1

loading...

Friday, September 6, 2019

MAKALAH HUKUM HIBAH DAN WASIAT“KEDUDUKAN HIBAH DAN WASIAT”


MAKALAH HUKUM HIBAH DAN WASIATKEDUDUKAN HIBAH DAN WASIAT



BAB  I
PENDAHUAN
                               
A. Latar  Belakang  Masalah                                                             
Wasiat, hibah merupakan instrumen penting dalam perancangan harta menurut undang-undang Islam. Wasiat ialah pemberian harta yang berlaku selepas kematian pewasiat. Hibah ialah pemberian harta yang berlaku semasa hidup pemberi hibah.   
Kedua  instrumen  ini digalakkan dalam Islam, di mana sekiranya ia dilakukan dengan betul dan selaras dengan kehendak syarak maka ia boleh mengelakkan berlaku pertikaian dan perebutan harta. Melalui wasiat, hibah  juga dapat membantu kaum kerabat yang memerlukan bantuan.
Hibah wasiat termasuk salah satu perbuatan hukum yang sudah lama dikenal sebelum Islam,walaupun pada sebagian periode sejarah ia sempat disalah gunakan untuk berbuat kezaliman.Pada masyarakat Romawi, umpamanya, wasiat pernah digunakan untuk melegitimasi pengalihan atau pengurangan hak kaum kerabat terhadap sesuatu harta dengan jalan mewasiatkan   harta   itu   untuk   diberikan   kepada pihak   lain   yang   tidak mempunyai hubungan nasab dengan pihak yang berwasiat. Akibatnya, ahli waris mendapat bagian harta warisan yang amat kecil, dan bahkan boleh jadi tidak beroleh bagian sama sekali.Dalam masyarakat Arab jahiliah,wasiat juga diberikan kepada orang "asing" yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berwasiat serta mengesampingkan kaum kerabatnya yang miskin yang amat memerlukan bantuan.
Sayuti Thalib merumuskan wasiat sebagai pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak.Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, wasiat adalah memberikan milik yang disandarkan kepada keadaan setelahmati dengan cara sedekah atau derma. Demikian pulau lama penganutan mazhab Maliki menerangkan,wasiatyaitu suatu akad perjanjian yang menimbulkan suatu hak dalam memperoleh sepertiga harta orang yang memberikan janji tersebut yang bisa berlangsung setelah kematiannya. 
B.Rumusan Masalah
1.      Kedudukan Hibah dan wasiat dalam hukum islam,KHI, dan KUHPerdata
2.      Hukum Hibah Dan Wasiat Menurut HI dan KUHPerdata
3.      Ketentuan Hibah Dan Wasiat
4.      Hikmah Hibah Dan Wasiat
C.Tujuan Masalah
1.      Untuk  mengetahui kedudukan Hibah Dan Wasiat tersebut
2.      Untuk mengetahui hukum hibah dan wasiat tersebut
3.      Untuk mengetahui ketentuan-kententuan hibah dan wasiat tersebut
4.      Untuk mengetahui hikmah-hikmah Hibah dan Wasiat tersebut

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Hibah Dan Wasiat
1.      Kedudukan hibah dan wasiat dalam hukum Islam
Hibah dalam hukum Islam dipakai untuk memberikan sesuatu kepada orang lain baik pemberian itu berupa harta, maupun selain dari harta,hibah juga diartikan pula sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai pertukaran serta tidak ada sebabnya hibah itu diberikan. Dan dapat pula memiliki arti akad ,pemberian harta milik dari pemilik harta kepada orang lain yang berakibat hukum perpindahan hak milik tanpa imbalan apapun, dimana baik pemberian hibah maupun penerima hibah masih dalam keadaan hidup. Hibah identik dengan sedekah dan hadiah. Ketiganya memiliki kesamaan sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai tukar ekonomis. Hibah dan hadiah rata-rata ditunjukan sebagai bentuk penghargaan dan memuliakan orang yang diberi hadiah.
Wasiat dalam hukum islam merupakan suatu satu kesatuan yang umumnya tidak dapat dipisahkan dari hukum waris.wasiat sendiri merupakan hukum di mana seseorang memberikan suatu pernyataan dari kehendaknya sebelum meninggal untuk dilaksanakan ketika meninggal.
2.      Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KHI
Sebagian ulama menafsirkan batasan hibah sama dengan wasiiatt ridak bolehh melebihi 1/3 dari  harta warisP. Oleh karena itu lahh, KHI mengatur batasan hibah sama dengan wasiat, yakni maksimal 1/3. pasal 171 huruf ‘g’ kompiilasi hukum iislam (KHI) memberikan pengertian hibah sebagai pemberian sesuatu secara sukarela dan tanpa imbalan kepada orang lain yang masih hidup.
wasiat yang diatur oleh KHI dapat berupa orang-perorangan  atau lembaga.
3.      Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KUHPerdata
     Sedangkan didalam Hukum Posistif, perihal hibah atau hadiah hampir memiliki pengertian yang sama dan diatur secara jelas didalam KUHPerdata.Didalam Pasal 1666 sd 1693 KUHPerdata diatur persoalan hibah. Pengertian didalam KUHPerdata tersebut, bahwa hibah adalah persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu, penghibahan tersebut adalah bagi kepentingan para pihak yang masih hidup
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.


Haramnya Meminta Kembali Sesuatu yang Sedekahkan Atau Dihibahkan

Hadits Muslim 3048

حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَرْجِعُ فِي صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ و حَدَّثَنَاه أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ يَذْكُرُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ و حَدَّثَنِيهِ حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا حَرْبٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو أَنَّ مُحَمَّدَ ابْنَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِهِم
Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya, seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali muntahannya. Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Ala telah mengabarkan kepada kami Ibnu Mubarak dari Al Auza’i dia berkata, Saya pernah mendengar Muhammad bin Ali bin Husain menyebutkan dengan sanad, seperti hadits tersebut. Dan telah menceritakan kepadaku Hajjaj bin Sya’ir telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad telah menceritakan kepada kami Harb telah menceritakan kepada kami Yahya -yaitu Ibnu Abu Katsir- telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Amru bahwa Muhammad bin Fatimah binti Rasulullah telah menceritakan kepadanya dengan sanad ini, seperti hadits mereka.

Hadits Muslim No.3048 Secara Lengkap

[Telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Musa Ar Razi] dan [Ishaq bin Ibrahim] keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami [Isa bin Yunus] telah menceritakan kepada kami [Al Auza’i] dari [Abu Ja’far Muhammad bin Ali] dari [Ibnu Musayyab] dari [Ibnu Abbas], bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya, seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali muntahannya.” Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala] telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Mubarak] dari [Al Auza'i] dia berkata, "Saya pernah mendengar [Muhammad bin Ali bin Husain] menyebutkan dengan sanad, seperti hadits tersebut." Dan telah menceritakan kepadaku [Hajjaj bin Sya'ir] telah menceritakan kepada kami [Abdus Shamad] telah menceritakan kepada kami [Harb] telah menceritakan kepada kami [Yahya] -yaitu Ibnu Abu Katsir- telah menceritakan kepadaku [Abdurrahman bin Amru] bahwa [Muhammad bin Fatimah binti Rasulullah] shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepadanya dengan sanad ini, seperti hadits mereka.]
Penejelasan :
‘Athiyyah artinya pemberian, baik berupa hibah atau hadiah, atau sedekah. Apabila pemberian diserahkan kepada penerima , maka telah menjadi milik si penerima.
            Matsalun, suatu perumpamaan yang menjelaskan keburukan perbuatan mencabut kembali pemberian.[1]

Orangtua Menarik Kembali Pemberian Kepada Anaknya

Hadits Nasai 3630

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعَانِ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ حَتَّى إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua atas apa yang ia berikan kepada anaknya. Dan permisalan orang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali seperti anjing yg makan hingga kenyang dan muntah kemudian ia memakan muntahannya kembali.

Hadits Nasai No.3630 Secara Lengkap

Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata; telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu 'Adi] dari [Husain] dari ['Amru bin Syu'aib] berkata; telah menceritakan kepadaku [Thawus] dari [Ibnu Umar] dan [Ibnu Abbas] mereka berdua memarfu'kan hadits tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua atas apa yang ia berikan kepada anaknya. Dan permisalan orang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali seperti anjing yang makan hingga kenyang dan muntah kemudian ia memakan muntahannya kembali."]]]
Penejelasan :
Menelan kembali muntah yang telah dikeluarkan merupakan perbuatan yang buruk dan menjijikkan. Dan perumpamaan dengan memakai anjing yang merupakan hewan paling rendah dalam keadaannya yang paling rendah pula, hal ini merupakan gambaran lain yang menambah buruknya perumpamaan. Hal tersebut merupakan perumpamaan bagi orang yang menarik kembali hibahnya. Gambaran seperti ini lebih mengena daripada ungkapan, “Jangan lah kalian menarik hibah, karena menarik kembali hibah haram hukumnya.”Demikianlah menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Lain halnya dengan kalangan mazhab Hanafi, mereka berpendapat, bahwa menarik kembali hibah tidak haram melainkan hanya makruh, karena berdasarkan kepada hadits Abu Daud dan Nasai yang mengatakan, “ Orang yang memberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya, terkecuali hibah orang tua baik ayah atau ibu kepada anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu berupa sesuatu, maka orang tua boleh menarik kembali hibahnya itu sekalipun telah selang beberapa lama, karena sesungguhnya apa yang ada di tangan anaknya merupakan milik ayahnya juga.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan dengan sanad yang berpredikat sahih.[2]

Sesuatu yang Diperintahkan untuk Diwasiatkan

Hadits Abudaud 2478
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidaklah hak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang diwasiatkan untuk bermalam selama dua malam melainkan wasiatnya telah tertulis di sisinya.
Hadits Abudaud No.2478 Secara Lengkap
[[[Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin Masarhad], telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari ['Ubaidullah], telah menceritakan kepadaku [Nafi'] dari [Abdullah bin Umar] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata: "Tidaklah hak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang diwasiatkan untuk bermalam selama dua malam melainkan wasiatnya telah tertulis di sisinya."]]]
Penjelasan :
Pasal ini menerangkan tentang wasiat, anjuran untuk melakukannya dan peringatan agar jangan berlaku aniaya dalam wasiat ini. Yaitu hendaknya wasiat tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris, serta hukum-hukum lainnya yang menyangkut masalah wasiat.
Wasiat menurut istilah bahasa ialah menyambungkan, dikatakan demikian karena orang yang berwasiat berarti menghubungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhiratnya. Sedangkan menurut istilah syara’ tabarru’ (amal sedekah) dengan barang yang hak yang dikaitkan kepada pahala sesudah mati. Dahulu wasiat diwajibkan atas kedua orang tua dan kaum kerabat, yaitu pada masa permulaan Islam. Kemudian hukum wajibnya dihapus hingga menjadi sunat pada mayoritasnya, terkecuali seseorang yang mempunyai yang mempunyai kewajiban zakat, atau haji, tau hak Adami tanpa saksi, maka ia harus mewasiatkan kepada kerabatnya untuk menunaikan hal tersebut. Wasiat adalah sejenis hibah, tetapi penerimaanya dilakukan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.
            Makna hadits, tidak layak bagi seorang muslim yang kaya  tinggal sekalipun dalam masa yang sedikit tanpa menuliskan wasiatnya dan membuat saksi untuk wasiatnya itu. Karena sebaik-baik perkara yang baik ialah harus disegerakan, karena hal itu akan terlewatkan jika ia mati.[3]



B.     Hukum Hibah Dan Wasiat
a.       Hibah
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (penerima hibah) tanpa adanya pengganti. Dan dasar hukum pemberian hibah terdapat dalam firman Allah Qur’an surat Al-Baqarah ayat 177 yang menjelaskan bahwa dalam memberikan harta diberikan kepada orang yang dicintainya,yakni kerabatnya,anak-anak yatim,orang-orang yang miskin,musafir(orang yang memerlukan pertolongan,serta orang-orang yang meminta-minta). Keutamaan hibah terdapat dalam Qur’an Al-Baqarah ayat 195 yang inti dari pada isinya berisi tentang agar supaya melakukan kebaikan serta harta yang dimiliki hendaklah diinfakkan kejalan Allah SWT,agar jangan melakukan kehancuran yang dibuat oleh diri sendiri, karena Allah menyukai orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. 

b.      Wasiat
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahwa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib yang terdapat dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 180.
 
C.    Macam-Macam Hibah Dan Wasiat

a.       Hibah

1)      Hibah barang Ialah memberikan harta atau barang kepadda pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi(harapan) apapun.
2)      Hibah manfaat Ialah memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu,namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hiah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaaat itu si penerima  hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja.hibah manfaat sendiri terdiri dari:
a)      Hibah Muajjalah
b)      Hibah Ariyah
c)      Hibah Al-amri      
 
b.      Wasiat

Wasiat ada dua macam, yaitu:

1)      Wasiat harta benda

2)      Wasiat hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meniinggal  yang dalam fiqih sering disebut ‘al-isa’ wasiat dalam bentuk tanggung jawa.

D.    Ketentuan Hibah Dan Wasiat
        Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT.
         Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih  dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab)
           Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.
E.     Hikmah Hibah Dan Wasiat

a)      Hibah

1.      Melunakan hati sesama manusia
2.      Menghilangkan rasa segan dan malu sesama jiran,kawan,kenalan,dan ahli masyarakat.
3.      Menghilangkan rasa dengki dan dendam sesama anggota masyarakat.
4.      Menimbulkan rasa hormat.
5.      Menumbuhkan rasa penghargaan dan baik sangka sesama manusia.
6.      Memudahkan aktiviti saling menasehati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran.
7.      Dapat membina jejambat perhubungan degan pihak  yang menerima hibah.
b)      Wasiat

1.      Menunjukkan ungkapa terimakasih dan balas budi orang yang berwasiiatt kepadaseseorang yang dianggap berjasa dalam membantu menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan si almarhum semasa hidupnya.
2.      Menambah kebaikan untuk keluarga yang meninggal da orang yang meninggal tersebut.
3.      Membesarkan jiwa serta melegakkan hati orang yang mendapat wasiat sehingga dengan wasiat tersebut seseorag dapat membebaskan persaannya yang negatif seperti rendah diri, dan lain sebagainya.
4.      Mendukung kelangsungan program orang yang berwasiat seahingga dapat dilanjutkan dengan baik oleh orang yang diberi wasiat.
5.      Mewujudkan keterrtiban dan kedamaian dalam masyarakat karea terwujudnya ketertiban dan kedamaian keluarga.
 BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Wasiat, hibah  merupakan dua instrumen penting dalam perancangan harta pusaka. Ketiganya mempunyai kedudukan yang tersendiri di dalam Islam dari segi hukum dan cara pelaksanaannya. Sekiranya ketiga instrumen ini diuruskan dengan teratur dan menepati kehendak syarak, maka nasib kaum kerabat terdekat yang memerlukan bantuan akan terbela. Begitu juga, ketiga  instrumen ini boleh digunakan ke atas anak angkat, anak susuan, bapak angkat, ibu angkat dan sebagainya yang mempunyai hubungan kasih sayang yang rapat tapi tidak berhak mendapat harta pusaka. Ketidakfahaman masyarakat mengenai ketiga instrumen ini sering kali timbul masalah terutama pihak yang memberi wasiat, hibah mengalami  kematian. Pertikaian ini berlanjutan sehingga menyukarkan penyelesaian harta pusaka dibuat. Sebagai umat Islam, kaedah dan cara-cara pengurusan yang betul mestilah menjadi amalan supaya tidak berlaku perpecahan dalam keluarga dan masyarakat hanya disebabkan oleh kejahilan menguruskan harta. Setiap orang ada haknya, jika kita menghormati hak orang lain maka hak kita juga akan dihormati, malah jika kita saling ridha meridhai dan bersedekah itu adalah lebih baik.

B.      SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan-rekan atau pembaca berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,  Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia,  Jakarta:  Akademika
Presindo, 1992.
Indah Purbasari. 2017. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di          Indonesia.Malang:Setara Press
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya,
1990.
Soedewi,SriMasjchoenSofwan,HukumPerdata:HukumBenda,Yogyakarta: Liberty, 2000.
Subekti, Pokok-Pokok  Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980. Suma,MuhammadAmin,HukumKeluargaIslamdiDuniaIslam,Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004.
] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.724.
[2] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.724.

[3] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm.797.


No comments:

Post a Comment