MAKALAH SEJARAH ISLAM INDONESIA PENDARATAN BANGSA BELANDA DI BANTEN 1596, PENDARATAN BANGSA BELANDA PORTUGIS DI MALAKA 1511
A.
Pendaratan Bangsa Belanda di Banten 1596
Berbeda dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan
Turki tidak lagi menguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah
itu kini dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon
kembali menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa. Pedagang-pedagang
Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah-rempah dari Lisabon. Apalagi
daerah-daerah penghasil rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis.
Pengangkutan rempah-rempah dari Lisabon mendatang-kan keuntungan
banyak bagi pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke Jerman
dan negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara
Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan “Perang Delapan
Puluh Tahun” mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan menjadi tidak
lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil menduduki Portugal pada tahun
1580.
Raja Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui bahwa kemakmuran
Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal, memukul
Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar
di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda
terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi
tinggi, karena persediaan berkurang. Situasi
perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda
mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya
oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol. Hal-hal semacam
inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan
dengan negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa
diketahui patroli Spanyol.
Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan
melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi seperti
Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland Selatan
diserahi menyusun peta dunia dan dimintai pandangan-pandangannya.
Ketika itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam bahasa
Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia
dan mengenai Hindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama, barang
dagangan yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia itu.
Pengarang buku ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan pernah tinggal
beberapa lama di Goa, India.
Untuk menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang
Belanda, dibantu oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba
mengarungi Laut Es, sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan
memperoleh jalan tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga
kali percobaan ekspedisi ini dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami
kegagalan.
Kapal mereka terjepit di tengah-tengah lautan es di dekat pulau
Nova Zembla, sehingga separoh anak buah kapalnya meninggal karena kedinginan.
Laksamana Jacob van Heemskerck yang memimpin pelayaran itu kembali ke Amsterdam
dengan susah payah menghabarkan kegagalan ekspedisinya.
Akhirnya pedagang-pedagang Amsterdam memper-siapkan empat buah
kapal untuk mencari jalan ke Indonesia melalui Tanjung Harapan. Pada tangga 2
April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak dari pangkalan Tessel, Belanda Utara,
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman
mengepalai urusan perdagangan, dan Pieter de Keyser mengepalai urusan navigasi.
Karena adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi pertama ini, maka
sering terjadi keributan yang berasal dari perbedaan pendapat di antara
keduanya. Hal demikian akhirnya menimbulkan perkelahian di antara anak buah kapal,
sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas. Namun demikian,
ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengan keberhasilan mereka
mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596.
Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk
negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk
pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya.
Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh.
Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan
lada yang memang mereka butuhkan.
Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten
sedang bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten
minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan
sewa yang memadai. Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten
hanya untuk berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada
kapal Portugis yang datang.
Tapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih
tetap belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu panen
lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi Jayanegara
marah.
Lebih parah lagi, orang-orang Belanda itu pada suatu malam,
menyeret dua buah kapal dari Jawa yang penuh dengan lada ke kapalnya dan
memindahkan semua isinya. Dan dengan membawa muatan hasil rampokan itu mereka
pergi sambil menembaki kota Banten.
Melihat kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten yang baru saja
kehilangan sultannya sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke kapal
Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan tebusan 45.000
gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman dilepaskan dan diusir dari
Banten (2 Oktober 1596).
Pada tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat
dari Nederland menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh
Jacob van Neck dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28
Nopember 1598 rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh
rakyat Banten karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman
pertama yang merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran.
Mereka pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan
dengan Mangkubumi, bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan.
Dengan membawa hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van
Neck menghadap kepada Sultan Abdul Mafakhir.
Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara
Banten dalam penyerangan ke Palembang sebagai pembalasan atas kematian Sultan
Muhammad dengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck
menyetujui usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu
kapal dan sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran
sekaligus setelah penyerangan selesai, maka penyerangan ke Palembang tidak
diteruskan.
Van Neck kembali ke Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan,
sedangkan van Waerwijk dan van Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku
dengan lima buah kapal.
Dengan keberhasilan dua ekspedisi dagang ke Indonesia ini akhirnya
berduyun-duyunlah orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat pada tahun 1598
saja ada 22 kapal milik perorangan dan perikatan dagang dari Nederland menuju
Indonesia. Bahkan tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia
dengan muatan penuh.
Suatu hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka
dengan membawa hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan
mahal. Mereka minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda dan
apabila orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau
diusir. Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan
mengadakan pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten dan negeri
timur lainnya.
Mangkubumi Jayanagara menerima semua hadiah tersebut, tapi, secara
rahasia, diutusnya kurir untuk menyam-paikan berita itu kepada pedagang Belanda,
supaya mereka segera meninggalkan Banten karena armada Portugis akan menyergap
mereka. Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan
Banten.
Tidak lama kemudian pada tahun 1598 sampailah angkatan laut
Portugis dipimpim oleh Laurenco de Brito dari pangkalannya di Goa. Setelah
dilihatnya tidak ada satu pun kapal Belanda yang berlabuh di Banten, marahlah
mereka.
Mangkubumi dituduh telah berhianat dan bersekongkol dengan Belanda
karena membocorkan rahasia, dan menuntut supaya Mangkubumi mengembalikan semua
hadiah yang sudah diberikan. Sudah tentu Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan
mereka, karena Portugis tidak ada hak dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal
asing yang sedang berlabuh di Banten.
Dengan kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten,
barang-barang yang ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada
kepunyaan pedagang dari Cina pun dirampasnya pula.
Melihat kejadian itu, tentara Banten, yang memang sudah
dipersiapkan, menyerang kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga buah kapal
Portugis dapat dirampas dan seorang laksamananya tewas; sedangkan yang lainnya
melarikan diri, setelah meninggalkan barang hasil rampasannya.
Karena persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda yang
berlomba-lomba untuk mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka keuntungan
mereka pun sedikit, dan bahkan rugi dari data-data yang dikumpulkan, ternyata
kerugiannya mencapai 5 laksa gulden. Melihat kenyataan ini maka pada tahun 1602
dibentuknya persatuan dagang yang kemudian diberi nama “Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama 6,5 juta gulden dan berkedudukan
di Amsterdam; dan tujuannya adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, di samping
untuk memperkuat kedudukan Belanda melawan kekuasaan Portugis dan Spanyol.
Berdirinya VOC ini dibantu oleh pemerintah kerajaan Belanda,
sehingga VOC diberi hak-hak sebagai berikut :
1.
Hak monopoli untuk berdagang di wilayah antara Amerika dan Afrika.
2.
Dapat membentuk angkatan perang sendiri, mengadakan peperangan,
mendirikan benteng dan bahkan menjajah.
3.
Berhak untuk mengangkat pegawai sendiri.
4.
Berhak untuk membuat peradilan sendiri (justisi).
5.
Berhak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
Sebaliknya VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
pemerintah kerajaan Belanda, yaitu :
1.
Bertanggung jawab kepada Staten General (Dewan Perwakilan Rakyat
Belanda).
2.
Pada waktu perang harus membantu pemerintah dengan uang dan
angkatan perang.
Pembentukan VOC di samping untuk menyatukan langkah dalam
perdagangan dan modal, juga didorong dengan adanya saingan baru yang
dianggapnya berat, yaitu pedagang-pedagang Inggris yang telah membentuk satu
kongsi dagang yang bernama EIC (East India Compagnie) pada tahun 1600.
Untuk memudahkan gerak dan siasat dagangnya, VOC membuka
kantor-kantor cabang di Middelberg, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen.
Setelah dirasa kedudukan VOC sudah mapan, maka pada tahun 1610 dibuka pula
kantor dagang untuk Hindia Timur atau Kepulauan Nusantara, dengan Pieter Both
menjadi Gubernur Jendral yang dibantu Dewan Penasehat (Raad van Indie) yang
anggotanya terdiri dari 5 orang.
Dicarinya daerah-daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan di
Hindia Timur ini. Alternatif pertama dipilihnya Johor, tetapi karena Johor
terlalu dekat dengan Malaka yang duduki Portugis, maka dipilihnya alternatif
kedua yakni Banten. Walaupun di Banten telah berdiri perwakilan dagang VOC
sejak tahun 1603 yang diketuai oleh Francois Wittert tapi karena di Banten pun
Mangkubumi Arya Ranamanggala selalu bertindak tegas dalam menghadapi
orang-orang asing, pilihan ini dibatalkan. Akhirnya VOC menetapkan Jayakarta
sebagai pusat kegiatannya, karena walau pun Jayakarta di bawah kuasa Banten,
namun penguasa di sana tidak begitu kuat.
Maka pada tahun 1610 berangkatlah Pieter Both dari Amsterdam menuju
Jayakarta bersama dengan 8 buah kapal besar. Pada bulan Nopember 1611 VOC
berhasil mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Untuk mengontrol tindakan VOC,
Pangeran Jayakarta membolehkan perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam
East India Company (EIC) membuat kantor dagangnya di Jayakarta, berhadapan
dengan kantor dagang VOC
B.
Pendaratan Bangsa Belanda Portugis Di Malaka 1511
Kabar kemakmuran Malaka sampai pula ke telinga Raja Portugal Manuel
I, maka diutuslah Admiral Diogo Lopes de Sequeira berlayar ke Malaka guna
menjalin persekutuan dagang dengan penguasanya sebagai wakil Portugal di timur
India. Sequeira tiba di Malaka pada 1509 dan menjadi orang Eropa pertama yang
memijakkan kakinya di Malaka sekaligus di Asia Tenggara. Mula-mula
kedatangannya disambut baik oleh Sultan Mahmud Syah, namun tak lama kemudian
kemalangan datang menyusul. Persaingan umum di kalangan pemeluk Islam dan
Kristen dikobarkan oleh sekelompok Muslim Goa di lingkungan istana setelah Goa
ditaklukkan oleh Bangsa Portugis. Komunitas dagang Muslim internasional
meyakinkan Mahmud bahwa Bangsa Portugis adalah ancaman maut. Oleh karena itu
Mahmud kemudian menangkap beberapa anak buah Sequeira, membunuh sisanya, dan
berupaya menyerang keempat kapal Portugis yang akhirnya sanggup meloloskan
diri. Belajar dari pengalaman di India, Bangsa Portugis menyimpulkan bahwa
penaklukanlah satu-satunya cara untuk dapat menancapkan kukunya di Malaka.[1]
Pada April 1511, Afonso de Albuquerque bertolak dari Goa menuju
Malaka, membawa 1200 orang dengan tujuh belas atau delapan belas kapal. Sang
Raja Muda mengajukan sejumlah tuntutan, salah satunya adalah izin mendirikan
sebuah benteng sebagai pos dagang Portugis di dekat kota. Sultan menampik
seluruh tuntutan, konflik tak terelakkan lagi, dan setelah bertempur selama 40
hari, Malaka pun jatuh ke tangan Portugis pada 24 Agustus. Pertikaian sengit
antara Sultan Mahmud dan puteranya Sultan Ahmad turut pula melemahkan pihak
Malaka.
Selepas kekalahan Kesultanan Malaka pada 15 Agustus 1511 dalam
peristiwa perebutan Malaka, Afonso de Albuquerque mulai berupaya membangun kubu
pertahanan permanen guna mengantisipasi serangan balasan dari Sultan Mahmud.
Sebuah benteng dirancang dan dibangun mengungkungi sebuah bukit, menyusuri
garis pantai, di tenggara muara sungai, menempati bekas lahan istana Sultan.
Albuquerque tinggal di Malaka sampai November 1511 demi mempersiapkan
pertahanan Malaka menghadapi segala bentuk serangan balasan dari orang-orang
Melayu. Sultan Mahmud Syah terpaksa harus mengungsi meninggalkan Malaka.
Sebagai pangkalan kerajaan niaga Kristiani Eropa pertama di Asia
Tenggara, Malaka dikelilingi oleh banyak negara Muslim baru. Selain itu, akibat
kontak awal yang tak bersahabat dengan kekuasaan Melayu setempat, Malaka
Portugis harus berhadapan dengan sikap permusuhan yang sengit. Kota ini
bertahan digempur peperangan bertahun-tahun yang dikobarkan sultan-sultan
Melayu demi menyingkirkan orang-orang Portugis dan kembali menduduki negerinya.
Sultan Mahmud beberapa kali berusaha merebut kembali ibu kota Malaka. Beliau
mengimbau dukungan dari sekutunya Kesultanan Demak di Jawa yang, pada 1511,
menanggapi dengan mengirimkan angkatan perang laut sebagai bala bantuan. Di
bawah pimpinan Pati Unus, Sultan Demak, kerja sama Melayu–Jawa itu berakhir
gagal dan sia-sia. Portugis balas menyerang membuat sultan terpaksa melarikan
diri ke Pahang. Sultan kemudian bertolak ke Pulau Bintan, tempat beliau
mendirikan ibu kota baru. Setelah memiliki pangkalan baru, sultan mulai
menghimpun pasukan-pasukan Melayu yang tercerai-berai lalu mengatur sejumlah
penyerbuan dan blokade untuk menggempur pihak Portugis. Serangan yang
bertubi-tubi datangnya membuat Portugis sangat menderita. Pada 1521, untuk
kedua kalinya, Demak melancarkan peperangan guna membantu Sultan Melayu merebut
kembali Malaka, namun juga berakhir gagal untuk kedua kalinya, bahkan merenggut
nyawa Sultan Demak sendiri. Beliau kelak dikenang sebagai Pangeran Sabrang Lor
atau Pangeran yang menyeberang (Laut Jawa) ke Utara (Semenanjung Malaya).
Serangan-serangan itu menjadikan Portugis yakin bahwa sultan yang tersingkir
itu harus dibungkam. Berkali-kali Portugis berusaha menekan pasukan Melayu,
namun barulah pada 1526 Portugis berjaya meluluhlantakkan Bintan. Sultan mundur
ke Kampar di Riau, Sumatra, tempat beliau wafat dua tahun kemudian. Beliau
meninggalkan dua putera: Muzaffar Shah, dan Alauddin Riayat Shah II.[2]
Muzaffar Shah dijemput dan dijadikan raja oleh rakyat di utara semenanjung
sehingga berdirilah Kesultanan Perak. Sementara putera Mahmud lainnya,
Alauddin, mewarisi jabatan ayahandanya dan mendirikan ibu kota baru di selatan.
Wilayah kekuasaannya adalah Kesultanan Johor, penerus Malaka.
Sultan Johor berulang kali berupaya merebut Malaka dari kekuasaan
Portugis. Imbauan Sultan Johor yang disampaikan kepada Jawa pada 1550
ditanggapi oleh Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara, dengan mengirimkan bala
bantuan sebanyak 4.000 prajurit yang diangkut 40 kapal untuk merebut Malaka. Pasukan
Jepara kemudian menyatukan kekuatan dengan pasukan persekutuan Melayu dan
berhasil mengumpulkan sekitar 200 kapal perang sebagai persiapan penyerbuan.
Pasukan gabungan ini menyerbu dari utara dan merebut sebagian besar wilayah
Malaka, namun Portugis mampu membalas dan memukul mundur para penyerangnya.
Pasukan persekutuan Melayu dipukul mundur ke laut, sementara pasukan Jepara
terus bertahan di darat dan baru mundur setelah para pemimpinnya dibantai.
Pertempuran berlanjut di pantai dan di laut sehingga lebih dari 2.000 prajurit
Jepara terbunuh. Dua kapal Jepara didamparkan badai ke pantai Malaka menjadi
mangsa Portugis. Hanya kurang dari setengah prajurit Jepara yang sanggup lolos
meninggalkan Malaka.
Pada 1567, Pangeran Husain Ali I Riayat Syah dari Kesultanan Aceh
mengerahkan angkatan perang laut untuk memaksa Portugis meninggalkan Malaka,
namun serangan ini pun akhirnya gagal. Pada 1574 sebuah serangan gabungan dari
Kesultanan Aceh dan pasukan Jawa dari Jepara kembali mencoba merebut Malaka
dari Portugis, namun berakhir dengan kegagalan akibat kurangnya koordinasi.
Bandar-bandar lain yang tumbuh menjadi saingan semisal Johor
membuat para saudagar Asia tidak lagi berlabuh di Malaka sehingga kota itu
mengalami kemunduran sebagai sebuah bandar niaga. Alih-alih mencapai ambisinya
menguasai jaringan niaga Asia, Portugis justru menjadikannya kacau-balau.
Alih-alih terwujudnya sebuah bandar pusat pertukaran kekayaan Asia, ataupun
sebuah negara Melayu pengendali Selat Malaka yang menjadikannya aman bagi lalu-lintas
niaga, yang timbul justru perdagangan yang terserak ke sejumlah bandar di
antara pahit-getir peperangan di Selat.
Kesultanan Malaka adalah salah satu negara penyetor upeti sekaligus
sekutu Dinasti Ming di Tiongkok. Penaklukan Malaka oleh Portugal pada 1511
dibalas Tiongkok dengan perlakuan kejam terhadap orang-orang Portugis.
Usai Penaklukan Malaka, Tiongkok menolak ditemui serombongan utusan
Portugis.[3]
Pemerintah Kekaisaran Tiongkok di Guangzhou memenjarakan dan
menghukum mati banyak utusan diplomatik Portugis sesudah terlebih dahulu
menyiksa mereka. Seorang duta Malaka telah memberi tahu pihak Tiongkok perihal
perebutan Malaka oleh Portugis, yang ditanggapi Tiongkok dengan menunjukkan
sikap permusuhan terhadap orang-orang Portugis. Kepada pihak Tiongkok duta
Malaka itu membeberkan tipu-muslihat Portugis, yakni menyamarkan rencana
penaklukan dengan pura-pura berdagang, dan mengisahkan pula kesukaran yang dialaminya
akibat dijajah Portugis. Malaka berada di bawah perlindungan Tiongkok sehingga
invasi Portugis itu membangkitkan murka Tiongkok.
Akibat keluhan yang diajukan Sultan Malaka mengenai invasi Portugis
kepada Kaisar Tiongkok, orang-orang Portugis disambut dengan sikap permusuhan
oleh orang-orang Tionghoa tatkala mereka tiba di Tiongkok. Keluhan Sultan itu
telah menimbulkan "kesulitan besar" bagi orang-orang Portugis di
Tiongkok. Orang-orang Tionghoa sangat "tidak ramah" terhadap
Portugis. Sultan Malaka yang berpangkalan di Bintan selepas mengungsi dari
Malaka, mengirim pesan kepada pihak Tiongkok, yang ditimpali perilaku bandit
dan tindak kekerasan Portugis di Tiongkok, menyebabkan pemerintah Tiongkok
menghukum mati 23 orang Portugis dan menyiksa yang lain di penjara. Setelah
Portugis menempatkan pos-pos dagang dan melakukan kegiatan-kegiatan perompakan
serta pengeroyokan di wilayahnya, pihak Tiongkok membalas dengan menumpas
tuntas Portugis di Ningbo dan Quanzhou. Pires, seorang duta dagang Portugis,
adalah salah satu di antara orang-orang Portugis yang meninggal dalam penjara
Tiongkok.
Sekalipun demikian, seiring perlahan membaiknya hubungan, dan
setelah Portugis membantu melawan gerombolan perompak Wokou di sepanjang
pesisir Tiongkok, pada 1557 Dinasti Ming akhirnya mengizinkan orang-orang
Portugis untuk menetap di Makau dalam sebuah koloni dagang Portugis yang baru.
Kesultanan Melayu Johor turut pula memperbaiki hubungannya dengan Portugis,
bahkan maju berperang bersama mereka melawan Kesultanan Aceh.
Para pedagang Tionghoa memboikot Malaka setelah jatuh ke tangan
Portugis, beberapa orang Tionghoa di Jawa menyumbangkan kapal-kapal guna
membantu upaya-upaya kaum Muslim merebut kembali Malaka dari Portugal.
Keterlibatan orang-orang Tionghoa Jawa dalam perebutan kembali Malaka
diriwayatkan dalam "The Malay Annals of Semarang and Cerbon" (Sejarah
Melayu Semarang dan Cerbon). Saudagar-saudagar Tionghoa berdagang dengan
orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa, tidak dengan Portugis.
Menjelang permulaan abad ke-17, Kompeni Belanda (bahasa Belanda:
Verenigde Oostindische Compagnie, VOC) mulai berani menantang kekuasaan
Portugis di Timur. Di masa itu, Portugis telah mengubah Malaka menjadi sebuah
benteng yang tak tertembus, Fortaleza de Malaca, yang mengendalikan akses ke
jalur-jalur pelayaran di Selat Malaka dan perdagangan rempah-rempah di sana.
Belanda mulai melakukan penerobosan wilayah dan serangan kecil-kecilan terhadap
Portugis. Upaya bersungguh-sungguh yang pertama adalah pengepungan Malaka pada
1606 oleh armada VOC ketiga dari Holandia beranggotakan sebelas kapal, di bawah
komando Admiral Cornelis Matelief de Jonge yang mengakibatkan pecahnya
pertempuran laut di Tanjung Rachado. Meskipun Belanda dibuat kabur kocar-kacir,
lebih banyak korban berjatuhan di pihak armada Portugis yang dipimpin Martim
Afonso de Castro, Raja Muda Goa, selain itu pertempuran ini mengakibatkan
pasukan-pasukan Kesultanan Johor menjalin persekutuan dengan Belanda dan kelak
juga dengan Kesultanan Aceh.
Sekitar kurun waktu itu, Kesultanan Aceh telah tumbuh menjadi
sebuah kekuatan regional dengan kesatuan angkatan laut yang mengagumkan dan
menganggap Malaka Portugis sebagai ancaman laten. Pada 1629, Iskandar Muda dari
Kesultanan Aceh mengirim beberapa ratus kapal untuk menyerbu Malaka, akan
tetapi misi itu mengalami kegagalan besar. Menurut catatan-catatan Portugis,
dalam penyerbuan itu seluruh kapal Iskandar Muda dihancurkan dan sekitar 19.000
prajuritnya tewas.
Belanda bersama sekutu-sekutu pribuminya menyerang dan akhirnya
merebut Malaka dari Portugis pada bulan Januari 1641. Upaya kerja sama
Belanda-Johor-Aceh ini ampuh menghancurkan baluwarti terakhir kekuasaan
Portugis, sehingga meredupkan pengaruh mereka di kawasan kepulauan itu. Belanda
menduduki kota Malaka, namun tidak berniat menjadikannya pangkalan utama, dan
malah bertekun membangun Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat jaringan
dagangnya di belahan dunia Timur. Bandar-bandar Portugis di wilayah-wilayah
penghasil rempah-rempah di Maluku juga jatuh ke tangan Belanda pada tahun-tahun
berikutnya. Akibat penaklukan-penaklukan ini, luas jajahan Portugis di Asia
menyusut hingga terbatas pada Timor Portugis, Goa, Daman dan Diu di India
Portugis, serta Makau sampai abad ke-20.
Cikal bakal tatanan pertahanan Kota Malaka adalah sebuah menara
berbentuk persegi yang dinamakan Fortaleza de Malaca. masing-masing sisinya
selebar 10 depa dan setinggi 40 depa, berdiri di kaki bukit pertahanan,
sebelah-menyebelah dengan lautan. Mulai dari sisi timurnya dibangun tembok
melingkar dari mortar dan batu, dan di tengah-tengah halaman bertembok itu
digali pula sebuah sumur.
Dari tahun ke tahun, tembok dibangun sampai akhirnya mengelilingi
seluruh bukit pertahanan. Benteng berbentuk segi lima mula-mula dibangun di
titik terjauh dari tanjung di sebelah tenggara muara sungai menuju ke sebelah
barat Fortaleza. Pada titik ini dibangun dua tembok pertahanan yang membentuk
sudut siku-siku dan menyusuri garis pantai. Yang satu dibangun sepanjang 130
depa ke arah utara menuju muara sungai dan berakhir di baluwarti São Pedro,
sementara yang lain dibangun sepanjang 75 depa ke arah timur, menyusuri garis
pantai, dan berujung di gerbang dan selekoh Santiago.
Dari selekoh São Pedro, tembok berbelok ke arah timur-laut
sepanjang 150 depa, melewati gerbang Pelataran Rumah Cukai dan berakhir pada
titik paling utara dari benteng, yakni selekoh São Domingos. Dari gerbang São
Domingos, dibangun tembok pertahanan dari timbunan tanah sepanjang 100 depa ke
arah tenggara sampai ke selekoh Madre de Deus. Dari sini, mulai dari gerbang
Santo António, pembangunan diteruskan melewati selekoh Onze Mil Virgens hingga
berakhir di gerbang Santiago.
Panjang keseluruhan tembok pertahanan mencapai 655 depa ditambah
sedepa kurang 10 tapak tangan.
Benteng Kota Malaka memiliki empat gerbang: Porta de Santiago, Gerbang Pelataran Rumah Cukai, Porta de São
Domingos, Porta de Santo Antonio.
Dari empat gerbang ini hanya dua yang terbuka untuk umum: Gerbang
Santo António yang membuka akses ke kawasan pemukiman Yler, dan gerbang barat
di Pelataran Rumah Cukai yang membuka akses menuju Tranqueira beserta
Bazaar-nya.
Setelah tegak selama hampir 300 tahun, pada 1806, bangsa Inggris
yang enggan merawat Benteng dan juga khawatir kekuatan-kekuatan Eropa lain akan
menguasainya, memerintahkan untuk membongkarnya sedikit demi sedikit. Benteng
Malaka nyaris lenyap tak berbekas andai tak dihalangi Sir Stamford Raffles yang
berkunjung ke Malaka pada 1810. Yang tersisa dari benteng Portugis pertama di
Asia Tenggara ini hanyalah Porta de Santiago, yang kini dikenal dengan sebutan
A Famosa.
Di luar pusat kota yang dilingkungi benteng, berdiri tiga
perkampungan. Yang pertama adalah Upe (Upih), lazim disebut Tranqueira
(sekarang Kampung Tengkera) yang berarti dinding pertahanan. Dua perkampungan
lainnya adalah Yler (Hilir) atau Tanjonpacer (Tanjung Pasir), dan Sabba.
Tranqueira adalah pemukiman suburban Malaka yang terpenting.
Perkampungan ini berbentuk persegi panjang, dengan tembok pertahanan di batas
utaranya, Selat Malaka sebagai batas selatannya, serta Sungai Malaka (Rio de
Malaca) dan tembok fortaleza menjadi batas timurnya. Tranqueira adalah kawasan
pemukiman utama Kota Malaka. Sekalipun demikian, bilamana perang meletus, warga
Tranqueira akan diungsikan ke dalam benteng. Tranqueira dibagi menjadi dua
paroki, São Tomé dan São Estêvão. Paroki São Tomé juga dikenal dengan nama
Campon Chelim (bahasa Melayu: Kampung Keling) karena mayoritas penghuninya
adalah Orang Keling atau warga pendatang dari Kerajaan Kalingga di pesisir
Pantai Koromandel. Paroki São Estêvão juga dinamakan Campon China (Kampung
Cina).
Manuel Godinho de Erédia (1563-1623) mencatat bahwa di kawasan ini
rumah-rumah terbuat dari kayu akan tetapi beratap genting. Sebuah jembatan batu
dikawal prajurit melintas di atas sungai Malaka, menjadi jalan masuk ke dalam
Benteng melalui Pelataran Rumah Cukai. Pusat niaga Malaka juga bertempat di
Tranqueira, berdekatan dengan pantai di muara sungai, dan dijuluki Bazaar dos
Jaos (Pasar Orang Jawa).
Kawasan Yler (Hilir) kurang lebih meliputi Buquet China (Bukit
Cina) dan pesisir tenggara. Sumur di Buquet China adalah salah satu sumber air
utama bagi warganya. Tengaran yang menonjol di kawasan ini meliputi Gereja
Madre De Deus dan Biara Kapusin São Francisco. Tengaran menonjol lainnya adalah
Buquetpiatto (Bukit Piatu). Batas-batas pemukiman tak bertembok ini konon
merentang sejauh Buquetpipi dan Tanjonpacer.
Tanjonpacer (bahasa Melayu: Tanjung Pasir) kelak dinamakan Ujong
Pasir. Kini di Malaka, di kawasan ini masih terdapat sebuah komunitas keturunan
para pendatang Portugis. Perkampungan Yler saat ini dikenal dengan nama Banda
Hilir. Reklamasi daratan di zaman modern (dengan tujuan pembangunan kawasan
niaga Melaka Raya) telah melenyapkan akses ke laut yang dahulu dimiliki Banda
Hilir.
Rumah-rumah di perkampungan ini dibina menyusuri tepian sungai.
Beberapa pribumi Melayu Muslim, penghuni asli Kota Malaka, mendiami rawa-rawa
yang ditumbuhi pohon Nypeiras, tempat mereka membuat arak Nypa (Nipah) melalui
proses penyulingan untuk diperdagangkan. Perkampungan ini dianggap sebagai
kawasan hunian terjauh dari kota, karena merupakan kawasan peralihan menuju
pedalaman Malaka, tempat melintas kayu dan arang yang dibawa masuk ke Kota.
Beberapa paroki juga berlokasi di luar kota di sepanjang sungai; São Lázaro,
Nossa Senhora de Guadalupe, dan Nossa Senhora da Esperança. Orang-orang Melayu
Muslim mendiami lahan-lahan pertanian yang jauh masuk ke pedalaman.
Kelak di era Belanda, Inggris, dan kemudian Kota Malaka modern,
nama Sabba terabai dan terlupakan. Sekalipun demikian, di masa lampau
perkampungan ini meliputi kawasan-kawasan yang kini dikenal sebagai Banda Kaba,
Bunga Raya, Kampung Jawa, dan pusat Kota Malaka modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia since c.
1300, Edisi ke-2. London: MacMillan.
Mohd
Fawzi bin Mohd Basri; Mohd Fo'ad bin Sakdan; Azami bin Man 2002. Kurikulum
Bersepadu Sekolah Menengah Sejarah Tingkatan 1. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Wills, John E., Jr. 1998. "Relations with Maritime Europe,
1514–1662," dalam The Cambridge History of China: Jilid 8, The Ming
Dynasty, 1368–1644, Bagian 2, 333–375. Disunting oleh Denis Twitchett, John
King Fairbank, dan Albert Feuerwerker. New York: Cambridge University
Press.
[1] Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.
1300, Edisi ke-2. London: MacMillan. hlm. 23
[2] Mohd Fawzi bin Mohd Basri; Mohd Fo'ad bin Sakdan; Azami bin Man
(2002). Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah Sejarah Tingkatan 1. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. hlm. 95
[3] Wills, John E., Jr. (1998). "Relations with Maritime
Europe, 1514–1662," dalam The Cambridge History of China: Jilid 8, The
Ming Dynasty, 1368–1644, Bagian 2, 333–375. Disunting oleh Denis Twitchett,
John King Fairbank, dan Albert Feuerwerker. New York: Cambridge University
Press.
No comments:
Post a Comment