat terbantu oleh kisah
Nabi Nuh yang menyelamatkan diri dari banjir besar.[24] Nabi Nuh memiliki 4
orang anak yaitu sam (melahirkan keturunan bangsa Arab dan persia), Ham (nenek
moyang orang Afrika), Yafat (asal bangsa Arya yang kemudian melahirkan bangsa
Eropa dan Asia tengah), Kan’an (melahirkan bangsa Pinisia yang dibasmi oleh
Israel). Sebab itu Timur Tengah sering disebut bangsa Smit atau Semit, afrika
disebut Hamit, sedang eropa membangsakan diri sebagai bangsa Arya.
Demikian juga al-Qur’an menyajikan pemberitaan tentang masa
depan yang telah terbukti kemudian dalam perjalanan waktu. Seperti firman Allah
dalam:
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
Golongan itu pasti akan
dikalahkan dan mereka pasti akan mundur ke belakang.
(Q.S. al-Qamar: 45)
Umar bin Khattab r.a bertanya-tanya
tentang pasukan yang di maksud oleh Allah swt. Akan dikalahkan oleh kaum
muslimin, padahal mereka belum memiliki kekuatan karena jumlah mereka masih
sangat sedikit di Makkah waktu itu. Ternyata betul terbukti ketika terjadinya
peristiwa pathu makkah pada tahun 8 .
5. Kemukjizatan
dari segi susunan kalimat
Kendati
Al-Qur’an Qudsi dan hadis Nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, namun uslub
atau susunan bahasanya jauh berbeda. Gaya bahasa Al-Qur’an lebih tinggi
kualitasnya dibandingkan dengan doa lainnya. Al-Qur’an mencul dengan uslub yang
begitu indah dan mengandung nilai-nilai istimewa. Dalam Al-Qur’an banyak
mengandung ayat terdiri tasybih
(penyerupaan) yang diatur dengan bentuk yang mempesona dan bahkan jauh lebih
indah dari apa yang dibuat oleh penyair atau sastrawan.
6. Kemukjizatan
dari segi pengetahuan.
Tujuan
utama Al-Qur’an Al-karim adalah untuk memandu dan memimpin tingkah laku
manusia. Karena itu, Dakwah dan panduan Al-Qur’an muncul dengan berbagai bentuk
dan cara. Al-Qur’an merupakan berita dari berbagai aspek ilmu pengetahuan yang
merupakan penopang kehidupan manusia di muka bumi ini, baik itu ilmu
pengetahuan tentang ibadah,sains,astronomi, matematika dan banyak lainnya.
Kemudian dengan firman Allah :
“
Dan dia lah yang telah menciptakan malam dan siang, dan bulan masing-masing
menunggu pada garis edarnya”
(Q.s
Anbiya :33)
7. Hukum
Ilahi yang sempurna.
Al-Qur’an
menjelaskan pokok-pokok Aqidah, norma-norma keutamaan, sopan santun,
undang-undang ekonomi,politik,social, dan kemasyarakatan, serta hokum-hukum
ibadah. Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan
hukum yakni:
a. Secara
global
Persoalan
ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya diserahkan
kepada Nabi sendiri dan para ulama melalui itjihad.
b. Secara
terperinci
c. Hukum
yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang,
makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.
8. Kemukjizatan
dari empat perkara Ghaib
Seseorang
tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ke depannya. Sebagaimana ulama
mengatakan bahwa sebagia. Salah satu mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita ghaib
. salah satu contohnya adalah fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini
diceritakan dalam surat Yunus (10) ayat 92 :
“
Maka pada hari kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah
dari tanda-tanda kekuasaan kami.”
Pada
ayat itu ditegaskan bahwa badan fir’aun akan diselamatkan tuhan untuk menjadi
pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut
karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19, tepatnya
pada tahun 1896 di lembah raja-raja Luxo Mesi. Seorang ahli purbakala loret
menemukan satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia fir’aun
bernama Muniftah yang pernah mengejar Nabi Musa a.s selain itu pada tanggal 8
juli 1908, Elliot smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut fir’aun tersebut. Apa yang ditemukan satu jasad utuh, seperti
yang diberitakan Al-Qur’an melalui Nabi yang ummy (tidak pandai membaca dan
menulis).
D.
Bukti
Historis kegagalan menandingi Al-Qur’an
Mendatangkan Al-Qur’an secara
keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-isra (17) ayat 88 :
“katakanlah, “ sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalian
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain” (Q.S Al-isra (17):88.[5]
Al-Qur’an secara tegas menantang
semua sastrawan dan orator arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur’an, namun
tidak ada satupun yang sanggup. Meskipun mereka menentang dan memusuhi
Al-Qur’an serta Nabi Muhammad Saw, tetapi sebenarnya mereka mengagumi
ketinggian bahasa dan sastra yang ada pada Al-Qur’an Hal ini terbukti dari hal
berikut :
1. Bukti
Historis kegagalan menandingi Al-Qur’an tersebut dibuktikan oleh fakta sejarah,
yaitu peristiwa yang terjadi pada ibnul Muqaffa, sebagaimana diungkapkan oleh
seorang Orientalis, Wallace Stone, dalam bukunya Muhammad : His life Doctrine.
Kejadian itu terjadi ketika sekelompok orang zindik dan tidak beragama tidak senang
melihat pengaruh Al-Qur’an terhadap masyarakat. Mereka memutuskan untuk
menjawab tantangan-tantangan yang ada dalam Al-Qur'an. Untuk itu, mereka menawarkan kepada Abdullah
Ibnul Muqaffa (wafat 727 M), seorang sastrawan besar dan penulis terkenal, agar
bersedia membuat karya tulis untuk menandingi Al-Qur’an. Ibnul Muqaffa berjanji
akan menyelesaikan tugas itu dalam waktu satu tahun. Sebagaimana impiannya,
mereka harus menanggung semua biaya ibnul Muqaffa selama setahun itu.
Setelah
berjalan setengah tahun, kaum ateis dan zindik mendatangi ibnul muqaffa, mereka
ingin mengetahui sampai sejauh mana hasil yang dicapai sastrawan tersebut dalam
menghadapi tantangan Al-Qur’an. Pada waktu memasuki kamar sastrawan asal Persia
itu, mereka menemukan ibnul muqaffa sedang duduk memegang pena, tenggelam dalam
alam pikirannya. Kertas-kertas tulis bertebaran di lantai dan kamarnya penuh
dengan sobekan-sobekan kertas yang telah ditulisi.
Penulis
ini telah mencurahkan segenap kemampuannya untuk menjawab Al-Qur’an, tapi tidak
berhasil dan menemukan jalan buntu akhirnya, dia mengakui kegagalannya. Rasa
malu menguasai dirinya, sebab lebih dari setengah tahun dia berusaha keras
menulis sebuah karya semisal Al-Qur’an, namun tidak satu ayat pun yang
dihasilkannya. Ibnul Muqaffa akhirnya memutuskan perjanjian dan menyerah kalah.
2. Menurut
riwayat, Al Walid bin AL-Mughurah, tokoh Quraisy pernah berkunjung ke rumah
Rasulullah dan beliau membacakan Al-Qur’an di hadapannya. Ketika hal itu
diketahui Abu Jahal kemudian berkata kepadanya.
“ hai paman, apakah engkau hendak
menghimpun harta kekayaanmu untukmu karena engkau telah mendatangi Muhammad
untuk memperoleh sesuatu daripadanya? Ia menjawab “ sesunggguhnya seluruh suku
Quraisy sudah mengetahui bahwa aku lah yang paling kaya di antara mereka.” Kata
Abu Jahal, “ kalau begitu ucapkanlah sesuatu untuk meyakinkan kaummu, bahwa
engkau mengingkari bacaan Muhammad itu.” Jawab walid, “ aku bingung apa yang
harus kukatakan, Demi Allah, tidak ada yang lebih mengerti dari aku di antara
kalian tentang syi’ir baik rajaznya, qashidanya maupun segalah macam dan segala
syi’ir yang halus dan indah. Demi Allah aku belum pernah mendengar kata-kata
yang seindah itu. Itu bukan syi’ir, bukan sihir dan bukan pula kata-kata tukang
sihir atau tukang ramal seperti yang dikatakan orang selama ini. Sesungguhnya
Al-Qur’an itu ibarat sebuah pohon yang rindang, akarnya terhujam ke tanah,
susunan kata-katanya amat manis dan sangat enak di dengar. Itu bukanlah
kata-kata manusia. Ia sangat tinggi dan tidak ada yang dapat menandinginya.
E.
Perbedaan
pendapat tentang aspek-aspek kemu’jizatan Al-Qur’an.
Para ulama berbeda pendapat dalam
melihat aspek-aspek kemu’jizatan Al-Qur’an Akan
tetapi, secara umum setidaknya terdapat empat aspek kemu’jizatan Al-Qur’an.[6]
1. Aspek
Ash-Sharfah (pemalingan)
Abu
ishak Ibrahim An-Nazzam, ulama ahli kalam berpendapat bahwa kemujizatan
Al-Qur’an terjadi dengan cara ash-sharfah (pemalingan). Menurut An-Nazzam
maksud dari as-sharfah adalah Allah memalingkan perhatian orang-orang Arab dari
menandingi Al-Qur’an. Padahal, sebenarnya mereka mampu untuk menandinginya. Di
sinilah letak kemuljizatan Al-Qur’an menurut An-Nazzam. Senada dengan hal itu,
Al-Murtadha ( dari aliran syi’ah) berpendapat bahwa Allah telah mencabut dari
mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Al-Qur’an agar mereka tidak
mampu membuat yang seperti Al-Qur’an.
2. Aspek
Balaghah (keindahan Bahasa)
Qadi
Abu Bakar Muhammad Ibnu Tayyib Al-Baqalani, dalam kitabnya ijazul AL-Qur’an
dipandang sebagai bahasa yang istimewa, baik dari segi gaya bahasanya, susunan
kata-katanya, maupun ketelitian redaksi yang digunakannya. Keindahan bahasa
Al-Qur’an jauh melebihi keindahan bahasa yang disusun oleh para Sastrawan Arab.
3. Aspek
kandungan isinya
Perihal
aspek kandungan isi Al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu berita tentang hal-hal yang ghaib dan isyarat-isyarat ilmiah.
Perihal berita ghaib, isi kandungan Al-Qur’an
banyak menginformasikan tentang berita ghaib yang terjadi sebelumnya,
yaitu berita tentang orang-oran terdahulu. Juga berita ghaib yang akan terjadi
( sesudah turunnya wahyu), seperti kemenangan yang akan diperoleh tentara
Romawi dalam menghadapi bangsa Persia dalam QS. Ar-rum:1-6, kemurnian Al-Qur’an
yang akan tetap terpelihara dalam QS. AL-Hijr :9, serta berbagai masalah ghaib
lainnya yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit. Selain itu, berita
ghaib yang sedang terjadi di tempat lain, seperti maksud jahat orang-orang
munafik dengan membangun masjid Dhirar dalam QS. At-Taubah : 107
Adapun
perihal isyarat-isyarat ilmiah, isi kandungan Al-Qur’an banyak menginformasikan
tentang permasalahan ilmiah yang mungkin hanya diketahui oleh para ilmuwan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah dibuktikan kebenarannya melalui penemuan di
bidang ilmu pengetahuan alam. Hukum Toricelly yang ditemukan pada abad XVII M
misalnya, menyatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah
tekanan udara yang ada di tempat itu. Sebagaimana dalam QS. Al-An’am : 125.
Selain itu, hukum siang dan malam yang tidak selalu sama lama waktunya.
Terkadang malam lebih panjang daripada siang,dan terkadang terjadi sebaliknya.
Sebagaimana dalam QS. Yunus:6
4. Aspek
kesempurnaan syari’atnya
Syariat
islam menunjukkan bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan bentuk
perundang-undangan manapun yang pernah ada di dunia ini. Selain itu, syariat
islam juga diakui sebagai syariat yang sesuai dengan kebutuhan manusia, karena
berasal dari pencipta manusia itu sendiri. Sedangkan tujuan utamanya untuk
membebaskan manusia dari dunia gelap
gulita menuju dunia yang terang benderang, sebagaimana dalam QS Al-Baqarah :
257
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
I’jaz
menampakan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul sekaligus
menampakkan kelemahan para penantangnya. I’jaz al-Qur’an membuktikan kebenaran
al-Qur’an sekaligus menguatkan keyakinan terhadap kerasulan Muhammad saw.
Memahami
kemukjizatan al-Qur’an dapat ditelusuri dari kepribadian Nabi Muhammad, kondisi
saat turunnya al-Qur’an, dan cara kehadiranya al-Qur’an, dan kemukjizatan
al-Qur’an diantaranya dari segi bahasa, isyarat ilmiah, dan pemberitaan.
Meskipun
mukjizat berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Dari segi agama, sama
sekali tidak dimaksudkan melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang
ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Allah melalui hamba-hamba pilihan-Nya
untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing Nabi.
Bagi yang percaya kepada Nabi, maka ia tidak akan lagi membutuhkan mukjizat.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini saya persembahkan. Tentunnya masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini mengingat keterbatasan sebagai manusia
biasa yang tidak terlepas dari khilaf dan salah. Kritik dan saran dari pembaca
yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi agar
selanjutnya dapat selanjutnya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Mukjizat
Al-Qur’an ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib
(Cet. XIV; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004)
[1] Muhammad Abd al-‘Azim al-Azarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an
(Jilid II; Kairo: Isa al-Bab al-Halaby, t. Th)
Muthahhari Murtadha, Tafsir surat-surat pilihan,( Bandung :
Pustaka Hidayah,2000)
[1] Ash-Shabunie Ali,
Pengantar ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Surabaya : Al-ikhlas, t. Th)
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992)
[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari Aspek
Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Cet. XIV; Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2004), h. 23.
[2] Muhammad Abd al-‘Azim al-Azarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an
(Jilid II; Kairo: Isa al-Bab al-Halaby, t. Th), h. 331.
[6] Ash-Shabunie
Ali,
Pengantar ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Surabaya : Al-ikhlas, t. Th) h. 296
No comments:
Post a Comment