MAKALAH HUKUM HIBAH DAN
WASIAT“KEDUDUKAN
HIBAH DAN WASIAT”
BAB I
PENDAHUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wasiat, hibah
merupakan instrumen penting dalam perancangan harta menurut undang-undang
Islam. Wasiat ialah pemberian harta yang berlaku selepas kematian pewasiat.
Hibah ialah pemberian harta yang berlaku semasa hidup pemberi hibah.
Kedua instrumen
ini digalakkan dalam Islam, di mana sekiranya ia dilakukan dengan betul
dan selaras dengan kehendak syarak maka ia boleh mengelakkan berlaku pertikaian
dan perebutan harta. Melalui wasiat, hibah
juga dapat membantu kaum kerabat yang memerlukan bantuan.
Hibah wasiat termasuk salah satu perbuatan hukum yang sudah lama dikenal sebelum Islam,walaupun pada sebagian periode sejarah ia sempat disalah gunakan untuk berbuat kezaliman.Pada masyarakat Romawi, umpamanya,
wasiat pernah digunakan untuk melegitimasi pengalihan atau pengurangan hak kaum kerabat terhadap sesuatu harta dengan jalan mewasiatkan harta
itu untuk diberikan kepada pihak lain
yang tidak mempunyai
hubungan nasab dengan pihak yang berwasiat. Akibatnya, ahli waris mendapat bagian harta warisan yang amat
kecil, dan bahkan boleh jadi tidak beroleh bagian sama sekali.Dalam masyarakat Arab jahiliah,wasiat juga diberikan
kepada orang "asing" yang tidak
memiliki
hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berwasiat serta mengesampingkan kaum kerabatnya yang miskin
yang amat memerlukan
bantuan.
Sayuti Thalib merumuskan wasiat
sebagai pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak.Sedangkan menurut ulama mazhab
Hanafi, wasiat adalah memberikan milik
yang disandarkan kepada keadaan setelahmati
dengan cara sedekah atau derma. Demikian pulau lama penganutan mazhab Maliki menerangkan,wasiatyaitu
suatu akad perjanjian yang menimbulkan suatu hak dalam memperoleh
sepertiga harta orang yang memberikan janji tersebut yang bisa berlangsung setelah kematiannya.
B.Rumusan Masalah
1. Kedudukan Hibah dan wasiat dalam hukum islam,KHI, dan KUHPerdata
2. Hukum Hibah Dan Wasiat Menurut HI dan KUHPerdata
3. Ketentuan Hibah Dan Wasiat
4. Hikmah Hibah Dan Wasiat
C.Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kedudukan Hibah Dan
Wasiat tersebut
2. Untuk mengetahui hukum hibah dan wasiat tersebut
3. Untuk mengetahui ketentuan-kententuan hibah dan wasiat tersebut
4. Untuk mengetahui hikmah-hikmah Hibah dan Wasiat tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hibah Dan Wasiat
1. Kedudukan hibah dan wasiat dalam hukum Islam
Hibah dalam hukum Islam dipakai untuk memberikan sesuatu kepada orang lain
baik pemberian itu berupa harta, maupun selain dari harta,hibah juga diartikan
pula sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai pertukaran serta tidak ada
sebabnya hibah itu diberikan. Dan dapat pula memiliki arti akad ,pemberian
harta milik dari pemilik harta kepada orang lain yang berakibat hukum
perpindahan hak milik tanpa imbalan apapun, dimana baik pemberian hibah maupun
penerima hibah masih dalam keadaan hidup. Hibah identik dengan sedekah dan
hadiah. Ketiganya memiliki kesamaan sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai
tukar ekonomis. Hibah dan hadiah rata-rata ditunjukan sebagai bentuk
penghargaan dan memuliakan orang yang diberi hadiah.
Wasiat dalam
hukum islam merupakan suatu satu kesatuan yang umumnya tidak dapat dipisahkan
dari hukum waris.wasiat sendiri merupakan hukum di mana seseorang memberikan
suatu pernyataan dari kehendaknya sebelum meninggal untuk dilaksanakan ketika
meninggal.
2. Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KHI
Sebagian ulama menafsirkan batasan hibah sama dengan wasiiatt ridak bolehh
melebihi 1/3 dari harta warisP. Oleh
karena itu lahh, KHI mengatur batasan hibah sama dengan wasiat, yakni maksimal
1/3. pasal 171 huruf ‘g’ kompiilasi hukum iislam (KHI) memberikan pengertian
hibah sebagai pemberian sesuatu secara sukarela dan tanpa imbalan kepada orang
lain yang masih hidup.
wasiat yang diatur oleh KHI dapat berupa orang-perorangan atau lembaga.
3. Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KUHPerdata
Sedangkan didalam
Hukum Posistif, perihal hibah atau hadiah hampir memiliki pengertian yang sama
dan diatur secara jelas didalam KUHPerdata.Didalam Pasal 1666 sd 1693
KUHPerdata diatur persoalan hibah. Pengertian didalam KUHPerdata tersebut,
bahwa hibah adalah persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu
barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan
seseorang yang menerima penyerahan barang itu, penghibahan tersebut adalah bagi
kepentingan para pihak yang masih hidup
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.
Hadits Muslim 3048
Hadits Muslim No.3048 Secara Lengkap
Orangtua
Menarik Kembali Pemberian Kepada Anaknya
Hadits
Nasai 3630
Hadits
Nasai No.3630 Secara Lengkap
Sesuatu yang Diperintahkan untuk Diwasiatkan
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.
Haramnya
Meminta Kembali Sesuatu yang Sedekahkan Atau Dihibahkan
Hadits Muslim 3048
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَا أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ
الَّذِي يَرْجِعُ فِي صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي
قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ و حَدَّثَنَاه أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ
أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ مُحَمَّدَ
بْنَ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ يَذْكُرُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ و
حَدَّثَنِيهِ حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا
حَرْبٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو أَنَّ مُحَمَّدَ ابْنَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ
حَدِيثِهِم
Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya,
seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali
muntahannya. Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Ala
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Mubarak dari Al Auza’i dia berkata, Saya
pernah mendengar Muhammad bin Ali bin Husain menyebutkan dengan sanad, seperti
hadits tersebut. Dan telah menceritakan kepadaku Hajjaj bin Sya’ir telah
menceritakan kepada kami Abdus Shamad telah menceritakan kepada kami Harb telah
menceritakan kepada kami Yahya -yaitu Ibnu Abu Katsir- telah menceritakan
kepadaku Abdurrahman bin Amru bahwa Muhammad bin Fatimah binti Rasulullah telah
menceritakan kepadanya dengan sanad ini, seperti hadits mereka.
Hadits Muslim No.3048 Secara Lengkap
[Telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Musa Ar Razi]
dan [Ishaq bin Ibrahim] keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami [Isa
bin Yunus] telah menceritakan kepada kami [Al Auza’i] dari [Abu Ja’far Muhammad
bin Ali] dari [Ibnu Musayyab] dari [Ibnu Abbas], bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya, seperti
seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali
muntahannya.” Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala] telah
mengabarkan kepada kami [Ibnu Mubarak] dari [Al Auza'i] dia berkata, "Saya
pernah mendengar [Muhammad bin Ali bin Husain] menyebutkan dengan sanad,
seperti hadits tersebut." Dan telah menceritakan kepadaku [Hajjaj bin
Sya'ir] telah menceritakan kepada kami [Abdus Shamad] telah menceritakan kepada
kami [Harb] telah menceritakan kepada kami [Yahya] -yaitu Ibnu Abu Katsir-
telah menceritakan kepadaku [Abdurrahman bin Amru] bahwa [Muhammad bin Fatimah
binti Rasulullah] shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepadanya
dengan sanad ini, seperti hadits mereka.]
Penejelasan
:
‘Athiyyah artinya
pemberian, baik berupa hibah atau hadiah, atau sedekah. Apabila pemberian
diserahkan kepada penerima , maka telah menjadi milik si penerima.
Matsalun, suatu perumpamaan
yang menjelaskan keburukan perbuatan mencabut kembali pemberian.[1]
Orangtua
Menarik Kembali Pemberian Kepada Anaknya
Hadits
Nasai 3630
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي عَدِيٍّ عَنْ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعَانِ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً
ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ
الَّذِي يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ
حَتَّى إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Tidak halal
bagi seseorang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali,
kecuali orang tua atas apa yang ia berikan kepada anaknya. Dan permisalan orang
yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali seperti anjing yg
makan hingga kenyang dan muntah kemudian ia memakan muntahannya kembali.
Hadits
Nasai No.3630 Secara Lengkap
Telah
mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata; telah menceritakan
kepada kami [Ibnu Abu 'Adi] dari [Husain] dari ['Amru bin Syu'aib] berkata;
telah menceritakan kepadaku [Thawus] dari [Ibnu Umar] dan [Ibnu Abbas] mereka
berdua memarfu'kan hadits tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian
kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua atas apa yang ia berikan
kepada anaknya. Dan permisalan orang yang memberi suatu pemberian kemudian
mengambilnya kembali seperti anjing yang makan hingga kenyang dan muntah
kemudian ia memakan muntahannya kembali."]]]
Penejelasan :
Menelan kembali muntah yang telah dikeluarkan merupakan perbuatan
yang buruk dan menjijikkan. Dan perumpamaan dengan memakai anjing yang
merupakan hewan paling rendah dalam keadaannya yang paling rendah pula, hal ini
merupakan gambaran lain yang menambah buruknya perumpamaan. Hal tersebut
merupakan perumpamaan bagi orang yang menarik kembali hibahnya. Gambaran
seperti ini lebih mengena daripada ungkapan, “Jangan lah kalian menarik hibah,
karena menarik kembali hibah haram hukumnya.”Demikianlah menurut pendapat Imam
Syafi’i dan Imam Malik.
Lain halnya dengan kalangan mazhab Hanafi, mereka berpendapat,
bahwa menarik kembali hibah tidak haram melainkan hanya makruh, karena
berdasarkan kepada hadits Abu Daud dan Nasai yang mengatakan, “ Orang yang
memberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya, terkecuali hibah orang tua baik
ayah atau ibu kepada anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu berupa
sesuatu, maka orang tua boleh menarik kembali hibahnya itu sekalipun telah selang
beberapa lama, karena sesungguhnya apa yang ada di tangan anaknya merupakan
milik ayahnya juga.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan dengan sanad
yang berpredikat sahih.[2]
Sesuatu yang Diperintahkan untuk Diwasiatkan
Hadits Abudaud 2478
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ
بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ
شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ
عِنْدَهُ
Tidaklah
hak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang diwasiatkan untuk bermalam selama
dua malam melainkan wasiatnya telah tertulis di sisinya.
Hadits Abudaud No.2478 Secara Lengkap
[[[Telah menceritakan
kepada kami [Musaddad bin Masarhad], telah menceritakan kepada kami [Yahya bin
Sa'id] dari ['Ubaidullah], telah menceritakan kepadaku [Nafi'] dari [Abdullah
bin Umar] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata:
"Tidaklah hak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang diwasiatkan untuk
bermalam selama dua malam melainkan wasiatnya telah tertulis di
sisinya."]]]
Penjelasan :
Pasal ini menerangkan
tentang wasiat, anjuran untuk melakukannya dan peringatan agar jangan berlaku
aniaya dalam wasiat ini. Yaitu hendaknya wasiat tidak lebih dari sepertiga
harta peninggalan, dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris, serta
hukum-hukum lainnya yang menyangkut masalah wasiat.
Wasiat menurut istilah
bahasa ialah menyambungkan, dikatakan demikian karena orang yang berwasiat
berarti menghubungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhiratnya. Sedangkan
menurut istilah syara’ tabarru’ (amal sedekah) dengan barang yang hak
yang dikaitkan kepada pahala sesudah mati. Dahulu wasiat diwajibkan atas kedua
orang tua dan kaum kerabat, yaitu pada masa permulaan Islam. Kemudian hukum
wajibnya dihapus hingga menjadi sunat pada mayoritasnya, terkecuali seseorang
yang mempunyai yang mempunyai kewajiban zakat, atau haji, tau hak Adami tanpa
saksi, maka ia harus mewasiatkan kepada kerabatnya untuk menunaikan hal
tersebut. Wasiat adalah sejenis hibah, tetapi penerimaanya dilakukan sesudah
orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Makna hadits, tidak layak bagi seorang muslim yang
kaya tinggal sekalipun dalam masa yang
sedikit tanpa menuliskan wasiatnya dan membuat saksi untuk wasiatnya itu.
Karena sebaik-baik perkara yang baik ialah harus disegerakan, karena hal itu
akan terlewatkan jika ia mati.[3]
B.
Hukum Hibah Dan
Wasiat
a.
Hibah
Dasar dan ketetapan hibah
adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (penerima hibah) tanpa adanya
pengganti. Dan dasar hukum pemberian hibah terdapat dalam firman Allah Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 177 yang menjelaskan bahwa dalam memberikan harta diberikan
kepada orang yang dicintainya,yakni kerabatnya,anak-anak yatim,orang-orang yang
miskin,musafir(orang yang memerlukan pertolongan,serta orang-orang yang
meminta-minta). Keutamaan hibah terdapat dalam Qur’an Al-Baqarah ayat 195 yang
inti dari pada isinya berisi tentang agar supaya melakukan kebaikan serta harta
yang dimiliki hendaklah diinfakkan kejalan Allah SWT,agar jangan melakukan
kehancuran yang dibuat oleh diri sendiri, karena Allah menyukai orang-orang
yang selalu berbuat kebaikan.
b.
Wasiat
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahwa pada peringkat permulaan
Islam hukum berwasiat adalah wajib yang terdapat dalam Qur’an surah
Al-Baqarah ayat 180.
C. Macam-Macam Hibah Dan Wasiat
a. Hibah
1)
Hibah barang Ialah
memberikan harta atau barang kepadda pihak lain yang mencakup materi dan nilai
manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada
tendensi(harapan) apapun.
2)
Hibah manfaat Ialah
memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang
dihibahkan itu,namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi
hiah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai
saja.hibah manfaat sendiri terdiri dari:
a)
Hibah Muajjalah
b)
Hibah Ariyah
c)
Hibah Al-amri
b.
Wasiat
Wasiat ada dua macam, yaitu:
1)
Wasiat harta benda
2)
Wasiat hak kekuasaan yang akan
dijalankan sesudah ia meniinggal yang
dalam fiqih sering disebut ‘al-isa’ wasiat
dalam bentuk tanggung jawa.
D. Ketentuan Hibah Dan Wasiat
Ketentuan
hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2,
sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena
pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa
mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah
dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari
penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu
pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang
wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada
asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala
dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang
sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung,
memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa
mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama
dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati
atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum
dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus
yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau
memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut
bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika
pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi
kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri
(Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam
yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah
hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena
hukum Islam mengakui hak bebas pilih dan
menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya
(Khiyar Fil-kasab)
Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau
ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak
seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan
ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam
hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat
melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga)
dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu
didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar
zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa
hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap
sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti.
Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich
adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut
campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan
dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat
berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang
Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara
perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak
ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara
perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan
anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini
mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan
akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi
tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan
kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka
tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan
putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh
hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta
diuji dari metode dan teori hukum Islam.
E.
Hikmah Hibah Dan
Wasiat
a)
Hibah
1.
Melunakan hati sesama manusia
2.
Menghilangkan rasa segan dan malu
sesama jiran,kawan,kenalan,dan ahli masyarakat.
3.
Menghilangkan rasa dengki dan
dendam sesama anggota masyarakat.
4.
Menimbulkan rasa hormat.
5.
Menumbuhkan rasa penghargaan dan
baik sangka sesama manusia.
6.
Memudahkan aktiviti saling
menasehati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran.
7.
Dapat membina jejambat
perhubungan degan pihak yang menerima
hibah.
b)
Wasiat
1.
Menunjukkan ungkapa terimakasih
dan balas budi orang yang berwasiiatt kepadaseseorang yang dianggap berjasa
dalam membantu menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan si almarhum
semasa hidupnya.
2.
Menambah kebaikan untuk keluarga
yang meninggal da orang yang meninggal tersebut.
3.
Membesarkan jiwa serta melegakkan
hati orang yang mendapat wasiat sehingga dengan wasiat tersebut seseorag dapat
membebaskan persaannya yang negatif seperti rendah diri, dan lain sebagainya.
4.
Mendukung kelangsungan program
orang yang berwasiat seahingga dapat dilanjutkan dengan baik oleh orang yang
diberi wasiat.
5.
Mewujudkan keterrtiban dan
kedamaian dalam masyarakat karea terwujudnya ketertiban dan kedamaian keluarga.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wasiat, hibah merupakan dua instrumen penting dalam
perancangan harta pusaka. Ketiganya mempunyai kedudukan yang tersendiri di
dalam Islam dari segi hukum dan cara pelaksanaannya. Sekiranya ketiga instrumen
ini diuruskan dengan teratur dan menepati kehendak syarak, maka nasib kaum
kerabat terdekat yang memerlukan bantuan akan terbela. Begitu juga, ketiga instrumen ini boleh digunakan ke atas anak
angkat, anak susuan, bapak angkat, ibu angkat dan sebagainya yang mempunyai
hubungan kasih sayang yang rapat tapi tidak berhak mendapat harta pusaka.
Ketidakfahaman masyarakat mengenai ketiga instrumen ini sering kali timbul
masalah terutama pihak yang memberi wasiat, hibah mengalami kematian. Pertikaian ini berlanjutan sehingga
menyukarkan penyelesaian harta pusaka dibuat. Sebagai umat Islam, kaedah dan
cara-cara pengurusan yang betul mestilah menjadi amalan supaya tidak berlaku
perpecahan dalam keluarga dan masyarakat hanya disebabkan oleh kejahilan
menguruskan harta. Setiap orang ada haknya, jika kita menghormati hak orang
lain maka hak kita juga akan dihormati, malah jika kita saling ridha meridhai
dan bersedekah itu adalah lebih baik.
B.
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi
rekan-rekan atau pembaca berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika
Presindo, 1992.
Indah Purbasari. 2017. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif
Di Indonesia.Malang:Setara Press
Muhammad,
Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia,
Bandung: Citra Aditya,
1990.
Soedewi,SriMasjchoenSofwan,HukumPerdata:HukumBenda,Yogyakarta: Liberty, 2000.
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980. Suma,MuhammadAmin,HukumKeluargaIslamdiDuniaIslam,Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004.
] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.724.
[2] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.724.
[3] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.797.
No comments:
Post a Comment