MAKALAH
PERADILAN AGAMA
A. Latar
Belakang
Indonesia telah
menubuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum.Oleh karena
itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen di dalam pemerintahan
dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras,
bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama
di Indonesia juga ditentukan.
Dalam hal ini,
jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan.
Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan dalam hal apa
saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya,
Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini
dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah
naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama
pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar
di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur
dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya
perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau
kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
B. KEKUASAAN
MUTLAK PERADILAN AGAMA
1. Pengertian
Kekuasaan Mutlak Peradilan
Kata ‘kekuasaan’ sering
disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’,
yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan
kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau
kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Kewenangan absolut (absolute competentie)
adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkat Pengadilan,dlam perbedaannya dengan jenis perkara atau
jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam.
2. Kekuasaan
Mutlak Peradilan Agama
Di lingkungan Peradilan Agama terdapat dua
tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama
dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
Pengaadilan Agama sebagai pengadilan tingkat
pertama, baerwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah
serta wakaf dan shadaqah.Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili
perkara tersebut untuk tingkat banding atau tingkat kasasi.
3. Cakupan
Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Dari pasal tersebut ditentukan bahwa Peradilan
Agama ditentukan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.Ini sesuai dengan
asas Personalitas KeIslaman. Dan perkara-perkara yang menjadi cakupan kekuasaan
Peradilan Agama adalah sesuai pasal 49 UU No. 7 Th. 89:
( 1) Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan,
wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf
dan shadaqah.
( 2) Bidang perkawinan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
( 3) Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
a. Bidang
Perkawinan
Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama
adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th.
75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
1) izin
beristri lebih dari seorang;
2) izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3) dispensasi
kawin;
4) pencegahan
perkawinan;
5) penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6) pembatalan
perkawinan;
7) gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8) perceraian
karena talak;
9) gugatan
perceraian;
10) penyelesian harta bersama;
11) penguasaan anak-anak;
12) ibu dapat memikul biaya
pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab
tidak memenuhinya;
13) penentuan kewajiban memberi
biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban
bagi bekas istri;
14) putusan tentang sah atau
tidaknya seorang anak;
15) putusan tentang pencabutan
kekuasaan orang tua;
16) pencabutan kekuasaan wali;
17) penunjukkan orang lain sebagai
wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18) menunjuk seorang wali dalam hal
seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal
kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19) pembebanan kewajiban ganti
kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak
yang ada di bawah kekuasaannya;
20) penetapan asal usul seorang
anak;
21) putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22) pernyataan tentang sahnya
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada
pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara
perkawinan, yaitu:
23) Penetapan Wali Adlal;
24) Perselisihan penggantian mahar
yang hilang sebelum diserahkan
b. Bidang
Kewarisan, Wasiat, Hibah
1) “waris”
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris. Pada permasalahan waris ini umat Islam diberi
hak opsi atau diberi kebebasan untuk memilih Pengadilan Agama atau Pengadilan
Negeri.
2) “wasiat”
adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang
lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia. Kewenangan Peradilan Agama adalah bila wasiat dan hibah
dilakuakan berdasarkan hukum Islam
3) “hibah”
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
c. Bidang
Wakaf dan Sedekah
1) “wakaf’
adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Cakupan kekuasaan mutlak
Pengadilan Agama tidak meliputi sengketa hak milik. Ini merupakan salah satu
masalah yang berkaitan dengan tidak penuhya kekuasaan Peradilan Agama.
2) “shadaqah”
adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala
semata.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Ketentuan pemilihan
hukum dalam perkara kewarisan (hak opsi) yang didasarkan pada penjelasan umum
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi:
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”.
Dinyatakan dihapus berdasarakan penjelasan umum perubahan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989.
Dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 ini juga
terjadi perluasan kewenangan di lingkungan Peradilan Agama.
Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
“Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini”
Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Hal ini bertujuan agar perkara-perkara yang
menjadi kewenangan Mahkamah Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
tidak menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama menjadi
dasar dengan undang-undang baru ini.
Disamping itu perubahan kewenangan Peradilan Agama
adalah ketentuan pasal 49 Undang-UndangNo.3 Tahun 2006
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah”
Dengan ini, maka cakupan kekuasaan mutlak
Pengadilan Agama adalah
a. Bidang
Perkawinan
Cakupan kekuasaan mutlak Peradilan Agama tetap
b. Kewarisan,
Wasiat dan Hibah
Ada dua macam perubahan mendasar di bidang ini:
1) Tidak
lagi mencantumkan syarat “yang diberlakukan hukum Islam”
2) Hak Opsi
di bidang kewarisan di hapuskan
c. Zakat
dan Infak
Merupakan dua bidang perkara baru yang menjadi
keekuasaan Peradilan Agama.
d. Ekonomi
Syariah
Kekuasaan Peradilan Agama di bidang ini sesuai
penjelasan pasal 50 huruf i:
lembaga keuangan mikro syari’ah.
1) asuransi
syari’ah;
2) reksa
dana syari’ah;
3) obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
4) sekuritas
syari’ah;
5) pembiayaan
syari’ah;
6) pegadaian
syari’ah;
7) dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
8) bisnis
syari’ah.
1. Cakupan
Kekuasaan Mahkamah Syar’iah
Mahkamah Syar’iyah di propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam mempunyai kekuasaan mutlak yang lebih luas. Kekuasaan itu meliputi
tiga bidang;
a. kewenangan
dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelaan dari
pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah, dan sadaqah.
b. kewenangan
bidang muamalah meliputi kebendaan dan perikatan seperti:
1) jual
beli, hutang piutang
2) qiradh
(permodalan)
3) musaqah,
muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian)
4) wakilah
(kuasa), syirkah (perkongsian)
5) ariyah
(pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh), rahnu
(gadai)
6) ihya’u
al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqathah (barang temuan)
7) perbankan,
ijarah (sewa menyewa), takaful
8) perburuhan
9) harta
rampasan
10) waqaf, hibah, sadaqah, dan
hadiah.
c. kewenangan
di bidang jinayah adalah sebagai berikut.
Hudud yang
meliputi:
1) zina
2) menuduh
berzina (qadhaf)
3) mencuri
4) merampok
5) minuman
keras dan napza
6) murtad
7) pemberontakan
(bughat);
Qishash/diat yang meliputi:
1) pembunuhan
2) penganiayaan;
Ta’zir yaitu
hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain
hudud dan qishash/diat seperti:
1) judi
2) khalwat
3) meninggalkan
shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah
membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
Kekuasaan
relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang
yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung
dengan Pegadilan Agama Bogor.
Kewenangan
absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu,
yaitu orang-orang yang beragama Islam. Jenis perkara yang menjadi kekuasaan
Peradilan Agama terdapat sebanyak 9 item sebagai berikut: perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, Infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah
Asasriwarni dan
Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa Press
Djalil, Basiq.
2006. Peradilan. Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana
A Rasyid,
Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada
Ali, Daud.
2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Fauzan.
2007. Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
No comments:
Post a Comment