MAKALAH PERKEMBANGAN ILMU TAUHID
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tauhid
merupakan bahasan yang penting dalam ajaran islam, karena Tauhid ini adalah
salahsatu ajaran untuk meyakinkan kita bahwa tiada Tuhan selain Allah. yang
patut kita sembah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Serta
percaya adanya kitab-kitab Allah, malaikat, rasul, hari Akhir, qodho dan qodar
Allah SWT. Maka, pantas para ulama mewajibkan kepada mukalaf untuk mempelajari
ilmu Tauhid ini.
Di
Indonesia, banyak para ulama yang membuat kitab tentang Tauhid. Diantaranya
syaikh Nawawi al-Bantani. Beliau merupakan ulama yang paling masyhur. Hal ini terbukti
dengan muridnya yang banyak, demikian juga karyanya. Kemasyhuran namanya tidak
hanya terbatas di lingkungan kolonial Jawa di makkah, tapi juga di
Negara-negara Timur Tengah lainnya, di Asia Tenggara dan terutama di Indonesia.[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan ilmu tauhid
dari masa ke masa?
2. Bagaimana pertumbuhan
dan perkembangan aliran-aliran dalam ilmu tauhid?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan perkembangan ilmu tauhid dari masa ke
masa
2. Menjelaskan pertumbuhan
dan perkembangan aliran-aliran dalam ilmu tauhid.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Ilmu Tauhid Dari Masa Ke Masa
1.
Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa
Rasulullah Saw
Masa Rasulullah saw merupakan
periode pembinaan aqidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat
dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada
Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara
umatnya.[2]
Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan
dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.
Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta
menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala
bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat
al-Anfal ayat 46.
Artinya: “Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar”.[3]
Dengan demikian Tauhid di zaman
Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan,
karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
2. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah saw wafat,
dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat islam tidak sempat membahas
dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha
memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam
bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al Qur’an tanpa mencari ta’wil
dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah alqur’an dan mereka
menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan apa
yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan
Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan
Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah
mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya kepada allah swt
sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat
terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman.
Umat Islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah
masing-masing partai dan golongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan
terbukalah pintu ta’wil bagi nas al Qur’an dan Hadits. Karena itu, pembahasan
mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian
hari kian membesar dan meluas.
3.
Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa
Daulah Umayyah.
Dalam masa ini kedaulatan Islam
bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk
mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum
muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam.
Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya
belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa
ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang
selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan
masalah Qadar(Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak
ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan
Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang
dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas
berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan
meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan
sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “Ahlu At-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah
muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa
besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib,
akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap
memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.
4. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.
Masa ini merupakan zaman keemasan
dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di
luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa
tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian
orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada
diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka
sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang
melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dalam masa ini muncul
polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan
oleh ‘Amar bin Ubaid Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah”
untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya
“Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham
Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu
Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada
paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan
pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa
khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab
negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan
yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis
kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid
tokoh Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf
dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang
Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy,
al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi
yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya
Al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma
baina Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji
Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan
muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu
diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan
jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara
syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap
aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan
oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia.
Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan
filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
5. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca Daulah Abbasyiah.
Sesudah masa Bani Abbasiyah
datanglah pengikut Al Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam
falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu
dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya
Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab Al-Asy‘ari
berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang
menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf,
yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa
mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan
hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu
Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur
adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha usaha yang memasukkan
prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf (
sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian
golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari
golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua
golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat pendapat ibnu taimiyah
dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang
mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu
Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil
Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya
kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis
yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab
peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah
yang mendapat keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘Abduh dan
gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid
Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama
dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu
Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.[4]
B. Pertumbuhan Dan Perkembangan
Aliran-Aliran Ilmu Tauhid
1.
Aliran
Khawarij
Khawarij sebagai aliran dalam
Teologi islam yang pertama kali muncul. Nama khwarij berasal dari kata
“Kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yangkeluar dari
barisan Ali.[5] Mereka memahami Al-quran secaraliteral ataulafziyah serta
harusdilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dalam paham mereka bercorak
sederhana,sempit dan ditambah sikap fanatik. Mereka bersikap bengis, suka pada
kekerasan, dan tak gentarmenghadapi mati, mereka juga jauh dari ilmu
pengetahuan.
2.
Aliran Murji’ah
Pandangan
kaum Murji’ah ini terlihat dari arti kata Murji’ah itu sendiri yang berasal dari kata
arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan, dan
memberi pengharapan.[6] Lebih
dikenal istilah “irja”. Menangguhkan berarti mereka menunda soal siksaan seseorang
ditangan Tuhan,yakni jika Tuhan memaafkan maka ia masuk surga, jika tidak maka
iadisiksa sesuai dengan doanya, dan setelah itu dia akan dimasukkan ke dalam
surga.Mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahwa perbuatan atau
amal sebagai ha lyang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata member
pengharapan, dumaksudkan karenamereka menangguhkan keputusan hukum bagi
orang-orang yag melakukan dosa dihadapanTuhan.Maka sikap Murji’ah ini yaitu
sikap mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma akhlak dan
moral yang berlaku. Inilah sebabnya nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti
tidak baik dan tidak disegani.
3.
Aliran Syiah
Syiah
sebagai golongan yang menyanjung dan memui Ali secara berlebihan.Sesungguhnya
perbedaan Syiah dengan golongan lainnya adalah bercorak agama dan politik. Intiajaran Syiah
adalah berkisar masalah khalifah, yang akhirnya berkembang dan
bercampr denganmasalah-masalah agama.[7]
4.
Jabariyah
Nama
Jabariyah berasal dari kata” jabara” yang mengandung arti memaksa.
Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukankehendak dan perbuatannya. Semua perbuatan manusia itu atas kehendak
Allah tidak ada campurtangan manusia.
5.
Aliran Qadariyah
Nama Qadariyah berakar pada
lafadz “qadara” yang dapat berarti memutuskan danmemiliki kekuatan atau kemampuan.[8] Menurut
aliran ini, manusia itu merdeka, dan telah diberikebebasan untuk berkehendak,
semua yang terjadi dalam dirinya adalah atas usahanya sendiri,tidak ada campur
tangan dari Tuhan. Manusia telah diberi anugerah yang paling baik diantarasemua
makhluknya, yakni sebuah akal. Dengan akal tersebut manusia bisa melakukan apa
yangmereka inginkan. Baik buruknya manusia itu tergantung dari manusia itu
sendiri, bukan karenaTuhan.
6.
Aliran Asy’ariyah
Menurut
pemikiran ini dalilnya adalah Tuhan, kita wajib percaya pada tuhan,karena
diperintahkan Tuhan dan perintah ini kita tangkap dengan
akal. Jadi akal itu bukanlahsumber tetapi hanya sebagai alat untuk
mempercayai adanya tuhan. Akal tak dapat membuatsuatu menjadi wajib dan tak
dapat pula mengetahui mengerjakan yang baik dan buruk.[9]
7.
Aliran Maturidiyah
Manusia
yang mengerjakan perbuatan maksiat, diam, bergerak, dan taatsebenarnya mereka
sendiri yang mengerjakannya, tetapi tuhan yang menjadikan.
8.
Aliran Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah orang
yang berdosa besar tidaklah kafir tetapi bukan pula mukmin.[10] Aliran
ini bercorak rasional dan cenderung liberal mendapat tantangan keras dari kelompok
tradisional islam, terutama golongan hambali.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah membaca
dan menganalisis perkembangan ilmu tauhid,penulis dapat menarik kesimpulan:
Kita sebagai
umat muslim layaknya umat yang telah berkembang mengikuti zaman sudah sebaiknya
mengetahui seperti apakah perkembangan, cara mengembangkan ilmu tauhid dan
aliran-aliran ilmu tauhid untuk dijadikan tolak ukur ilmu pengetahuan,maupun
menambah wawasan pengetahuan kita.
B.
Saran
Dengan penulisan
makalah ini diharapkan pembaca dapat:
·
Memperoleh
ilmu pengetahuan tentang perkembangan ilmu tauhid beserta aliran-alirannya
·
Menambah
iman kepada tuhan Yang Maha ESA
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,Teugku
Hasbi Ash Shiddieqy.2001.Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam.Semarang:PT.Pustaka.
http://memetkoplak.wordpress.com/2012/04/21/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu-tauhid/, diakses pada September 2019 pukul
21:00 WIB.
Mustajib,
dkk,1998. Materi Pokok Aqidah
Akhlak .Jakarta: Dirjen Binbaga Islam.
Roli
Abdul Rohman-M.Khamza.2015. Menjaga
Akidah dan Akhlak 2. Solo.
[1]
Ma’ruf Amin dan M. Nasruddin Anshor CH,
“Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani” dalam Pesantren,No. 1/Vol. VI/ 1989, 105
[2] Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra. 2001) hlm.
56.
[3] http://memetkoplak.wordpress.com/2012/04/21/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu-tauhid/,
diakses pada September 2019 pukul 21:00 WIB.
[5]
Roli Abdul Rohman-M.Khamzah, Menjaga Akidah dan Akhlak 2.
Solo,Januari 2015, hal 18
No comments:
Post a Comment