MAKALAH ULUMUL HADIS
ILMU HADISDAN CABANG-CABANG ILMU HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah merupakan kesepakatan
kaum mislimin bahwa Al-Hadis merupakan sumber syariat islam kedua setelah
Al-Qur’an. Oleh karna itu mempelajari hadist-hadist Rasulullah ‘alaihi wasallam
merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari Al-Qur’an.
Demi menyempurnakan pengkajian
kita terhadap hadist-hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan memudahkan dalam
menelaah sunnah yang diwariskan oleh beliau, serta mampu memilih antara yang
shahih dan yang dha’if dari hadist dan sunnah tersebut, maka dibutuhkan wasilah
khusus yang bisa merealisasikan hal tersebut, wasilah tersebut adalah ‘Ulumul
Hadis.
‘Ulumul Hadis merupakan ilmu
mulia, barang siapa yang mahir dalam disiplin ilmu ini, maka sungguh telah
mendapatkan kebaikkan yang besar, karena ilmu ini merupakan kunci pokok
mempelajari hadist-hadist Nabi, barang siapa yang mempelajarinya maka akan
banyak berinteraksi dengan sunnah-sunnah Rasulullah, sehinga sangat berpotensi
untuk lebih mengenal sunnah beliau, bahkan tidak menutup kemungkinan akan
terbangun sebuah kemampuan yang luar biasa, yaitu keahlian dalam memilah hadis
shahih dan hadis dhaif. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai urgensi kajian Ulumul Hadis
B. Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan beberapa definisi ilmu
hadis dari beberapa sudut pandang?
2.
Menjelaskan perbedaan hadis dan ilmu hadis ?
3.
Menjelaskan beberapa cabang cabang
ilmu hadis ?
C. Tujuan
1. Untuk
Mengetahui definisi ilmu hadis dari beberapa sudut pandang.
2. Untuk
Mengetahui perbedaan hadis dan ilmu hadis.
3. Untuk
Mengetahui cabang cabang ilmu hadis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Hadits
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadîd yang artinya
sesuatu yang baru - lawan dari al-Qadim (lama) - artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.[1]
Hadis dengan
pengertian khabar sebagaimana tersebut di atas
dapat dilihat pada beberapa ayat al-Quran, seperti QS. al-Thûr (52): 34, QS. al-Kahfi (18): 6, dan QS. al-Dhuhâ (93): 11. Demi kian pula dapat dilihat pada hadis berikut:
dapat dilihat pada beberapa ayat al-Quran, seperti QS. al-Thûr (52): 34, QS. al-Kahfi (18): 6, dan QS. al-Dhuhâ (93): 11. Demi kian pula dapat dilihat pada hadis berikut:
"Hampir-hampir
ada seorang di antara kamu yang akan mengata kan
"ini kitab Allah" apa yang halal di dalamnya kami halalkan dan apa yang
haram di dalamnya kami haramkan. Ketahuilah barang siapa yang
sampai kepadanya suatu hadis dariku kemudian ia mendustakannya,
berarti ia telah mendustakan tiga pihak, yakni Allah,
Rasul, dan orang yang menyampaikan hadis tersebut".
Sedangkan
menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta'rîf) yang
berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadits menurut ahli ushul akan
berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli
hadis, pengertian hadîts ialah:
أقوال النّبيّ صلّى
الله عليه وسلّم وأفعاله وأحواله
"Segala perkataan Nabi,
perbuatan, dan hal ihwalnya."
Yang
dimaksud dengan "hal ihwal" ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[2]
Ada juga yang memberikan pengertian
lain:
ما أضيف إلى النّبيّ
صلّى الله عليه وسلّم قولا أوفعلا أوتقريرا أوصفة
"Sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat beliau"
Sebagian
muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadis di atas
merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai
cakupan pengertian yang lebih luas; tidak terbatas pada apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW (hadîts marfu') saja,
melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para
sahabat (hadîts mauqüf), dan tabi'în
(hadîts maqtû'), sebagaimana disebutkan
oleh Al-Tirmisi:
"Bahwasanya
hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfû',
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW; melainkan
bisa juga untuk sesuatu yang mauqûf, yang disandarkan kepada sahabat; dan yang
maqtu', yaitu yang disandarkan kepada tâbi'în.
Sementara
para ulama ushûl memberikan pengertian hadîts adalah:
"Segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara' dan ketetapannya"
Berdasarkan
pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubung. dengan hukum
atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu
tidak bisa dikatakan hadis. Ini
berarti
bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan
sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadis adalah sesuatu yang
berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai
Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus
berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan,
tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan
sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis. Dengan demikian,
pengertian hadis menurut ahli ushul lebih sempit
dibanding dengan pengertian hadis menurut ahli hadis.
Istilah lain
yang semakna dengan hadis ialah sunnah, khabar, dan atsar, yang akan dijelaskan
kemudian.
B. Perbedaan hadits dan ilmu
hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal ihwal Nabi.
Ilmu Hadits yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan
Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang
menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan terputusnya sanad dan
sebagainya.
Yang
dimaksud Ilmu Hadits, menurut Ulama Mutaqaddimin sebagai berikut:
عِلْمٌ
يَبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ أِتِّصَا لِ الْحَدِ يِثِ بِرَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ أَ حْوَا لِ رُ وَاتِهِ ضَبْطًا
وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ إِتِّصَا لاً وَإِنْقِطَا عًا
وَغَيْرِذَالِكَ[4]
“Ilmu
pengetahuan yag membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis kepada
Rasulullah SAW dari segi hal, ihwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan
dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”
Pada
perkembangan selanjutnya, oleh Ulama Mutaakhirin, Ilmu hadis ini dibagi menjadi
dua, yaitu: (1) Ilmu Hadis riwayah dan (2) Ilmu Hadis Dirayah sebagaimana
akan diuraikan berikut ini:
a.
Ilmu Hadis Riwayah
Yang
dimaksud Ilmu Hadis Riwayah, ialah:
العِلْمُ
الّذِى يَقُوْمُ عَلَى النَقْلِ مَاأُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلِ أَوْتَقْرِيْرٍأَوْصِفَةٍ وَمَا
أُضِيْفَ مِنْ ذَالِكَ إِلَى الصَّحَابَةِ وَالَتَابِعِيْنَ
“Ilmu
pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang berdasarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya”
Ibnu-Akhfani
mengatakan bahwa yang dimaksud ilmu Hadis riwayah adalah:
عِلْمٌ
يَشْتَمِلُ عَلَى نَقْلِ أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ
وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ أَلْفَا ظِهَا
“Ilmu
pengetahuan yang mencakup perkataan Nabi SAW, baik periwayatan, pemeliharan,
maupun penulisannya atau pembukuan lafaz-lafaznya.”
Objek
ilmu hadis Riwayah adalah bagaimana cara menerima dan
menyampaikan kepada orang lain. Dan memindahkan atau mendewankan. Demikian
menurut pendapat al-Syuyuti. Dalam menyampaikan dan membukukan hadis hanya
disebut apa adanya , baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini
tidak membicarakan tentang Syaz (kejanggalan) dan ‘illa (kecacatan)
matan hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membahas kualitas para perawi, baik
keadilan, kedabitan, atau kefasikannya.
Adapun
faedah mempelajari ilmu hadis riwayah adalah untuk
menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi
Muhammad SAW.
b.
Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu
hadis Dirayah. Biasanya juga disebut ilmu mustalah hadis, ilmu ushul al-Hadis,
Ulum al-Hadis dan Qawa’id al-Tahdis. Al-Tirmizi menta’rifkan ilmu ini dengan:
قَوَ
انِيْنُ يَدْ رِى بِهَا أَحْوَالَ مَتْنِ وَسَنَدٍ
“Undang-undang
atau kaedah-kaedah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan
meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.
Ibnu
Khaldun mendefinisikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
عِلْمٌ
يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّ وَايَةِ وَشُرُ وْ طُهَا وَأَنْوَا عُهَا
وَأَحْكَا مُهَا وَحَا لُ الرُّوَةِ وَشُرُوْ طُهُمْ وَأَصْنَا فُ الْمَرْوِيَّا
تِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا[5]
“Ilmu
Pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
persyaratan, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan
dengannya.”
Adapun
yang dimaksud dengan:
-
Hakikat
periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandaran kepada sumber hadis hadis
atau sumber berita.
-
Syarat-syarat
periwayatannya adalah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan
diriwayatkannya dengan berbagai cara penerimaan, seperti melalui al-sama’ (pendengaran), al-Ijazah (
pemberian izin dari perawi).
-
Macam-macam
periwayatan adalah membicarakan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadis.
-
Keadaan
adalah, pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat
mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
-
Macam-macam
hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada
kitab-kitab Tasnif, kitab Tasnid dan
kitab Mu’jam.
Sementara
menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib mengemukakan definisinya dengan rumusan dari
segi magbul dan mardudnya (diterima
atau ditolaknya) periwayatan hadis dari seorang rawi periwayat. Yang dimaksud dengan rawi adalah
orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadis sedangkan yang dimaksud
dengan marwi adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
atau kepada sahabat, atau kepada Tabi’in. Sedangkan yang dimaksud dengan
“Keadaan rawi dari sudut maqbul dan mardudnya”
ialah keadaan perawi dari sudut kecacatan, keadilan, peristiwa sekitar
penerimaan dan periwayatannya serta segala sesuatu yang berkaitan dengan itu.
C. Cabang cabang ilmu hadis
Dari
ilmu hadis Riwayah dan Dirayah di atas, pada perkembangan berikutnya, muncullah
cabang-cabang ilmu hadis lainnya seperti ilmu Rijal al -Hadis, ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil, ilmu Tariqh al-Ruwah,ilmu ‘llal
al-Hadis, ilmu al-Nasikh wa al - Mansukh, ilmu Asbab
Wurud al - Hadis, ilmu Mukhtalif al-Hadis sebagaimana
akan diuraikan berikut ini:
a.
Ilmu Rijal al-Hadis
Ilmu
Rijal al-Hadis, ialah:
عِلْمٌ
يُعْرَ فُ بِهَا رُوَّاةُ الْحَدِيْثِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُمْ رُوَا ةٌ
لِلْحَدِيْثِ
“Ilmu
untuk mengetahui para perawi Hadis dan kapasitas mereka sebagai perawi hadis.”
Ilmu
ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis. Hal ini karena,
sebagaimana diketahui, objek kajian hadis pada dasarnya pada dua hal yaitu
matan dan sanad. Ilmu Rijal al-Hadis dalam hal ini, mengambil
porsi khusus mempelajari persoalan-persoalan disekitar sanad. Apabila dilihat
lebih lanjut, ditemukan dua cabanh ilmu hadis lain yang dicakup oleh ilmu in,
yaitu: ilmu al-Jarh wa at Ta’dil dan ilmu Tarikh ar
Ruwah.
b.
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Ilmu al-Jarh, yang
secara bahasa berarti luka atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
kecacatan para perawi, seperti pada kedabitan dan keadilannya. Para ahli hadis
dalam hal ini mendefinisikan al-Jarh dengan:
الِطَّعْنُ
فِى الرَّاوِي الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْيَخُلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْضَبْطِهِ[6]
“Kecacatan
pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan dan
kedhabitan para perawi.”
Sedangkan al-ta’dil,
secara bahasa berarti al-Tasyiwiyah (menyamakan) menurut istilah berarti:
عَخْسُهُ
هُوَتَزْكِيَةُ الرَّاوِي وَالْحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَ نَّهُ عَدْ لٌ أَوْضَابِطُ
“Pembersihan
atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adail atau dhabit.”
Berdasarkan
pengertian di atas, para ulama mendefinikan ilmu al-Jarh dan al-ta’dil dengan
rumusan:
عِلْمٌ
يَبْحَثُ عَنِ الرُّ وَاةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَفِي شَأْ نِهِمْ مِمّا
يُشْنِيْهِمْ اَوْ يُزَ حِيْهِمْ بِأَ لْفَا ظِ مَخْصُوْ صَةٍ
“Ilmu
yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, dengan ungkapan lafaz tertentu.”
Contoh
ungkapan tertentu untuk mengetahui keadilan para perawi : فُلَانٌ اُوْثَقُ النَّا سِ(fulan orang yang paling dipercaya), فُلَانٌ ضَبِطٌ (fulan itu kuat hafalannya) dan فُلَانٌ
حُجَّةٌ (fulan hujjah).
Sedangkan contoh untuk kecacatan perawi, antara lain; فُلَانٌ اَكْذَبُ النَّاسِ (fulan orang yang paling
berdusta), فُلَانٌ
مُتَّهَمٌ بِاْ كَذِّبٍ (ia
tertuduh dusta), فُلَانٌ لَيْسَ بِا
لْحُجَّةِ (fulan bukan
hujjah).
c.
Ilmu Tarikh al-Ruwah
Ilmu
Tarikh al-Ruwah, adalah:
العِلْمُ
الَّذِى يَبْحَثُ فِى أَحْوَالِ الرُّوَةِ مِنَ النَّا حِيَةِ الَّتِى تَتَعَلَّقُ
بِرِوَايَتِهِمْ لِلْحَدِيْثِ[7]
“Ilmu
untuk mengetahui para perawi hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatan
mereka terhadap hadis.”
Demikian
ilmu ini untuk memepelajari keadaan identitas para perawi, seperti
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, kapan mereka mendengar hadis dari
gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis daripadanya. Tempat tinggal
mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Sebagai bagian dari
ilmu Rijal al-hadi, ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada
sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Hubungannya
dengan ilmu Yhabaqat al-Ruwah, di antara para ulama terdapat perbedan pendapat.
Ada ulama yang membedakannya secara khusus, tetapi ada juga yang
mempersamakannya. Menurut al-Suyuti, antara ilmu Thabaqah al-Ruwah dengan ilmu
Tarikh al-Ruwah adalah umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang
berkaitan dengan para perawi, tetapi ilmu Tarikh al-Ruwah menyendiri dalam
hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru. Menurut al-Sakhawi bahwa ulama
Nutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa
ilmu Tarikh al-Ruwah, melalui ekstensinya memeperhatikan kelahiran dan wafatnya
merekakan.
d.
Ilmu ‘Ilal al-Hadis
Kata
‘Ilal” adalah bentuk jama’ dari kata “al-llaah” yang menurut bahasa berarti
“al-Marad” (penyakit atau sakit). Menurut ulama muhaddisin istilahn “illah”
berarti sebab tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadis,
akan tetapi yang kelihatan adalah kebaikannya, yakni tidak terlihat adanya
kecacatan.
Adapun
yang dimaksud dengan ilmu ‘ilal al-Hadis, menurut ulama hadis, adalah:
عِلْمُ
يَبْحَثُ عَنِ الْأَ سْبَابِ الْخَفِيَّةِ الْغَا مِضَةِ حَيْثُ أَنَّهَا تَقْدَحُ
فِى صِحَّةِ الْحَدِيْثِ كَوَصْلِ مَنْقَطِعٍ مَرْفُوْعٍ مَوْقُوْفٍ وَإِدْخَالِ
الْحَدِيْثِ فِى حَدِيْثٍ وَمَاشَابَهَ ذَالِكَ
“Ilmu
yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan
hadis, seperti mengatakan Muttasil terhadap hadis Muntaqi` menyebut marfu`
dengan hadis yang mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain dan hal-hal
seperti itu.”
Menurut
Abu Abdullah al-hakim al-Naisaburi dalam kitabnya “Ma`rifah Ulum al-Hadis”
menyebutkan bahwa ilmu “Ilal al-Hadis, ialah ilmu yang berdiri sendiri, selain
dari ilmu sheheh dan dah`if, jarh, dan ta`dil. Ia menerangkan bahwa `illat”
hadis yang tidak termasuk kedalam bahasan al jarh, sebab hadis yang marjuh,
adalah hadis yang gugur dan yang tidak dipakai. Illat hadis terdapat pada hadis
yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang
menceritakan sesuatu hadis yang padahal mempunyai `Illat, akan tetapi illat itu
tersembunyi. Karena hadis tersebut, maka hadis nya disebut hadis ma`lul. Lebih
lanjut al-Hakim menyebutkan, bahwa dasar penetapan illat hadis, adalah hafalan
yang sempurna, pemahaman yang mendalam pengetahuan yang cukup.
e.
Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh
Yang
dimaksud dengan ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh di sini terbatas disekitar nasikh
dan mansukh pada hadis, al-Nasikh secara bahasa terkandung dua pengertian,
yaitu: (1) : الأِزَالَةُal-Izalah
(menghilangkan), نَسَخَتِ
الشَّمْسُ الظُّلَّ (matahari
menghilangkan bayangan) dan juga sebagaimana dalam QS. Al-Hajj 52: فَيَنْسَخُ
اللهُ مَايُلْقِى الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ أياتِهِ وَ (Kemudian Allah meniadakan atau
menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaithan, lalu Allah memperkuat
ayat-ayatNya). (2) : النقل al-naql (menyalin) seperti: نَسَخْتُ
الْكِتَابَ (saya memilih
kitab), yang berarti, “Saya menyalin isi suatu kitab untuk saya pindahkan ke
kitab lain.”
Al-Nasikh
dalam arti bahasa seperti ini terdapat dalam al-Quran antara lain dalam QS.
Al-Baqarah ayat 106:
مَا
نَنْسَخْ مِنْ أيَةٍ أَوْ نُنْسِهَانَأْ تِبِخَيْرٍمِنْهَاأَوْمِثْلِهَاأَلَمْ
تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ
“Ayat
mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan manusia lupa padanya, kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sedangkan
al-Naskh menurut istilah, sebagaimana pendapat ulama Ushul adalah:
رَفْعُ
الْحُكْمِشَّرْعِي بَدِ لِيْلٍ شَرْعِيٍ مُتَرَاخٍ عَنْهُ
“Syarir
mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara` dengan menggunakan dalil syar`iy
yang datang kemudian.”
Konsekuensi
dari pengertian ini adalah menerangkan nash yang mujmal, mentakhsiskan yang ‘am
dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah dikatakan nasakh maupun yang dimaksud
dengan ilmu nasikh dan mansukh dalam hadis adalah:
العِلْمُ
الَّذِى يَبْحَثُ عَنِ الْأَ حَا دِيْثِ الْمُتَعَارِضَةِ الَّتِى لاَيُمْكِنُ
التَّوْفِيْقُ بَيْنَهَا مِنْ حَيْثُ الْحُكْمِ عَلَى بَعْضِهَا بِانَّهُ نَاسِخٌ
وَعَلَى بَعْضِهَا الْأَ خِرَ بِانَّهُ الْمَنْسُوْحُ فَمَا ثَبَتَ تَقَدُّ مُهُ
كَانَ مَنْسُوْخًا وَمَا ثَبَتَ تَاخُّرُهُ كَانَ نَاسِخًا[8]
“Ilmu
yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan
ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian
disebut nasikh.”
f.
Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Kata
Asbab adalah jama’ah dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan al-habl
(tali). Yang menurut lisan al-Arab dinyatakan bahwa kata ini dalam bahasa
Arab berarti saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala yang menghubungkan
satu benda dengan benda lainnya.” Menurut istilah adalah:
كُلُّ
شَيْئٍ يَتَوَصَّلُ بِهِ اِلىَ غَايَتِهِ
“Segala
sesuatu yang mengantar kepada tujuan”
Ada
juga yang mendefinisikan dengan “Suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum
tanpa adanya pengaruh dalam hukum itu.” Kata wurud (sampai, muncul)
berarti:
الْمَاءُالَّذِى
يُوْرَدُ
“Air
yang memancar atau air yang mengalir”
Dalam
pengertian lebih luas, al-Suyuthi merumuskan pengertian asbab wurud al-hadis
dengan: “suatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum
atau khusus, mutlak, atau muqayyad, di nasakhkandan seterusnya, atau suatu arti
yang dimaksud sebuah hadis saat kemunculannya.
Dari
pengertian asbab wurud al-hadis sebagaimana diatas, dapat dibawa pada
pengertian ilmu asbab wurud al-hadis yakni suatu ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu beliau
menuturkan itu, seperti sabda Rasul SAW tentang suci dan menyucikan air laut
yang artinya. “Laut itu suci airnya, dan halal bangkainya”. Hadis ini
dituturkan oleh Rasulullah SAW karena seorang sahabat hendak berwudhu` ketika
ia berada ditengah laut ia dalam kesulitan. Contoh lain adalah Hadis tentang
niat, hadis ini dituturkan berkenan dengan peristiwa hijrahnya Rasul SAW ke
Madinah, salah seorang muhajir yang ikut karena didorong ingin mengawini wanita
dalam hal ini adalah ummu Qais.
Urgensi
asbab wurud terhadap hadis, sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan
hadis, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul al-Qur’an terhadap al-Qur’an. Ini
terlihat beberapa paedahnya, antara lain dapat mentakhsis arti yang umum
membatasi arti yang mutlak, menunjukkan perincian yang mujmal, menjelaskan
kemusykilan, dan menunjukkan ‘ilat suatu hukum. Maka dengan
memahami Asbab Wurud al hadis ini, dapat dengan mudah memahami apa yang
dimaksud atau dikandung suatu hadis. Namun demikian, tidak semua hadis
mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Quran mempunyai
asbabun nuzul-nya.
g.
Ilmu Gharib al-Hadis
Menurut
Ibnu Shalah, yang dimaksud ilmu Gharib al-Hadis ialah:
عِلْمُ
يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَا وَقَعَ فِى مُتُوْنِ الْأَحَادِيْثِ[9]
“Ilmu
untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafaz-lafaz hadis
yang jauh dan sulit dipahami, karenalafaz tersebut jarang digunakan.”
Ilmu
ini muncul atas usaha para ulama setelah wafat karena banyaknya bangsa-bangsa
yang bukan Arab memeluk Islam serta banyaknya yang kurang memahami istilah atau
lafaz-lafaz tertentu yang gharib atau yang sukar dipahaminya.
Para
ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata yang gharib itu
dengan mensyarahkannya. Bahkan ada yang berusaha mensyarahkannya secara khusus
hadis yang terdapat kata-kata gharib.
Di
antara ulama yang pertama kali menyusun hadis hadis yang gharib adalah: Abu
Ubaidah Ma’mar bin Matsna al-Tamimi al-Bisri (wafat 210 H) dan Abu al-Hasan bin
Ismail al-Mahdini al-Nahawi (wafat 204 H). Salah satu kitab “al-Nihayah fi
Garib al-Hadits”. Karya Ibnu al-Atsir.
h.
Ilmu al-Tashif wa al-Tahrif
Ilmu
al-Tashif wa al-Tahrif adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan
hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (Mushhaf) dan bentuknya
(Muharraf). Al-Hafiz Ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu
ilmu al-Tashif dan ilmu al-Tahrif. Sedangkan ilmu Sholah dan para pengikutnya
menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan
satu disiplin ilmu yang menilai tinggi, yang dapat membangkitkan semangat para
penghafal hadis (huffaz). Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan terkadang
para ulama terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang diterima dari orang
lain. Sebagai contoh, dalam suatu riwayat disebutkan juga , bahwa salah
seorang yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW dari Bani Sulaiman adalahUtbah
ibn al-Bazr, padahal yang sebenarnya adalah ‘Utbah ibn al Nazr’. Dalam hadis
ini terjadi perubahan sebutan al-Nazr menjadi al-Bazr.
i.
Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Ilmu
Mukhtalif al-Hadis ialah:
العِلْمُ
الَّذِى يَبْحَثُ فِي الْأَحَادِيْثِ الَّتِى ظَهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ
تَعَارُضَهَا أَوْيُوْفِقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى الْأَحَادِيْثِ الَّتِى
يَشْكِلُ فَهْمَهَاأَتَصَوُّرَهَافَيُدْفَعُ إِشْكَالُهَاوَيُوْضَحُ حَقِيْقَتُهَا
“Ilmu
yang membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau
berlawanan, agar pertentangan itu dapat dihilangkan atau dikompromikan
keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau
kandungannya, dengan menghilangkan kemusyikilannya atau kesulitan serta
menjelaskan hakikatnya.”
Ilmu
ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasul wafat, karena mengingat
banyaknya bangsa-bangsa yang bukan Arab memeluk Islam serta banyaknya orang
yang kurang memahami istilah atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib atau yang
sukar dipahaminya.
Para
ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata yang gharib itu
dengan mensyrahkannya secara khusus hadis-hadis yang terdapat kata-kata gharib.
Di antara ulama yang menyusun hadis-hadis yang gharib ialah Abu Ubaidah Ma’mar
bin Matsna al-Tamimi al-Bisri (wafat 210H) dan Abu al-Hasan bin Ismail al-Mahdini
al-Nahawi (wafat 204 H). Salah satu kitab yang terbaik yang ada sekarang ini,
adalah kitab “al-Nihayah fi garib al-Hadis” karya al-Atsir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadîd yang artinya
sesuatu yang baru - lawan dari al-Qadim (lama) - artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Hadits adalah segala sesuatu
yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat dan hal ihwal Nabi.
Ilmu Hadits yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya
yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan terputusnya
sanad dan sebagainya
Dari
ilmu hadis Riwayah dan Dirayah di atas, pada perkembangan berikutnya, muncullah
cabang-cabang ilmu hadis lainnya seperti ilmu Rijal al -Hadis, ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil, ilmu Tariqh al-Ruwah,ilmu ‘llal
al-Hadis, ilmu al-Nasikh wa al - Mansukh, ilmu Asbab
Wurud al - Hadis, ilmu Mukhtalif al-Hadis sebagaimana
akan diuraikan berikut ini:
a.
Ilmu
Rijal al-Hadis
b.
Ilmu
al-Jarh wa al-Ta’dil
c.
Ilmu
Tarikh al-Ruwah
d.
Ilmu
‘Ilal al-Hadis
e.
Ilmu
al-Nasikh wa al-Mansukh
f .
Ilmu
Asbab Wurud al-Hadis
g.
Ilmu
Gharib al-Hadis
h.
Ilmu
al-Tashif wa al-Tahrif
B. Saran
Dari
pembuatan makalah ini, selain ditujukan untuk penyelesaian tugas matakuliah,
penulis juga berharap agar makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri,
maupun membaca, menambah khasanah ilmu dan pengetahuan.
Apabila dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari
para pembaca, karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Pers, 2014.
Prof,
Drs. H. Masj fuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, PT. Bina Ilmu, Surabaya
Masjfuk Zuhdi.1993. Pengantar Ilmu
Hadis, Surabaya: Bina Ilmu
[1]
Ibn Manzhûr, Lisân Al-'Arab, Juz II,
(Mesir: Dar Al-Mishriyah, t.t.), hlm. 436-439, Muhammad Al-Fayumi,
Mishbâh Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir li Al-Râfi't, Juz I,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), 1978, hlm. 150-151.
[2]
Muhammad Mahfüdz ibn Abdillah
Al-Tirmisî, Manhaj DzawiAl-Nazhar. (Jeddah: Al-Haramain, 1974), Cet.
Ke-3, hlm. 8. Kitab ini adalah kitab syarah dari kitab karangan Jalâl Al-Din
Abdurrahmân Al-Suyûthî (w. 911 H), Manzhimat Ilmi Al-Atsar. Lihat juga Muhammad
Jamâl Al-Dîn Al-Qâsimî, Qawa”id al-Tahdits min Funin Musthalah Al-Hadîts, (Beirut:
Dâr Al-Kutub Al-'llmiyah, 1979, hlm. 61.
[6] Subhi Al-Shâlih, 'Ulûm
Al-Hadîts wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dâr Al-
'Ilmu Al-Malâyin, t.t.), h. 110. Rujukan pembahasan ini adalah 'Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hlm.260-276, Muhammad bin Abdurrahman Al-Sakhâwi, Fath Al-Mughisy Syarh Alfiyat Al-Hadîts, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al- 'Ilmiyah, 1983), Cet. Ke-1, hlm. 361-376; dan Abû 'Abdillah Al-Hâkim Al-Naisâbûry, Ma'rifat 'Ulim Al-Hadîts, (Kairo: Maktabah Al-Muntanaby, t,t.), hlm. 52.
'Ilmu Al-Malâyin, t.t.), h. 110. Rujukan pembahasan ini adalah 'Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hlm.260-276, Muhammad bin Abdurrahman Al-Sakhâwi, Fath Al-Mughisy Syarh Alfiyat Al-Hadîts, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al- 'Ilmiyah, 1983), Cet. Ke-1, hlm. 361-376; dan Abû 'Abdillah Al-Hâkim Al-Naisâbûry, Ma'rifat 'Ulim Al-Hadîts, (Kairo: Maktabah Al-Muntanaby, t,t.), hlm. 52.
[7]
Mahmûd
Al-Thahhân, Taisir Mushthalah Al-Hadîts, (Beirut: Dâr Al-Qur'ân Al-Karîm, 1399
H/1979 M), hlm. 224. Lihat juga 'Ajjâj Al-Khathib,op.cit., hlm. 253.
[9]
Ibnu Al-Shalâh, 'Ulûm
Al-Hadîts (yang kemudian terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Al-Shalâh), (Makkah:
Maktabat Al-Tijariyah, 1993), Cet. Ke-1, hlm. 258. Lihat juga penjelasannya
dalam Al-Tirmisî, op.cit., hlm. 202.
No comments:
Post a Comment